Penulis: Ade Fathurahman
Ade Fathurahman
Oleh Ade Fathurahman
(SMAN 1 Kota Sukabumi)
Pengertian geografi
menurut Preston E James: Geografi adalah
suatu induk dari segala ilmu pengetahuan, dikarenakan banyak bidang ilmu pengetahuan
lain yang pembahasannya selalu dimulai dari keadaan permukaan bumi, sebelum
masuk ke dalam pembahasan berdasarkan studi keilmuan masing-masing.
Pendapat yang
dahulu lewat begitu saja dipikiran saya, padahal merupakan salah satu pendapat
yang sebagian besar Guru SMA sampaikan pada anak didiknya di jenjang kelas 10.
Salah satu pendapat tentang Definisi Geografi, di samping pendapat dari Bapak
Geografi, Eratosthenes, Harrtshorn, Ellsworth Huntington serta Bintarto. Yang
pada akhirnya mengerucut pada definisi dari IGI (Ikatan Geografi Indonesia)
pada SEMILOKA dan Kongres V di Semarang, 1988 yang menegaskan bahwa: “Geografi
adalah ilmu yang mempelajari tentang persamaan dan perbedaan fenomena geosfer
dalam konteks keruangan dengan sudut pandang kewilayahan/kelingkungan.”
Sebagai bagian
dari komunitas mediator pendidikan di satuan pendidikan menengah atas, tentu
saja saya dan beberapa teman sering berbincang-bincang tentang berbagai hal
yang berhubungan dengan keseluruhan proses KBM mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
maupun evaluasi serta tindak lanjut.
Salah satu hal
yang sering diperbincangkan adalah tentang hakikat dari mata pelajaran yang
kita ampu, baik dari ruang lingkup, pendekatan dan hal lain yang
diperbincangkan, karena memiliki irisan kajian materi di antara mapel-mapel
yang kita ampu. Beberapa di antaranya mengenai perbedaan pendekatan
pembelajaran bio-geografi dengan biologi, geografi sejarah dengan sejarah, atau
pendekatan kajian kosmografi di geografi dengan pendekatan di fisika serta
posisi matematika dalam pembelajaran geografi.
Beberapa anak muda
yang baru menyelesaikan Studi S1-nya dan masih sering bercanda tentang definisi
geografi yang disampaikan Preston F. James di atas. Tentu saja sebuah pendapat
yang membuat beberapa rekan mediator pendidikan (guru) yang mengampu mata
pelajaran di luar geografi mengernyitkan dahi atau tersenyum masam. Mereka
menganggap definisi yang disampaikan oleh Preston itu sesuatu yang “absurd”.
Tentu saja hal tersebut
berbenturan dengan pengalaman belajar rekan-rekan guru pengampu mata pelajaran
yang lain. Sebagaimana kita ketahui, nyaris semua sarjana bidang apapun pernah
dibekali dengan mata kuliah filsafat. Mata kuliah yang secara literasi panjang
telah menyampaikan bahwa induk semua ilmu adalah filsafat. Artinya, nyaris,
hampir seluruh ilmu pengetahuan/sains lahir dari produk filsafat. Sebagai salah
seorang guru geografi pun saya sependapat dengan pendapat bahwa filsafat lebih
layak disebut induk ilmu pengetahuan dibandingkan geografi. Pendapat ini
berdasarkan pada pengalaman belajar saya pada mata pelajaran filsafat ilmu yang
menjelaskan secara detail tentang ontologi, epistomologi dan aksiologi yang
menjadi acuan sebuah kajian bisa dikelompokkan, memenuhi prosedur-prosedur
sebagai sebuah ilmu pengetahuan/sain yang dapat diterapkan dalam kehidupan
manusia.
Mengapa hal ini
perlu saya bahas di sini, karena kebanyakan dari rekan-rekan guru geografi nyaris
terlupa untuk menjelaskan bahwa pendapat Preston F. James ini sebagai bagian
khazanah ilmu pengetahuan yang mewakili pendapat-pendapat yang gugur secara
ilmiah. Maksudnya, pendapat ini boleh dikemukakan sebagai bentuk dari salah
satu karakteristik ilmu pengetahuan/ sains, yakni “akumulatif’.
Hal lain yang
sebetulnya bisa menjadi salah satu metode pembelajaran yang harus dilakukan pada
materi definisi geografi ini adalah model yang biasa dilakukan para guru geografi
saat mengkaji perkembangan teori terjadinya alam semesta mulai dari teori
steady state-nya Einstein yang gugur oleh Teori Big Bang yang selanjutnya
diperkuat dengan Teori Efek Doffler serta Expanding Universe-nya Stephen
Hawking.
Pada bahasan
proses terjadinya bumi pun, sebetulnya para guru geografi SMA bisa mengambil
model pengajaran komparatif studi by teori di materi definisi geografi ini
dengan mengambil model pembelajaran pada materi proses terjadinya tata surya
dan perubahan bentuk muka bumi yang terakumulasi, saling menggugurka atau
saling melengkapi, mulai dari teori Bintang Kembar-nya Lyttleton, Nebulae
Hypothetic-nya Kant & Laplace, Planetesimal-nya Chamberlein dan
TidalvHypothesis-nya Jean-and Jeffreys, Teori Apungan Benuanya Alfred Wegwnwr hingga
Teori Lempeng Tektoniknya Eduard Suess.
Sub target
ketuntasan belajarnya adalah peletakkan geografi sebagai ilmu pengetahuan pada
posisinya yang proporsional yang menghindari pembiasan makna, terutama pada ruang
lingkup geografi sebagi studi kebumian.
Sukabumi, Awal
Maret 2022