Dr. Bambang Aryan Soekisno, M.Pd
Dr. Bambang Aryan Soekisno, M.Pd
Oleh Dr. Bambang
Aryan Soekisno, M.Pd
(Kepala SMAN 1 Kota
Bogor/Komunitas Cinta Indonesia-KACI # PASTI BISA)
bambang_aryan@yahoo.com
Angka dampak
pandemi COVID 19 di Indonesia masih menunjukkan peningkatan dari hari ke hari,
dan dari kurva yang ada cenderung belum menuju ke tingkat melandai atau
mendatar. Ini membuat kita harus tetap kuat dan sabar menjalani masa-masa
kritis seperti saat sekarang. Betapa tidak, karena hampir semua aktivitas harus
dikerjakan di dalam rumah.
Menarik yang
dikatakan oleh Hendarman (2020), bahwa bekerja di rumah, belajar di rumah, dan
beribadah di rumah, menjadi hal yang seyogianya kita pahami dan laksanakan
dalam masa pandemi Covid-19 ini. Kekhawatiran seyogianya bukan menjadi sesuatu
yang "taboo" untuk diungkapkan, walaupun ada beberapa pihak yang
menggunakan data dengan membandingkan jumlah yang meninggal dengan di
negara-negara lain.
Sejenak kita
buang jauh-jauh rasa kekhawatiran yang merasuki. Tetap focus pada kegiatan yang
semestinya kita lakukan. Karena tetap kita harus bertahan hidup dan lepas dari
wabah ini. Begitupun belajar pada saat wabah COVID 19 tetap harus dilaksanakan
bagi siswa. Tidak terkecuali itu belajar di rumah. Demikian juga guru tidak
lantas tidak mengajar atau membimbing, walaupun keadaan sedang diberlakukan “harus
tetap di rumah” guru tetap melaksanakan kewajibannya.
Guru harus tetap memberikan layanan kepada siswa. Muncul pertanyaan
akan kah menemukan kendala ketika guru mengajar secara online? Tentu
tidak bagi guru yang termasuk digital native namun boleh jadi bagi
guru yang digital immigrant. Ini adalah hal menarik untuk dikaji.
Karena antara digital native dan digital immigrant mesti terdapat
kesenjangan. Perbedaan generasi adalah salah satu terjadi kesenjangan, terutama
antara guru dan siswa.
Digital native adalah siswa atau
anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam era digital, mereka adalah para
“penduduk asli” di dunia digital, mereka berkomunikasi dengan telepon seluler, email,
milis, internet messenger, web dan blog, mereka bersosialisasi
dengan jejaring sosial di dunia maya seperti twiter, google plus, my
spaces, Instagram, linkedln dan facebook, mereka juga bermain dengan
games online. Generasi ini menganggap perangkat komunikasi sebagai
bagian integral dari kehidupannya.
Apabila ditelusuri lebih dalam, ternyata karakteristik digital
native lebih menarik. Gibson, Kristin, dkk. (2013), menyebutkan
karakteristik digital native : orang tersebut adalah opportunistic
dan omnivorous yaitu menikmati sesuatu dalam lingkungan serba online atau
kita sebut ingin mendapatkan informasi dengan cepat; menyukai kolaborasi dari
satu orang ke orang lain (secara berjejaring); menyukai proses kerja secara
pararel; menyukai sesuatu yang berbentuk “games” mengharapkan suatu penghargaan;
puas dengan segala sesuatu yang bersifat instan; akses secara random (hypertext).
Digital
immigrant adalah seorang individu yang lahir
sebelum mengadopsi teknologi digital. Istilah ini juga berlaku bagi orang yang
lahir setelah penyebaran teknologi digital dan yang tidak terkena di usia dini.
Sebagai contoh bahwa generasi digital immigrant dapat memilih untuk mencetak
dokumen untuk mengedit dengan tangan daripada melakukan editing pada layar.
Perlu dipahami bersama
bahwa berdasarkan siaran pers Badan Kepegawaian Negara (BKN) tahun 2019 secara
spesifik, persentase 71,19% tenaga pendidik didominasi oleh kelompok usia 46
-60 tahun, sedangkan yang masih berada pada golongan kerja muda (antara usia 26
– 45 tahun) terhitung minim (kurang dari 200.00 guru). Sementara sejumlah
300.000 tenaga guru yang berada pada kelompok usia 56 – 60 tahun akan mencapai
batas usia pensiun (BUP) dalam jangka lima tahun ke depan, diikuti dengan
kelompok usia 46 – 55 tahun. Data tersebut
menunjukkan bahwa guru masih didominasi oleh kelompok usia tidak muda lagi. Artinya
bahwa guru yang ada saat ini lahir sebelum mengadopsi teknologi digital.
Kesenjangan
terjadi antara guru dan siswa dalam cara penyampaian materi pembelajaran secara
online. Karena teknologi yang digunakan sudah berpihak pada usia siswa.
Inilah yang biasa kita sebut digital divide.
Digital
divide adalah kesenjangan antara individu, rumah
tangga, bisnis atau kelompok masyarakat dan area geografis pada tingkat sosial
ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atau akses teknologi informasi atau
telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Digital
devide mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatannya dalam
suatu negara. Kesenjangan tersebut mengacu pada kesenjangan di antara mereka
yang dapat mengakses teknologi informasi dan dengan mereka yang tidak dapat
mengaksesnya. Kesenjangan yang terjadi dapat bersifat fisik yaitu tidak
mempunyai akses terhadap komputer dan perangkat teknologi informasi. Kesenjangan
lainnya bersifat keterampilan yang diperlukan dalam berperan serta sebagai
warga yang ‘melek’ digital.
Sudah tentu
kesenjangan akan memiliki dampak. Dampak positif yang ditimbulkan dari digital
divide yaitu : akan menumbuhkan motivasi bagi orang yang belum
mengenal atau menerapkan teknologi informasi untuk terus meningkatkan
penggunaannya. Masyarakat akan menyadari peranan teknologi informasi yang
sangat penting dalam kehidupan dan peradaban manusia di seluruh dunia.Dan dampak
negatif, yaitu bagi mereka yang sudah menguasai teknologi informasi dapat
berkembang lebih cepat, sedangkan mereka yang tidak menguasai teknologi
informasi hanya akan menjadi ‘penonton’. Kesenjangan tersebut mengakibatkan
orang yang tidak mengerti teknologi informasi akan jauh tertinggal dengan
mereka yang sudah mengenalnya sehingga pendidikan tidak merata.
Mengapa terjadi
kesenjangan? Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya digital
divide, yaitu : tidak memiliki fasilitas pendukung seperti jaringan internet
dan komputer. Orang yang memiliki atau terkoneksi dengan jaringan internet akan
memiliki wawasan yang lebih luas daripada yang tidak memiliki akses internet.
Orang yang memiliki komputer akan lebih mudah dan cepat dalam bekerja, daripada
yang masih menggunakan mesin tik manual.
Kesenjangan
terjadi antara orang yang memiliki skill terhadap akses
informasi dengan mereka yang tidak memiliki skill. Orang yang
memiliki skill, otomatis lebih banyak mendapat informasi
daripada yang tidak memiliki skill. Masalah lain, kurangnya
pemanfaatan internet. Banyak orang yang telah memiliki komputer dan akses
internet, namun mereka jarang menggunakannya sehingga tidak menghasilkan apa
pun yang bermanfaat. Masih banyak yang lebih tertarik untuk menggunakannya
sebagai media hiburan misal game online dan sosial media.
Kesenjangan
juga terjadi karena kondisi ekonomi. Ketika orang hanya memiliki penghasilan
yang hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, maka mereka tidak akan
memikirkan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebagai penutup
dari tulisan ini, bagaimana pun caranya siswa harus tetap belajar walau mereka
tetap berada di rumah dan guru juga tetap berada di rumah selama wabah COVID 19
ini belum berakhir. Bagi guru yang termasuk generasi digital immigrant tetap
semangat meningkatkan kompetensi dibidang teknologi informasi dan jangan segan
untuk terus berkembang. Begitu pun guru generasi digital native tetap
meningkatkan pelayanan kepada para siswa dan terus berinovasi.
Semoga bermanfaat.
Sumber Rujukan
Gibson,
Kristin, dkk. (2013) Generation Z : The next generation of college students. NIRSA.
Hendarman
(2020). Kerja Sama dan Covid-19. https://www.facebook.com/
profile.php?id=100004922025998&epa=SEARCH_BOX
Badan
Kepegawaian Negara (2019). Statistik
PNS per Desember 2018: Tenaga Guru dan Kesehatan Menjadi Fokus Pemenuhan
Kebutuhan ASN.