Penulis: Indar Cahyanto
Indar Cahyanto
Oleh Indar Cahyanto
(Guru SMAN 25 Jakarta dan Pengurus APKS PGRI PROV, DKI
JAKARTA)
Belajar dari rumah lewat daring zoom meeting
Negeri swarna
dwipa begitulah dulu sebutan orang-orang memanggil pada masa kerajaan
Hindu-Budha dan Islam. Negeri yang memiliki warna ragam kepulauan, adat dan
budaya yang terbesar di dunia. Negeri yang penduduknya dikenal dengan adab dan
sopan santun yang juga termasur di dunia. Negeri ribuan pulau yang terdapat di dalamnya
memancarkan anugerah dari Sang Pencipta kepada para penduduknya untuk melakukan
giat dan membangun peradabannya.
Negeri ini yang
saat ini sedang bertranformasi ke arah kemajuan peradabannya dan memiliki
Lambang Negara Burung Garuda serta ideologi Negara Pancasila. Mengalami banyak
masalah kebangsaan dan pergulatan pemikiran serta aktivitas kehidupan para
penduduknya. Sehingga terkadang menimbulkan konflik yang ditimbulkan dari ragam
aktivitas dan pergumulan pemikiran. Terkadang mengabaikan nilai-nilai ideologi
Pancasila yang menjadi komitmen dan konsensus bersama dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Ketika
transformasi teknologi informasi memasuki ruang publik begitu derasnya tanpa
bisa disaring maka dalam seketika muncul masalah yang dihadapinya. Paling rumit
ketika kita memakai diksi yang salah sehingga memunculkan ragam tafsir dan
komentar yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diksi
pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan
gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).
Contoh pemberitaan
terkait pernyataan anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan pernyataannya yang meminta agar Jaksa Agung ST
Burhanuddin mencopot Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), karena menggunakan
bahasa Sunda dalam rapat dengar pendapat di DPR RI.
Contoh di atas
merupakan sebagian kecil dari diksi dan pernyataan yang ada dalam masyarakat
sehingga menimbulkan kegaduhan dalam jagad media sosial dan menimbulkan ragam
pro dan kontra akibat pernyataan dari diksi tersebut. Karena dari diksi
terdapat frase yang menjadi perdebatan bahkan menjadi viral seketika. Literasi
digital masyarakat Indonesia terlihat begitu sangat baik ditanggapi oleh para
netizen. Padahal sebelumnya ada yang tidak peduli terhadap persoalan yang
terjadi dan tiba-tiba ketika ada suatu kasus keliru diksi rame-rame
berkomentar.
Kemanakah
nilai-nilai Pancasila terhadap persoalan diksi yang keliru dan siapa pun orang
yang ada di negeri bisa mengeluarkan diksi yang keliru. Apakah ruh nilai
Pancasila sudah hilang ketika ada diksi yang keliru kemudian viral pada
akhirnya menimbulkan diksi hujatan, makian, cercaan. Pancasila seketika hilang
dalam ruh kehidupan masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan
menjunjung tinggi musyawarah mufakat.
Dalam konteks
Kurikulum Merdeka pengutan pendidikan karakter dengan Profil Pelajar Pancasila
menjadi tantangan baru buat pimpinan sekolah, guru, orangtua dan siswa untuk
diejawantahkan dalam wujud pembelajaran. Tentunya ragam masalah yang muncul
dalam kehidupan masyarakat juga turut diperhatikan dalam pembelajaran Profil
Pelajar Pancasila. Artinya masalah yang terkait keliru penggunaan diksi menjadi
perhatian serius dan jangan sampai hal-hal yang diksi keliru terucap oleh guru,
orangtua atau pimpinan sekolah.
Interaksi dengan
peserta didik pun disekolah sehari-hari dihindari penggunaan diksi yang
menyinggung pribadi pimpinan sekolah, tenaga kependidikan, guru ataupun siswa.
Sekolah perlu membangun suasana yang nyaman dan aman untuk semua warga sekolah.
Suasana kekeluargaan terbangun dan tercipta dengan menghindari bully,
perundungan dan ucapan diksi yang keliru. Sekolah harus aman dengan masalah
diksi yang keliru diakibatkan dari ucapan kepala sekolah kepada warga sekolah,
guru juga begitu sebaliknya menjaga ucapan atau diksi yang keliru. Semua
komponen sekolah merawat kebhinekaan sehingga siswa dapat mencontoh suasana
kebatinan yang ditimbulkan Maka sekolah harus membangun program penguatan
profil pelajar Pancasila harus simultan, sinergi dan kolaborasi. Misal dengan
upacara bendera, olahraga bersama, tadarus bersama, makan bersama yang hadir
secara bersama di ruang kelas, lapangan atau tempat ibadah.
Kemudian
pemberitaan yang ada dalam media massa menjadi bahan diskusi dan referensi
peserta didik untuk mengkaji secara keilmuan di dalam ruang kelas. Masalah
diksi yang keliru ataupun masalah social yang menyangkut pembelajaran dibahas,
dikaji dan ditelaah mendalam untuk didiskusikan mencari solusi dan penyelesaian
menurut cara pandang siswa. Peserta didik terlibat penuh dalam pembuatan suatu
proyek film pendek, pembuatan video pembelajaran atau melakukan penelitian dan
kajian tentang masalah yang terdapat dalam masyarakat dan nilai-nilai
Pancasila.
Diksi dan Profil Pelajar Pancasila
Bahasa merupakan alat
untuk menyatakan perasaan, pikiran, harapan,
permintaan kepada orang lain. Bahasa
mempunyai peran penting dalam perkembangan anak dengan menggunakan bahasa anak
akan berkembang menjadi manusia dewasa yang dapat bersosialisasi dengan orang-orang yang berada di lingkungannya. Salah satu
struktural bahasa yang paling berpengaruh saat ini adalah kosakata. Kosakata
merupakan aspek paling mudah untuk mempelajari kosakata. Tanpa kosakata sesorang tidak akan dapat menggunakan
struktur dan fungsi bahasa dalam berkomunikasi secara komprehensif.
Keraf (2008:113)
mengatakan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung 3 unsur berikut:
kejujuran, sopan santun dan menarik. Gaya bahasa berkaitan erat dengan pilihan
kata atau diksi, persoalan ketepatan pemilihan kata menyangkut pula pada
masalah makna kata dan kosakata yang dimiliki seseorang. Gaya bahasa
memungkinkan siapa saja dapat menilai watak pribadi seseorang dan kemampuan
seseorang yang mempergunakan bahasa tersebut. Semakin baik gaya bahasa
seseorang, semakin baik pula penilaian seseorang terhadapnya, sebaliknya
semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian yang diberikan
kepadanya.
Sejalan dengan
penggunaan diksi di atas mengenai pembelajaran dalam kurikulum merdeka, di dalamnya
memuat dimensi Profil Pelajar Pancasila merupakan karakter dan kompetensi dasar
yang bersifat berkesinambungan dan perlu dikembangkan pendidik dalam diri
pelajar melalui pembelajaran intrakurikuler, pembelajaran melalui proyek
penguatan Profil Pelajar Pancasila, dan lingkungan belajar.
Projek Profil
Pelajar Pancasila dirancang berbasis lokal, berdasarkan kondisi dan sumber daya
sekolah dan lingkungan sekitar, isu-isu yang sedang berkembang, dan sesuai
dengan minat peserta didik. Projek mengintegrasikan kompetensi inti yang
dipelajari dari berbagai disiplin ilmu dan kegiatan belajar lebih banyak
berdasarkan inisiatif dan ide-ide dari siswa. Profil Pelajar Pancasila upaya
mewujudkan berkembangnya keenam dimensi tersebut secara bersamaan, tidak
parsial. Keenam dimensi tersebut adalah, Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dan berakhlak mulia., Berkebinekaan global, Bergotong royong, Mandiri,
Bernalar kritis, Kreatif. Menarik dan inspiratif ketika kita membaca program
pengembangan kurikulum merdeka berkaitan dengan profil pelajar Pancasila dengan
penggunaan model pembelajaran project based learning. Sebenarnya sebelum
adanya profil pelajar Pancasila di setiap sekolah sudah melakukan pemahaman
nilai-nilai Pancasila dengan berbagai ragam kegiatan. Tapi dengan gemerlap
komunikasi dan informasi yang terjadi dengan ragam masalah yang terjadi.
Pembentukan Penguatan karakter sebelumnya tidak menguatkan profil pelajar
Pancasila seperi program senam bersama, upacara, bersih-bersih kelas, adiwiyata
dll.
Terpenting
merupakan budaya sekolah dalam membangun giat yang saling bersinergi dan saling
kolaborasi. Budaya sekolah yang memiliki visi dan misi keunggulan dan
kebersamaan serta terbangunnya sikap saling percaya menjadi modal pelaksanaan
profil Pelajar Pancasila. Kegiatan Belajar Mengajar terbangun dengan kesadaran
dan kebahagiaan.
Contoh membudayakan
nilai kerja yang positif. Budaya yang positif di satuan pendidikan mewujud
dalam sikap pembelajar pada aktivitas sehari-hari. Ketika misalnya terdapat
pandangan bahwa melakukan kesalahan yang tidak disengaja bukanlah sesuatu hal
yang buruk, maka peserta didik tentu saja tidak akan segan untuk bisa selalu
mencoba. Sebagai bentuk dari sebuah nilai, kemampuan yang diharapkan muncul
dalam diri setiap pembelajar tidak dihadirkan sebagai sebuah instruksi, namun
sebagai sebuah pembiasaan yang rutin dilakukan dalam keseharian. Membudayakan
nilai bukanlah sebuah upaya yang bisa dilakukan secara instan, sehingga
diperlukan konsistensi dan komitmen untuk dapat membangunnya secara
berkelanjutan.
Peserta didik yang
terbangun adalah karakternya dan ucapan berupa diksi yang dapat dipahami oleh
temannya maupun guru dan karyawan. Setiap kesalahan berupa diksi maka ada upaya
kekeliruan tersebut untuk tidak diulangi kembali. Peserta didik harus berani
membiasakan menggunakan diksi yang baik dan tidak menyinggung teman. Proses
pembiasaan karakter baik sesuai nilai Pancasila dibudayakan secara baik di
sekolah.
Di dalam Alquran
mempunyai formula khusus terkait dengan kaidah diksi. Ada beberapa ayat Alquran
yang secara khusus mengajarkan aturan-aturan dalam berkomunikasi. Sebagai
contoh, Qaulan Ma’rufa perkataan yang baik atau ungkapan yang patut atau tepat (QS. AlBaqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8;
QS. Al-Ahzab: 32) , Qaulan Maysura ucapan yang mudah ( QS. Al-Isra’: 28 ),
Qaulan Kareima berarti perkatan mulia (QS. Al-Isra’: 23), qaulan Sadieda perkataan yang benar terutama berhubungan
dengan isi pesan (Annisa: 9), Qaulan Baligha pembicaraan yang fasih dan benar
dari segi kata (QS. an-Nisa’:63), Qaulan Layyina pembicaraan yang lemah lembut
(QS. Thaha: 44). Kaidah diksi atau aturan-aturan komunikasi dalam ayatayat
Alquran.berbanding lurus dengan kaidah diksi dalam komunikasi sehari-hari,
khususnya untuk menunjukan nilai kesantunan dalam komunikasi.
Literasi dan Profil Pelajar Pancasila
Ketika diksi yang
diucapkan menimbulkan masalah dan menjadi perdebatan di ruang publik karena adanya
perbedaan tafsir diantara netizen. Sehingga warna kebangsaan yang majemuk
seketika menjadi aroma konflik yang harus diselesaikan. Di sinilah peran ruang
kelas yang dapat berperan penting untuk melakukan diskusi secara keilmuan lepas
dari unsur ego dan kepentingan. Bisalah dikatakan saat ini terjadi krisis
“diksi” dan butuh literasi kembali dari seluruh komponen anak negeri untuk
belajar memperbaikan narasi keilmuan.
Penguatan literasi
kepada peserta didik melalui pembelajaran di dalam kelas menjadi hal yang
esensi dan pokok pada saat ini. Ketika ruang public sudah dipenuhi dengan diksi
dan narasi yang penuh dengan konflik dan ambisi. Mungkin masalah diksi dan
narasi yang sepele akan menjadi besar ketika ada orang yang ingin membesarkan
diksi dan narasi itu.
Literasi
dijelaskan sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi
saat melakukan proses membaca dan menulis. National Institute for Literacy,
mendefinisikan Literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis,
berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang
diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.” Dengan demikian, literasi
tidak hanya berarti mampu membaca dan menulis saja, tetapi juga harus memiliki
keterampilan dan mempraktekkan apa yang sudah dipelajari sehingga ilmunya
bermanfaat untuk diri sendiri dan masyarakat.
Hasil pengembangan
literasi bisa dilihat dari hasil PISA Pada PISA 2018 ini, kemampuan rata-rata membaca siswa Indonesia adalah 371
atau 80 poin di bawah rata-rata OECD. Kemampuan membaca siswa PISA di daerah
DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta sekitar 411 atau 43 poin dibawah rata-rata
OECD. Hal tersebut menunjukkan terdapat
perbedaan kualitas pendidikan yang
relatif besar di antara daerah-daerah di Indonesia. Dengan meningkatkan akses
pendidikan, semakin banyak siswa
berkemampuan rendah yang bersekolah. Pada tahun 2018, sebanyak 60% anak
Indonesia berada di bawah kompetensi
minimal dan 15% anak Indonesia lainnya antara berada di luar sistem sekolah atau duduk di kelas 6 atau di
bawahnya.
Di dalam kurikulum
2013 pun juga sudah ditegaskan dengan penguatan literasi dalam proses
pembelajaran. Dan pada kurikulum merdeka juga terlihat bagaimana masalah
literasi dan penguatan profil pelajar Pancasila menjadi sasaran kebijakan
pendidikan di Indonesia. Karena menyadari rendahnya kemampuan membaca dari
peserta didik yang ada di Indonesia dan kemampuan daya beli buku masyarakat
Indonesia tergolong masih rendah.
Ketika pertama
kali al-Qur’an diturunkan, kata pertama yang diwahyukan Allah melalui Malaikat
Jibril untuk dilafalkan oleh baginda Nabi Muhammad saw adalah kata Iqra’. Kata
Iqra’ biasa diterjemahkan dengan “bacalah”. Pengertian ini sesuai dengan kata
Qara’a itu sendiri yang pada awalnya memang mempunyai arti “menghimpun”. Al
Qur'an sering menggunakan kata Qara'a dalam berbagai ayatnya. Ketika menerima
kalimat tersebut Nabi Muhammad saw gemetar dan mengatakan tidak bisa membaca.
Walaupun demikian dengan turunnya ayat ini menunjukkan betapa pemuliaan dan
penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca sekaligus menulis berbagai
ilmu pengetahuan. Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah! dan Tuhan engkau itu Maha Mulia. Dia yang
mengajarkan dengan qalam. Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak ketahui.
Nasaruddin Umar
dalam Republika 14 April 2016 mengatakan ada empat nilai “Iqra” dalam surat
al-Alaq tersebut yaitu, Iqra pertama adalah how to read yaitu bagaimana cara
kita membaca al-Qur’an itu dengan baik dan benar serta dapat menghatamkannya,
meskipun tidak tahu artinya, tapi dapat pahala insya Allah. Iqra kedua adalah
how to learn, yaitu bagaimana mendalami al-Qur’an dengan mengetahui artinya,
tafsirnya bahkan ta’wilnya. Iqra’ yang ketiga adalah how to understand yaitu
bagaimana kita menghayati Kitab Allah tersebut. Iqra’ yang keempat adalah
bagaimana memukasyafahkan atau menyingkap tabir-tabir dalam al-Qur’an. Jadi
iqra’ al-Qur’an itu sudah disempurnakan oleh iqra’ yang keempat tersebut.
Kemendikbudristek
pun membuat suatu gerakan literasi nasional merupakan upaya untuk memperkuat
sinergi pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas
keterlibatan publik dalam menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di
Indonesia. Gerakan ini akan dilaksanakan secara menyeluruh dan serentak, mulai
dari ranah keluarga sampai ke sekolah dan masyarakat di seluruh wilayah
Indonesia . Enam literasi dasar tersebut
mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi
digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.
Penguatan literasi
dan numerasi terutama di jenjang pendidikan dasar menjadi salah satu perhatian
dalam perancangan kurikulum yang berfokus pada kompetensi. Selaras dengan
konsep literasi dan numerasi yang digunakan dalam kebijakan Asesmen Kompetensi
Nasional (AKM). Literasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik dalam
memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk
menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga
Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di
masyarakat .
Peran kepala
sekolah dan komponen warga sekolah dalam menumbuhkembangkan gerakan literasi
menjadi hal paling penting. Sekolah membuat rancangan program literasi dengan
pemanfaatan sarana perpustakaan sekolah yang harus memadai dari buku bacaan.
Membuat program penulisan artikel dan jurnalistik dengan melibatkan OSIS dan
kegiatan ekstrakurikuler. Serta membuat lomba kreatifitas dalam pengembangan
literasi dan bahasa.
Kemudian guru
dalam proses pembelajaran di kelas di mulai dengan aktifitas literasi dan
pemanfaatan sumber informasi melalui buku ataupun dengan menggunakan internet. Dalam
proses penilaian dalam bentuk soal diarahkan ke dalam soal yang berbentuk HOTS
dan AKM. Serta dalam bentuk penugasan diarahkan dalam bentuk pembuatan tulisan
dalam bentuk artikel fiksi ataupun non fiksi. Kreatifitas pembelajaran dengan
penguatan literasi diharapkan peserta didik terbiasa untuk berfikir secara logis
dan kaidah keilmuan.
Perpustakaan dan
ekskul jurnalistik secara kontinyu membuat madding sekolah, membuat kliping
artikel dari media massa. Perpustakaan dan ektrakurikuler jurnalistik bisa
membuat media penerbitan berupa blog, konten media sosisl yang isinya tentang
literasi siswa dan warga sekolah. Sehingga peserta didik dapat tertantang untuk
membuat karya inovasi berkaitan dengan literasi sekolah.
Kesimpulan
Literasi merupakan
proses pendewasaan berpikir dari manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki
budaya dan logika. Butuh konsisten dan usaha yang benar dalam meningkatkan
literasi dan pengembangan diri. Kemudian butuh waktu yang cukup untuk membaca
dan menuliskan kembali dari bacaan yang ada. Karena pada esesnsinya literasi
proses penyadaran diri dan pengembangan diri dalam bertransformasi ilmu
pengetahuan yang didapatnya.
Dengan literasi memberikan arti bahwa kita berkontribusi dalam mengawal ide dan membangun narasi kebaikan di dalam dunia pengetahuan. Berliterasi membuktikan kita ada dalam mengenalkan budaya baca dan membangun kebaikan, Dengan berliterasi maka akan menambah literature diksi yang akan kita pakai dalam komunikasi.
INDAR CAHYANTO
Alamat domisili : Jln. Raya Centex RT 002
RW 01O Ciracas Jakarta Timur
Nomor hape yang
aktif : 083876164412
Akun media sosial : Indar Cahyanto/Facebook
Indar
Cahyanto/Instagram
Atribusi/profil
singkat : Aktivitas sehari-hari saya
mengajar di salah satu sekolah di Jakarta
tepatnya di SMAN 25 JAKARTA mengajar pada bidang studi Sejarah. Kemudian
sebagai pengurus di APKS PGRI Provinsi DKI JAKARTA.