DIKSI DAN PENDIDIKAN NILAI PANCASILA

Penulis: Indar Cahyanto

Dibaca: 144 kali

Indar Cahyanto

Oleh Indar Cahyanto

(Guru SMAN 25 Jakarta dan Pengurus APKS PGRI PROV, DKI JAKARTA)

 


Belajar dari rumah lewat daring zoom meeting

Negeri swarna dwipa begitulah dulu sebutan orang-orang memanggil pada masa kerajaan Hindu-Budha dan Islam. Negeri yang memiliki warna ragam kepulauan, adat dan budaya yang terbesar di dunia. Negeri yang penduduknya dikenal dengan adab dan sopan santun yang juga termasur di dunia. Negeri ribuan pulau yang terdapat di dalamnya memancarkan anugerah dari Sang Pencipta kepada para penduduknya untuk melakukan giat dan membangun peradabannya.

Negeri ini yang saat ini sedang bertranformasi ke arah kemajuan peradabannya dan memiliki Lambang Negara Burung Garuda serta ideologi Negara Pancasila. Mengalami banyak masalah kebangsaan dan pergulatan pemikiran serta aktivitas kehidupan para penduduknya. Sehingga terkadang menimbulkan konflik yang ditimbulkan dari ragam aktivitas dan pergumulan pemikiran. Terkadang mengabaikan nilai-nilai ideologi Pancasila yang menjadi komitmen dan konsensus bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika transformasi teknologi informasi memasuki ruang publik begitu derasnya tanpa bisa disaring maka dalam seketika muncul masalah yang dihadapinya. Paling rumit ketika kita memakai diksi yang salah sehingga memunculkan ragam tafsir dan komentar yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diksi pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).

Contoh pemberitaan terkait pernyataan anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan  pernyataannya yang meminta agar Jaksa Agung ST Burhanuddin mencopot Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), karena menggunakan bahasa Sunda dalam rapat dengar pendapat di DPR RI.

Contoh di atas merupakan sebagian kecil dari diksi dan pernyataan yang ada dalam masyarakat sehingga menimbulkan kegaduhan dalam jagad media sosial dan menimbulkan ragam pro dan kontra akibat pernyataan dari diksi tersebut. Karena dari diksi terdapat frase yang menjadi perdebatan bahkan menjadi viral seketika. Literasi digital masyarakat Indonesia terlihat begitu sangat baik ditanggapi oleh para netizen. Padahal sebelumnya ada yang tidak peduli terhadap persoalan yang terjadi dan tiba-tiba ketika ada suatu kasus keliru diksi rame-rame berkomentar.

Kemanakah nilai-nilai Pancasila terhadap persoalan diksi yang keliru dan siapa pun orang yang ada di negeri bisa mengeluarkan diksi yang keliru. Apakah ruh nilai Pancasila sudah hilang ketika ada diksi yang keliru kemudian viral pada akhirnya menimbulkan diksi hujatan, makian, cercaan. Pancasila seketika hilang dalam ruh kehidupan masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan menjunjung tinggi musyawarah mufakat.

Dalam konteks Kurikulum Merdeka pengutan pendidikan karakter dengan Profil Pelajar Pancasila menjadi tantangan baru buat pimpinan sekolah, guru, orangtua dan siswa untuk diejawantahkan dalam wujud pembelajaran. Tentunya ragam masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat juga turut diperhatikan dalam pembelajaran Profil Pelajar Pancasila. Artinya masalah yang terkait keliru penggunaan diksi menjadi perhatian serius dan jangan sampai hal-hal yang diksi keliru terucap oleh guru, orangtua atau pimpinan sekolah.

Interaksi dengan peserta didik pun disekolah sehari-hari dihindari penggunaan diksi yang menyinggung pribadi pimpinan sekolah, tenaga kependidikan, guru ataupun siswa. Sekolah perlu membangun suasana yang nyaman dan aman untuk semua warga sekolah. Suasana kekeluargaan terbangun dan tercipta dengan menghindari bully, perundungan dan ucapan diksi yang keliru. Sekolah harus aman dengan masalah diksi yang keliru diakibatkan dari ucapan kepala sekolah kepada warga sekolah, guru juga begitu sebaliknya menjaga ucapan atau diksi yang keliru. Semua komponen sekolah merawat kebhinekaan sehingga siswa dapat mencontoh suasana kebatinan yang ditimbulkan Maka sekolah harus membangun program penguatan profil pelajar Pancasila harus simultan, sinergi dan kolaborasi. Misal dengan upacara bendera, olahraga bersama, tadarus bersama, makan bersama yang hadir secara bersama di ruang kelas, lapangan atau tempat ibadah.

Kemudian pemberitaan yang ada dalam media massa menjadi bahan diskusi dan referensi peserta didik untuk mengkaji secara keilmuan di dalam ruang kelas. Masalah diksi yang keliru ataupun masalah social yang menyangkut pembelajaran dibahas, dikaji dan ditelaah mendalam untuk didiskusikan mencari solusi dan penyelesaian menurut cara pandang siswa. Peserta didik terlibat penuh dalam pembuatan suatu proyek film pendek, pembuatan video pembelajaran atau melakukan penelitian dan kajian tentang masalah yang terdapat dalam masyarakat dan nilai-nilai Pancasila.

Diksi dan Profil Pelajar Pancasila

Bahasa merupakan alat untuk menyatakan  perasaan, pikiran, harapan, permintaan kepada orang   lain. Bahasa mempunyai peran penting dalam perkembangan anak dengan menggunakan bahasa anak akan berkembang menjadi manusia dewasa yang dapat bersosialisasi dengan orang-orang    yang berada di lingkungannya. Salah satu struktural bahasa yang paling berpengaruh saat ini adalah kosakata. Kosakata merupakan aspek paling mudah untuk mempelajari kosakata.     Tanpa kosakata sesorang tidak akan dapat menggunakan struktur dan fungsi bahasa dalam berkomunikasi secara komprehensif.

Keraf (2008:113) mengatakan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung 3 unsur berikut: kejujuran, sopan santun dan menarik. Gaya bahasa berkaitan erat dengan pilihan kata atau diksi, persoalan ketepatan pemilihan kata menyangkut pula pada masalah makna kata dan kosakata yang dimiliki seseorang. Gaya bahasa memungkinkan siapa saja dapat menilai watak pribadi seseorang dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa tersebut. Semakin baik gaya bahasa seseorang, semakin baik pula penilaian seseorang terhadapnya, sebaliknya semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian yang diberikan kepadanya.

Sejalan dengan penggunaan diksi di atas mengenai pembelajaran dalam kurikulum merdeka, di dalamnya memuat dimensi Profil Pelajar Pancasila merupakan karakter dan kompetensi dasar yang bersifat berkesinambungan dan perlu dikembangkan pendidik dalam diri pelajar melalui pembelajaran intrakurikuler, pembelajaran melalui proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila, dan lingkungan belajar.

Projek Profil Pelajar Pancasila dirancang berbasis lokal, berdasarkan kondisi dan sumber daya sekolah dan lingkungan sekitar, isu-isu yang sedang berkembang, dan sesuai dengan minat peserta didik. Projek mengintegrasikan kompetensi inti yang dipelajari dari berbagai disiplin ilmu dan kegiatan belajar lebih banyak berdasarkan inisiatif dan ide-ide dari siswa. Profil Pelajar Pancasila upaya mewujudkan berkembangnya keenam dimensi tersebut secara bersamaan, tidak parsial. Keenam dimensi tersebut adalah, Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia., Berkebinekaan global, Bergotong royong, Mandiri, Bernalar kritis, Kreatif. Menarik dan inspiratif ketika kita membaca program pengembangan kurikulum merdeka berkaitan dengan profil pelajar Pancasila dengan penggunaan model pembelajaran project based learning. Sebenarnya sebelum adanya profil pelajar Pancasila di setiap sekolah sudah melakukan pemahaman nilai-nilai Pancasila dengan berbagai ragam kegiatan. Tapi dengan gemerlap komunikasi dan informasi yang terjadi dengan ragam masalah yang terjadi. Pembentukan Penguatan karakter sebelumnya tidak menguatkan profil pelajar Pancasila seperi program senam bersama, upacara, bersih-bersih kelas, adiwiyata dll.

Terpenting merupakan budaya sekolah dalam membangun giat yang saling bersinergi dan saling kolaborasi. Budaya sekolah yang memiliki visi dan misi keunggulan dan kebersamaan serta terbangunnya sikap saling percaya menjadi modal pelaksanaan profil Pelajar Pancasila. Kegiatan Belajar Mengajar terbangun dengan kesadaran dan kebahagiaan.

Contoh membudayakan nilai kerja yang positif. Budaya yang positif di satuan pendidikan mewujud dalam sikap pembelajar pada aktivitas sehari-hari. Ketika misalnya terdapat pandangan bahwa melakukan kesalahan yang tidak disengaja bukanlah sesuatu hal yang buruk, maka peserta didik tentu saja tidak akan segan untuk bisa selalu mencoba. Sebagai bentuk dari sebuah nilai, kemampuan yang diharapkan muncul dalam diri setiap pembelajar tidak dihadirkan sebagai sebuah instruksi, namun sebagai sebuah pembiasaan yang rutin dilakukan dalam keseharian. Membudayakan nilai bukanlah sebuah upaya yang bisa dilakukan secara instan, sehingga diperlukan konsistensi dan komitmen untuk dapat membangunnya secara berkelanjutan.

Peserta didik yang terbangun adalah karakternya dan ucapan berupa diksi yang dapat dipahami oleh temannya maupun guru dan karyawan. Setiap kesalahan berupa diksi maka ada upaya kekeliruan tersebut untuk tidak diulangi kembali. Peserta didik harus berani membiasakan menggunakan diksi yang baik dan tidak menyinggung teman. Proses pembiasaan karakter baik sesuai nilai Pancasila dibudayakan secara baik di sekolah.

Di dalam Alquran mempunyai formula khusus terkait dengan kaidah diksi. Ada beberapa ayat Alquran yang secara khusus mengajarkan aturan-aturan dalam berkomunikasi. Sebagai contoh, Qaulan Ma’rufa perkataan yang baik atau ungkapan yang patut atau tepat  (QS. AlBaqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8; QS. Al-Ahzab: 32) , Qaulan Maysura ucapan yang mudah ( QS. Al-Isra’: 28 ), Qaulan Kareima berarti perkatan mulia (QS. Al-Isra’: 23), qaulan Sadieda  perkataan yang benar terutama berhubungan dengan isi pesan (Annisa: 9), Qaulan Baligha pembicaraan yang fasih dan benar dari segi kata (QS. an-Nisa’:63), Qaulan Layyina pembicaraan yang lemah lembut (QS. Thaha: 44). Kaidah diksi atau aturan-aturan komunikasi dalam ayatayat Alquran.berbanding lurus dengan kaidah diksi dalam komunikasi sehari-hari, khususnya untuk menunjukan nilai kesantunan dalam komunikasi. 

Literasi dan Profil Pelajar Pancasila

Ketika diksi yang diucapkan menimbulkan masalah dan menjadi perdebatan di ruang publik karena adanya perbedaan tafsir diantara netizen. Sehingga warna kebangsaan yang majemuk seketika menjadi aroma konflik yang harus diselesaikan. Di sinilah peran ruang kelas yang dapat berperan penting untuk melakukan diskusi secara keilmuan lepas dari unsur ego dan kepentingan. Bisalah dikatakan saat ini terjadi krisis “diksi” dan butuh literasi kembali dari seluruh komponen anak negeri untuk belajar memperbaikan narasi keilmuan.

Penguatan literasi kepada peserta didik melalui pembelajaran di dalam kelas menjadi hal yang esensi dan pokok pada saat ini. Ketika ruang public sudah dipenuhi dengan diksi dan narasi yang penuh dengan konflik dan ambisi. Mungkin masalah diksi dan narasi yang sepele akan menjadi besar ketika ada orang yang ingin membesarkan diksi dan narasi itu.

Literasi dijelaskan sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.” Dengan demikian, literasi tidak hanya berarti mampu membaca dan menulis saja, tetapi juga harus memiliki keterampilan dan mempraktekkan apa yang sudah dipelajari sehingga ilmunya bermanfaat untuk diri sendiri dan masyarakat.

Hasil pengembangan literasi bisa dilihat dari hasil PISA Pada PISA 2018 ini, kemampuan  rata-rata membaca siswa Indonesia adalah 371 atau 80 poin di bawah rata-rata OECD. Kemampuan membaca siswa PISA di daerah DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta sekitar 411 atau 43 poin dibawah rata-rata OECD. Hal  tersebut menunjukkan terdapat perbedaan kualitas pendidikan  yang relatif besar di antara daerah-daerah di Indonesia. Dengan meningkatkan akses pendidikan, semakin banyak siswa  berkemampuan rendah yang bersekolah. Pada tahun 2018, sebanyak 60% anak Indonesia berada di bawah kompetensi  minimal dan 15% anak Indonesia lainnya antara berada di luar sistem  sekolah atau duduk di kelas 6 atau di bawahnya.

Di dalam kurikulum 2013 pun juga sudah ditegaskan dengan penguatan literasi dalam proses pembelajaran. Dan pada kurikulum merdeka juga terlihat bagaimana masalah literasi dan penguatan profil pelajar Pancasila menjadi sasaran kebijakan pendidikan di Indonesia. Karena menyadari rendahnya kemampuan membaca dari peserta didik yang ada di Indonesia dan kemampuan daya beli buku masyarakat Indonesia tergolong masih rendah.

Ketika pertama kali al-Qur’an diturunkan, kata pertama yang diwahyukan Allah melalui Malaikat Jibril untuk dilafalkan oleh baginda Nabi Muhammad saw adalah kata Iqra’. Kata Iqra’ biasa diterjemahkan dengan “bacalah”. Pengertian ini sesuai dengan kata Qara’a itu sendiri yang pada awalnya memang mempunyai arti “menghimpun”. Al Qur'an sering menggunakan kata Qara'a dalam berbagai ayatnya. Ketika menerima kalimat tersebut Nabi Muhammad saw gemetar dan mengatakan tidak bisa membaca. Walaupun demikian dengan turunnya ayat ini menunjukkan betapa pemuliaan dan penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca sekaligus menulis berbagai ilmu pengetahuan. Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! dan Tuhan engkau itu Maha Mulia. Dia yang mengajarkan dengan qalam. Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak ketahui.

Nasaruddin Umar dalam Republika 14 April 2016 mengatakan ada empat nilai “Iqra” dalam surat al-Alaq tersebut yaitu, Iqra pertama adalah how to read yaitu bagaimana cara kita membaca al-Qur’an itu dengan baik dan benar serta dapat menghatamkannya, meskipun tidak tahu artinya, tapi dapat pahala insya Allah. Iqra kedua adalah how to learn, yaitu bagaimana mendalami al-Qur’an dengan mengetahui artinya, tafsirnya bahkan ta’wilnya. Iqra’ yang ketiga adalah how to understand yaitu bagaimana kita menghayati Kitab Allah tersebut. Iqra’ yang keempat adalah bagaimana memukasyafahkan atau menyingkap tabir-tabir dalam al-Qur’an. Jadi iqra’ al-Qur’an itu sudah disempurnakan oleh iqra’ yang keempat tersebut.

Kemendikbudristek pun membuat suatu gerakan literasi nasional merupakan upaya untuk memperkuat sinergi pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia. Gerakan ini akan dilaksanakan secara menyeluruh dan serentak, mulai dari ranah keluarga sampai ke sekolah dan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia  . Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.

Penguatan literasi dan numerasi terutama di jenjang pendidikan dasar menjadi salah satu perhatian dalam perancangan kurikulum yang berfokus pada kompetensi. Selaras dengan konsep literasi dan numerasi yang digunakan dalam kebijakan Asesmen Kompetensi Nasional (AKM). Literasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik dalam memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat .

Peran kepala sekolah dan komponen warga sekolah dalam menumbuhkembangkan gerakan literasi menjadi hal paling penting. Sekolah membuat rancangan program literasi dengan pemanfaatan sarana perpustakaan sekolah yang harus memadai dari buku bacaan. Membuat program penulisan artikel dan jurnalistik dengan melibatkan OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler. Serta membuat lomba kreatifitas dalam pengembangan literasi dan bahasa.

Kemudian guru dalam proses pembelajaran di kelas di mulai dengan aktifitas literasi dan pemanfaatan sumber informasi melalui buku ataupun dengan menggunakan internet. Dalam proses penilaian dalam bentuk soal diarahkan ke dalam soal yang berbentuk HOTS dan AKM. Serta dalam bentuk penugasan diarahkan dalam bentuk pembuatan tulisan dalam bentuk artikel fiksi ataupun non fiksi. Kreatifitas pembelajaran dengan penguatan literasi diharapkan peserta didik terbiasa untuk berfikir secara logis dan kaidah keilmuan.

Perpustakaan dan ekskul jurnalistik secara kontinyu membuat madding sekolah, membuat kliping artikel dari media massa. Perpustakaan dan ektrakurikuler jurnalistik bisa membuat media penerbitan berupa blog, konten media sosisl yang isinya tentang literasi siswa dan warga sekolah. Sehingga peserta didik dapat tertantang untuk membuat karya inovasi berkaitan dengan literasi sekolah.

Kesimpulan

Literasi merupakan proses pendewasaan berpikir dari manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki budaya dan logika. Butuh konsisten dan usaha yang benar dalam meningkatkan literasi dan pengembangan diri. Kemudian butuh waktu yang cukup untuk membaca dan menuliskan kembali dari bacaan yang ada. Karena pada esesnsinya literasi proses penyadaran diri dan pengembangan diri dalam bertransformasi ilmu pengetahuan yang didapatnya.

Dengan literasi memberikan arti bahwa kita berkontribusi dalam mengawal ide dan membangun narasi kebaikan di dalam dunia pengetahuan. Berliterasi membuktikan kita ada dalam mengenalkan budaya baca dan membangun kebaikan, Dengan berliterasi maka akan menambah literature diksi yang akan kita pakai dalam komunikasi. 

INDAR CAHYANTO

Alamat domisili                      : Jln. Raya Centex RT 002 RW 01O Ciracas Jakarta Timur

Nomor hape yang aktif           : 083876164412

Akun media sosial                 : Indar Cahyanto/Facebook

                                                 Indar Cahyanto/Instagram

Atribusi/profil singkat : Aktivitas sehari-hari saya mengajar di salah satu sekolah di Jakarta  tepatnya di SMAN 25 JAKARTA mengajar pada bidang studi Sejarah. Kemudian sebagai pengurus di APKS PGRI Provinsi DKI JAKARTA.


Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...