Penulis: A. Rusdiana
A. Rusdiana
Oleh A. Rusdiana
Makna Halalbihalal dari tinjauan hukum, bahasa, dan qur'ani menjelaskan,
bahwa, halal bihalal diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan
ibadah puasa Ramadan, yang biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok
orang”. Berhalalbihalal artinya bermaaf-maafan pada saat lebaran. Meski halal
bihalal khas Indonesia namun berasal dari bahasa Arab yang tidak lazim dipakai
penutur bahasa Arab. (baca: http://beritadisdik.com/news/kaji/menyingkap-makna-halalbihalal).
Secara historis, istilah halal bihalal dimunculkan muassis jami'iyyah,
KH Wahab Chasbullah, sebagai pengganti kata silaturahim yang dianggap biasa,
untuk mengatasi konflik antara tokoh politik pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno. di Tengah Ketegangan Politik. Konteks ini, semakin menekankan
substansi moderasi beragama dalam halal bihalal, baik dalam aspek komitmen
kebangsaan, anti-kekerasan, maupun toleransi. "Bahwa potensi konflik perlu
dikelola dengan baik agar tidak melunturkan komitmen kebangsaan, tidak berujung
pada tindak kekerasan, dan justru bisa diubah menjadi energi positif untuk
terus merajut toleransi," Pendiri bangsa kita menemukan salah satu caranya
yang kemudian mentradisi sebagai halalbihalal,"
Keterkaitan yang erat antara kata halal bihalal dengan esensi
silaturahim. Kata ‘halal’ berasal dari
kata ‘halla’ atau ‘halala’, mempunyai makna yang berkisar pada “menyelesaikan
kesulitan”, “mencairkan yang beku”, “melepaskan yang membelenggu”. Melalui halal bihalal, di saat lebaran ini
diharapkan terjadi perubahan suasana dari satu keadaan kepada keadaan yang
lain. Dari beku menjadi cair,
dari sulit menjadi mudah, dan dari terikat menjadi terlepas. Makna ini bisa dicapai, di antaranya,
dengan cara saling maaf-memaafkan. "Halal bihalal sangat relevan menjadi
momentum penguatan moderasi beragama. Menurut Wibowo (2022), ada empat indikator: penguatan moderasi beragama,
yaitu anti kekerasan, komitmen kebangsaan, toleransi, dan ramah tradisi. Bila
ditelisik satu persatu akan menjadi pembelajaran yang berharga dalam kehidupan
beragama, berbangsa dan bernegara, antara lain sebagai berikut:
Pertama Anti-kekerasan; Kata ‘halal’ berasal dari kata ‘halla’
atau ‘halala’, mempunyai makna yang berkisar pada “menyelesaikan
kesulitan”, “mencairkan yang beku”, “melepaskan yang membelenggu”. Kekerasan
bisa saja terjadi akibat dari ketidak mampuan menyelesaikan kesulitan-kusulitan
itu. Faktor penyebab perilaku kekerasan menurut teori ini adalah faktor pribadi
dan faktor sosial. Faktor pribadi yaitu meliputi kelainan jiwa, seperti
psikopat, stres, depresi, serta pengaruh obat bius. Sedangkan faktor yang
bersifat sosial antara lain seperti konflik rumah tangga, faktor budaya, dan
media massa.
Melalui halal bihalal, di saat lebaran ini diharapkan terjadi perubahan
suasana dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Dari beku menjadi cair, dari sulit menjadi mudah, dan
dari terikat menjadi terlepas. Makna ini bisa dicapai, di antaranya, dengan cara saling maaf-memaafkan.
Kedua Komitmen kebangsaan; Secara praksis, komitmen kebangsaan sebagai
indikator moderasi beragama, seperti sering disampaikan para petinggi Kemenag.
Dalam perspektif Moderasi Beragama, mengamalkan ajaran agama (Puasa, bayar
zakat, idull fitri, halal bihalal/silaturahim) adalah sama dengan menjalankan
kewajiban sebagai warga negara, sebagaimana menunaikan kewajiban sebagai warga
negara adalah wujud pengamalan ajaran agama.
Ketiga mempupuk Toleransi; Indonesia yang toleran, saling
menghormati kepada sesama pemeluk agama. Tidak ada sekat dalam halal bihalal,
semua pemeluk agama saling maaf memaafkan tanpa melihat status atau agama
seseorang. Makanya lebaran juga untuk semua (masyarakat),"
Keempat: Ramah tradisi; Halal bihalal adalah salah satu tradisi khas
Indonesia yang harus, dilestarikan. Halal bihalal ini adalah wajah kita,
Indonesia yang toleran, saling menghormati kepada sesama pemeluk agama. Nggak
ada sekat dalam halal bihalal, semua pemeluk agama saling maaf memaafkan tanpa
melihat status atau agama seseorang. Makanya halalbihalal lebaran juga untuk
semua (masyarakat),"
Kohesi sosial secara sederhana bisa diterangkan sebagai perekat atau ikatan
yang menjaga masyarakat tetap bersatu atau terintegrasi. Ada nilai-nilai,
keyakinan, atau tujuan bersama yang dibagi ke seluruh anggota masyarakat
sebagai acuan moral. Hal itu kemudian menumbuhkan rasa saling percaya.
Halal bihalal menjadi momentum merajut persaudaraan sekaligus menjadi modal
dalam menyongsong tahun politik yang sudah mulai terasa hiruk pikuknya di
tengah keragaman Indonesia," pesannya. "Perbedaan adalah sunnatullah dan tidak bisa
ditolak. Namun, seberapa pun perbedaan yang ada, hal itu tidak boleh berujung
pada tindak kekerasan, intoleransi, apalagi sampai menghilangkan komitmen kebangsaan.
Menjadi tugas kita bersama untuk terus menguatkan moderasi beragama,"
Wallahu A'lam Bishowab.
Penulis:
Ahmad Rusdiana, Lahir di Ciamis, 21 April 1961. Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS)
sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana
Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA,
MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan
Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun
1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan
pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50
mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Pegiat Rumah Baca
Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan.
Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat. Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di
akses melalui:(1)http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators.
(2)https://www.google.com/search?q=buku+a.rusdiana+shopee&source(3)https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M.