Kaum Pelangi Ada di Dunia Pendidikan

Penulis: Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.

Dibaca: 1027 kali

Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.

Oleh Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.

(Praktisi Pendidikan)

 

Waspada! Jelas satu kata ini yang harus dipegang teguh oleh semua civitas pendidikan di sekolah maupun orang tua siswa, karena akhir-akhir ini sedang gencar-gencarnya dikibarkan bendera pelangi sebagai lambang kebebasannya eksistensi LGBT di seluruh dunia. Dan sialnya, kibarannya juga merasuk ke dalam ranah dunia pendidikan dan keluarga.

Sejak tahun 1970an, bendera pelangi (rainbow flag) dipakai sebagai sebuah simbol dari lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dan gerakan sosial LGBT lainnya.

Warna-warnanya merefleksikan keragaman  komunitas LGBT dan bendera tersebut sering kali digunakan sebagai sebuah simbol gay saat bendera tersebut dibawa pada pawai-pawai hak asasi LGBTQ+. Bendera tersebut bermula di California Utara, tetapi sekarang digunakan di seluruh dunia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebelum bendera pelangi ini dikibarkan secara nyata di seluruh dunia, aroma benih LGBT ini jelas ada dari tahun ke tahun dan di setiap satu era ke jaman yang lainnya pada setiap tatanan masyarakat yang ada, termasuk dunia pendidikan dan keluarga didalamnya. Hanya saja gaungnya tidak sekencang sekarang karena masih tertahan oleh tata krama dan sopan santun bertingkah laku yang selalu diajarkan disetiap lini.

Hal ini sejalan dengan tulisan dari dr. Ani Hasibuan, ahli syaraf di RSCM dengan judul 'Dulu takut menjaga anak perempuan, tapi sekarang lebih takut lagi menjaga anak laki-laki.', yang mana semua tulisannya dibanned oleh FB, karena tulisannya tersebut membahas seputar bahayanya LGBT yang saat ini sedang gencar-gencarnya digaungkan dan diperjuangkan hak-haknya di seluruh dunia oleh beberapa negara dominan. Sangat miris memang setelah membacanya.

Beliau menekankan sekedar berbagi cerita dari poli saraf dimana beliau bekerja untuk para orang-tua dan para pendidik, supaya tetap waspada dan semakin gencar menjaga lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan sekolah dari rongrongan fenomena LGBT ini.

Sejak beliau mulai bertugas pada tahun 1997, sudah berurusan dengan para gay sampai hari ini, permasalahan LGBT belum pernah absen. Pasien terbanyak yang ditanganinya adalah HIV, walaupun yang masih hidup tinggal beberapa. Laporan beberapa hari terakhir bahwa ada lagi yang meninggal  dengan kriptokokus meningitis (infeksi jamur di otak), tulisnya.

Begitu pula yang dirasakan penulis dimana fenomena LGBT ini terasa dikala pertama kali terjun bertugas di dunia pendidikan sekitar tahun 1991 dan diyakini bahwa hal ini sudah berlangsung pada saat-saat sebelumnya. Hal ini terlihat dari setiap angkatan per tahunnya ada saja ciri-ciri yang mengarah ke arah sana, yaitu dunia LGBT. Baik mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah sampai ke jenjang pendidikan tinggi.

Lebih lanjut dr. Ani memaparkan bahwa dari pengamatannya,  Gay itu ada “kasta”nya. Ada yg 'dominan', biasanya yg punya uang dan lebih tua secara umur, ada yang 'submissif', dengan kata lain semacam “piaraan”. Piaraan ini berkasta juga, ada anak muda putih bersih klimis dari kalangan keluarga menengah, ada juga yg kelas sandal jepit (bukan yang harga 18 ribu ya), tulisnya.

Perlakuan dari yang dominan pada piaraan juga berbeda, sesuai KW si piaraan. Yang KW ori diperlakukan sangat istimewa. Ketika dr. Ani bekerja di klinik HIV RSCM, pernah mendapat pasien mahasiswa universitas swasta terkenal di Jakarta yang terkena meningitis kriptokokus (jamur otak). Orang tuanya pekerja petrol, tinggal di Dallas, US. Dia di sini tinggal sendiri. Anaknya tampan, klimis dan kelihatan anak baik. Sang Dominan sering ikut mengantar kalau kontrol. Dan yang membuat kaget, ternyata dominannya juga seorang 'AKTIVIS LSM ANTI-HIV'. Suatu kejadian kalau si pasiennya ini mengeluh sakit kepala, si dominan mengelus-elus punggung si submissif sambil bilang, “sakit ya sayang? Yang mana yang sakit? Sabar ya sayang...” (untung saya masih setia pada sumpah hipocrates, kalau saya berkhianat, si dominan itu mau saya suntik fentanyl 1000 cc biar mokat, mampus..!) lanjut dr. Ani dalam tulisannya.

Dan juga tulis lanjut dr. ani, dia pernah mendapatkan seorang dominan yang kena infeksi di medulla spinalis, spondilitis TB, jadi lumpuh kedua kakinya tiba-tiba. Pas dirawat, submissifnya datang menemani. Itu sang dominan dibentak-bentak, gak ada sayang-sayang. Si submissif ini tampilannya sih kelas sandal jepit, manggil dominannya "abang.” (jijik ya mendengarnya)

Lanjut, ada juga piaraan bayaran. Satu pasien dr. Ani asal Jogja (sekarang sudah meninggal dengan toksoensefalitis; bisul di dalam otak karena kuman tokso yang sering menempel di badan kucing, anjing) mengaku dia bayaran. Dipiara seorang laki-laki keturunan untuk bayaran 1.000 sampai 2.000 USD per bulan. Uangnya dia kirim ke Jogja untuk anak dan istrinya. Dia ini sejatinya bukan gay, jadi semacam pelacur lelaki (gigolo) yang bekerja sebagai caddy lelaki di satu lapangan golf di Tangerang. Waktu ketahuan HIV dan tokso, dia menangis meraung-raung, dan selama dirawat dia selalu membaca Al-Qur’an terus, kalau diperiksa, selalu terisak-isak dan bilang menyesal. Pas ketemu istrinya, saya (dr. Ani) yang berkaca-kaca. Sebab, istrinya perempuan berhijab rapi dengan dua balita yang juga berhijab, tulis dr. Ani.

Ada juga gay kakak beradik. Sejak kecil dikasih satu kamar dan satu ranjang oleh ibu bapaknya. Pas gede, tahu-tahu yang kakak kena kripto. Dicek hiv positif, ditanya pasangannya siapa, dia bilang adiknya. Pas adiknya dicek, positif juga hiv nya. Kedua-duanya sudah meninggal, dalam satu ruang rawat yang sama. Ayahnya sampai anak-anak itu dikubur pun tidak pernah mau datang menengok.

Akan halnya di dunia pendidikan, setelah diamati kaum ini seringnya membuat komunitas tersendiri. Merekrut anggotanya dengan iming-iming keduniawian dan kesenangan,  sebagaimana pernah viral diberbagai media sosial fenomena LGBT ini di dunia pendidikan.

Salah satu contoh akhir-akhir ini semua dikejutkan dengan beredarnya kabar ratusan anak pelajar SMP di Garut yang menjadi angota sebuah group sosmed facebook di mana ditenggarai memiliki kecenderungan penyimpangan orientasi seksual LGBT. Sebuah kenyataan yang sangat memilukan dikala anak-anak yang seharusnya berkonsentasi menuntut ilmu di bangku sekolah justru terjerumus dalam kehidupan LGBT. Seperti banyak diberitakan, grup facebook dengan nama “Kumpulan Barudak Gay SMP/SMA Garut” ini memiliki jumlah anggota lebih dari  2.600 orang yang didominasi siswa SMP dan SMA.

Penulis pun pernah mengajak berbicara pada siswa yang mengalami situasi seperti itu tentang hal ihwal mengapa bisa terjerumus ke dunia LGBT. Mereka berdalih, selain karena pengaruh lingkungan (sosial, budaya, genetika dan keluarga) juga keadaan ekonomi keluarga yang memaksa mereka terjun dan terlibat ke dalam dunia tersebut. Dan bahkan ada juga siswa dari kalangan mampu berdalih hanya untuk kesenangan dan menjaga gengsi untuk mendapatkan barang-barang mewah yang diinginkannya.

Yang lebih mengerikan dan mencengangkan lagi, justru ada diantara pelakunya dari kalangan civitas pendidikan itu sendiri, baik yang umum maupun yang bercirikan keagamaan, yang mana salah satu alasannya adalah mereka juga pernah menjadi korban LGBT itu sendiri sehingga ketika mereka berada di dunia pendidikan, mereka tetap dalam keadaan seperti itu.

Untuk itu berhati-hatilah dengan anak-anak (didik) kita. Ajarkan mereka untuk bertindak agresif kalau ada yg coba-coba menggoda (gay), jangan kasih ampun, langsung tindak sebagaimana mestinya.

Pengalaman dr. Ani, dari anak-anak yang kena goda para penyuka sesama ini, mereka makin agresif kalau yang digoda diam atau menunjukkan rasa takut. Tapi langsung berhenti kalau yang digoda langsung main fisik. (Beberapa anak muda yang digoda gay konsultasi kepadanya bersama orangtuanya). Dari wawancara dengan pasien-pasien gaynya, mereka ini tadinya 'SEMUA pernah mengalami anal seks', sebagian besar secara paksa. Setelahnya mereka akan sangat dijaga dan ditemani oleh kelompok gay. Pergaulannya diganti jadi pergaulan gay, baik dari mulai sikap sampai gaya hidupnya. Hal ini persis dengan cerita dari siswa yang penulis tanya permasalahannya.

Pada kesimpulannya cerita tentang LGBT ini semua berakhir TRAGIS. Belum pernah ada yang terdengar dengan berakhir seperti di cerita fairytopia, misalnya berakhir seperti Cinderella, happily ever after. Kisah para gay berakhir dengan tokso, kripto, TB, pnemonia, kandida, dan diujungnya, mati sendirian tanpa didampingi kaum-nya. Di dunia pendidikanpun sama. Siswa yang terlibat LGBT akhirnya harus terisolir dan dijauhi. Bahkan sampai ada yang harus terhenti belajarnya karena tekanan secara lahir maupun bathin, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar dirinya.

Semoga tulisan ini dapat menginspirasi para semua civitas pendidikan dan orangtua yang awam tentang LGBT, agar para civitas pendidikan dan orang tua lebih tahu dan kian waspada terhadap fenomena LGBT yang ada di sekitaranya dan (kalau tidak diantisipasi) bisa menerpa kepada siapa saja termasuk keluarga, waspadalah.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...