Penulis: Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.
Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.
Oleh Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Waspada! Jelas
satu kata ini yang harus dipegang teguh oleh semua civitas pendidikan di
sekolah maupun orang tua siswa, karena akhir-akhir ini sedang gencar-gencarnya
dikibarkan bendera pelangi sebagai lambang kebebasannya eksistensi LGBT di
seluruh dunia. Dan sialnya, kibarannya juga merasuk ke dalam ranah dunia
pendidikan dan keluarga.
Sejak tahun
1970an, bendera pelangi (rainbow flag) dipakai sebagai sebuah simbol
dari lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dan gerakan
sosial LGBT lainnya.
Warna-warnanya
merefleksikan keragaman komunitas LGBT dan bendera tersebut sering kali
digunakan sebagai sebuah simbol gay saat bendera tersebut dibawa pada
pawai-pawai hak asasi LGBTQ+. Bendera tersebut bermula di California
Utara, tetapi sekarang digunakan di seluruh dunia.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa sebelum bendera pelangi ini dikibarkan secara nyata di seluruh
dunia, aroma benih LGBT ini jelas ada dari tahun ke tahun dan di setiap satu
era ke jaman yang lainnya pada setiap tatanan masyarakat yang ada, termasuk
dunia pendidikan dan keluarga didalamnya. Hanya saja gaungnya tidak sekencang
sekarang karena masih tertahan oleh tata krama dan sopan santun bertingkah laku
yang selalu diajarkan disetiap lini.
Hal ini sejalan
dengan tulisan dari dr. Ani Hasibuan, ahli syaraf di RSCM dengan judul 'Dulu
takut menjaga anak perempuan, tapi sekarang lebih takut lagi menjaga anak
laki-laki.', yang mana semua tulisannya dibanned oleh FB, karena tulisannya
tersebut membahas seputar bahayanya LGBT yang saat ini sedang gencar-gencarnya
digaungkan dan diperjuangkan hak-haknya di seluruh dunia oleh beberapa negara
dominan. Sangat miris memang setelah membacanya.
Beliau menekankan
sekedar berbagi cerita dari poli saraf dimana beliau bekerja untuk para
orang-tua dan para pendidik, supaya tetap waspada dan semakin gencar menjaga
lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan sekolah dari rongrongan
fenomena LGBT ini.
Sejak beliau mulai
bertugas pada tahun 1997, sudah berurusan dengan para gay sampai hari ini,
permasalahan LGBT belum pernah absen. Pasien terbanyak yang ditanganinya adalah
HIV, walaupun yang masih hidup tinggal beberapa. Laporan beberapa hari terakhir
bahwa ada lagi yang meninggal dengan
kriptokokus meningitis (infeksi jamur di otak), tulisnya.
Begitu pula yang
dirasakan penulis dimana fenomena LGBT ini terasa dikala pertama kali terjun
bertugas di dunia pendidikan sekitar tahun 1991 dan diyakini bahwa hal ini
sudah berlangsung pada saat-saat sebelumnya. Hal ini terlihat dari setiap
angkatan per tahunnya ada saja ciri-ciri yang mengarah ke arah sana, yaitu
dunia LGBT. Baik mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah sampai ke
jenjang pendidikan tinggi.
Lebih lanjut dr.
Ani memaparkan bahwa dari pengamatannya,
Gay itu ada “kasta”nya. Ada yg 'dominan', biasanya yg punya uang dan
lebih tua secara umur, ada yang 'submissif', dengan kata lain semacam
“piaraan”. Piaraan ini berkasta juga, ada anak muda putih bersih klimis dari
kalangan keluarga menengah, ada juga yg kelas sandal jepit (bukan yang harga 18
ribu ya), tulisnya.
Perlakuan dari
yang dominan pada piaraan juga berbeda, sesuai KW si piaraan. Yang KW ori
diperlakukan sangat istimewa. Ketika dr. Ani bekerja di klinik HIV RSCM, pernah
mendapat pasien mahasiswa universitas swasta terkenal di Jakarta yang terkena
meningitis kriptokokus (jamur otak). Orang tuanya pekerja petrol, tinggal di
Dallas, US. Dia di sini tinggal sendiri. Anaknya tampan, klimis dan kelihatan
anak baik. Sang Dominan sering ikut mengantar kalau kontrol. Dan yang membuat
kaget, ternyata dominannya juga seorang 'AKTIVIS LSM ANTI-HIV'. Suatu kejadian
kalau si pasiennya ini mengeluh sakit kepala, si dominan mengelus-elus punggung
si submissif sambil bilang, “sakit ya sayang? Yang mana yang sakit? Sabar ya
sayang...” (untung saya masih setia pada sumpah hipocrates, kalau saya
berkhianat, si dominan itu mau saya suntik fentanyl 1000 cc biar mokat,
mampus..!) lanjut dr. Ani dalam tulisannya.
Dan juga tulis
lanjut dr. ani, dia pernah mendapatkan seorang dominan yang kena infeksi di
medulla spinalis, spondilitis TB, jadi lumpuh kedua kakinya tiba-tiba. Pas
dirawat, submissifnya datang menemani. Itu sang dominan dibentak-bentak, gak
ada sayang-sayang. Si submissif ini tampilannya sih kelas sandal jepit, manggil
dominannya "abang.” (jijik ya mendengarnya)
Lanjut, ada juga
piaraan bayaran. Satu pasien dr. Ani asal Jogja (sekarang sudah meninggal
dengan toksoensefalitis; bisul di dalam otak karena kuman tokso yang sering
menempel di badan kucing, anjing) mengaku dia bayaran. Dipiara seorang laki-laki
keturunan untuk bayaran 1.000 sampai 2.000 USD per bulan. Uangnya dia kirim ke
Jogja untuk anak dan istrinya. Dia ini sejatinya bukan gay, jadi semacam
pelacur lelaki (gigolo) yang bekerja sebagai caddy lelaki di satu lapangan golf
di Tangerang. Waktu ketahuan HIV dan tokso, dia menangis meraung-raung, dan
selama dirawat dia selalu membaca Al-Qur’an terus, kalau diperiksa, selalu
terisak-isak dan bilang menyesal. Pas ketemu istrinya, saya (dr. Ani) yang
berkaca-kaca. Sebab, istrinya perempuan berhijab rapi dengan dua balita yang
juga berhijab, tulis dr. Ani.
Ada juga gay kakak
beradik. Sejak kecil dikasih satu kamar dan satu ranjang oleh ibu bapaknya. Pas
gede, tahu-tahu yang kakak kena kripto. Dicek hiv positif, ditanya pasangannya
siapa, dia bilang adiknya. Pas adiknya dicek, positif juga hiv nya.
Kedua-duanya sudah meninggal, dalam satu ruang rawat yang sama. Ayahnya sampai
anak-anak itu dikubur pun tidak pernah mau datang menengok.
Akan halnya di
dunia pendidikan, setelah diamati kaum ini seringnya membuat komunitas
tersendiri. Merekrut anggotanya dengan iming-iming keduniawian dan
kesenangan, sebagaimana pernah viral
diberbagai media sosial fenomena LGBT ini di dunia pendidikan.
Salah satu contoh
akhir-akhir ini semua dikejutkan dengan beredarnya kabar ratusan anak pelajar
SMP di Garut yang menjadi angota sebuah group sosmed facebook di mana
ditenggarai memiliki kecenderungan penyimpangan orientasi seksual LGBT. Sebuah
kenyataan yang sangat memilukan dikala anak-anak yang seharusnya berkonsentasi
menuntut ilmu di bangku sekolah justru terjerumus dalam kehidupan LGBT. Seperti
banyak diberitakan, grup facebook dengan nama “Kumpulan Barudak Gay SMP/SMA
Garut” ini memiliki jumlah anggota lebih dari 2.600 orang yang didominasi
siswa SMP dan SMA.
Penulis pun pernah
mengajak berbicara pada siswa yang mengalami situasi seperti itu tentang hal
ihwal mengapa bisa terjerumus ke dunia LGBT. Mereka berdalih, selain karena
pengaruh lingkungan (sosial, budaya, genetika dan keluarga) juga keadaan
ekonomi keluarga yang memaksa mereka terjun dan terlibat ke dalam dunia
tersebut. Dan bahkan ada juga siswa dari kalangan mampu berdalih hanya untuk
kesenangan dan menjaga gengsi untuk mendapatkan barang-barang mewah yang
diinginkannya.
Yang lebih
mengerikan dan mencengangkan lagi, justru ada diantara pelakunya dari kalangan
civitas pendidikan itu sendiri, baik yang umum maupun yang bercirikan
keagamaan, yang mana salah satu alasannya adalah mereka juga pernah menjadi
korban LGBT itu sendiri sehingga ketika mereka berada di dunia pendidikan,
mereka tetap dalam keadaan seperti itu.
Untuk itu
berhati-hatilah dengan anak-anak (didik) kita. Ajarkan mereka untuk bertindak
agresif kalau ada yg coba-coba menggoda (gay), jangan kasih ampun, langsung
tindak sebagaimana mestinya.
Pengalaman dr.
Ani, dari anak-anak yang kena goda para penyuka sesama ini, mereka makin
agresif kalau yang digoda diam atau menunjukkan rasa takut. Tapi langsung
berhenti kalau yang digoda langsung main fisik. (Beberapa anak muda yang digoda
gay konsultasi kepadanya bersama orangtuanya). Dari wawancara dengan
pasien-pasien gaynya, mereka ini tadinya 'SEMUA pernah mengalami anal seks',
sebagian besar secara paksa. Setelahnya mereka akan sangat dijaga dan ditemani
oleh kelompok gay. Pergaulannya diganti jadi pergaulan gay, baik dari mulai
sikap sampai gaya hidupnya. Hal ini persis dengan cerita dari siswa yang
penulis tanya permasalahannya.
Pada kesimpulannya
cerita tentang LGBT ini semua berakhir TRAGIS. Belum pernah ada yang terdengar
dengan berakhir seperti di cerita fairytopia, misalnya berakhir seperti
Cinderella, happily ever after. Kisah para gay berakhir dengan tokso, kripto,
TB, pnemonia, kandida, dan diujungnya, mati sendirian tanpa didampingi
kaum-nya. Di dunia pendidikanpun sama. Siswa yang terlibat LGBT akhirnya harus
terisolir dan dijauhi. Bahkan sampai ada yang harus terhenti belajarnya karena
tekanan secara lahir maupun bathin, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar
dirinya.
Semoga tulisan ini
dapat menginspirasi para semua civitas pendidikan dan orangtua yang awam
tentang LGBT, agar para civitas pendidikan dan orang tua lebih tahu dan kian
waspada terhadap fenomena LGBT yang ada di sekitaranya dan (kalau tidak
diantisipasi) bisa menerpa kepada siapa saja termasuk keluarga, waspadalah.