Penulis Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana
Oleh Ahmad Rusdiana
Kekuasaan menjadi perbincangan menarik dalam kajian ilmu politik sebab
orientasi kekuasaan memberikan kemaslahatan bagi rakyat dan negara. Mencapai
kesejahteraan inilah yang menjadi penting. Misalnya, dalam setiap kali suksesi
dan pemilihan umum pemimpin, janji-janji untuk menyejahterakan rakyat dengan
mudah terdengar. Meski demikian, kekuasaan juga bisa melahirkan penyimpangan.
Bentuk dan variannya cukup beragam, baik terkait dengan penguasanya, sistemnya,
dan rakyat yang dikuasai. Dan lebih pelik lagi ketika “rebutan” kepentingan
elite penguasa menyusup pada kebijakan politiknya.
Fenomena
kekuasaan terus tumbuh dinamis ini menjadi kajian ilmu politik yang selalu menarik
karena selalu terjadi benturan antara tataran ideal dan realitas. Tataran ideal
dari kekuasaan itu melahirkan seni untuk mengatur masyarakat mencapai tujuannya,
disebut dengan ilmu politik. Ajaran filsafat moral diadopsi ke dalam filsafat
politik, diturunkan menjadi etika politik lalu ke etika kekuasaan. Hal ini
untuk mengimbangi tujuan mulia dari kekuasaan, sementara manusia memiliki dua
sifat dasar dalam diri, baik dan buruk. (J.Haryatmoko, 2004).
Telah banyak teori, konsep dan etika kepemimpinan dari
cendikiawan dan filosof yang mengajarkan agar pemimpin menjalankan kekuasaan
dengan berpegang pada etika kepemimpinan. Kajian tentang kepemimpinan telah
banyak diungkap oleh para pemikir Islam seperti Abu Al-hasan Al-Mawardi
(w.1058), Abu Hamid Al-Ghazali (w.1111), Ibnu Taimiyah (w.1328), Ibnu Khaldun
(w.1406) dan lainnya dari para pemikir politik era klasik dan Abu A’la
al-Maududi (w.1979), Ali Abd Raziq (w.1966), Hasan al-Banna (w.1949). Hampir
semua pemikir menitikberatkan bahwa tugas penguasa politik untuk melayani
kepentingan umum guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.(Al-
Mawardi,1991).
Pandangan serupa itu juga banyak dikembangkan oleh
cendekia dari Melayu, khususnya di kesultanan Riau-Lingga (1823-1912). Beberapa
cendekia yang terkemuka di Riau-Lingga antaranya Raja Ahmad, Raja
Ali Haji (w.1873), Raja Ja’far (w.1831), Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi
(w.1899), Raja Ali Kelana (w.1928), dan lain sebagainya juga telah menyinggung
tentang kepemipinan dalam karya-karya mereka. (Erwiza,ed., 2012).
Satu di antara karya yang patut mendapat perhatian yakni, karya Raja Ali
Kelana (w.1927) dalam Kumpulan Ringkas
Berbetulan Lekas (KRBL). Menurut Raja Ali Kelana, "seorang pemimpin
sangat menentukan nasib negara dan seluruh penduduk yang berada di dalamnya".
Oleh sebab itu, penguasa harus bisa menjalankan fungsinya dengan tetap menjaga
struktur kekuasaan"(Jelani Harun,2001). Raja Ali Kelana mengaitkan tentang
ilmu dan akal dalam diskursus politik. Hal ini seakan menegaskan bahwa konsep
kekuasaan itu tidak lepas dari ilmu pengetahuan dan akal, sebagaimana tesis
Michael Fucoult (2000) yang menyebutkan bahwa "orang yang memiliki wacana
paling kuat adalah penguasa. Artinya, keilmuan dalam kekuasaan,
menurut Raja Ali Kelana, merupakan sebuah keniscayaan". Berikut beberapa
kriteria pemimpin dan acuan etika kekuasaan yang harus dimiliki oleh pemimpin
dari arkeologi pemikiran Raja Ali Kelana; diantaranya:
Pertama: Menjaga agama dan
negeri; Raja Ali Kelana
menilai bahwa penguasa memiliki martabat yang tinggi karena tugas dan
tanggungjawab yang diembanya, yakni mengelokan agama dan negerinya. Menurut Raja Ali Kelana, (dalam Abd. Rahman 2021), sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin yakni: (1) perkasa dengan cita-cita yang besar dan
perilaku yang bersih, (2) memahami sejarah sebagai panduan dalam memangku
kekuasaan, (3) mempertimbangkan kadar perkara berdasarkan besar-kecil atau
ringat-beratnya, (4) sabar bila sedang mengalami ujian, (5) kekayaan kerajaan
untuk keadilan sosial (6) menolong pada kebenaran, (7) membahagiakan sesuatu
dengan jalan yang benar dan sesuai kadarnya, (8) menunaikan janji dan belas
kasih, (9) menghilangkan kesusahan dan kebinasaan, (10) mencurahkan pikiran
untuk kebajikan dan pengalamannya, (11) interaksi dengan menteri berdasarkan
tiga pedoman: apabila menteri salah agar tidak langsung dihukum, tidak boleh loba
pada menteri yang kaya karena pengabdian, mengabulkan permintaan menteri bila
dinilai patut.
Kedua Bersikap adil; Kekuasaan tanpa
keadilan hanya akan menimbulkan malapetaka bagi negara dan rakyat. Adil tidak
hanya digambarkan sebagai tindakan, melainkan juga sifat yang harus melekat
pada penguasa dan seluruh aparatus dalam struktur kekuasaan.
Ketiga: Mewujudkan kesejahteraan rakyat; Kesejahteraan umum atau mashlahatul ummah merupakan pedoman yang
harus menjadi tujuan dari kekuasaan diiring dengan aksi dan sarana yang juga
mengarah pada tujuan itu. Karena itu, penguasa harus mampu menjaga independen
dan menjauhkan penyakit yang menggrogoti kerajaan ataupun kekuasaan.
Keempat: Setia dan berdedikasi; Menurut
Raja Ali Kelana, kesetiaan yang berdasarkan pada agama itu terbagi menjadi
tiga, yakni kesetiaan Tuhan pada manusia, kesetiaan manusia pada Tuhan, dan
kesetiaan antara sesama manusia. Tiga model kesetiaan itu menjadi bagian
penting dalam kehidupan manusia. Dan khusus tentang relasi dengan kekuasaan, termasuk dalam
golongan kesetiaan sesama manusia.
5. Menjaga Kebersamaan dan Persatuan; Persatuan
merupakan tema yang mendapat perhatian oleh Raja Ali kelana dalam
KRBL, Hal ini menandakan bahwa persatuan merupakan suatu keniscayaan dan
menjadi kunci dalam kekuasaan.
Secara umum, konsep-konsep karakter
pemimpin dan etika kekuasaan yang disampaikan Raja Ali kelana ini mencerminkan
corak pemikiran normatif, sebagaimana yang menjadi ciri khas pemikir Islam abad
pertengahan. Ia juga lebih banyak menukil dari konsep-konsep pemikiran
sebelumnya, seperti karya Raja Ali Haji. Hal ini tentu dipengaruhi oleh sumber
referensi yang masih terbatas. Ia masih sangat memegang nilai-nilai universal
dari norma agama dalam membangun konsepnya. Namun, di sisi lain, latar belakang
lahirnya pemikiran politiknya juga mempengaruhi pemikirannya sehingga pada
bagian-bagian tertentu, kritik yang disampaikan terlihat jelas memiliki
tendensi khusus.
Wallahu A'lam Bishowab.
Penulis
Ahmad Rusdiana, Founder tresnabhakti.org, pegiat Rumah
Baca Tresna Bhakti, Pengampu mata kuliah manajemen pendidikan; Penulis buku:
Kepemimpinan Pendidikan; Kebijakan Pendidikan; Etika Komunikasi Organisasi;
Manajemen Risiko, Kewirausahaan Teori dan Praktek; Manajemen Kewirausahaan
Pendidikan; Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Pendidik, Peneliti, dan Pengabdi; Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana
Pendidikan Al Misbah Cipadung Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA,
MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan
Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun
1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan
pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 70
mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK TPA Paket A B C. Rumah Baca Tresna
Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan Panawangan Kab. Ciamis Jawa Barat.
Korespondensi :(1) http://a.rusdiana.id (2)
http://tresnabhakti.org/webprofil; (3)
http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators (4)
https://www.google.com/search?q=buku+ a.rusdiana +shopee&source (5)
https://play.google.com/store/books/author?id.