Malapraktik di Era Kurikulum Merdeka

Penulis Budi Suhardiman

Dibaca: 367 kali

Budi Suhardiman

Oleh Budi Suhardiman

 

Malapraktik di dunia pendidikan jarang mendapat perhatian. Bahkan dianggap seolah-olah tidak akan berdampak apa-apa. Padahal malapraktik di dunia pendidikan berdampak tidak hanya pada satu orang tetapi pada beberapa generasi ke depan. Oleh karena itu malapraktik dalam dunia pendidikan sangat berbahaya bagi generasi bangsa di masa yang akan datang.

Pada dunia kedokteran, malapraktik artinya tindakan dokter yang salah dalam mendiagnosa dan mengobati pasien. Kesalahan itu disebabkan keteledoran dalam menjalankan tugas profesionalnya. Akibatnya, pasien merasa dirugikan bahkan bisa jadi jiwanya terancam. Oleh karena itu keluarga pasien mengadukan tindakan dokter tersebut pada pihak yang berwajib agar diproses secara hukum.

Malapraktik pada dunia pendidikan sering terjadi pada pembelajaran di kelas. Guru sebagai orang yang bertanggung jawab dalam memberikan layanan pembelajaran kepada siswa terkadang tidak sadar sering melakukan malapraktik.  Di era kurikulum merdeka dengan pembelajaran paradigma barunya, guru dituntut untuk melakukan pembelajaran yang berpihak kepada siswa. Pembelajaran yang memerdekan siswa. Guru harus melayani semua siswa dengan berbagai potensinya. Guru harus menganggap bahwa semua siswa itu memiliki potensi, minat, bakat, dan gaya belajar yang berbeda-beda. Oleh karena itu guru harus melayaninya dengan berbeda-beda pula. Dengan demikian semua potensi siswa bisa berkembang dengan baik. Tidak ada seorangpun siswa yang tidak terlayani atau tertinggal dalam belajar.

Namun faktanya berdasarkan hasil supervisi pembelajaran yang dilakukan penulis, masih ada saja guru yang menganggap bahwa semua siswa itu karakteristiknya sama. Akibatnya layanan guru untuk semua siswa disamakan.  Begitu juga guru masih belum memerdekakan siswa dalam belajar. Peran guru dalam pembelajaran masih dominan sehingga pembelajaran tidak aktif. Pembelajaran tidak menantang bagi para siswa.  Semua itu menurut penulis merupakan contoh malapraktik pada dunia pendidikan. Tentu saja kondisi itu pada awal-awal kurikulum merdeka ini diterapkan masih dianggap wajar. Namun kalau terus dilakukan, hal itu  menjadi sesuatu yang dianggap tidak wajar dan bisa dikategorikan malapraktik layanan pembelajaran.

Secara umum malapraktik yang dilakukan guru bisa dalam hal merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran. Di dalam perencanaan pembelajaran bisa saja guru salah dalam memetakan capaian pembelajaran (CP), menentukan tujuan pembelajaran (TP), dan menyusun alur tujuan pembelajaran (ATP). Akibatnya yang dituangkan pada modul ajar juga salah atau tidak tepat. Jika perencanaannya salah maka pelaksanaan pembelajarnnya juga akan salah. Guru melakukan pembelajaran di kelas berdasarkan perencanaan yang salah. Begitu pula evaluasi, guru akan mengevaluasi hasil belajar yang tidak tepat. Hasil belajar yang tidak diinginkan. Bahkan dalam konteks evaluasi, guru seringkali hanya mengukur hasil belajar tidak dengan proses. Padahal evaluasi merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran.

Lalu mengapa ketika ada guru yang melakukan malapraktik mengajar tidak pernah disentuh secara hukum? Bahkan tidak pernah mendengar ada orang tua melaporkan guru gara-gara melakukan malapraktik mengajar kepada putra-putrinya. Guru merupakan jabatan profesional yang menuntut keahlian metodologi dan penguasaan substansi bahan ajar seperti halnya dokter harus memiliki kompetensi dalam mendiagnosa dan mengobati pasien. Oleh karena itu, menurut penulis, ke depan jika ada guru yang melalukan malapraktik mengajar, bisa saja dilaporkan orang tua siswa kepada yang berwajib atau dinas pendidikan karena dianggap sudah merusak masa depan putra-putrinya.

Pada saat ini mengapa tidak ada orang tua yang protes ketika guru melakukan malapraktik? Setidaknya ada lima alasan. Pertama, siswa tidak pernah melapor kepada orang tuanya bahwa gurunya melakukan kesalahan dalam mengajar. Kedua, orang tua tidak terlalu peduli terhadap pembelajaran yang dilakukan guru. Ketiga, malapraktik mengajar dianggap tidak akan berpengaruh apa-apa pada perkembangan pendidikan anak. Keempat, tidak adanya komunikasi yang intensif antara orang tua dengan sekolah. Kelima, orang tua terlalu percaya kepada sekolah dalam melaksanakan pendidikan putra-putrinya.

Malapraktik mengajar disebabkan oleh beberapa hal, (1) pemahaman guru terhadap filsafat pendidikan masih kurang, (2) pengetahuan guru tentang prinsip-prinsip pembelajaran minim, (3) penguasaan guru terhadap bahan ajar masih kurang, (4) pengawasan dari kepsek dan pengawas pembina belum maksimal, (5) guru terlena dengan kebiasaan lamanya, yang terkadang kebiasaan lama itu sudah tidak sesuai lagi, (6) guru bersifat tertutup terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Filsafat pendidikan sebagai dasar atau landasan guru dalam menjalankan tugas profesionalnya sangat penting. Filsafat pendidikan akan memberi arah kepada guru ketika melakukan pembelajaran. Penguasaan guru terhadap filsafat pendidikan terintegrasi dengan mata pelajaran yang diampunya ketika mereka belajar di LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Namun kenyataan di lapangan masih ada guru yang latar belakang pendidikannya berbeda dengan mata pelajaran yang diampunya. Hal ini jelas penguasaan guru yang bersangkutan terhadap filsafat pendidikan sangat kurang.

Pengalaman penulis ketika melakukan supervisi pembelajaran, guru masih lemah dalam hal membuka, menyajikan, dan menutup pembelajaran. Padahal ketiga hal ini merupakan inti dari pembelajaran di kelas. Jika guru mampu melaksanakan ketiga hal tersebut dengan baik, maka pembelajaran bisa dikatakan berhasil. Sebaliknya, jika tidak mampu melaksanakannya, maka pembelajaran tidak berhasil, sehingga tujuan pembelajaran akan sulit dicapai.

Pengawasan pembelajaran yang dilakukan kepala sekolah dan pengawas pembina sebaiknya dilakukan secara terus menerus, tidak hanya melalui supevisi. Kepala sekolah atau pengawas bisa saja melakukan diskusi terbatas dengan guru mata pelajaran untuk membicarakan pembelajaran yang telah mereka lakukan. Bisa juga dengan cara menyediakan angket tentang pelaksanaan pembelajaran yang harus diisi oleh siswa. Dari angket itu akan terlihat gambaran pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru tersebut.

Guru-guru kita terlalu asik dengan kebiasaan lamanya. Mereka marasa nyaman dengan kebiasaan lamanya itu, sehingga saking asiknya tidak mau diganggu dengan hal-hal yang baru, yang menurut pandangan mereka akan membuat tidak nyaman. Kebiasaan lama itu misalnya (1) potensi, bakat, minat, dan gaya belajar siswa semuanya dianggap sama, (2) pembelajaran masih berpusat pada guru, (3) siswa belum merdeka dala mbelajar, (4) bahan ajar hanya mengandalkan buku teks (tidak bervariasi), (5) pembelajaran monoton, guru memposisikan diri sebagai nara sumber, model ceramah selalu mendominasi pada setiap pembelajaran, dan (6) guru menyuruh anak untuk mencatat bahan ajar tanpa ditindaklanjuti dengan penjelasan. Kebiasaan lama itu sudah merasuk pada relung-relung hati guru kita, sehingga sangat sulit untuk diubahnya.

Kebiasaan baru yang bisa dilakukan guru misalnya pembelajaran berbasis IT, penerapan model pembelajaran aktif, pembelajaran berbasis masalah, melakukan penelitian tindakan kelas, dan pembelajaran projek. Untuk mengubah kebiasaan lama itu dibutuhkan waktu dan kesabaran. Yang penting menyadarkan guru dulu bahwa kebiasaan lama itu sudah tidak zamannya lagi.

Ketertutupan guru pada hal-hal yang baru bisa saja disebabkan karena mereka sudah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. Mereka punya pandangan bahwa ilmu pengetahuan pada waktu kuliahpun sudah cukup. Padahal ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang kaitannya dengan pembelajaran selalu berkembang. Hasil-hasil penelitian mutahir tentang pendidikan dan pembelajaran sangat mudah untuk diakses oleh siapapun.

Supaya tidak terjadi malapraktek mengajar, ada beberapa hal yang bisa kita upayakan. Pertama mengefektifkan peran organisasi profesi guru seperti MGMP, forum ilmiah guru, PGRI, dan lain-lain. Semua organisasi profesi tersebut harus fokus pada upaya peningkatan kompetensi guru. Kegiatan-kegiatannya bisa melalui pelatihan, workshop, seminar, lesson study, micro teaching, dan lain-lain. Kedua, mendorong para guru agar memanfaatkan platporm merdeka mengajar (PMM). Ketiga, para pembina, kepala sekolah atau pengawas harus secara berkesinambungan melakukan pengawasan. Supervisi yang selama ini kita lakukan harus ditindaklanjuti dalam bentuk pembinaan-pembinaan. Diskusi pembelajaran dengan guru harus sudah menjadi kebiasaan. Keempat, guru harus sudah mulai sadar bahwa zaman ini berubah. Artinya ilmu pengetahuan dan teknologi juga berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, guru harus selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kelima, budaya meneliti di kalangan guru harus sudah menjadi kebiasaan. Guru mengajar sebenarnya sudah biasa, karena memang tugasnya, tetapi guru meneliti menjadi luar biasa karena masih sedikit yang melakukanya. Setiap akreditasi sekolah jumlah guru yang melakukan penelitian sangat sedikit.  Penelitian yang dianjurkan untuk para guru yaitu penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja guru, terutama dalam hal pembelajaran. Jika kelima hal tadi dilaksanakan secara konsisten, maka guru yang melakukan malapraktik mengajar sangat tidak mungkin ditemukan lagi. Semoga!

(Penulis adalah kepala SMPN 6 Garut dan Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) Kab. Garut)

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...