Penulis: Ade Fathurahman
Ade Fathurahman
Oleh Ade Fathurahman
(SMAN 1 Kota Sukabumi)
Generasi yang
mengalami masa-masa sekolah dasar di Indonesia akhir 70-an sampai dengan awal
80-an adalah generasi yang hadir pada beberapa kali perubahan kurikulum.
Generasi yang secara subjektif pribadi saya sebagai genenasi yang paling
beruntung.
Bagaimana tidak,
generasi saya itulah yang mengalami mandi di sungai hingga mandi di kolam
renang hotel seperti yang dirasakan generasi sekarang.
Generasi yang mengalami pembelajaran mengetik masa keemasan mesin tik brother dan yang sezamannya, mengalami mesin tik elektronik merek IBM, mengalami masa-masa mulai dikenal computer “jngkrik” Pentium 186 berbasics DOS dengan aplikasi wordstar, Lotus 123 dan Chi Writer, hingga munculnya Windows 3.11 yang memperkenalkan berbagai aplikasi MS seperti word, exell, power point dll, bahkan sampai pada generasiAndroid sekarang. Generasi yang mengalami perubahan-perubahan aplikasi sosial media dari mulai Yahoo email Group, Friendster, Facebook, Twitter, Path, Slide share, LinkedIn, hingga Youtube dan Instagram, Reel serta Tiktok saat ini.
Sebetulnya, bukan
bidang pragmatis yang seperti itu yang akan saya sampaikan di tulisan ini,
melainkan berkah mendapatkan pengajaran dari guru-guru SD, SMP dan SMA masa
lalu yang memberikan suasana belajar yang memang tepat dilakukan pada masanya.
Sebagai contoh kasus adalah pembelajaran SD masa itu yang menekankan pada
penguasaan calistung.
Mungkin saja pada
waktu itu pembelajaran calistung yang diberikan pada generasi saya belum
memberikan insight untuk dimanfaatkan sebagai salah satu yang membekali cara berpikir
yang kontekstual. Terbukti juga, gaya hapalan seperti raraban pada masa SD dulu
hanya berfungsi sebagai jalan mendapatkan nilai, menghitung uang jajan dan
tabungan serta membantu dalam permainan masa kanak-kanak seperti halnya
permainan kelereng, monopoli, lempar gambar dan yang sejenis.
Ada beberapa
ajaran Beliau-beliau (guru-guru kami) dalam bidang berhitung semacam raraban
(perpangkatan), serta penjumlahan, pengurangan, perkalian serta pembagian
pecahan yang pada saat menjadi guru sering dijadikan bahan mempercepat dan
meyederhanakan pekerjaan siswa dalam mengerjakan soal-soal pada MP Geografi
yang saya ampu yang memerlukan penggunaan kompetensi matematika dasar.
Sebagai contoh,
selain diperkenalkan perpangkatan yang sampai kelas 6 SD yang mencapai pangkat
25, generasi saya ini, walau di Jurusan Sosial, tapi masih mendapatkan bekal
Pembelajaran Bahasa Indonesia yang saya pandang cukup, baik hal mendasar pada
Tata Bahasa, maupun pengenalan Kesusastraan Indonesia.
Matematika yang
melatih kita berpikir logis serta bahasa yang menuntun kita mengkomunikasikan
hasil berpikir logis itulah yang memang ditekankan pada generasi kami saat di
SD dahulu yang telah menjadi Insight bagi saya khususnya untuk menstimulan
siswa untuk mencintai dan merasa berkebutuhan lebih untuk memahaminya.
Tidak terlalu
menyulitkan untuk siswa-siswi dari kelompok kompetensi akademis level menengah
seperti saya sekalipun untuk memiliki keingin-tahuan dan kepenasaranan atas
permasalahan yang berbau matematis.
Dari pemebelajaran
calistung, khususnya perpangkatan itulah saya suak bermain-main dengan siswa
pada saat prolog dalam pemebelajaran. Dua hal yang sering saya gunakan
diantaranya mengenal akar dari bilangan asli yang bernilai pecahan di bawah
2,5, karena saya waktu SD hanya menghapal sampai 25 kuadrat. Alasan ini
dilakukan sebagai stimulan agar mereka yang memiliki kompetensi berpikir logis
menularkannya pada yang lain, mengingat banyak siswa Kelas 12 IPS yang
terlanjur tak suka dengan Matematika, padahal ada beberapa sub pokok bahasan
yang bernuansa matematika dasar. Di Sub-Materi Interaksi desa Kota misalnya
digunakan dalam Perhitungan Teori Titik Henti Antar Wilayah.
Sederhananya,
ketika saya melatih pencarian cepat akar 2, 3, 5, dan 6, maka saya biasa
membuat garis bilangan dari 0 s.d. 6 sebagai pembantu serta secara bersama-sama
melakukan raraban dari 112 hingga 24. Dan selanjutnya saya akan mebuat sebagian
besar dari mereka (kelompok akademis atas dan tengah) mengucapkan “Oh, iya ya.”
Tentu saja ini hanya bisa dilakukan tanpa kalkulator dengan angka pembulatan 1
atau 2 desimal, sehingga mendapatkan hasil dari akar tadi secara berurutan ~1,4, ~1,7, ~2,2, ~2,4 atau 2,45
BERSAMBUNG