MENYINGKAP MAKNA HALALBIHALAL

Penulis: A. Rusdiana

Dibaca: 181 kali

A. Rusdiana

Oleh A. Rusdiana

 

PERAYAAN IDUL FITRI, tak terlepas dengan berbagai macam tradisi yang dilakukan umat muslim di Tanah Air, salah satunya tradisi halal bihalal. Halal bihalal tradisi yang biasanya dilakukan dengan mengadakan pertemuan atau acara silaturahmi serta saling bermaaf-maafan. Tidak hanya sampai disitu, banyak makna lain yang terkandung di dalamnya: halal bi halal sudah menjadi tradisi di Indonesia. Walaupun kata halal bi halal merupakan kata dari Bahasa Arab, namun orang Arab tidak akan mengerti maknanya karena halal bi halal ini hanya ada di Indonesia dan merupakan kreasi sendiri orang Indonesia. Esensi dari makna yang terkandung dalam acra halal bihalal bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar sesama manusia. Jadi walaupun merupakan kata kreasi tersendiri dari orang Indonesia, hakikat halal bi halal adalah hakikat ajara Al-Quran.

Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah yang digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971), dantaranya:

Pertama, dari segi hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.  Masih dalam tinjauan hukum fikih.

Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, “Apakah yang dimaksud dengan istilah halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh? Secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum fikih, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, tapi dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala. Atas dasar pertimbangan terakhir ini, Prof Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah halal bihalal dengan pengertian atau tinjauan hukum. Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-sesama.

Kedua, tinjauan bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

Ketiga, tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan. Pesan yang berupaya diwujudkan Kiai Wahab Chasbullah melalui tradisi halal bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama.

Wallahu A’lam Bissowab

 

Penulis:

Ahmad Rusdiana, Lahir di Ciamis, 21 April 1961. Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Pegiat Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat. Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui:(1)http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators. (2)https://www.google.com/search?q=buku+a.rusdiana+shopee&source(3)https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...