Penulis: A. Rusdiana
A. Rusdiana
Oleh A. Rusdiana
PERAYAAN IDUL FITRI, tak terlepas dengan berbagai macam tradisi
yang dilakukan umat muslim di Tanah Air, salah satunya tradisi halal
bihalal. Halal bihalal tradisi yang biasanya dilakukan dengan mengadakan
pertemuan atau acara silaturahmi serta saling bermaaf-maafan. Tidak
hanya sampai disitu, banyak makna lain yang terkandung di dalamnya: halal bi
halal sudah menjadi tradisi di Indonesia. Walaupun kata halal bi halal
merupakan kata dari Bahasa Arab, namun orang Arab tidak akan mengerti maknanya
karena halal bi halal ini hanya ada di Indonesia dan merupakan kreasi sendiri
orang Indonesia. Esensi dari makna yang terkandung dalam acra halal bihalal
bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar sesama manusia. Jadi walaupun
merupakan kata kreasi tersendiri dari orang Indonesia, hakikat halal bi halal
adalah hakikat ajara Al-Quran.
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal
bihalal, Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk
memahami istilah yang digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971),
dantaranya:
Pertama, dari
segi hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata
haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa
mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal
bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau
yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru
tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh
pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.
Masih dalam tinjauan hukum fikih.
Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang
dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, “Apakah yang dimaksud dengan
istilah halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang
halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh? Secara terminologis,
kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum fikih,
makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Walaupun jika
dilakukan tidak mengakibatkan dosa, tapi dengan meninggalkan perbuatan itu,
pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala. Atas dasar pertimbangan terakhir
ini, Prof Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah
halal bihalal dengan pengertian atau tinjauan hukum. Sebab, pengertian
hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-sesama.
Kedua, tinjauan
bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau
halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya.
Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau
meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan
yang membelenggu.
Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari
tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang
tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku
menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling
maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
Ketiga,
tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an
menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan
sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab
mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain,
tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah
melakukan kesalahan kepadanya.
Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa
halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambung
hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat
baik secara berkelanjutan. Pesan yang berupaya diwujudkan Kiai Wahab Chasbullah
melalui tradisi halal bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu
menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk
peneguhan negara. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan,
tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan
kemaslahatan bersama.
Wallahu A’lam
Bissowab
Penulis:
Ahmad Rusdiana, Lahir di Ciamis, 21 April 1961. Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS)
sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana
Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA,
MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan
Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun
1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan
pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50
mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Pegiat Rumah Baca
Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan.
Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat. Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di
akses melalui:(1)http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators. (2)https://www.google.com/search?q=buku+a.rusdiana+shopee&source(3)https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M.