Penulis: Dr. Dudung Nurullah Koswara, M.Pd.
Angggota PGRI
Oleh Dr. Dudung
Nurullah Koswara, M.Pd.
(Dewan Pembina
PGRI)
Orang yang
memahami PGRI dengan baik hanya orang PGRI sendiri. Orang luar PGRI, atau orang
luar yang menjadi pengurus PGRI dadakan tentu tak paham juga. Biasanya pengurus
PGRI dadakan tidak tercatat di ranting sekolahan dan kecamatan.
Padahal PGRI itu
identik dengan sekolahan, ranting dan PGRI kecamatan. Masalah guru adanya di
sekolahan dan di setiap kecamatan di mana para guru berada. Masalah guru bukan
di perguruan tinggi, birokrasi pendidikan atau di tempat selain sekolah.
Salah satu ciri
pengurus PGRI yang bukan PGRI genuine adalah saat Ia tidak menjabat lagi
sebagai pengurus akan raib entah kemana. Mengapa? Karena saat Ia sudah bukan
pengurus lagi, Ia tidak tercatat di ranting dan cabang, karena sebelumnya pun
entah dari mana?
PGRI genuine
adalah para guru yang ada di ranting sekolahan dan di PGRI kecamatan. Bila
mereka tidak jadi pengurus, mereka tetap tercatat di ranting sekolahan dan
masih bekerja sebagai guru. Tidak sedikit pengurus PGRI saat sudah bukan
pengurus raib entah kemana?
Saat mereka sudah
bukan pengurus PGRI entah mengurus apa? Mungkin kembali pada urusan masa
lalunya yang bukan mengurus guru. Sungguh sangat disayangkan bila masih ada
pengurus PGRI yang belum pernah menjadi guru SD/SMP/SMA sederajat. Ini akan
sangat disayangkan.
Orang yang belum
pernah menjadi guru SD/SMP/SMA sederajat hanya cocok menjadi anggota
kehormatan, dewan pakar, dewan pembina karena kepentingan struktur organisasi,
bukan pengurus. Bila pengurus PGRI tidak punya pengalaman menjadi guru
SD/SMP/SMA sederajat, rasa gurunya dari mana?
Mengapa sampai
saat ini belum ada satu pun organisasi profesi guru yang benar-benar diakui
pemerintah sebagai organisasi murni guru? Jawabannya karena AD/ART yang ada di
semua organisasi profesi guru diduga masih belum memenuhi spirit UURI No. 14
Tahun 2005.
Ada sejumlah
organisasi profesional yang cukup baik. Misal AKSI, semua anggotanya adalah
kepala sekolah, APSI semua anggotanya adalah pengawas sekolah, ADI semua
anggotanya adalah dosen. Di AKSI, APSI, ADI tidak ada satu pun guru SD/SMP/SMA
sederajat.
Ada pula yang unik
di tubuh PGRI. Tidak ada satu pun dosen atau profesor yang mengurus PGRI
ranting atau kecamatan. Namun mulai dari PGRI Provinsi sampai PB PGRI dosen dan
profesor seolah “berebut”. Mengapa kalau di ranting dan kecamatan tidak ada?
Bisa jadi karena
di ranting dan kecamatan mana pun tidak ada dosen atau profesor menjadi anggota
pembayar iuran. Apakah mereka cabutan atau mendadak dangdut? Bisa jadi
demikian. Ini harus menjadi kritik internal bagi semua pengurus PGRI. Dosen
ngurus PGRI di puncak tapi di bawah tidak ada?
Dalam UURI No. 14
Tahun 2005 tidak ada istilah “Undang-undang Guru atau Dosen” yang ada adalah
“Undang-undang Guru dan Dosen”. Dan artinya bukan atau, atau dan dan memiliki
arti yang berbeda. Ibarat TNI dan Polisi, tidak sama. Bukan TNI atau Polisi.
PGRI saatnya mulai
waras berbenah, mulai dari dalam. Utamakan proporsi guru dalam struktur
organisasi. Bagi yang tidak pernah menjadi guru dan bukan guru jadi anggota
kehormatan saja, jangan jadi pemimpin guru karena bukan guru. Merdeka Onprof
adalah sebuah keniscayaan.
Selama non guru,
yang tidak pernah menjadi guru SD/SMP/SMA masih mendominasi PGRI, selama itu
pula PGRI akan jauh dari ruh guru. PGRI itu ruhnya guru. PGRI nyawanya Guru.
Guru adalah angota, pembayar iuran dan ada di semua sekolahan.
PGRI tanpa
pengurus guru aktif, mantan guru SD/SMP/SMA maka PGRI bagaikan raga tanpa ruh.
Orang luar akan memandang PGRI sebagai “organisasi yang aneh”, anggota waras
akan kebingungan dan bisa jadi berpikir alternatif masuk di organisasi lain
yang lebih rasional. Bisa jadi demikian!