Penulis Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana
Oleh Ahmad Rusdiana
Tak tersa dua hari sudah kita
lalui, sejak ditetapkannya sidang isbat penentuan awal Ramadan 1444 H., oleh
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) Kemenag
pada Rabu, 22 Maret 2023. Bulan
Ramadhan, bulan yang istimewa, karena di dalamnya Allah mewajibkan kita
berpuasa sembari menurunkan rahmat, maghfirah dan itqun minannar.
Keistimewaan tersebut tidak terdapat di bulan selain Ramadhan, sehingga kita
harus menyiapkan diri, baik lahir maupun bathin kita untuk mendapatkan
keistimewaan tersebut. Oleh karena itu kita perlu memahami apa yang menjadi
tujuan disyariatkannya bulan Ramadhan dan bagaimana seharusnya kita
memperlakukan bulan Ramadhan. Ayat yang menjadi dasar pelaksanaan puasa
ramadhan adalah surat Albaqarah 183:
Artinya: “Hai orang
orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS.Al-baqarah [2]:183)
Ayat ini menjelaskan hukum serta alasan mengapa Allah mensyariatkan ibadah
puasa Ramadahan. Hukum puasa Ramadhan adalah wajib, sebagaimana ditunjukkan
dengan lafaz kutiba. Kewajiban berpuasa ini berlaku bagi mereka
yang sudah menjadi mukallaf, yaitu yang memenuhi kriteria baligh dan berakal.
Oleh karena itu anak kecil dan orang gila tidak wajib berpuasa.
Ibadah puasa adalah ibadah universal, hal ini ditunjukkan dalam kalimat kama
kutiba alalladzina min qablikum, bahwa puasa sudah dipraktikkan oleh umat
umat terdahulu. Universalitas ibadah puasa menunjukkan bahwa ibadah ini
memiliki kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tidak hanya umat Islam. Disisi lain universalitas puasa juga bisa
dimaknai bahwa ibadah ini sangat manusiawi, ditentukan berdasarkan kekuatan
manusia. Namun demikian, Allah tetap memberikan keringanan atau rukhsah bagi
mereka yang berada dalam kondisi tertentu yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
ibadah puasa. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikutnya (Al-Baqarah
184):
Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu
sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti)
sebanyak hari (yang ditinggalkan) pada hari hari yang lain. Dan bagi orang yang
berat menjalankannya wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih
baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS.Al-baqarah
[2]:183)
Ibadah puasa berdasarkan lafaznya memiliki dua makna, yaitu makna lahir
dan makna bathin. Makna lahirnya ditunjukkan dengan kata shiyam, yang
berarti menahan diri secara lahiriyah, yaitu menahan diri dari sesuatu yang
dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan hubungan seksual dari fajar
hingga terbenamnya matahari. Sementara makna bathinnya ditunjukkan dengan kata shaum,
yang artinya diam atau ashshumtu, menahan diri dari berkata yang tidak
pantas. Menurut Syaikh Abdul Qadir Jaelani puasa yang kita lakukan haruslah mampu
mengharmonikan kondisi lahir dan bathin, dengan mengosongkan perut dari
makanan dan minuman, mengosongkan syahwat dan lisan dari hal hal yang tercela,
serta mengosongkan hati dari selain Allah.
Untuk mencapai tujuan ibadah puasa, diperlukan tahapan tahapan sebagai
berikut:
Pertama, puasa
harus mampu mengendalikan tiga dasar kebutuhan hidup, yaitu makan, minum dan
hubungan seksual. Selama berpuasa kebutuhan tersebut tetap dapat dipenuhi namun
harus dikendalikan. Ketidakmampuan mengendalikan tiga kebutuhan tersebut akan
menjerumuskan manusia pada sifat kebinatangan sekaligus menjadi penutup jalan
menuju Allah. Nafsu perut dan nafsu kemaluan merupakan tahapan pengendalian
yang paling dasar dari puasa, dan jika kita mampu mengendalikannya maka kita
akan mendapatkan kesehatan, sebagaimana sabda Nabi, shumuu tasihhuu.
Kedua,
puasa harus mampu mengendalikan atau menjaga panca indera kita, terutama lisan.
Menurut Al Ghazali lisan merupakan anggota tubuh terbaik dan mulia setelah
hati, namun lisan juga menyimpan marabahaya yang sangat besar. Nabi saw
mengingatkan dalam sabdanya: “tidak akan lurus keimanan seorang hamba
sehingga lurus pula hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sehingga lurus pula
lidahnya. Seorang hamba tidak akan masuk surga selagi tetangganya belum aman
dari kejahatan lidahnya (muttafaq
alaih)”.
Ketiga, berpuasa
harus ikhlas, yaitu menikmati bagaimana rasanya lapar dan dahaga juga menikmati
untuk diam (menjaga lisan) dan tegar. Ibadah puasa memang berdampak pada
kelelahan fisik, menghindari seks yang halal, terasa berat untuk bersikap diam
dan berbicara yang tidak perlu. Namun kita harus bisa menikmati semua kondisi
tersebut dan tidak berharap apapun kecuali ridha Allah. Inilah yang dimaksud
berpuasa dengan ikhlas.
Keempat, puasa
harus mampu menjadi sarana memelihara hati untuk tidak tertarik pada kesenangan
dunia, dan tidak mengisi hati kecuali hanya Allah. Inilah tahapan tertinggi
dalam berpuasa. Pencapaian tahapan inilah yang mengantarkan seorang hamba pada
derajat muttaqin. Orang yang berpuasa akan menyibukkan dirinya untuk
sebanyak banyaknya mendapatkan rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka.
Oleh karena itu dia akan memaksimalkan bulan ramadhan untuk memperbanyak ibadah
dan amal salih dan mengurangi kesibukan dunia. Allah menjadi tujuan dari setiap
perbuatan lahir batinnya. Nafsu duniawi harus kita kendalikan agar kita mampu
mencapai derajat kemuliaan sebagai orang yang bertaqwa.
Tujuan diwajibkannya puasa adalah untuk mencapai derajat ketaqwaan,
sebagaimana disebutkan di akhir ayat, la’allakum tattaquun. Taqwa
adalah tingkatan tertinggi dalam beragama, sehingga mereka yang dapat mencapai
derajat ini mendapatkan kemuliaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan
inilah yang seharusnya dijadikan petunjuk arah kemana ibadah puasa Ramadhan
kita arahkan, sekaligus juga menjadi standar apakah puasa kita berhasil
mencapai tujuan ataukah tidak.
Penulis:
Ahmad Rusdiana, Founder tresnabhakti.org, pegiat Rumah
Baca Tresna Bhakti, Pengampu mata kuliah manajemen pendidikan; Penulis buku: Risalah
Ramadhan, Kepemimpinan Pendidikan; Kebijakan Pendidikan; Etika Komunikasi
Organisasi; Manajemen Risiko, Kewirausahaan Teori dan Praktek; Manajemen
Kewirausahaan Pendidikan dll. (tidak kurang dari 50 buku& 30 Jurnal). Guru
Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pendidik, Peneliti,
dan Pengabdi; Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al Misbah
Cipadung Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak
tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan
Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan
sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan
asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 70 mahasiswa di Asrama
Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) TK TPA Paket A B C. Rumah Baca Tresna Bhakti sejak tahun 2007
di Desa Cinyasag Kecamatan Panawangan
Kab. Ciamis Jawa Barat. Korespondensi :(1) http://a.rusdiana.id (2)
http://tresnabhakti.org/webprofil; (3)
http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators (4)
https://www.google.com/search?q=buku+ a.rusdiana +shopee&source (5)
https://play.google.com/store/books/author?id.