Penulis: Ade Fathurahman
Peserta didik
Oleh Ade Fathurahman
(SMAN 1 Kota Sukabumi)
Tulisan ini merupakan kelanjutan tulisan saya sebelumnya
tentang kebersyukuran kita sebagai sekelompok manusia yang dianugrahi iklim tropis
(http://http://beritadisdik.com/news/kaji/bersyukur-masih-diberi-waktu-dan-bertemu-matahari).
Penajaman melalui interelasi (keterkaitan) antar fenomena di permukaan bumi,
baik fisik (alamiah), maupun yang sosial (aktifitas manusia).
Setelah sebelumnya disampaikan bahwa secara
Geografi bahwa Perang dunia Ke-2 antara Sekutu yang dikomandani Amerika Serikat
melawan Jepang, selain dilandasi oleh letak strategis beberapa wilayah dunia,
seperti halnya Kepulauan Hawai. Saya melihat ada hal lain tentang Kepulauan
Hawai yang memang berada di tengah Samudera Pasifik, yakni Kepulauan yang
berada di Iklim Tropis. Saya melihat ada perebutan energi Matahari dalam
peperangan ini. energi yang diartikan sebagai tenaga yang tidak sebatas tenaga
alternatif pengganti BBM atau listrik yang dikenal sekarang, melainkan
sebagai bahan energi bagi kehidupan manusia, khususnya kesehatan.
Hal yang mendasari prediksi diatas adalah fakta
bahwa sebagian besar dari Wilayah Amerika Serikat berada dalam satu
daratan, Disamping itu, sebagian lagi yang berbatasan dengan Kanada berada di
iklim Sedang Utara. Fakta yang lain adalah Wilayah Jepang yang, walaupun
merupakan Gugusan Pulau-pulau, tetapi nyaris seluruhnya terletak di wilayah
Iklim Sedang Utara. Iklim sedang yang menjadikan manusia-manusianya secara
determinis beradaptasi dengan cuaca ekstrim musim dingin selam 3 bulan yang
nyaris tanpa matahari.
Fakta-fakta geografis diatas menjadikan
kepentingan akan Kepulauan Hawai menjadi sangat penting, dimana peperangan yang
sebelumnya didasari faham kemanusiaan memerangi idiologi fasisme Jepang bisa
jadi menjadi kepentingan yang tercampuri oleh kepentingan yang lain, sebut saja
Kepemilikan atas Kepulauan Hawai yang identik dengan rayuan eksotisnya iklim
tropis yang kaya sinar matahari. Menjadi semakin relevan, jika Jepang
habis-habisan melawan Sekutu (beberapa negara Eropa dengan Komandannya Amerika
Serikat) memilih Simbol dalam Benderanya dengan Simbol Matahari sesuai dengan
Ajaran Shinto-nya. Setidaknya kita mengenal bebrapa kisah heroik tentara jepang
yang mempertontonkan budaya Harakiri dan kamikaze yang menakutkan bagi pihak
sekutu.
Sepertinya Perang dunia II tak akan pernah
berakhir tanpa tragedi kemanusian BOM Hiroshima dan Nagasaki 1945. Suatu
Prristiwa kemanusiaan yang telah memporak-porandakan patriotisme tentara Jepang
di berbagai negara Asia yang didudukinya, Akhir peperangan inilah yang kemudian
mempersembahkan pada dunia jumlah negara serikat Amerika menjadi 50. Dimana
Amerika Serikat sekarang inimmemiliki 48 Negara bagian dalam satu kesatuan wilayah
dan 1 negara bagian lain terpisah oleh Kanada (Alaska) serta Kepulauan Hawai
yang terletak nun jauh di tengah-tengah Samudera Pasifik.
Lalu apa yang bisa dipetik dari naarasi diatas,
diantaranya adalah kepentingan manusia dibumi akan sinar matahari tak
terbantahkan, bahkan menelikung pada pertarungan politik yang semulanya
berkutat pada masalah ekspansi idiologi. Yang kita tahu sekarang adalah para
turis musim dingin Iklim Sedang Belahan Bumi Utara asal Amerika Serikat
mendapatkan kemudahan berkunjung menemui Sinar Matahari Tropis yang kaya
Vitamin D di Kepulauan Hawai tanpa visa kunjungan wisata selama bertahun-tahun
Pasca PD II, karena serasa mengunjungi bagian dari negaranya sendiri.
Sangat ironis, jika fakta diatas dihubungkan
dengan keadaan sebagian masyarakat tropis seperti kita yang tidak begitu
memperhatikan betapa pentingnya matahari. Sebagian masyarakat kita yang tak
pernah merenung (berkontemplasi) bersyukur dengan keberadaan matahari yang
senantiasa bersinar sepanjang tahun. Vitamin D yang senantiasa dihasilkan
matahari serta kemudahan mendapatkannya yang terabaikan sebagian masyarakat
kita.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, budaya
berjemur pada pagi hari di luar rumah yang diturun-temurunkan para leluhur
kita, khususnya yang petani sepertinya juga bersadarkan pada pengalaman
hidup mereka atas manfaat yang didapatkan dari sinar matahari pagi. Tentu saja
ini berbeda dengan kebiasaan para nenek moyang kita yang pelaut, karena harus
pergi pada malam hari dan pulang pada dini hari bekerja sepanjang malam).
Jika membandingkan dari dua kebiasaan leluhur/nenek
moyang kita itu sepertinya saya yakin bahwa kegiatan nelayan yang bekerja pada
malam hari dengan mempergunakan angin darat pada pemberangkatan dan menggunakan
angin laut pada saat pulang dari bekerja di laut semalaman hanya merupakan
sebuah tuntutan kondisi alam. Jiak pun seandainya dahulu sudah diketemukan
motor untuk perahu nelayan, sepertinya mereka akan memilih jadwal kerja normal
seperti petani (terlalu bergantung pada perubahan arah angin).
Pada Proses KBM saya senantiasa mengingatkan
kepada para siswa dan khususnya diri sendiri tentang betapa pentingnya prepare
(persiapan) dalam berbagaikegiatan yang kita jalani. Jika pun kita menjadi yang
seseorang yang melaksanakan akselerasi, minimal kita bisa menjalankan kewajiban
sedikit diatas rata-rata minimum yang ditargetkan, Berkenaan dengan pola
aktifitas KBM didominasi pada waktu siang hari, maka sudah sewajarnya persiapan
KBM di siang hari itu harus dilakukan sejak semalam sebelumnya.
Mengacu pada targetan dari capaian kegiatan KBM
pada siang hari di hari berikutnya, maka saya menegaskan bahwa keberhasilan
atas kegiatan esok hari itu sangat bergantung pada persiapan yang dilakukan
pada malam hari sebelumnya. Kecukupan tidur yang merupakan kebutuhan mendasar
manusia normal, sudah selayaknya harus dilakukan dengan perjuangan sepenuh
hati. Tentu saja "BUDAYA BEGADANG" yang saat ini sudah menjadi
karakteristik yang mengglobal di kalangan pelajar masa kini harus dihindari.
Rasionalisasi atas hal tersebut sangat sederhana, bila kita menyadari kebutuhan
organ tubuh kita sebagai manusia untuk mendapatka istirahat yang cukup pada
waktu yang tepat.
Berbagai kearifan budaya, maupun pengajaran
keagamaan memberikan sinyal kepada kita betapa uadara malam kurang
bersahabat terhadap tubuh manusia.Maka, sudah barang tentu segala kegiatan yang
tidak terlalu penting pada malam hari harus dihindari. Kendali diri terhadap
hasrat untuk begadang harus dihindari. Sebaliknya, kesiapan diri menyambut pagi
hari yang penuh dengan energi matahari yang dianugrahkan Tuhan atas Wilayah
Tropis harus tanpa gangguan budaya begadang.
Pada saat ini sepertinya begadang sudah menjadi
hal yang membudaya dikalangan pelajar, mungkin salah satunya, karena waktu
luang yang mereka miliki diluar kesibukan KBM dan Ekskur dimulai selepas
terbenam matahari hingga dini hari. Tawaran untuk “refreshing by playing a
game” semisal PG dan ML lebih menjanjikan dilakukan pada saat yang bertabrakan
dengan waktu kebersamaan dengan keluarga dan waktu istirahat (termasuk tidur).
Jika di interelasikan secara berantai, maka bisa
saja budaya begadang dikalangan pelajar menjadi salah satu yang mengkontribusi
ketidaksiapan mereka di dalam melaksanakan KBM
secara optimal. Selanjutnya ketidak-siapan para pelajar untuk
melaksanakan KBM secara optimal dapat diduga berkontribusi secara signifikan
pada hasil belajar yang tidak sesuai dengaan capaian pembelajaran sesuai
yang direncanakan. Pada kajian sintesis yang lebih jauh, bisa saja menjadi
penyebab utama rendahnya mutu lulusan di akhir pembalajaran, baik dalam
cakupan waktu tahun pelajaran, fase ataupun dalam satu jenjang satuan
pendidikan (sekolah mengah atas.)
BERSAMBUNG