Penulis: Tatang Sunendar
Tatang Sunendar
Oleh Tatang Sunendar
(Widyaiswara
PPPPTK IPA/Anggota KACI)
Salah satu hasil
evaluasi kurikulum 2013 menyatakan bahwa kurikulum yang dirumuskan secara
nasional sulit disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan satuan pendidikan,
daerah, dan peserta didik, karena materi wajib yang sudah sangat padat dan
struktur yang detil dan mengunci. Oleh karena itu pada penerapan kurikulum
prototipe Kementerian Pendidikan mengeluarkan kebijakan empat alternatif tahapan
di antaranya tahapan berikut 1) Kompleksitas sederhana dilakukan dengan
mengikuti contoh yang telah disediakan. 2) Kompleksitas dasar dilakukan dengan
memodivikasi contoh yang disedikan. 3) Kompleksitas sedang yang melakukan
pengembangan sesi dengan konteks satuan pendidikan
dengan pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara terbatas. 4) Kompleksitas
tinggi dilakukan dengan pengembangan sesuai konteks satuan pendidikan dengan
pelibatan warga sekolah secara luas.
Walaupun terdapat empat
tahapan yang ditawarkan sudah barang tentu sekolah tidak serta merta mengambil tahapan
yang paling sederhana namun didorong untuk mampu menerapkan tahapan
kompleksitas tinggi, karena pada tahapan ini sekolah bisa berkolaborasi dengan
berbagai elemen, serta hasil pengembanngan bisa menggambarkan situasi, kondisi
sekolah melalui pemanfaatan potensi-potensi lokal yang bisa dioptimalkan untuk
berkontribusi.
Di era disrupsi
seperti saat ini lembaga atau organisasi dalam pengembangan suatu program tidak
bisa dilakukan secara sendiri namun harus dilakukan secara kolaborasi dengan
mitra-mitra yang bisa dimintakan untuk urun rembuk dalam merumuskan program. Untuk
hal itu dibutuhkan suatu strategi yang mampu mengoptimalkan setiap komponen dalam
merumuskan suatu program dan pilihannya adalah konsep pentahelix.
Konsep pentahelix atau multipihak merupakan suatu strategi kerja sama dalam suatu program yang melibatkan berbagai unsur yang terdiri dari pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media bersatu padu berkoordinasi serta berkomitmen untuk mengembangkan sebuah inovasi. Strategi ini diasumsikan cocok untuk mengembangkan kurikulum prototipe karena Kementerian Pendidikan dalam pengembangan kurikulum prototipe hanya menyusun panduan dan capaian pembelajaran selebihnya diserahkan ke satuan pendidikan untuk merancang kurikulum operasional sekolah nya.
Komponen pentahelix dapat digambarkan sebagai berikut:
Adapun peran dari
komponen tersebut antara lain berikut ini:
Pertama Pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud telah
merumuskan kurikulum dengan 1) merancang pengembangan murid secara holistik
yang mencakup kecakapan akademis dan non-akademis, kompetensi kognitif, sosial,
emosional, dan spiritual. 2) Berbasis kompetensi, bukan konten: kurikulum
dirancang berdasarkan kompetensi yang ingin dikembangkan, bukan berdasarkan
konten atau materi tertentu. 3). Kontekstualisasi dan personalisasi. 4) Kurikulum
dirancang sesuai konteks (budaya, misi sekolah, lingkungan lokal) dan kebutuhan
murid. Dari rancangan tersebut maka sekolah harus mampu menerjemahkan ke dalam
program sekolah yang lebih implementatif sehingga bisa dirasakan manfaatnya
oleh siswa, orang tua maupun masyarakat, selain kementerian yang dimaksud
pemerintah juga penting diperhatikan kebijakan
pendidikan dari pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dengan direpresntasikan
melalui dinas pendidikan masing-masing.
Kedua Akemidisi. Yang dimaksud dengan akademisi bukan
berarti sekolah harus melibatkan unsur perguruan tinggi namun melibatkan orang
yang memahami konten dan konteks pengembangan kukrikulum. Oleh karena itu
pengawas sekolah atau pelatih ahli terlibat dengan melakukaan intervensi dalam
pengembangan sumber daya manusia, rumusan struktur kurikulum, projek pelajar Pancasila
maupun teknis perencanaan berbasis data, sekolah bisa memanfaatkan kompenen ini
untuk kurikulum protoptipe.
Ketiga Komunitas. Untuk komponen komunitas
nampaknya tidak jauh berbeda dengan komite sekolah, namun bisa saja sekolah
melibatkan komunitas-komunitas lainnya yang bergerak dalam bidang pendidikan seperti
organisasi guru, organisasi profesi lainnnya. Masukan dari komunitas penting
diperhatikan karena akan membawa pesan dan harapan dari masyarakat terkait
dengan kebijakan kurikulum yang dirumuskan oleh satuan pendidikan.
Keempat dunia usaha. Salah satu karakteristik dari
kurkulum prototipe adalah pengembangan projek profil pelajaran Pancasila yang salah
satu komponennya adalah kewirausahaan. Agar program ini berjalan dengan baik
dan implementatif maka keterlibatan unsur bisnis akan memberi masukan-masukan
dan wahana untuk pengembangan kurikulum. Kesempatan berinteraksi dengan
lingkungan dunia kerja dan terlibat langsung di dalamnya dapat membangun sikap
kerja siswa siswi ini lebih percaya diri karena dapat memahami apa yang
dipahaminya dan pengetahuannya bisa diterima oleh masyarakat.
Kelima Media. Pemanfaatan media dalam pengembangan
kurikulum prototipe merupakan suatu keniscayaan karena dengan bantuan media, masyarakat
akan mengetahui segala aktivitas yang dilaksanakaan oleh sekolah mulai dari
perencanaan, proses maupun produk yang dihasilkan oleh sekolah. Dengan
terinformasikannya kegiatan sekolah oleh media akan menambah kepercayaan
masyarakat terhadap sekolah. Terkait dengan media jangan dibayangkan koran
maupun stasiun televisi yang sudah mapan, namun bisa juga digunakan media
sosial seperti IG, Fecebook, media online, youtube dengan konten yang bisa
dirancang oleh satuan pendidikan.
Strategi pentahelix
selaras dengan konsep merdeka belajar yang memberikan otonomi kepada sekolah
untuk mengatur sekolahnya secara mandiri dan memilih dengan siapa berkolaborasi.
Kemandirian tersebut sebenarnya merupakan tanggung jawab yang diberikan kepada sekolah
khususnya kepada kepala sekolah agar dapat membawa kemajuan sekolah yang
dipimpinnya. Dengan menggunakan strategi pentahelik ini sekolah akan lebih
optimal dalam melakukan pengembangan kurikulum prototipe karena:
a. Sekolah lebih
mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga
sekolah tersebut dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia
untuk menjalankan sekolah.
b. Sekolah lebih
mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan fungsi
perkembangan dan kebutuhan anak didik.
c. Pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi
sekolahnya.
d. Penggunaan
sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh
masyarakat setempat dan dipublikasikan melaui media.
e. Keterlibatan
semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah
menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
f. Sekolah dapat
bertanggung jawab tentang masalah pendidikan masing-masing pada pemerintah,
orang tua siswa, dan masyarakat pada umumnya. Sehingga sekolah berupaya
semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang
telah direncanakan.
g. Sekolah dapat
melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan
mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua, siswa,
masyarakat dan pemerintah daerah dan media.
h. Sekolah dapat
secara cepat merespons aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah cepat.
Dengan beberapa
alasan tentang penggunaan strategi pentahelx tersebut, merupakan suatu peluang
bagi kepala sekolah apalagi yang mempunyai mental driver dalam pengembangan
kurikulum prototipe. Rumusan kurikulum yang dibuat bisa dipertanggungjawabkan
sebagi karya kolaboratif, begitu juga dalam pelaksanaannya akan menumbuhkan
sikap memiliki dan menjaga sebagai model manajemen yang memberikan keleluasaan
dan kebebasan kepada sekolah pengambilan
keputusan secara musyawarah mufakat antarsemua pihak sekolah meliputi kepala
sekolah, para guru, wali murid sebagai upaya meningkatkan mutu sekolah yang
berpedoman pada kebijakan pendidikan nasional serta mengacu pada potensi
keunggulan lokal dan aspriasi masyaratakat.
Kurikulum
prototipe menawarkan fokus pada kompetensi materi yang lebih esensial. Guru
tidak hanya cenderung berfokus pada
ketercapaian materi kurikulum, tapi harus memperhitungkan kemampuan siswa untuk
memahami pelajaran tersebut. Oleh karena itu, penyederhanaan konten perlu
dilakukan agar pembelajaran dapat lebih mendalam (deep learning) dan lebih bermakna (meaningful learning)…. Semoga.