WASPADA!!! KIAT JITU MENGHINDARI SINDROM “HOME SERVICE” PADA ANAK ERA COVID 19

Penulis: Medina Siti Almunawaroh, M.Pd.

Dibaca: 837 kali

Medina Siti Almunawaroh, M.Pd.

Oleh Medina Siti Almunawaroh, M.Pd.

(Kepala SMAN 18 Kota Bekasi)


(Sumber gambar: Kompasiana)

Berawal dari situasi pagi hari di rumah bu Delima, menarik untuk disimak:

“Bunda!! Di mana seragam ku? Sarapannya udah siap belum? Ini hari Senin, aku takut telat masuk kelas virtual di sekolah ada literasi pagi lewat zoom, bunda.” Teriak seorang remaja belia sebut saja Edelweis kepada ibunya.

“Bisa gak sih kaka, kamu siapkan keperluanmu sendiri! Kamu sudah besar! Sudah kelas 1 SMA, sudah gak pantes dilayanin terus,” teriak bu Delima tak kalah sengitnya, seraya menjelaskan Bunda sedang ngurus ade mu yang kelas 1 SD. Masih harus mantau wa (Whats up group) kelas ade mu, Nak. Tugas PR sekolahnya juga banyak dan minggu ini harus disetorkan ke gurunya. Bunda sendiri harus bekerja pagi dari rumah ada meeting via Google meet.

“Duh kok malah susah dan semakin sulit ya BDR (Belajar dari Rumah), WFH (Work From Home), bisa naik ini tensi para moms dan bunda-bunda kalau begini. Aduh anak sekarang ya, kok gak bisa dewasa dan mandiri.” Gerutu Bu Delima.

“Celana dan baju olahraga ku di mana ma,” teriak Rangga sambil memainkan game favorit di smart phonenya.

“Tugas projek dari guru olahraga ku, bikin video di luar rumah. Maskernya di mana? Sepatu Rangga sudah dicuci belum? Tasku juga udah rusak nih ma, kaos kaki juga kotor dan bau!”

“Kenapa Bibi Inah pulang kampungnya lama? Apa harus isolasi mandiri takut kena covid lho, ma! Bisa gak dia ditelpon suruh cepet-cepet balik? Sarapan aku belum dibuatain juga? Kita repot nih kalo gak ada pembantu.” lain lagi ini cerita dari rumah Rangga.

Ini akibat kamu gak mau dengerin omongan Mama!” Sungut bu Tedjo kepada putranya. “Jangan main Hp melulu sampai larut malem. Nanti kamu telat bangun gak bisa masuk GCR (Gooogle Class Room). Mama malu nanti ditelpon Guru BK.”

Mana ini? Mana itu? Ambilin ini, ambilin itu, carikan anu, belikan itu, kalimat perintah seperti itu mungkin sudah umum keluar dari mulut para remaja belia. Mungkin bukan hanya Edelweis dan Rangga, banyak remaja serupa yang dikeluhkan oleh para orang tua seperti ibu Delima dan Mama Rangga. Banyak orang tua mengeluhkan sikap dan perilaku putra/putrinya. Mereka sudah usia remaja berseragam abu-abu, tapi belum bersikap dewasa dan mandiri karena terbiasa dilayani oleh orang lain.

Edelweis dan Rangga mungkin bukan hanya mereka tapi hampir semua remaja SMP dan SMA sekarang mengalami gejala yang sama, secara fisik badannya sudah besar, tetapi  minta dilayani dan belum mampu mandiri. Situasi ini diperburuk dengan kondisi era new normal, di mana kita semua dipaksa untuk berubah secara cepat dari kebiasaan kehidupan yang normal menuju yang serba virtual. Banyak dari  keluaraga kita tidak siap bertransformasi dan beradaptasi dengan situasi yang tidak menentu ini. 

Kini, ada istilah generasi home service. Apa artinya generasi home service? Demikian istilah untuk mereka. Generasi home service adalah generasi yang selalu minta dilayani. Dalam istilah Alquran, mereka termasuk “dzurriyatan dhi’afa” (generasi lemah). Lemah dalam kemandirian, lemah dalam menghadapi tantangan kehidupan. Keadaan ini bisa menyebabkan generasi muda yang tidak produktif, jika dibiarkan akan muncul suatu kondisi yang disebut sindrom home service dan ini akan menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia generasi muda Indonesia.

Apa saja penyebab dan bagaimana agar anak remaja  terhindar dari “Sindrom Home Service”?

Penyebab Anak Jadi Generasi Home Service

Mengapa anak menjadi generasi home service? Setidaknya ada delapan sebab secara umum, sebagai berikut:

1.         Pola asuh oleh asisten rumah tangga

Sejak kecil dilayani, apalagi oleh pembantu, bisa membuat anak terpola untuk selalu minta dilayani. Ke mana-mana diikuti baby sitter. Di zaman sekarang, kadang ada anak-anak yang ke mana-mana diikuti baby sitter. Ketika ada sesuatu, dengan cekatan baby sitter melakukan aksinya. Beberapa kali pemandangan ini bisa kita lihat di plaza dan mal.

Seharusnya, anak bisa mulai bermain sendiri bersama teman. Kadang berselisih, kadang ada yang menangis, tidak masalah. Itu melatih kemandirian dan emosi mereka. Orangtua tidak perlu turun tangan yang justru bisa menghambat kemandirian anak dan membuat anak tergantung. Bahkan bisa timbul pertengkaran antartetangga jika orangtua turun tangan.

2.         Selalu terpenuhinya keperluan tanpa dilatih berusaha sendiri

Jika keperluan anak selalu dipenuhi tanpa dilatih berusaha sendiri, anak bisa tumbuh menjadi generasi home service. Anak mau mainan, diambilkan. Anak mencari kaos kaki, dicarikan. Anak habis makan, orangtua yang merapikan. Sangat jarang sekarang, menyaksikan orang tua berinteraksi bersama dengan anak pada kegiatan cooking project di dapur, ataupun membantu menyapu halaman dan merawat tanaman (gardening projek).

3.         Gaya Hidup Instan dan Pola Asuh Praktis

Adanya pola asuh sebagian pasangan orang tua muda, misal terlalu lama pakai popok bayi dan disuapi. Umumnya, bagi orangtua yang ingin praktis dan tidak mau repot, mereka memilih anak-anaknya pakai popok bayi saja.

“Daripada nanti ngompol, repot membersihkan lantai dan cucian menumpuk,” demikian pertimbangannya. Karena tak ingin anaknya lapar, anak disuapi. Jika terbawa sampai besar, ini akan berbahaya. Apalagi anak minta disuapi sambil mainan gadget. Faktanya, ada anak usia SD masih disuapi kalau makan. Tidak heran kebanyakan remaja sekarang juga paling senang dengan Go Food. Ingin makan apa? Tinggal klik di aplikasi. Generasi ini seperti tidak tertantang.

4.         Kurang dilatihnya kemandirian

Kurang dilatihnya kemandirian yaitu terbiasa dicarikan sesuatu tanpa diberikan kesempatan berusaha mencari sendiri. Misalnya usia tiga tahun “Ma, mana mainanku yang kemarin?” Saat usia SD “Ma, ambilkan tas ku”. Saat usia SMP “Ma, mana buku pelajaranku?” Kalau selalu dicarikan tanpa ia berusaha mencari sendiri, wajar jika  sampai dewasa pun akan terbiasa begitu. Menjadi generasi home service.

5.         Terbiasa dibantu

Pakai baju dibantu, pakai sepatu dibantu, mengancingkan baju dibantu. Makan disediakan. Terus begitu. Akhirnya ia selalu membutuhkan bantuan dan sulit mandiri.

6.         Terlalu banyak main gadget yang serba instan

Dengan google, anak bisa mencari apa pun secara cepat. Di playstore, anak bisa mendapatkan aplikasi apa pun yang diinginkannya secara instan. Apalagi jika ia selalu main game, otaknya bisa terpola untuk mengharap sesuatu secara instan tanpa proses yang semestinya. Ayah Bunda harus menyadari banyak hasil penelitian menunjukan dampak negatif Smartphone, Gadget atau Gawai terhadap perkembangan psikologis anak. Jadi, mulailah jadi orang tua yang smart user dan bijak. Jangan sampai kita sebagai orang tua turut menyumbangkan peran  membentuk generasi instan.

7.         Keinginan selalu dipenuhi orangtua

Saya sering mendapati anak-anak SD bahkan TK sudah punya smartphone sendiri. Ini salah satu indikasi keinginan anak yang selalu dipenuhi orangtua dan itu berbahaya. Dealer resmi iPhone dan iPad hanya mau menjual gadget itu pada usia minimal 17 tahun. Ayah bunda jangan bangga jika bisa memfasilitasi anak dengan gadget canggih dan mahal. Bimbinglah agar anak bisa memanfaatkan fasilitas yang diberikan untuk kemajuan perkembangan prestasinya.

Kunci Agar Anak Tidak Menjadi Generasi Home Service

Berikut kiat dan cara ampuh yang bisa ditempuh oleh orang tua agar terhindar dari sindrom Home Service. Ada delapan kunci agar anak tidak menjadi generasi home service. Yuk kita bahas dan kita amalkan.

1.         Melatih Kemandirian Anak Sejak Dini

Melatih anak  dengan metode toilet training, yaitu membimbing dan melatih anak untuk dapat mandi sendiri, pakai baju sendiri dan pakai sepatu sendiri akan membuat anak lebih mandiri. Toilet training bisa dilakukan pada usia 2-3 tahun. Anak dibiasakan untuk buang air kecil secara teratur di kamar mandi. Kegiatan ini tentunya perlu pendampingan dari orang tua agar tidak membahayakan anak.

2.         Melatih Rasa Tanggung jawab Anak

Sejak dini, tanamkan dan tumbuhkan rasa tanggung jawab kepada anak. Misal pada anak  usia 2-3 tahun, mereka perlu dilatih membereskan mainan dan merapikan bukunya. Di usia 4 tahun sudah mulai dibiasakan membereskan tempat tidur, meletakkan piring kotor di tempatnya, dan membuang sampah. Saat ia masuk sekolah, sejak saat ini harus dilatih untuk merapikan tasnya dan mempersiapkan peralatan sekolah. Saat memasuki fase SD, sebisa mungkin setiap ada tugas anak berusaha menyelesaikan sendiri. Kecuali hal yang memang benar-benar membutuhkan bantuan dan bimbingan orangtua.

3.         Memberikan dan Membiasakan Anak Tumbuh dengan Tantangan

Biasakan anak-anak tumbuh dengan tantangan. Bukan menuruti semua keinginannya. Misalnya anak ingin mainan. Ajak ia menabung terlebih dahulu. Kebayakan orang tua dengan alasan sayang terhadap anak, menjadi salah kaprah. Sekalipun kurang bermanfaat, ketika anak meminta sesuatu, diberikan dan dikabulkan.

Seperti dikutip dari “Carol Dweck”, Psikolog dari Stanford University, mengatakan, “Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan.” Jadi sudah saatnya memberikan challange atau tantangan kepada anak untuk melatih mental berpikir kritis (chritical thinking) dan kreativitas untuk mencari solusi. Anak akan dipaksa untuk menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi. Mind set anak akan tambah dewasa dan mandiri ketika dapat menyelesaaikan masalah. Tidak cenderung menghindar atau lari dari masalah.

4.         Libatkan Peran Ayah Mengurus Pekerjaan Rumah

Bagaikan spons yang menyerap banyak air dengan cepat, begitulah kira-kira gambaran otak anak. Apa yang dilakukan ayah dan ibu akan segera ia tiru. Ketika anak melihat seluruh anggota keluarga terlibat dalam mengurus pekerjaan rumah, maka ia pun menyerap nilai tanggung jawab dan terbiasa melakukannya. Jangan sampai anak memiliki pemahaman keliru bahwa seluruh pekerjaan rumah adalah tanggung jawab ibu atau pembantu.

Meskipun memiliki pembantu, harus ada pekerjaan tertentu yang dikerjakan oleh ayah. Misalnya menyiram tanaman dan mencuci  motor atau mobil. Jangan sampai anak terbiasa tidak mengerjakan apa pun dan akhirnya saat dewasa tidak bisa melakukan apa pun. Para ayah juga bisa mengajak anak laki-lakinya untuk bersepeda, main bulu tangkis, atau jenis olah raga lainnya yang disukai atau hanya sekadar membantu merapikan mainannya.

Jika kita keluarga muslim, bisa menanamkan pembiasaan baik dengan menceritakan Kisah  Teladan Para Nabi terutama Nabi Besar Muhammad SAW. Dikisahkan Rasulullah mencontohkan, meskipun Beliau adalah kepala negara dan manusia paling mulia akhlaknya, Beliau menjahit sendiri bajunya yang sobek dan memperbaiki sendiri sandalnya.

Bagi keluarga yang non muslim silakan lakukan kegiatan ibadah sesuai dengan tata cara dan keyakinan orang tuanya. Agama adalah benteng. Sehebat apapun masalah yang akan dihadapi anak ke depannya, jika dasar agama dan keyakinan yang ditanamkan orang tua sangat kuat, ini akan jadi pertahanan diri dan mentalnya sehingga tidak terjerumus kepada kehidupan yang menyimpang dari norma sosial maupun norma agama.

5.         Melatih Kedisiplinan

Latih kedisiplinan anak sejak dini. Dimulai dari hal-hal sederhana, terkait waktu dan tempat, misalnya. Jam berapa waktunya main, jam berapa harus pulang. Tas diletakkan di mana, sepatu diletakkan di mana. Jam berapa harus masuk ke kelas virtual, tugas-tugas sekolah apa saja yang harus dikerjakan dan sebagainya.

Bagi ayah bunda dan keluarga Muslim, salah satu kunci menanamkan kedisiplinan adalah dengan mendirikan shalat di awal waktu. Rasulullah bersabda, “Perintahkan anak-anakmu  untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun” (HR. Abu Daud).

Yang kadang dilewatkan oleh para remaja belia adalah bangun pagi dan Sholat subuh. Ayo Ayah bunda, Dirikanlah sholat Shubuh Berjamaah minimal di dalam rumah bila belum mampu ke masjid. Ini pembiasaan yang sangat efektif dari disiplin.

6.         Jadilah Teladan dengan Ketaqwaan

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan tentang generasi yang lemah dalam Alquran, ada solusinya. Pertama, agar orangtua bertaqwa. Dengan taqwa itu orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. An Nisa: 9)

Tanamkan kepada mind set kepada anak bahwa: orang yang bertaqwa, dia tidak akan menyikapi sesuatu kecuali dengan dua hal yakni sabar dan syukur. Sebagaimana Firman Alloh SWT “Jadikanlah Sholat dan Sabar Sebagai Penolong”.

7.         Tanamkan Kejujuran

Solusi kedua, masih dalam ayat yang sama, hendaklah orangtua hanya berbicara kepada anak dengan perkataan yang benar (qaulun syadiid). Menanamkan kejujuran kepada anak-anak sejak dini hingga selamanya.

Menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir, ”qaulan sadida” adalah perkataan yang benar dan lurus. Kontennya benar, cara menyampaikannya juga harus benar. Contoh: ketika anak jatuh, jangan katakan: “Mejanya salah ya Nak, bikin kamu jatuh.” Itu nggak benar, anak akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang suka menyalahkan orang lain, tidak bertanggung jawab.

Atau, “Jangan menangis, gitu aja kok. Nggak sakit kok.” Akhirnya anak tumbuh menjadi pribadi yang mengabaikan perasaannya (tidak memiliki empati atau bisa memposisikan sebagaimana dia orang lain). Atau anak ditinggal pergi dengan cara dibohongi (ditilap), akhirnya anak belajar, “O, boleh menipu ya.” Latih rasa empati dan simpatinya. Hindari anak tumbuh jadi pribadi yang egois dan sulit berbagi.

Ingatlah ungkapan seorang psikolog dunia “Bahwa anak belajar dari kehidupannya, ”Jika anak dibesarkan dengan hinaan dan makian berarti Dia belajar membenci dan menyakiti. Jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dia belajar untuk mencintai dan menyangi sesamanya.”

8.         Doakan  oleh Orang Tua

Kunci yang paling utama agar anak terhindar dari generasi home service adalah doa. Mengapa? Karena pada hakikatnya, hati anak itu dalam genggaman Allah. Allah yang menguasai dan bisa membolak-balikkan hati manusia. Bangun mental religius anak dengan memberikan contoh langsung. Jadilah role model bagi anak dalam melaksanakan kewajiban beribadah dan libatkan anak dalam kegiatan keagamaan di rumah. Anak adalah peniru ulung dari orang tuanya. 

Senjata yang paling ampuh adalah doa orang tua yang soleh. Demikian juga doa anak-anak yang sholeh penyelamat kedua orang tuanya. “Nah Ayah Bunda sudahkan Anda mendoakan yang terbaik buat anak-anak tercinta?” Doa orang tua dikabulkan Alloh  SWT, Tuhan yang Maha Esa. Anak-anak yang sukses dan sholeh adalah investasi orang tua di dunia maupun di akhirat kelak. Mereka adalah generasi emas yang akan jadi pemegang kebijakan dan melanjutkan pembangunan negeri ini. Sejatinya pembentukan Generasi Emas Indonesia yaitu insan yang cerdas, berkarakter, religius, nasionalis, mandiri gotong royong dan berintegritas, dimulai dari keluarga di rumah dan tanggung jawab bersama keluarga, sekolah, dan seluruh lapisan masyarakat.

“Yuuuk!!! para Ayah bunda, abah emak, mamah papah, Bapa sareng Ambu ngadu’a ka gusti Alloh nu Maha Suci mugia anak-anak di JABAR Tiasa JUARA  Lahir Batin”

(dokpri)

 

(Diadaptasi dari berbagai berbagai sumber)                  

 

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...