Penulis: Medina Siti Almunawaroh, M.Pd.
Medina Siti Almunawaroh, M.Pd.
Oleh Medina Siti
Almunawaroh, M.Pd.
(Kepala SMAN 18 Kota Bekasi)
(Sumber gambar: Kompasiana)
Berawal dari
situasi pagi hari di rumah bu Delima, menarik untuk disimak:
“Bunda!! Di mana
seragam ku? Sarapannya udah siap belum? Ini hari Senin, aku takut telat masuk
kelas virtual di sekolah ada literasi pagi lewat zoom, bunda.” Teriak seorang remaja belia sebut saja Edelweis
kepada ibunya.
“Bisa gak sih
kaka, kamu siapkan keperluanmu sendiri! Kamu sudah besar! Sudah kelas 1 SMA,
sudah gak pantes dilayanin terus,” teriak bu Delima tak kalah sengitnya, seraya
menjelaskan Bunda sedang ngurus ade mu yang kelas 1 SD. Masih harus mantau wa (Whats up group) kelas ade mu, Nak.
Tugas PR sekolahnya juga banyak dan minggu ini harus disetorkan ke gurunya.
Bunda sendiri harus bekerja pagi dari rumah ada meeting via Google meet.
“Duh kok malah
susah dan semakin sulit ya BDR (Belajar
dari Rumah), WFH (Work From Home),
bisa naik ini tensi para moms dan bunda-bunda kalau begini. Aduh anak sekarang
ya, kok gak bisa dewasa dan mandiri.” Gerutu Bu Delima.
“Celana dan baju
olahraga ku di mana ma,” teriak Rangga sambil memainkan game favorit di smart
phonenya.
“Tugas projek
dari guru olahraga ku, bikin video di luar rumah. Maskernya di mana? Sepatu
Rangga sudah dicuci belum? Tasku juga udah rusak nih ma, kaos kaki juga kotor
dan bau!”
“Kenapa Bibi Inah
pulang kampungnya lama? Apa harus isolasi mandiri takut kena covid lho, ma! Bisa
gak dia ditelpon suruh cepet-cepet balik? Sarapan aku belum dibuatain juga? Kita
repot nih kalo gak ada pembantu.” lain lagi ini cerita dari rumah Rangga.
Ini akibat kamu gak
mau dengerin omongan Mama!” Sungut bu Tedjo kepada putranya. “Jangan main Hp
melulu sampai larut malem. Nanti kamu telat bangun gak bisa masuk GCR (Gooogle Class Room). Mama malu
nanti ditelpon Guru BK.”
Mana ini? Mana
itu? Ambilin ini, ambilin itu, carikan anu, belikan itu, kalimat perintah
seperti itu mungkin sudah umum keluar dari mulut para remaja belia. Mungkin
bukan hanya Edelweis dan Rangga, banyak remaja serupa yang dikeluhkan oleh para
orang tua seperti ibu Delima dan Mama Rangga. Banyak orang tua mengeluhkan
sikap dan perilaku putra/putrinya. Mereka sudah usia remaja berseragam abu-abu,
tapi belum bersikap dewasa dan mandiri karena terbiasa dilayani oleh orang
lain.
Edelweis dan
Rangga mungkin bukan hanya mereka tapi hampir semua remaja SMP dan SMA sekarang
mengalami gejala yang sama, secara fisik badannya sudah besar, tetapi minta dilayani dan belum mampu mandiri.
Situasi ini diperburuk dengan kondisi era new normal, di mana kita semua
dipaksa untuk berubah secara cepat dari kebiasaan kehidupan yang normal menuju
yang serba virtual. Banyak dari
keluaraga kita tidak siap bertransformasi dan beradaptasi dengan situasi
yang tidak menentu ini.
Kini, ada
istilah generasi home service. Apa
artinya generasi home service? Demikian
istilah untuk mereka. Generasi home
service adalah generasi yang selalu minta dilayani. Dalam istilah Alquran,
mereka termasuk “dzurriyatan dhi’afa” (generasi lemah). Lemah dalam kemandirian,
lemah dalam menghadapi tantangan kehidupan. Keadaan ini bisa menyebabkan
generasi muda yang tidak produktif, jika dibiarkan akan muncul suatu kondisi
yang disebut sindrom home service dan
ini akan menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia generasi muda
Indonesia.
Apa saja
penyebab dan bagaimana agar anak remaja
terhindar dari “Sindrom Home
Service”?
Penyebab Anak Jadi Generasi Home Service
Mengapa anak
menjadi generasi home service? Setidaknya ada delapan sebab secara umum,
sebagai berikut:
1. Pola
asuh oleh asisten rumah tangga
Sejak kecil
dilayani, apalagi oleh pembantu, bisa membuat anak terpola untuk selalu minta
dilayani. Ke mana-mana diikuti baby
sitter. Di zaman sekarang, kadang ada anak-anak yang ke mana-mana diikuti baby sitter. Ketika ada sesuatu, dengan
cekatan baby sitter melakukan
aksinya. Beberapa kali pemandangan ini bisa kita lihat di plaza dan mal.
Seharusnya, anak
bisa mulai bermain sendiri bersama teman. Kadang berselisih, kadang ada yang
menangis, tidak masalah. Itu melatih kemandirian dan emosi mereka. Orangtua
tidak perlu turun tangan yang justru bisa menghambat kemandirian anak dan
membuat anak tergantung. Bahkan bisa timbul pertengkaran antartetangga jika
orangtua turun tangan.
2. Selalu
terpenuhinya keperluan tanpa dilatih berusaha sendiri
Jika keperluan
anak selalu dipenuhi tanpa dilatih berusaha sendiri, anak bisa tumbuh menjadi
generasi home service. Anak mau
mainan, diambilkan. Anak mencari kaos kaki, dicarikan. Anak habis makan,
orangtua yang merapikan. Sangat jarang sekarang, menyaksikan orang tua
berinteraksi bersama dengan anak pada kegiatan cooking project di dapur, ataupun membantu menyapu halaman dan
merawat tanaman (gardening projek).
3. Gaya
Hidup Instan dan Pola Asuh Praktis
Adanya pola asuh
sebagian pasangan orang tua muda, misal terlalu lama pakai popok bayi dan
disuapi. Umumnya, bagi orangtua yang ingin praktis dan tidak mau repot, mereka
memilih anak-anaknya pakai popok bayi saja.
“Daripada nanti
ngompol, repot membersihkan lantai dan cucian menumpuk,” demikian
pertimbangannya. Karena tak ingin anaknya lapar, anak disuapi. Jika terbawa
sampai besar, ini akan berbahaya. Apalagi anak minta disuapi sambil mainan
gadget. Faktanya, ada anak usia SD masih disuapi kalau makan. Tidak heran
kebanyakan remaja sekarang juga paling senang dengan Go Food. Ingin makan apa? Tinggal
klik di aplikasi. Generasi ini seperti tidak tertantang.
4. Kurang
dilatihnya kemandirian
Kurang
dilatihnya kemandirian yaitu terbiasa dicarikan sesuatu tanpa diberikan
kesempatan berusaha mencari sendiri. Misalnya usia tiga tahun “Ma, mana
mainanku yang kemarin?” Saat usia SD “Ma, ambilkan tas ku”. Saat usia SMP “Ma,
mana buku pelajaranku?” Kalau selalu dicarikan tanpa ia berusaha mencari
sendiri, wajar jika sampai dewasa pun
akan terbiasa begitu. Menjadi generasi home
service.
5. Terbiasa
dibantu
Pakai baju
dibantu, pakai sepatu dibantu, mengancingkan baju dibantu. Makan disediakan. Terus
begitu. Akhirnya ia selalu membutuhkan bantuan dan sulit mandiri.
6. Terlalu
banyak main gadget yang serba instan
Dengan google, anak bisa mencari apa pun secara
cepat. Di playstore, anak bisa
mendapatkan aplikasi apa pun yang diinginkannya secara instan. Apalagi jika ia
selalu main game, otaknya bisa
terpola untuk mengharap sesuatu secara instan tanpa proses yang semestinya.
Ayah Bunda harus menyadari banyak hasil penelitian menunjukan dampak negatif
Smartphone, Gadget atau Gawai terhadap perkembangan psikologis anak. Jadi,
mulailah jadi orang tua yang smart user dan bijak. Jangan sampai kita
sebagai orang tua turut menyumbangkan peran
membentuk generasi instan.
7. Keinginan
selalu dipenuhi orangtua
Saya sering
mendapati anak-anak SD bahkan TK sudah punya smartphone sendiri. Ini salah satu
indikasi keinginan anak yang selalu dipenuhi orangtua dan itu berbahaya. Dealer
resmi iPhone dan iPad hanya mau menjual gadget
itu pada usia minimal 17 tahun. Ayah bunda jangan bangga jika bisa
memfasilitasi anak dengan gadget
canggih dan mahal. Bimbinglah agar anak bisa memanfaatkan fasilitas yang
diberikan untuk kemajuan perkembangan prestasinya.
Kunci Agar Anak Tidak Menjadi Generasi Home Service
Berikut kiat dan
cara ampuh yang bisa ditempuh oleh orang tua agar terhindar dari sindrom Home Service. Ada delapan kunci agar anak tidak menjadi generasi home service. Yuk kita bahas dan kita
amalkan.
1. Melatih
Kemandirian Anak Sejak Dini
Melatih
anak dengan metode toilet training,
yaitu membimbing dan melatih anak untuk dapat mandi sendiri, pakai baju sendiri
dan pakai sepatu sendiri akan membuat anak lebih mandiri. Toilet training bisa
dilakukan pada usia 2-3 tahun. Anak dibiasakan untuk buang air kecil secara teratur
di kamar mandi. Kegiatan ini tentunya perlu pendampingan dari orang tua agar
tidak membahayakan anak.
2. Melatih
Rasa Tanggung jawab Anak
Sejak dini,
tanamkan dan tumbuhkan rasa tanggung jawab kepada anak. Misal pada anak usia 2-3 tahun, mereka perlu dilatih
membereskan mainan dan merapikan bukunya. Di usia 4 tahun sudah mulai
dibiasakan membereskan tempat tidur, meletakkan piring kotor di tempatnya, dan
membuang sampah. Saat ia masuk sekolah, sejak saat ini harus dilatih untuk
merapikan tasnya dan mempersiapkan peralatan sekolah. Saat memasuki fase SD,
sebisa mungkin setiap ada tugas anak berusaha menyelesaikan sendiri. Kecuali
hal yang memang benar-benar membutuhkan bantuan dan bimbingan orangtua.
3. Memberikan
dan Membiasakan Anak Tumbuh dengan Tantangan
Biasakan
anak-anak tumbuh dengan tantangan. Bukan menuruti semua keinginannya. Misalnya
anak ingin mainan. Ajak ia menabung terlebih dahulu. Kebayakan orang tua dengan
alasan sayang terhadap anak, menjadi salah kaprah. Sekalipun kurang bermanfaat,
ketika anak meminta sesuatu, diberikan dan dikabulkan.
Seperti dikutip
dari “Carol Dweck”, Psikolog dari Stanford University, mengatakan, “Hadiah
terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan.” Jadi
sudah saatnya memberikan challange
atau tantangan kepada anak untuk melatih mental berpikir kritis (chritical thinking) dan kreativitas
untuk mencari solusi. Anak akan dipaksa untuk menemukan solusi terhadap masalah
yang dihadapi. Mind set anak akan
tambah dewasa dan mandiri ketika dapat menyelesaaikan masalah. Tidak cenderung
menghindar atau lari dari masalah.
4. Libatkan
Peran Ayah Mengurus Pekerjaan Rumah
Bagaikan spons
yang menyerap banyak air dengan cepat, begitulah kira-kira gambaran otak anak.
Apa yang dilakukan ayah dan ibu akan segera ia tiru. Ketika anak melihat
seluruh anggota keluarga terlibat dalam mengurus pekerjaan rumah, maka ia pun
menyerap nilai tanggung jawab dan terbiasa melakukannya. Jangan sampai anak
memiliki pemahaman keliru bahwa seluruh pekerjaan rumah adalah tanggung jawab
ibu atau pembantu.
Meskipun
memiliki pembantu, harus ada pekerjaan tertentu yang dikerjakan oleh ayah.
Misalnya menyiram tanaman dan mencuci
motor atau mobil. Jangan sampai anak terbiasa tidak mengerjakan apa pun
dan akhirnya saat dewasa tidak bisa melakukan apa pun. Para ayah juga bisa
mengajak anak laki-lakinya untuk bersepeda, main bulu tangkis, atau jenis olah
raga lainnya yang disukai atau hanya sekadar membantu merapikan mainannya.
Jika kita keluarga
muslim, bisa menanamkan pembiasaan baik dengan menceritakan Kisah Teladan Para Nabi terutama Nabi Besar
Muhammad SAW. Dikisahkan Rasulullah mencontohkan, meskipun Beliau adalah kepala
negara dan manusia paling mulia akhlaknya, Beliau menjahit sendiri bajunya yang
sobek dan memperbaiki sendiri sandalnya.
Bagi keluarga
yang non muslim silakan lakukan kegiatan ibadah sesuai dengan tata cara dan
keyakinan orang tuanya. Agama adalah benteng. Sehebat apapun masalah yang akan
dihadapi anak ke depannya, jika dasar agama dan keyakinan yang ditanamkan orang
tua sangat kuat, ini akan jadi pertahanan diri dan mentalnya sehingga tidak
terjerumus kepada kehidupan yang menyimpang dari norma sosial maupun norma
agama.
5. Melatih
Kedisiplinan
Latih
kedisiplinan anak sejak dini. Dimulai dari hal-hal sederhana, terkait waktu dan
tempat, misalnya. Jam berapa waktunya main, jam berapa harus pulang. Tas
diletakkan di mana, sepatu diletakkan di mana. Jam berapa harus masuk ke kelas
virtual, tugas-tugas sekolah apa saja yang harus dikerjakan dan sebagainya.
Bagi ayah bunda
dan keluarga Muslim, salah satu kunci menanamkan kedisiplinan adalah dengan mendirikan
shalat di awal waktu. Rasulullah bersabda, “Perintahkan
anak-anakmu untuk mengerjakan shalat
ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika
mereka berumur 10 tahun” (HR. Abu Daud).
Yang kadang
dilewatkan oleh para remaja belia adalah bangun pagi dan Sholat subuh. Ayo Ayah
bunda, Dirikanlah sholat Shubuh Berjamaah minimal di dalam rumah bila belum
mampu ke masjid. Ini pembiasaan yang sangat efektif dari disiplin.
6. Jadilah
Teladan dengan Ketaqwaan
Ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan tentang generasi yang lemah dalam Alquran, ada
solusinya. Pertama, agar orangtua
bertaqwa. Dengan taqwa itu orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. An
Nisa: 9)
Tanamkan kepada mind set kepada anak bahwa: orang yang
bertaqwa, dia tidak akan menyikapi sesuatu kecuali dengan dua hal yakni sabar
dan syukur. Sebagaimana Firman Alloh SWT “Jadikanlah
Sholat dan Sabar Sebagai Penolong”.
7. Tanamkan
Kejujuran
Solusi kedua, masih dalam ayat yang sama,
hendaklah orangtua hanya berbicara kepada anak dengan perkataan yang benar (qaulun syadiid). Menanamkan kejujuran kepada
anak-anak sejak dini hingga selamanya.
Menurut Syaikh
Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir, ”qaulan sadida” adalah perkataan yang
benar dan lurus. Kontennya benar, cara menyampaikannya juga harus benar. Contoh:
ketika anak jatuh, jangan katakan: “Mejanya salah ya Nak, bikin kamu jatuh.”
Itu nggak benar, anak akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang suka menyalahkan
orang lain, tidak bertanggung jawab.
Atau, “Jangan
menangis, gitu aja kok. Nggak sakit kok.” Akhirnya anak tumbuh menjadi pribadi
yang mengabaikan perasaannya (tidak memiliki empati atau bisa memposisikan
sebagaimana dia orang lain). Atau anak ditinggal pergi dengan cara dibohongi
(ditilap), akhirnya anak belajar, “O, boleh menipu ya.” Latih rasa empati dan simpatinya.
Hindari anak tumbuh jadi pribadi yang egois dan sulit berbagi.
Ingatlah ungkapan
seorang psikolog dunia “Bahwa anak belajar dari kehidupannya, ”Jika anak
dibesarkan dengan hinaan dan makian berarti Dia belajar membenci dan menyakiti.
Jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dia belajar untuk mencintai dan menyangi
sesamanya.”
8. Doakan oleh Orang Tua
Kunci yang
paling utama agar anak terhindar dari generasi home service adalah doa. Mengapa? Karena pada hakikatnya, hati anak
itu dalam genggaman Allah. Allah yang menguasai dan bisa membolak-balikkan hati
manusia. Bangun mental religius anak dengan memberikan contoh langsung. Jadilah
role model bagi anak dalam
melaksanakan kewajiban beribadah dan libatkan anak dalam kegiatan keagamaan di
rumah. Anak adalah peniru ulung dari orang tuanya.
Senjata yang
paling ampuh adalah doa orang tua yang soleh. Demikian juga doa anak-anak yang
sholeh penyelamat kedua orang tuanya. “Nah Ayah Bunda sudahkan Anda mendoakan
yang terbaik buat anak-anak tercinta?” Doa orang tua dikabulkan Alloh SWT, Tuhan yang Maha Esa. Anak-anak yang
sukses dan sholeh adalah investasi orang tua di dunia maupun di akhirat kelak.
Mereka adalah generasi emas yang akan jadi pemegang kebijakan dan melanjutkan
pembangunan negeri ini. Sejatinya pembentukan Generasi Emas Indonesia yaitu
insan yang cerdas, berkarakter, religius, nasionalis, mandiri gotong royong dan
berintegritas, dimulai dari keluarga di rumah dan tanggung jawab bersama
keluarga, sekolah, dan seluruh lapisan masyarakat.
“Yuuuk!!! para Ayah bunda, abah emak, mamah papah, Bapa sareng Ambu ngadu’a ka gusti Alloh nu Maha Suci mugia anak-anak di JABAR Tiasa JUARA Lahir Batin”
(dokpri)
(Diadaptasi
dari berbagai berbagai sumber)