Inklusif VS Eksklusif

Penulis: Neneng Fitri Ekasari, M.Pd.

Dibaca: 553 kali

Neneng Fitri Ekasari, M.Pd.

Oleh Neneng Fitri Ekasari, M.Pd.

(Kepala SLB Cahaya Gemilang Pertiwi Kab. Cianjur/Pengurus Pusat FGLSN/Pengurus Satgas GLS SLB Provinsi Jawa Barat/Ketua Satgas GLS SLB Kab. Cianjur/Lintang Samudera Edukasi/Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)

 

Alhamdulillah, Kabupaten Cianjur baru saja mendeklarasikan diri sebagai kabupaten penyelenggara pendidikan inklusif. Tepatnya pada Kamis, 17-09-2020 bertempat di Bale Praja Pendopo Kabupaten Cianjur. Deklarasi tersebut ditandai dengan terbitnya Perbup No. 50 Tahun 2020 sebagai payung hukum pelaksanaan pendidikan inklusif di Cianjur.

Hal tersebut menjadi support system penyelenggaraan pendidikan inklusif yang selama ini telah berjalan di kabupaten Cianjur. Sekitar tahun 2005, ada tiga sekolah dasar (SD) yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, sekarang telah terdaftar 136 sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif di Cianjur pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, dan menengah. Perkembangan yang cukup signifikan tentunya. Deklarasi tersebut membawa semangat baru bagi pegiat/praktisi pendidikan inklusif di kabupaten Cianjur dalam mengembangkannya bukan hanya dari segi kuantitas tetapi kualitas dalam pelaksanaannya.

Berbicara tentang pendidikan inklusif tidak terlepas dari filosofi inklusif itu sendiri, yaitu penerimaan terhadap keberagaman semua anak. Kaitannya dalam konteks ini adalah penerimaan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum. Terdengarnya mungkin sangat klise, seperti sebuah keniscayaan dalam pelaksanaannya, apalagi jika terjadi pada anak-anak berkebutuhan khusus dengan hambatan yang berat. Berbagai permasalahan akan muncul tentunya terkait kesiapan dari berbagai sektor/perangkat pendukung terselenggaranya pendidikan inklusif. Tetapi filosofi adalah filosofi, konsep ideal dan fundamental yang tidak boleh berubah arah. Konsep yang benar akan mengarahkan pada implementasi yang benar pula. Adapun tantangan yang terjadi di lapangan adalah tanggung jawab bersama yang harus dicarikan solusinya, dan bukan mengubah filosofi.

Pelaksanan pendidikan inklusif disesuaikan dengan kondisi di sekolah umum, secara bertahap  merevisi sistem yang ada di sekolah. Bukan anak berkebutuhan khusus yang harus menyesuaikan diri terhadap sistem tetapi sistemlah yang mengakomodasi kondisi anak-anak berkebutuhan khusus yang berada di dalamnya.

Seyogianya pendidikan inklusif tidak memberikan syarat apapun terhadap anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah umum. Jika masih terjadi seperti itu bukan inklusif melainkan integrasi, di mana anak-anak berkebutuhan khusus hanya menjadi “tamu” di sekolah umum. Sekolah tersebut pun bukan sekolah inklusif tetapi sekolah eksklusif, di mana hanya anak-anak yang mampu memenuhi persyaratan yang dapat bersekolah.

Jika mengutip analogi dari Dr. Joko Yuwono (UNS) bahwa inklusif itu cinta tak bersyarat dan integrasi adalah cinta bersyarat, lucu saat membacanya tapi benar filosofinya. Cinta adalah awal penerimaan dari segala kelebihan dan kekurangan terhadap seseorang, dengan cinta kita mampu melakukan perubahan apapun agar menjadi lebih baik.

Begitupula halnya dengan inklusif, tidak mungkin dapat menerima perubahan paradigma jika tanpa cinta yang mendasarinya. Namun demikian, tidak mudah dalam pelaksanaannya, semuanya berproses dan terus berfokus pada penyesuaian-penyesuaian sistem terhadap kondisi anak berkebutuhan khusus.

Cianjur, 21 September 2020

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...