Penulis: Neneng Fitri Ekasari, M.Pd.
Neneng Fitri Ekasari, M.Pd.
Oleh Neneng Fitri Ekasari, M.Pd.
(Kepala SLB Cahaya Gemilang Pertiwi Kab.
Cianjur/Pengurus Pusat FGLSN/Pengurus Satgas GLS SLB Provinsi Jawa Barat/Ketua
Satgas GLS SLB Kab. Cianjur/Lintang Samudera Edukasi/Komunitas Cinta
Indonesia/KACI #PASTI BISA#)
Alhamdulillah, Kabupaten Cianjur baru saja
mendeklarasikan diri sebagai kabupaten penyelenggara pendidikan inklusif.
Tepatnya pada Kamis, 17-09-2020 bertempat di Bale Praja Pendopo Kabupaten
Cianjur. Deklarasi tersebut ditandai dengan terbitnya Perbup No. 50 Tahun 2020
sebagai payung hukum pelaksanaan pendidikan inklusif di Cianjur.
Hal tersebut menjadi support system penyelenggaraan pendidikan inklusif yang selama ini
telah berjalan di kabupaten Cianjur. Sekitar tahun 2005, ada tiga sekolah dasar
(SD) yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, sekarang telah terdaftar 136
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif di Cianjur pada jenjang PAUD,
pendidikan dasar, dan menengah. Perkembangan yang cukup signifikan tentunya.
Deklarasi tersebut membawa semangat baru bagi pegiat/praktisi pendidikan
inklusif di kabupaten Cianjur dalam mengembangkannya bukan hanya dari segi
kuantitas tetapi kualitas dalam pelaksanaannya.
Berbicara tentang pendidikan inklusif tidak terlepas
dari filosofi inklusif itu sendiri, yaitu penerimaan terhadap keberagaman semua
anak. Kaitannya dalam konteks ini adalah penerimaan anak-anak berkebutuhan
khusus di sekolah umum. Terdengarnya mungkin sangat klise, seperti sebuah
keniscayaan dalam pelaksanaannya, apalagi jika terjadi pada anak-anak
berkebutuhan khusus dengan hambatan yang berat. Berbagai permasalahan akan
muncul tentunya terkait kesiapan dari berbagai sektor/perangkat pendukung
terselenggaranya pendidikan inklusif. Tetapi filosofi adalah filosofi, konsep
ideal dan fundamental yang tidak boleh berubah arah. Konsep yang benar akan
mengarahkan pada implementasi yang benar pula. Adapun tantangan yang terjadi di
lapangan adalah tanggung jawab bersama yang harus dicarikan solusinya, dan bukan mengubah
filosofi.
Pelaksanan pendidikan inklusif disesuaikan dengan
kondisi di sekolah umum, secara bertahap
merevisi sistem yang ada di sekolah. Bukan anak berkebutuhan khusus yang
harus menyesuaikan diri terhadap sistem tetapi sistemlah yang mengakomodasi
kondisi anak-anak berkebutuhan khusus yang berada di dalamnya.
Seyogianya pendidikan
inklusif tidak memberikan syarat apapun terhadap anak berkebutuhan khusus untuk
bersekolah di sekolah umum. Jika masih terjadi seperti itu bukan inklusif
melainkan integrasi, di mana anak-anak berkebutuhan khusus hanya menjadi “tamu” di sekolah umum.
Sekolah tersebut pun bukan sekolah inklusif tetapi sekolah eksklusif, di mana hanya anak-anak yang mampu memenuhi persyaratan
yang dapat bersekolah.
Jika mengutip analogi dari Dr. Joko Yuwono (UNS) bahwa
inklusif itu cinta tak bersyarat dan integrasi adalah cinta bersyarat, lucu
saat membacanya tapi benar filosofinya. Cinta adalah awal penerimaan dari
segala kelebihan dan kekurangan terhadap seseorang, dengan cinta kita mampu
melakukan perubahan apapun agar menjadi lebih baik.
Begitupula halnya dengan inklusif, tidak mungkin dapat
menerima perubahan paradigma jika tanpa cinta yang mendasarinya. Namun
demikian, tidak mudah dalam pelaksanaannya, semuanya berproses dan terus
berfokus pada penyesuaian-penyesuaian sistem terhadap kondisi anak berkebutuhan
khusus.
Cianjur, 21 September 2020