Menggerakkan Tradisi Intelektual Guru

Penlis: Eri Fauzi Rahman, M.Pd.

Dibaca: 389 kali

Eri Fauzi Rahman, M.Pd.

Oleh Eri Fauzi Rahman, M.Pd.

(Guru SMKN 1 Sukanagara, KCD Wilayah VI/KACI)


Guru sebagai kaum intelektual memiliki peran besar dalam menata peradaban sebuah bangsa. Peran penting guru ini ternyata disadari betul oleh Kaisar Hirohito, setelah negaranya bertekuk lutut kepada Amerika dan sekutu pada perang dunia ke dua.

Sangat melekat dalam ingatan kita, ketika Jepang terpuruk dengan hancurnya kota Nagasaki dan Hiroshima oleh bom Amerika. Jepang saat itu lumpuh total, korban meninggal mencapai jutaan, belum lagi efek radiasi bom tersebut yang dalam perkiraan membutuhkan 50 tahun untuk menghilangkan itu semua.

Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu, dan setelah itu Kaisar Hirohito mengumpulkan semua Jendral yang masih hidup dan menanyakan kepada mereka, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”, Para Jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar dan menegaskan kepadanya bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru.

Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar, kita kuat dalam senjata dan strategi perang, tetapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar, bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan”.

Penggalan sejarah yang terjadi di Jepang pada tahun 1945 ini, membuat kita terperangah. Bukan saja karena dahsyatnya bom sekutu yang mampu menghancurkan Nagasaki dan Hirosima. Tetapi yang membuat lebih terperangah adalah perhatian besar sang Kaisar kepada para guru. Bagi sang Kaisar, Guru adalah aset terbaik bagi bangsa dan negaranya. Sang Kaisar menyadari betul bahwa ditangan guru lah peradaban Jepang akan bangkit. Terbukti setelah keterpurukannya, Jepang dengan cepat bangkit dan membuktikan bahwa mereka adalah salah satu negara raksasa dunia.

Hari ini, masa pandemi covid-19 belum menemukan pertanda akan berakhir. Sementara tugas guru dalam menata peradaban ini tidak pernah berhenti. Guru sebagai kaum intelek jangan sampai kehilangan tradisinya. Albert Einstein mengatakan “Pertumbuhan intelektual itu harus dimulai saat lahir dan hanya akan berakhir dengan kematian.”

Permasalahannya adalah tradisi intelektual guru bisa tergerus oleh habitus sosial lama yang melekat dengan budaya feodalistik dan pragmatisme sosial. Intelektualitas akan semakin tergerus oleh budaya pragmatisme yang menginginkan semuanya serba instan. Intelektualitas hanya menjadi sebuah kata yang kehilangan makna. Yang pada akhirnya intelektualitas dikhawatirkan hanya dipahami sebagai sebuah formalitas kata-kata belaka.

Oleh karena itu spirit tradisi intelektualitas perlu terus dijaga. Barangkali kata-kata Socrates ini bisa memantik tradisi intelektualitas kita sebagai guru terus tumbuh. Socrates pernah berujar “Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu, baru berkata. Dengarlah dulu, baru memberi penilaian. Bekerjalah dulu, baru berharap”.

Dari Socrates, kita bisa belajar bagaimana agar tradisi intelektualitas itu menjelma, yaitu dengan mengembangkan habitus intelektual kita. Habitus intelektual adalah sikap, cara berpikir, memahami, dan bertindak yang berdasarkan amanah konstitusi dan tanggung jawab sebagai insan cendekia. Aktivititas intelektual menjadi basis kegiatan rutin guru.

Kita tidak bisa bercerita tentang ilmu tanpa penelitian dan riset. Kita tidak bisa menjawab berbagai persoalan tanpa membaca. Kita tidak bisa berkata yang benar sebelum berpikir rasional, kritis dan bebas. Kita tidak begitu saja memberi penilaian sebelum bisa menjadi pendengar yang baik. Jangan dulu berharap sebelum melakukkan sesuatu.

Dengan demikian, upaya membangun tradisi intelektual guru yaitu dengan mengembangkan habitus intelektual. Diskusi, menulis, membaca dan melakukan penelitian/riset terkait dengan tugas pembelajaran atau pengembangan sekolah, adalah habitus intelektual seorang guru.

Sekali lagi, jika guru ingin membangun habitus intelektualnya sebagai sebuah gerakkan tradisi, maka harus berani menanggalkan budaya feodalistik dan hasrat konsumerisme. Aktivitas menulis, membaca, berdiskusi dan penelitian/riset harus dijadikan habitus intelektual nya sebagai seorang guru.

Selanjutya, bagaimana menggerakkan tradisi menulis, membaca dan berdiskusi sebagai habitus intelektual guru?

(bersambung)

 

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...