Penlis: Eri Fauzi Rahman, M.Pd.
Eri Fauzi Rahman, M.Pd.
(Guru SMKN 1 Sukanagara, KCD Wilayah VI/KACI)
Guru sebagai kaum
intelektual memiliki peran besar dalam menata peradaban sebuah bangsa. Peran
penting guru ini ternyata disadari betul oleh Kaisar Hirohito, setelah
negaranya bertekuk lutut kepada Amerika dan sekutu pada perang dunia ke dua.
Sangat melekat dalam
ingatan kita, ketika Jepang terpuruk dengan hancurnya kota Nagasaki dan
Hiroshima oleh bom Amerika. Jepang saat itu lumpuh total, korban meninggal
mencapai jutaan, belum lagi efek radiasi bom tersebut yang dalam perkiraan
membutuhkan 50 tahun untuk menghilangkan itu semua.
Jepang terpaksa menyerah
kepada sekutu, dan setelah itu Kaisar Hirohito mengumpulkan semua Jendral yang
masih hidup dan menanyakan kepada mereka, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”,
Para Jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar dan menegaskan kepadanya
bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru.
Namun, Kaisar Hirohito
kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar, kita kuat dalam
senjata dan strategi perang, tetapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang
sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar, bagaimana kita akan
mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh
pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan
kepada kekuatan pasukan”.
Penggalan sejarah yang
terjadi di Jepang pada tahun 1945 ini, membuat kita terperangah. Bukan saja
karena dahsyatnya bom sekutu yang mampu menghancurkan Nagasaki dan Hirosima. Tetapi
yang membuat lebih terperangah adalah perhatian besar sang Kaisar kepada para
guru. Bagi sang Kaisar, Guru adalah aset terbaik bagi bangsa dan negaranya.
Sang Kaisar menyadari betul bahwa ditangan guru lah peradaban Jepang akan
bangkit. Terbukti setelah keterpurukannya, Jepang dengan cepat bangkit dan
membuktikan bahwa mereka adalah salah satu negara raksasa dunia.
Hari
ini, masa pandemi covid-19 belum menemukan pertanda akan berakhir. Sementara
tugas guru dalam menata peradaban ini tidak pernah berhenti. Guru sebagai kaum
intelek jangan sampai kehilangan tradisinya. Albert Einstein mengatakan
“Pertumbuhan intelektual itu harus dimulai saat lahir dan hanya akan berakhir
dengan kematian.”
Permasalahannya adalah
tradisi intelektual guru bisa tergerus oleh habitus sosial lama yang melekat
dengan budaya feodalistik dan pragmatisme sosial. Intelektualitas akan semakin
tergerus oleh budaya pragmatisme yang menginginkan semuanya serba instan.
Intelektualitas hanya menjadi sebuah kata yang kehilangan makna. Yang pada
akhirnya intelektualitas dikhawatirkan hanya dipahami sebagai sebuah formalitas
kata-kata belaka.
Oleh karena itu spirit
tradisi intelektualitas perlu terus dijaga. Barangkali kata-kata Socrates ini
bisa memantik tradisi intelektualitas kita sebagai guru terus tumbuh. Socrates
pernah berujar “Cobalah dulu, baru
cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu, baru berkata. Dengarlah
dulu, baru memberi penilaian. Bekerjalah dulu, baru berharap”.
Dari Socrates, kita bisa
belajar bagaimana agar tradisi intelektualitas itu menjelma, yaitu dengan
mengembangkan habitus intelektual kita. Habitus intelektual adalah sikap, cara
berpikir, memahami, dan bertindak yang berdasarkan amanah konstitusi dan
tanggung jawab sebagai insan cendekia. Aktivititas intelektual menjadi basis
kegiatan rutin guru.
Kita tidak bisa bercerita
tentang ilmu tanpa penelitian dan riset. Kita tidak bisa menjawab berbagai
persoalan tanpa membaca. Kita tidak bisa berkata yang benar sebelum berpikir
rasional, kritis dan bebas. Kita tidak begitu saja memberi penilaian sebelum
bisa menjadi pendengar yang baik. Jangan dulu berharap sebelum melakukkan
sesuatu.
Dengan demikian, upaya
membangun tradisi intelektual guru yaitu dengan mengembangkan habitus
intelektual. Diskusi, menulis, membaca dan melakukan penelitian/riset terkait
dengan tugas pembelajaran atau pengembangan sekolah, adalah habitus intelektual
seorang guru.
Sekali lagi, jika guru
ingin membangun habitus intelektualnya sebagai sebuah gerakkan tradisi, maka harus
berani menanggalkan budaya feodalistik dan hasrat konsumerisme. Aktivitas
menulis, membaca, berdiskusi dan penelitian/riset harus dijadikan habitus
intelektual nya sebagai seorang guru.
Selanjutya, bagaimana
menggerakkan tradisi menulis, membaca dan berdiskusi sebagai habitus
intelektual guru?
(bersambung)