Penulis: Tatang Sunendar
Tatang Sunendar
Oleh
Tatang Sunendar
(Widyaiswara Utama LPMP/anggota KACI#Pasti
Bisa#)
Tulisan ini terinspirasi diskusi di forum
whatshap group KACI dan tersebarnya renstra Kemdikbud. Diskusi di wathshap Kaci
sangat menarik sebab terdiri dari praktisi yang teruji dan pakar yang mumpuni.
Setiap membahas terkait kebijakan pengelolaan pendidikan, guru besar UPI yang
merupakan pakar dalam kebijakan publik Prof Cewan selalu mengemukakan indikator
kelemahan pengelolaan pendidikan di Indonesia adalah tidak adanya grand
desain pendidikan. Hampir kurang lebih lima kali beliau mengemukkan hal
tersebut. Lantas bagaimana dengan renstra Kemdikbud yang beredar. Apakah sama
renstra dengan grand desain pendidikan?
Sejak memasuki era reformasi bangsa Indonesai
telah kehilangan arah pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan MPR tidak lagi
sebagai lembaga tinggi Negara dan MPR sebagai lembaga tinggi negara yang
mempunyai kewenangan untuk merumuskan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). ORBA
dengan GBHN melakukan pembangunan secara berlapis, berulang, dan
berkembang melalui tahapan yang jelas seperti Repelita 1, Repelita 2 dst.
Dengan tidak adanya GBHN di era reformasi ini presiden dengan Kabinetnya
merumuskannya program kerja sendiri. Program dirumuskan dalam bentuk Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RJPMN) yang hanya berlaku selama 5 tahun dan mengacu pada visi, misi dan
program presiden terpilih dan RPJPN. RPJPMN yang dirumuskan tersebut merupakan quick
wins presiden dan kabinetnya.
Quick wins menurut Wikipedia adalah suatu
inisiatif kegiatan yang menggambarkan percepatan pelaksanaan reformasi
birokrasi yang dilaksanakan oleh instransi pemeritah. Dengan adanya quick wins
maka visi menteri sebagai pembantu presiden harus sama dengan visi presiden.
Oleh karena hal tersebut renstra yang beredar itu merupakan upaya Mas Nadiem
dalam menjabarkan quick wins yang diberikan presiden pada Mas Menteri.
Program merdeka belajar, guru penggerak,
merdeka belajar, digabungkannya kembali perguruan tinggi dengan Kemdikbud
merupakan quick wins dari Mas Menteri Nadiem. Sebelumnya kita mengenal guru
pembelajar, kurikulum 13, instruktur nasional K13 dst itu dalam Rentsra
2014-2019 Kemdikbud fokus pada program Nawacita dan penguatan pendidikan
karakter. Sekarang pada Renstra 2020-2024 fokus inovasi-inovasi dengan
menggunakan kemajuan teknologi 4.0. Semua itu adalah quick wins.
Quick wins suatu yang lazim dalam suatu
organisasi karena merupakan program unggulan dari seorang pemimpin. Jangankan
di level kementerian, di level sekolah saja tidak sedikit kepala sekolah
melakukan quick wins dalam pengelolaan sekolah. Kita bisa temukan jika di suatu
sekolah terjadi pergantian kepala sekolah, maka program kegiatan yang dilakukan
kepala sekolah baru jarang yang melanjutkan program kepala sekolah yang lama,
melainkan diganti dengan program baru sesuai dengan misi dan visi kepala
sekolah tersebut. Contoh kecil misalnya warna cat sekolah karena tidak sesuai
selera kepala sekolah baru walaupun masih baik, maka dilakukan pengecatan ulang.
Kenapa demikaian? Karena dengan quick wins program pemimpin yang baru nampak
terlihat adanya perubahan, berbeda jika hanya melanjutkan program lama bisa-bisa
disebut kurang iovatif dan kreatif.
Penulis setuju dengan pendapat Prof. Cewan
bahwa dalam pengelolaan pendidikan perlu adanya grand desain yang bisa
menjadi acuan siapapun yang menjadi pemimpin. Kenapa penulis setuju karena
merujuk pada pendapat Feter Druker yang menyatakan, ”Only three thing happen naturaly in organization friction, compusion, and under
ferformnce everything else requires leaderhship.” Menurut Druker faktor
kemimpinan sangat menentukan baik buruknya
suatu kebijakan karena jika pemimpin kurang optimal dalam merumuskan
kebijakan maka akan menimbulkan friksi,
kebingungan dan kinerja yang kurang baik.
Terkait dengan kebijakan pendidikan, Mendikbud
sebagai pembantu presiden dalam merumuskan quick wins sebagaimanan pada Renstra
2020-2024 sudah barang tentu telah dirumuskan dengan matang
senantiasa mengacu pada konsep SWOT analisis. Dan jika kebijakan yang
diluncurkan menimbulkan pro dan kontra, ada dua kemungkinan yang terjadi. Perumusan
quick wins yang kurang tepat atau kita yang belum bisa mencerna quink wins yang
diluncurkan. Apalagi sebagaimana telah dinyatakan oleh Presiden Jokowi yang
mengacu pada analogi whatshap konon kita ini mudah melakukan SEND namun lemah
dalam hal Delivery. Kita harus meyakini bahwa quick win yang dirumuskan oleh
siapapun yang terpilih menjadi pemimpin, apakah Menteri Pendidikan, kepala
dinas pendidikan, atau kepala sekolah adalah demi mewujudkan pendidikan yang
bermutu yang menghasilkan peserta didik yang cerdas, terampil, dan berkarakter.
Semoga ada cahaya terang... ***