Penulis: Dra. Eulis Hendrayani Saputra, M.Pd.
Dra. Eulis Hendrayani Saputra, M.Pd.
Oleh Dra.
Eulis Hendrayani Saputra, M.Pd.
(Komunitas
Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)
Perubahan tidak dimulai dari atas. Semuanya berawal
dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah,
ambillah langkah pertama (Nadiem Anwar Makarim)
Itulah sepenggal kalimat yang disampaikan Menteri
Pendidikan yang baru di awal-awal pidatonya, yang disampaikan pada Hari Guru
Nasional, 25 November 2019.
Pernyataan tersebut secara tidak langsung menyiratkan adanya
harapan dan peluang kepada para guru di seluruh Indonesia agar senantiasa memiliki jiwa merdeka dalam melejitkan
potensinya, berpikir kreatif, inovatif dan visioner untuk membangun siswa didik
yang berkarakter. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45 dan UU No. 14 tahun 2005
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mampu menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Jika demikian apa yang perlu direstorasi dalam
pendidikan di era disrupsi teknologi informasi saat ini?
Berdasarkan KBBI, Restorasi adalah pengembalian atau
pemulihan sesuatu kepada bentuk dan kondisi semula, bisa pula dikatakan
pemugaran. Jadi, Restorasi pendidikan dapat diartikan sebagai upaya mengembalikan
konsep awal pendidikan atau pemulihan kondisi pendidikan demi meningkatkan mutu
pendidikan selaras dengan kondisi dan
tuntutan jaman.
Apakah selama ini dalam pendidikan terjadi
ketidaksesuaian sehingga harus direstorasi? Lalu, bidang apa yang harus
direstorasinya?
Mengacu pada empat program prioritas Mendiknas,
diharapkan ada restorasi yang berkaitan
dengan: 1) Pembelajaran anak, untuk memastikan bahwa semua peraturan dan dana
pendidikan yang diberikan kementrian
dapat teserap oleh para siswa. 2)
Struktur kelembagaan, baik struktur kelembagaan internal maupun eksternal
badan-badan untuk mendukung tujuan dan meningkatkan kualitas pembelajaran. 3)
Menggerakkan revolusi mental untuk mengembangkan karakter melalui kurikulum
pendidikan, serta pembelajaran dari guru dan masyarakat luas. 4) Pengembangaan
teknologi untuk membantu guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
Dari empat program tesebut, ada beberapa hal yang utama dan perlu disikapi secara bijak oleh
para guru, berkaitan dengan peran dan tupoksinya. Yaitu, menjadi pribadi yang
inspiratif, pribadi yang meneladani, dan pribadi yang menggerakkan. Bijak dalam
menyikapi perubahan paradigma pendidikan, dalam memahami teknologi
pembelajaran, serta mampu memanfaatkan teknologi dalam pembelaajaran. Guru saat
ini berperan sebagai agen perubahan. Menjadi guru penggerak, yang dinamis dan
berpikiran maju untuk bisa membawa siswa didiknya menghadapi Indonesia Emas
yang gemilang dan berkualitas.
Era digital sudah sangat mempengaruhi cara berpikir, ketika
masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, beralih ke dunia
maya. Era disrupsi menjadi fenomena mendasar dan fundamental, Daring adalah salah satu dampaknya. Era
disrupsi dijadikan sebagai era digitalisasi. Berbagai kegiatan menggunakan
daring atau media internet. Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia
bisnis. kreatif mencari keuntungan dan memanfaatkannya sebagai pekerjaan yang
menjanjikan.
Digitalisasi adalah sebuah proses percepatan,
penghematan biaya secara fisik. Era digital harus disikapi dengan luwes dan
bijak. Begitu pula dalam pendidikan.
khususnya pendidikan formal. Pemanfaatan digital dalam pembelajaran akan
menjadi lebih menyederhanakan prosedur
kegiatan belajar mengajar. Secara administrasi dapat diintegrasikan dengan
instansi terkait. Hal ini akan sangat membantu dalam pendataan dan pengawasan
sehingga lebih terjamin. Sesuai tujuan pembelajaran mendorong pada percepatan
pendidikaan menuju Indonesia maju yang bermutu. Dengan demikian pembelajaran
diharapkan berkembang lebih pesat dan luas. Peserta didik dapat tergali
kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosionalnya. Sehingga membuka peluang kreatifitas, untuk
mengembangkan ide-ide cemerlang, berinovasi dan bisa memunculkan generasi
berprestasi. Dalam hal ini pengelolaan dan pelaksanaannya tetap membutuhkan
hadirnya guru sebagai motor penggeraknya. Guru diharapkan tampil berkreasi mengolah pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, dan
berkualitas.
Walaupun belum ada data akurat yang menyatakan kemunduran dalam pendidikan, tapi bagi saya
sendiri sebagai pendidik, pengalaman membelajarkan siswa untuk saat ini dihadapkan
pada berbagai tantangan. Kita harus mengantisipasi degradasi dalam pendidikan. Perbedaan
generasi antara pendidik dan siswa didik membuat berbeda pula dalam cara
berkomunikasi. Penerapan metode pembelajaran yang bervarian, gaya mengajar dan gaya belajar yang
heterogen. Hal ini berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Bagaimana agar
terjadi sinkronisasi komunikasi antara guru yang terlahir pada generasi Write–Me
/Baby Boomers (1946-1964) yang secara umum sulit beradaptasi dengan
perkembangan teknologi saat ini, atau
guru generasi Caall-Me/ Gen X (1965-1980) yang lebih suka menggunakan phone
Call daripada email dan chat, harus menghadapi siswa didik pada generasi Email–Me/
Gen Milenial (1981- 1997) yang cepat beradaptasi terhadap perkembangan
teknologi, atau siswa didik pada generasi Chat-Me/ Gen Z (1998- 2010) yang
mudah dan sangat cepat beradaptasi dengan teknologi, bahkan harus menghadapi siswa didik setelahnya,
siswa didik generasi Alpha ( 2011-...).
Hal ini dapat menjadi tantangan bagi guru masa kini. Mungkin
inilah pengaruh modernisasi, perkembangan
jaman. Pola hidup sangat dinamis yang secara
tidak langsung ada proses informasi yang dipercepat. Padahal sesungguhnya intisari
pembelajaran itu saat proses berlangsung.
Karakter ketertutupan Indonesia, menutupi hal-hal yang
tabu, atau dianggap negatif. Hal ini pun membatasi kemampuan untuk
mengembangkan sifat kritis. Ilmu hanya
sebagai bentuk medium atau perantara dalam membelajarkan siswa untuk
mengejar nilai-nilai dalam bentuk angka.
Selama ini mainset
dalam belajar berfokus pada nilai.
Seringkali siswa didik belajar karena
dipaksa untuk mencapai nilai tinggi bukan karena kesadaran dan kemauannya. Kesuksesan
dalam belajar dianggap akan bermakna
jika diiming-imingi hadiah nilai yang tinggi, maka tumbuhlah budaya
keterpaksaan. Tujuan utama belajar menjadi terlupakan, seakan-akan belajar hanya untuk nilai, yang pada ujung-ujungnya belajar
untuk mencari pekerjaan. Hal ini dampaknya
dari segi sosial, secara tidak langsung
membentuk mental generasi yang
lemah secara turun temurun.
Sistem penilaian seperti ini pun yang harus direstorasi. Rertorasi sistem
kenaikan dan kelulusan harus diutamakan.
USBN dan US, bukan sekedar menguji konten materi pelajaran yang padat tetapi
kurang mengena sasaran. Menjawab soal
dengan tipe pilihan ganda seperti yang dilaksanakan selama ini dalam setiap
kegiatan di akhir pembelajaran menjadi tidak sinkron dengan prinsip penilaian
pada pembelajaran abad 21 yang mengedepankan capaian kemampuan berliterasi
dengan baik. Penilaian yang menitik beratkan pada karakter kritis, kreatif,
kolaboratif dan komunikatif yang sifatnya
kualitatif, dan lebih tepat dituangkan dalam bentuk deskripsi. Adapun keberhasilan
pembelajaran sebagai tolok ukur
penilaian ketuntasan belajar secara
eksplisit dapat dinyatakan dalam rentang nilai berdasarkan kompetensi dasar
yang telah ditetapkan. Sistem aplikasi digitalisasi dapat dimanfaatkan
penggunaannya untuk restorasi penilaian.
Saatnya siswa menikmati pembelajaran dengan
menyenangkan, tanpa beban mengejar angka untuk mencapai batas nilai KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). tetapi mengedepankan nilai karakter sebagai
cerminan kualitas keilmuannya. Siswa didik dihadapkan pada pembelajaran abad 21
yang menekankan pada prinsip 4C (Critis, Creative, Colaborative, Communicative)
dan literat.
Pembangunan Infrastruktur bidang pendidikan akan menunjukkan dasar moral dan karakter suatu bangsa. Pendidikan
sebagai ilmu, harus diklasifikasi secara berjenjang dan lebih mendalam. Faktor utama
dan yang pertama harus dibenahi adalah
SDM guru. Karena, keberhasian pendidikan bermula dan berakhir di guru. Guru
sebagai medium indikator kemajuan pendidikan. Guru profesional yang bisa membawa siswa didik
menjadi insan yang berdaya guna,
memiliki mental yang baik, pejuang, patriotik,
simpatik, kreatif, bertanggung jawab, mengenali jati dirinya, serta memiliki sifat kepemimpinan.
Maka, Jadilah pendidik yang sadar lingkungan, supaya bisa
bertahan dan beradaptasi. Jadilah guru penggerak yang bisa menggerakkan semua
elemen kemanusiaannya. Jadikan dunia digital/maya sebagai dunia tempat
mendapatkan informasi, dan perluasan wawasan.
Guru memegang peran penting sebagai agen perubahan. Menjadi
pribadi yang inspiratif kaya akan ide dan kreatifitas, memiliki kepribadian
yang kuat, memiliki karya nyata, memiliki
empati, mencintai ilmu pengetahuan, menjalani hidup sesuai passion-nya. Perubahan dalam mengajar bukan sekedar
menyiapkan metode pembelajaran, materi pembelajaran , tetapi yang penting dapat
menghadirkan jiwa guru sebagai pengajar
dan pendidik. Menciptakan kenikmatan
dalam belajar, sehingga dirasakan oleh siswa didiknya belajar menjadi
menyenangkan. Pelajaran dinikmati dan disukai, siswa tidak merasa tertekan karena
tidak dituntut harus berhasil. Belajar
sesuai kebutuhan. Sehingga konsep merdeka belajar dapat dirasakan benar oleh
pembelajar. Selama ini ukuran keberhasilan dilihat dari ketercapaaian KKM. KKM seakan telah menjebak dan menutup potensi dan ruang kreatifitas.
Sebagai guru pengggerak, guru hadir dengan pribadi
yang menggerakkan, aktif, dinamis, terdepan dalam melakukan perubahan, tegas
dalam bersikap, lembut dalam empati, mampu menggerakkan hati setiap orang, sera
mampu menciptakan tantangan baru. Membangun hubungan harmonis antara guru dan
siswa. Siswa diperlakukan sebagai teman
bicara, bisa menerima kebebasan berpendapat,
lebih terbuka, kondusif dalam pembelajaran, memanfaatkan golden time (1 jam) saat pembelajaran
berlangsung.
Hal mendasar dari seorang guru sebagai agen perubahan,
harus menjadi figur pribadi yang meneladani. Pendidikan memerlukan role model, ada pendamping, ada
pembimbing. Ing Ngarso sung tulodo, ing
Madya mangun Karso, Tut Wuri Handayani, inilah konsep teladan pembelajaran
yang diusung oleh Pakar Pendidikan, Ki Hajar Dewantoro. Menjadi teladan dalam pembiasaan, untuk membangun karakter
membuat siswa menjadi super, ingin tahu, dan memiliki pola pikir yang kritis. Pendidikan
ibarat taman di halaman sebuah rumah, menjadi
suatu kebutuhan bagi penghuninya dengan rerumputan yang lua, indah dan asri.
Itulah pendidikan, harus menjadi kebutuhan bagi setiap insan, dapat memberi
kesegaran, kenyamanan dan kebahagiaan bagi yang telah mendapatkannya.
Teknologi adalah alat yang dirancang hanya mengikuti
aturan, tidak berpikir, karena semua sudah diprogram. Manusialah yang mengatur teknologi. Disrupsi di era
digitalisasi menuntut guru dalam pemahaman teknologi. Siswa tidak bisa mengandalkan
teknologi secara langsung, tetapi harus
ada yang mendampingi. Teknologi itu
bukan pendidik. Banyak orang berpikir bahwa teknologi itu kebutuhan, tetapi
masih ada sebagian rakyat Indonesia yang berpikir teknologi itu menyusahkan.
Karena gaya hidup di era globalisasi,
kita dituntut harus memiliki gadget. Kebutuhan primer bergeser, yang tadinya
sandang pangan sekarang bertambah ada laptop dan HP. Sungguh kita tidak boleh
menutup mata, tuntutan lingkungan membuat guru harus menguasai literasi
digital. Salah pengertian, kita bukan butuh HP, tapi kita hanya mengikuti jaman. Indonesia mengikuti teknologi, tetapi
bukan sebagai produsen. Indonesia hanya menjadi objek ladang pasar digital. Hanya
mengikuti, tahu cangkangnya saja, tapi tidak menguasai inti dari jejaringnya.
Teknologi dipakai dalam pembelajaran tentu akan lebih
efisien, cepat dan luas. Kesulitannya, terletak pada bagaimana cara
menjaringnya. Membelajarkan siswa didik mencari inti dari suatu informasi,
bersikap dewasa dalam menikmati teknologi,
bisa menfaatkan teknologi untuk yang lebih bermanfaat. Lihatlah
kontennya, apa tujuannya, dan apa manfaatnya.
Akrab dengan teknologi artinya bermain dengan IT,
bukan sebagai pembelajaran tetapi sebagai hobby. Dengan Era Digital, kita bisa belajar tidak
harus selalu di ruang kelas. Kemudahan mengakses informasi keilmuan menjadi kebutuhan.
Dalam sistem pendidikan, guru tidak bisa
ditinggalkan. Guru sebagai filter, ada rambu-rambu etika pembelajaran, karena
cakupan informasi begitu luas.
Pemanfaatan teknologi digital dalam pembelajaran
dilakukan untuk mengoptimalkan sarana kegiatan pembelajaran. Penggunaan alat-alat, misalnya: proyektor, HP,
dan laptop diefektifkan untuk pengerjaan tugas, Presentasi dan mengirim
laporan.
Esensi dari restorasi pendidikan di era disrupsi
teknologi Informasi mengajak pengajar dan pembelajar berpikir maju atau
visioner. Teknologi sebagai fasilitas dan alat. Dengan memahami teknologi dan tahu
apa dampak serta manfaatnya kita akan dapat memaksimalkan dan mengefektifkan
teknologi tersebut untuk keperluan belajar mengajar.
Secara sekilas Era Millenial membuat anak bangsa
mengalami kemunduran moral dan karakter dalam kehidupan. Hal ini sangat memengaruhi
pendidikan Indonesia dalam berbagai aspek. Globalisasi juga membuat dampak
besar dalam cara berpikir atau pola pikir bangsa dalam melihat dunia. Dahulu
kita hanya melihat dunia berdasarkan pandangan-pandangan umum yang sudah
tertanam dalam bentuk kebudayaan dan cara hidup sehari-hari. Namun, sejak meluasnya
globalisasi, pandangan kita terhadap dunia berubah drastis. Karena adanya
faktor-faktor tersebut membuat bentuk variabel-variabel kehidupan dan potensi
yang tertanam di dalamnya semakin bertambah dan sangat sulit untuk dikalkulasi
melihat jumlah probabilitas yang semakin tidak terawang.
Begitu pula pendidikan di Indonesia saat ini. Kita
harus menyadari kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia yang kurang merata dan
memadai di era yang memiliki perkembangan yang sangat pesat seperti sekarang
sangatlah berbahaya. Dalam hal yang mendasar seperti pola pikir dan kararakter,
sangat kurang dimiliki oleh para pelajar di Indonesia. Kekurangan tersebut
menyebabkan rusaknya fondasi dasar pendidikan yang berakibat sangat fatal.
Pendidikan yang sebagian besar bersifat otoriter dan pasif juga tidak membantu
keadaan. Karena secara mental dan psikologis, para pelajar tidak bisa
beradaptasi terhadap bentuk-bentuk pendidikan yang tidak sesuai dengan
porsinya. Mengingat jumlah populasi bangsa kita, membuat situasi lebih
mengkhawatirkan.
Pendidikan Indonesia memiliki beberapa kelemahan dalam
sistem strukturalnya seperti terlalu universalnya pendidikan umum yang terfokus
terhadap kajian teori. Banyaknya bidang pelajaran, kurangnya efesiensi waktu.
Restorasi pendidikan menuju Indonesia maju membutuhkan hadirnya figur guru berkualitas yang bisa mengajar
dan mendidik para pelajar khususnya pendidikan moral dan karakter. Guru yang
bisa membangun siswa didik sebagai citra bangsa berbudaya dan beradab.
Pemerintah seharusnya membangun infrastruktur negara
terfokus pada bidang pendidikan. Karena sejarah mencatat bahwa setiap negara
yang maju berasal dari tingkat kesadaran dan intelektual bangsanya dalam
menyikapi kehidupan. Pembenahan sistem pendidikan juga disesuaikan dengan minat dan bakat
siswa, serta tidak dipaksakan agar murid lebih bersemangat dalam kegiatan
belajar mengajar. Selain itu, untuk mengatasi situasi seperti ini kita harus
sangat memperhatikan hal-hal yang mendasar seperti peningkatan kualitas
pendidikan khususnya pemberdayaan guru-guru yang berkualitas. Karena kemunduran
kita selama ini karena kita belum memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bangsa
kita yang diperlukan pada era Millenial ini.
Era digital mengajak guru-guru melangkah ke depan
melihat cakrawala dunia secara terbuka dan lebar. Cara pembelajaran harus lebih
kreatif dan inovatif. Pemanfaatan teknologi sebagai ajang komunikasi
terstruktur. Teknologi dioptimalkan sebagai media interaksi antara guru dengan
peserta didik. *****