RESTORASI PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA MAJU DI ERA DISRUPSI INFORMASI TEKNOLOGI

Penulis: Dra. Eulis Hendrayani Saputra, M.Pd.

Dibaca: 1873 kali

Dra. Eulis Hendrayani Saputra, M.Pd.

Oleh Dra. Eulis Hendrayani Saputra, M.Pd.

(Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)

 

Perubahan tidak dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah, ambillah langkah pertama (Nadiem Anwar Makarim)

 

Itulah sepenggal kalimat yang disampaikan Menteri Pendidikan yang baru di awal-awal pidatonya, yang disampaikan pada Hari Guru Nasional, 25 November 2019.

Pernyataan tersebut secara tidak langsung menyiratkan adanya harapan dan peluang kepada para guru di seluruh Indonesia agar senantiasa  memiliki jiwa merdeka dalam melejitkan potensinya, berpikir kreatif, inovatif dan visioner untuk membangun siswa didik yang berkarakter. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45 dan UU No. 14 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mampu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Jika demikian apa yang perlu direstorasi dalam pendidikan di era disrupsi teknologi informasi saat ini?

Berdasarkan KBBI, Restorasi adalah pengembalian atau pemulihan sesuatu kepada bentuk dan kondisi semula, bisa pula dikatakan pemugaran. Jadi, Restorasi pendidikan dapat diartikan sebagai upaya mengembalikan konsep awal pendidikan atau pemulihan kondisi pendidikan demi meningkatkan mutu pendidikan  selaras dengan kondisi dan tuntutan jaman.

Apakah selama ini dalam pendidikan terjadi ketidaksesuaian sehingga harus direstorasi? Lalu, bidang apa yang harus direstorasinya?

Mengacu pada empat program prioritas Mendiknas, diharapkan ada restorasi  yang berkaitan dengan: 1) Pembelajaran anak, untuk memastikan bahwa semua peraturan dan dana pendidikan yang  diberikan kementrian dapat  teserap oleh para siswa. 2) Struktur kelembagaan, baik struktur kelembagaan internal maupun eksternal badan-badan untuk mendukung tujuan dan meningkatkan kualitas pembelajaran. 3) Menggerakkan revolusi mental untuk mengembangkan karakter melalui kurikulum pendidikan, serta pembelajaran dari guru dan masyarakat luas. 4) Pengembangaan teknologi untuk membantu guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan.

Dari empat program tesebut, ada beberapa hal yang  utama dan perlu disikapi secara bijak oleh para guru, berkaitan dengan peran dan tupoksinya. Yaitu, menjadi pribadi yang inspiratif, pribadi yang meneladani, dan pribadi yang menggerakkan. Bijak dalam menyikapi perubahan paradigma pendidikan, dalam memahami teknologi pembelajaran, serta mampu memanfaatkan teknologi dalam pembelaajaran. Guru saat ini berperan sebagai agen perubahan. Menjadi guru penggerak, yang dinamis dan berpikiran maju untuk bisa membawa siswa didiknya menghadapi Indonesia Emas yang gemilang dan berkualitas.

Era digital sudah sangat mempengaruhi cara berpikir, ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya  dilakukan di dunia nyata, beralih ke dunia maya. Era disrupsi menjadi fenomena mendasar dan fundamental, Daring adalah salah satu dampaknya. Era disrupsi dijadikan sebagai era digitalisasi. Berbagai kegiatan menggunakan daring atau media internet. Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia bisnis. kreatif mencari keuntungan dan memanfaatkannya sebagai pekerjaan yang menjanjikan.

Digitalisasi adalah sebuah proses percepatan, penghematan biaya  secara fisik.  Era digital harus disikapi dengan luwes dan bijak.  Begitu pula dalam pendidikan. khususnya pendidikan formal. Pemanfaatan digital dalam pembelajaran akan menjadi lebih menyederhanakan  prosedur kegiatan belajar mengajar. Secara administrasi dapat diintegrasikan dengan instansi terkait. Hal ini akan sangat membantu dalam pendataan dan pengawasan sehingga lebih terjamin. Sesuai tujuan pembelajaran mendorong pada percepatan pendidikaan menuju Indonesia maju yang bermutu. Dengan demikian pembelajaran diharapkan berkembang lebih pesat dan luas. Peserta didik dapat tergali kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosionalnya.  Sehingga membuka peluang kreatifitas, untuk mengembangkan ide-ide cemerlang, berinovasi dan bisa memunculkan generasi berprestasi. Dalam hal ini pengelolaan dan pelaksanaannya tetap membutuhkan hadirnya guru sebagai motor penggeraknya. Guru diharapkan tampil  berkreasi mengolah  pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, dan berkualitas.

Walaupun belum ada data akurat yang menyatakan  kemunduran dalam pendidikan, tapi bagi saya sendiri sebagai pendidik, pengalaman membelajarkan siswa untuk saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan. Kita harus mengantisipasi degradasi dalam pendidikan. Perbedaan generasi antara pendidik dan siswa didik membuat berbeda pula dalam cara berkomunikasi. Penerapan metode pembelajaran yang bervarian,  gaya mengajar dan gaya belajar yang heterogen. Hal ini berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Bagaimana agar terjadi sinkronisasi komunikasi antara guru yang terlahir pada generasi Write–Me /Baby Boomers (1946-1964) yang secara umum sulit beradaptasi dengan perkembangan teknologi saat ini,  atau guru generasi Caall-Me/ Gen X (1965-1980) yang lebih suka menggunakan phone Call daripada email dan chat, harus menghadapi siswa didik pada generasi Email–Me/ Gen Milenial (1981- 1997) yang cepat beradaptasi terhadap perkembangan teknologi, atau siswa didik pada generasi Chat-Me/ Gen Z (1998- 2010) yang mudah dan sangat cepat beradaptasi dengan teknologi,  bahkan harus menghadapi siswa didik setelahnya, siswa didik generasi Alpha ( 2011-...).

Hal ini dapat menjadi tantangan bagi guru masa kini. Mungkin inilah  pengaruh modernisasi, perkembangan jaman. Pola  hidup sangat dinamis yang secara tidak langsung ada proses informasi yang dipercepat. Padahal sesungguhnya intisari pembelajaran itu saat proses berlangsung.

Karakter ketertutupan Indonesia, menutupi hal-hal yang tabu, atau dianggap negatif. Hal ini pun membatasi kemampuan untuk mengembangkan sifat  kritis. Ilmu hanya sebagai bentuk medium atau perantara dalam membelajarkan siswa  untuk  mengejar nilai-nilai dalam bentuk angka.

Selama ini mainset dalam belajar  berfokus pada nilai. Seringkali siswa didik  belajar karena dipaksa untuk mencapai nilai tinggi bukan karena kesadaran dan kemauannya. Kesuksesan dalam  belajar dianggap akan bermakna jika diiming-imingi hadiah nilai yang tinggi, maka tumbuhlah budaya keterpaksaan. Tujuan utama belajar menjadi terlupakan,  seakan-akan belajar  hanya untuk nilai, yang pada ujung-ujungnya belajar untuk mencari pekerjaan. Hal ini dampaknya  dari segi sosial, secara tidak langsung  membentuk  mental generasi yang lemah secara turun temurun. 

Sistem penilaian seperti ini pun  yang harus direstorasi. Rertorasi sistem kenaikan dan kelulusan  harus diutamakan. USBN dan US, bukan sekedar menguji konten materi pelajaran yang padat tetapi kurang mengena sasaran.  Menjawab soal dengan tipe pilihan ganda seperti yang dilaksanakan selama ini dalam setiap kegiatan di akhir pembelajaran menjadi tidak sinkron dengan prinsip penilaian pada pembelajaran abad 21 yang mengedepankan capaian kemampuan berliterasi dengan baik. Penilaian yang menitik beratkan pada karakter kritis, kreatif, kolaboratif dan komunikatif yang  sifatnya kualitatif, dan lebih tepat dituangkan dalam bentuk deskripsi. Adapun keberhasilan pembelajaran  sebagai tolok ukur penilaian  ketuntasan belajar secara eksplisit dapat dinyatakan dalam rentang nilai berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Sistem aplikasi digitalisasi dapat dimanfaatkan penggunaannya untuk restorasi penilaian. 

Saatnya siswa menikmati pembelajaran dengan menyenangkan, tanpa beban mengejar angka untuk mencapai batas nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). tetapi mengedepankan nilai karakter sebagai cerminan kualitas keilmuannya. Siswa didik dihadapkan pada pembelajaran abad 21 yang menekankan pada prinsip 4C (Critis, Creative, Colaborative, Communicative) dan literat.

Pembangunan Infrastruktur  bidang pendidikan akan menunjukkan  dasar moral dan karakter suatu bangsa. Pendidikan sebagai ilmu, harus diklasifikasi secara berjenjang dan lebih mendalam. Faktor utama dan yang  pertama harus dibenahi adalah SDM guru. Karena, keberhasian pendidikan bermula dan berakhir di guru. Guru sebagai medium indikator kemajuan pendidikan.  Guru profesional yang bisa membawa siswa didik  menjadi insan yang berdaya guna, memiliki mental yang baik, pejuang, patriotik,  simpatik, kreatif, bertanggung jawab,  mengenali jati dirinya, serta memiliki sifat kepemimpinan.

Maka, Jadilah pendidik yang sadar lingkungan, supaya bisa bertahan dan beradaptasi. Jadilah guru penggerak yang bisa menggerakkan semua elemen kemanusiaannya. Jadikan dunia digital/maya sebagai dunia tempat mendapatkan informasi, dan perluasan wawasan.

Guru memegang peran penting sebagai agen perubahan. Menjadi pribadi yang inspiratif kaya akan ide dan kreatifitas, memiliki kepribadian yang kuat, memiliki karya nyata, memiliki  empati, mencintai ilmu pengetahuan, menjalani hidup sesuai passion-nya.  Perubahan dalam mengajar bukan sekedar menyiapkan metode pembelajaran, materi pembelajaran , tetapi yang penting dapat menghadirkan jiwa guru  sebagai pengajar dan pendidik.  Menciptakan kenikmatan dalam belajar, sehingga dirasakan oleh siswa didiknya belajar menjadi menyenangkan. Pelajaran dinikmati dan disukai, siswa tidak merasa tertekan karena tidak dituntut  harus berhasil. Belajar sesuai kebutuhan. Sehingga konsep merdeka belajar dapat dirasakan benar oleh pembelajar. Selama ini ukuran keberhasilan dilihat dari ketercapaaian KKM.  KKM seakan telah menjebak dan  menutup potensi dan ruang kreatifitas. 

Sebagai guru pengggerak, guru hadir dengan pribadi yang menggerakkan, aktif, dinamis, terdepan dalam melakukan perubahan, tegas dalam bersikap, lembut dalam empati, mampu menggerakkan hati setiap orang, sera mampu menciptakan tantangan baru. Membangun hubungan harmonis antara guru dan siswa. Siswa diperlakukan  sebagai teman bicara, bisa menerima kebebasan berpendapat,  lebih terbuka, kondusif dalam pembelajaran, memanfaatkan golden time (1 jam) saat pembelajaran berlangsung.

Hal mendasar dari seorang guru sebagai agen perubahan, harus menjadi figur pribadi yang meneladani. Pendidikan memerlukan role model, ada pendamping, ada pembimbing. Ing Ngarso sung tulodo, ing Madya mangun Karso, Tut Wuri Handayani, inilah  konsep teladan pembelajaran yang diusung oleh Pakar Pendidikan, Ki Hajar Dewantoro. Menjadi teladan dalam pembiasaan, untuk membangun karakter membuat siswa menjadi super, ingin tahu, dan memiliki pola pikir yang kritis. Pendidikan ibarat taman  di halaman sebuah rumah, menjadi suatu kebutuhan bagi penghuninya dengan rerumputan yang lua, indah dan asri. Itulah pendidikan, harus menjadi kebutuhan bagi setiap insan, dapat memberi kesegaran, kenyamanan dan kebahagiaan bagi yang telah mendapatkannya.

Teknologi adalah alat yang dirancang hanya mengikuti aturan, tidak berpikir, karena semua sudah diprogram. Manusialah  yang mengatur teknologi. Disrupsi di era digitalisasi menuntut guru dalam pemahaman teknologi. Siswa tidak bisa mengandalkan teknologi secara langsung,  tetapi harus ada yang mendampingi.  Teknologi itu bukan pendidik. Banyak orang berpikir bahwa teknologi itu kebutuhan, tetapi masih ada sebagian rakyat Indonesia yang berpikir teknologi itu menyusahkan. Karena gaya hidup di era  globalisasi, kita dituntut harus memiliki gadget. Kebutuhan primer bergeser, yang tadinya sandang pangan sekarang bertambah ada laptop dan HP. Sungguh kita tidak boleh menutup mata, tuntutan lingkungan membuat guru harus menguasai literasi digital. Salah pengertian, kita bukan butuh HP, tapi kita hanya mengikuti  jaman. Indonesia mengikuti teknologi, tetapi bukan sebagai produsen. Indonesia hanya menjadi objek ladang pasar digital. Hanya mengikuti, tahu cangkangnya saja, tapi tidak menguasai inti dari jejaringnya.

Teknologi dipakai dalam pembelajaran tentu akan lebih efisien, cepat dan luas. Kesulitannya, terletak pada bagaimana cara menjaringnya. Membelajarkan siswa didik mencari inti dari suatu informasi, bersikap dewasa dalam menikmati teknologi,  bisa menfaatkan teknologi untuk yang lebih bermanfaat. Lihatlah kontennya, apa tujuannya, dan apa manfaatnya.

Akrab dengan teknologi artinya bermain dengan IT, bukan sebagai pembelajaran tetapi sebagai hobby.  Dengan Era Digital, kita bisa belajar tidak harus selalu di ruang kelas. Kemudahan mengakses informasi keilmuan menjadi kebutuhan. Dalam sistem  pendidikan, guru tidak bisa ditinggalkan. Guru sebagai filter, ada rambu-rambu etika pembelajaran, karena cakupan informasi begitu luas.

Pemanfaatan teknologi digital dalam pembelajaran dilakukan untuk mengoptimalkan sarana kegiatan pembelajaran.  Penggunaan alat-alat, misalnya: proyektor, HP, dan laptop diefektifkan untuk pengerjaan tugas, Presentasi dan mengirim laporan.

Esensi dari restorasi pendidikan di era disrupsi teknologi Informasi mengajak pengajar dan pembelajar berpikir maju atau visioner. Teknologi sebagai fasilitas dan alat. Dengan memahami teknologi dan tahu apa dampak serta manfaatnya kita akan dapat memaksimalkan dan mengefektifkan teknologi tersebut untuk keperluan belajar mengajar.

Secara sekilas Era Millenial membuat anak bangsa mengalami kemunduran moral dan karakter dalam kehidupan. Hal ini sangat memengaruhi pendidikan Indonesia dalam berbagai aspek. Globalisasi juga membuat dampak besar dalam cara berpikir atau pola pikir bangsa dalam melihat dunia. Dahulu kita hanya melihat dunia berdasarkan pandangan-pandangan umum yang sudah tertanam dalam bentuk kebudayaan dan cara hidup sehari-hari. Namun, sejak meluasnya globalisasi, pandangan kita terhadap dunia berubah drastis. Karena adanya faktor-faktor tersebut membuat bentuk variabel-variabel kehidupan dan potensi yang tertanam di dalamnya semakin bertambah dan sangat sulit untuk dikalkulasi melihat jumlah probabilitas yang semakin tidak terawang.

Begitu pula pendidikan di Indonesia saat ini. Kita harus menyadari kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia yang kurang merata dan memadai di era yang memiliki perkembangan yang sangat pesat seperti sekarang sangatlah berbahaya. Dalam hal yang mendasar seperti pola pikir dan kararakter, sangat kurang dimiliki oleh para pelajar di Indonesia. Kekurangan tersebut menyebabkan rusaknya fondasi dasar pendidikan yang berakibat sangat fatal. Pendidikan yang sebagian besar bersifat otoriter dan pasif juga tidak membantu keadaan. Karena secara mental dan psikologis, para pelajar tidak bisa beradaptasi terhadap bentuk-bentuk pendidikan yang tidak sesuai dengan porsinya. Mengingat jumlah populasi bangsa kita, membuat situasi lebih mengkhawatirkan.

Pendidikan Indonesia memiliki beberapa kelemahan dalam sistem strukturalnya seperti terlalu universalnya pendidikan umum yang terfokus terhadap kajian teori. Banyaknya bidang pelajaran, kurangnya efesiensi waktu. Restorasi pendidikan menuju Indonesia maju membutuhkan  hadirnya figur guru berkualitas yang bisa mengajar dan mendidik para pelajar khususnya pendidikan moral dan karakter. Guru yang bisa membangun siswa didik sebagai citra bangsa berbudaya dan beradab.

Pemerintah seharusnya membangun infrastruktur negara terfokus pada bidang pendidikan. Karena sejarah mencatat bahwa setiap negara yang maju berasal dari tingkat kesadaran dan intelektual bangsanya dalam menyikapi kehidupan. Pembenahan sistem pendidikan  juga disesuaikan dengan minat dan bakat siswa, serta tidak dipaksakan agar murid lebih bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, untuk mengatasi situasi seperti ini kita harus sangat memperhatikan hal-hal yang mendasar seperti peningkatan kualitas pendidikan khususnya pemberdayaan guru-guru yang berkualitas. Karena kemunduran kita selama ini karena kita belum memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bangsa kita yang diperlukan pada era Millenial ini.

Era digital mengajak guru-guru melangkah ke depan melihat cakrawala dunia secara terbuka dan lebar. Cara pembelajaran harus lebih kreatif dan inovatif. Pemanfaatan teknologi sebagai ajang komunikasi terstruktur. Teknologi dioptimalkan sebagai media interaksi antara guru dengan peserta didik.  *****

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...