Penulis: Mikdam Mustopa
Mikdam Mustopa
(Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)
Sampai
saat ini, istilah perencanaan pembelajaran guru sudah mengalami beberapa
perubahan. Pada waktu diberlakukan kurikulum 1975, istilah yang digunakan adalah
satuan pelajaran. Seiring dengan perubahan kurikulum di negara kita, kemudian
berubah menjadi beberapa istilah, di antaranya rencana pembelajaran, rencana
pengajaran, skenario pembelajaran, dan lesson
plan.
Istilah
RPP atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran baru muncul ketika diberlakukannnya kurikulum
berbasis kompetensi yang kemudian berubah menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) dan berubah lagi menjadi kurikulum 2013. Bahkan akhir-akhir
ini dengan kebijakan merdeka belajar muncul istilah RPP versi satu lembar.
Istilah-istilah tersebut sebenarnya merujuk ke benda yang sama, yakni
perencanaan pembelajaran yang harus disusun oleh guru sebelum mengajar agar
kegiatan pembelajaran berjalan sesuai dengan pesanan kurikulum, yakni
pembelajaran yang aktif, interaktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Seringkali
ada guru yang tidak menyadari bahwa menyusun RPP sebelum mengajar adalah salah
satu kewajiban atau keharusan sebagai salah satu tugas pokoknya. Berdasarkan
aturan yang ada, di antaranya berdasarkan Permenegpan RB Nomor 16 Tahun 2009 kewajiban
guru dalam melaksanakan tugas adalah merencanakan pembelajaran/bimbingan,
melaksanakan pembelajaran/bimbingan yang bermutu, menilai dan mengevaluasi
hasil pembelajaran/bimbingan, serta melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan
pengayaan (Kemenpan RB, 2009: 6). Selain itu juga berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 tentang
Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah Pasal 3 disebutkan
bahwa pelaksanaan beban kerja selama 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam
kerja efektif sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) bagi guru mencakup
kegiatan pokok yang salah satunya adalah merencanakan pembelajaran atau
pembimbingan (Kemdikbud, 2018 : 3).
Jika
seorang guru menyusun RPP karena dimotivasi dengan kewajiban mereka sebagai
motivasi ekstrinsik maka guru tersebut melakukan penyusunan RPP karena
keharusan. Sebagai konsekuensi dari penyusunan RPP dengan hanya motivasi
seperti itu, kadangkala kepemilikan RPP oleh guru bukan karena diperlukan
sebagai kebutuhan untuk keberhasilan pembelajaran melainkan karena keharusan
dari segi tuntutan administratif. Temuan di lapangan, pada
umumnya para guru membuat RPP karena mau diperiksa oleh Kepala Sekolah atau
Pengawas tetapi kalau tidak ada pemeriksaan maka RPP tersebut tidak ada.
Dalam
situasi seperti itu, RPP jadi asal ada. RPP bukan lagi barang yang dibuat
sebagai perencanaan pembelajaran melainkan hanya setumpuk perangkat
administrasi yang isinya tidak bisa dimengerti oleh orang yang membacanya
bahkan tidak bisa dimengerti oleh pemiliknya sendiri. Ketika sekolah ada
kegiatan visitasi akreditasi biasanya RPP semacam ini banyak muncul. RPP itu
ada dan super lengkap tetapi hasil
dari download yang tidak jelas siapa
penyusunnya. Apapun mata pelajarannya isi RPP cenderung sama dan isinya tidak
dipahami oleh pemiliknya. Ada juga RPP hasil dari fotokopi yang tidak sempat
teredit identitasnya karena dibuat semalam sebelum mau diperiksa. Jika sudah
seperti itu, kumpulan RPP tersebut jadi seonggok administrasi yang masih berupa
lembaran fotokopi yang masih hangat, yang tidak dibuat berdasarkan kompetensi
baik pedagogik maupun profesional yang sebagian sudah mereka peroleh sejak di
bangku kuliah keguruannya dan sebagian lagi mereka peroleh dari pengalamannya
selama menjadi guru. Di tahun-tahun berikutnya, kumpulan administrasi tersebut
akan menjadi barang yang out of date
karena tidak pernah direvisi. Mereka seolah tidak tahu bahwa RPP bisa dibuat
jika mereka mendayagunakan 4 kompetensi guru yang seharusnya mereka amalkan
terutama kompetensi pedagogik dan profesional.
Apapun
motivasinya, guru yang membuat RPP dinilai lebih baik ketimbang yang tidak
membuat, karena ternyata ada juga yang tidak membuatnya sama sekali meskipun
mau disupervisi. Dengan kata lain, kegiatan pemantauan dan supervisi serta
tindak lanjutnya dalam hal ini memegang peranan penting agar para guru bisa
menyusun RPP minimal dengan motivasi ekstrinsik dengan harapan pada suatu waktu
bisa timbul motivasi intrinsik dari dalam dirinya dan menyadari bahwa memang
RPP harus dibuat karena diperlukan demi pembelajaran siswa yang aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan. Kita yakin bahwa RPP yang bagus adalah RPP yang
selesai, dibuat dan/atau diedit sendiri sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi
kelas masing-masing.
Idealnya,
kegiatan menyusun RPP itu seharusnya merupakan suatu kebutuhan, dan bukan hanya
keharusan, yakni agar para guru bisa mempersiapkan kegiatan mengajarnya baik
dalam hal tujuan, materi, metode, media, dan komponen lainnya ditujukan untuk
keberhasilan pembelajaran di kelas. Penyusunan RPP dilakukan agar pembelajaran
di kelas menjadi lebih bermutu dan optimal, artinya agar siswa sebagai salah
satu pelanggan pendidikan merasa puas jika guru mengajar dengan terlebih dahulu
membuat RPP. Kepuasan siswa dalam mengikuti proses belajar
belajar merupakan salah satu ukuran harus dipegang teguh sebagai tujuan
dibuatnya RPP sebagai skenario pembelajaran.
Ada
beberapa indikator sebagai penciri bahwa sebuah RPP itu disusun berdasarkan
kebutuhan. Yang pertama RPP tersebut dibuat berdasarkan analisis di antaranya
analisis alokasi waktu yang disesuaikan dengan muatan materi yang akan
diajarkan kepada siswa. Itulah sebabnya penyusunan RPP seharusnya dilakukan
setelah dibuatnya program tahunan, program semester dan silabus. Tidak mungkin,
RPP dibuat secara mandiri tanpa analisis terlebih dahulu yang dibuktikan dengan
dimilikinya perangkat-perangkat pembelajaran pendukung tersebut. Yang kedua,
tujuan pembelajaran dirumuskan sesuai dengan kriteria yang baik dan benar,
antara lain menggunakan kata kerja operasional dan bisa diukur capaiannya. Yang
ketiga, kegiatan pembelajaran dibuat operasional dan berisikan model
pembelajaran yang diyakini akan membelajarkan siswa secara aktif, interaktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan sesuai dengan tuntutan kurikulum yang
berlaku. Meskipun ada prinsip bahwa model pembelajaran “apapun” boleh dilakukan
asalkan KD bisa tercapai tetapi tetap model atau teknik pembelajaran tersebut
seharusnya ada landasan teoritisnya, minimal meskipun menggunakan model
pembelajaran sendiri tetapi tetap harus berupa hasil penelitian tindakan kelas
yang sudah dilakukannya. Yang terahir, penilaiannya diyakini bisa mengukur
sejauhmana tujuan pembelajaran yang sudah dirumuskan bisa tercapai untuk setiap
kompetensi, baik ranah sikap, pengetahuan dan keterampilannya.
Sebagai
solusi dari permasalahan-permasalahan di atas, konsep Merdeka Belajarnya Pak
Mendikbud, khususnya tentang RPP 1 lembar bisa didayagunakan minimal untuk
menghindari budaya pintas “download”
yang tidak jelas sumbernya. Biasanya kegiatan pembelajarannya pun berisikan
kegiatan-kegiatan teoretis dan tidak operasional. Seharusnya seorang guru yang
notabene seorang sarjana yang ahli di bidangnya yang seharusnya menghasilkan
skenario pembelajaran khususnya bagi kepentingannya sendiri bukan dihasilkan
oleh seseorang yang belum tentu seorang ahli dan mengetahui yang para guru
perlukan. Dengan konsep RPP 1 lembar, seorang guru dituntut untuk, meskipun
singkat, membuat sendiri skenario pembelajaran yang berbasis kebutuhan dan
bukan hanya karena keharusan, minimal berbasis kebutuhan plus keharusan. ***