RPP: Kebutuhan atau Keharusan?

Penulis: Mikdam Mustopa

Dibaca: 1006 kali

Mikdam Mustopa

 Oleh Mikdam Mustopa

(Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)

 

Sampai saat ini, istilah perencanaan pembelajaran guru sudah mengalami beberapa perubahan. Pada waktu diberlakukan kurikulum 1975, istilah yang digunakan adalah satuan pelajaran. Seiring dengan perubahan kurikulum di negara kita, kemudian berubah menjadi beberapa istilah, di antaranya rencana pembelajaran, rencana pengajaran, skenario pembelajaran, dan lesson plan.

Istilah RPP atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran baru muncul ketika diberlakukannnya kurikulum berbasis kompetensi yang kemudian berubah menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan berubah lagi menjadi kurikulum 2013. Bahkan akhir-akhir ini dengan kebijakan merdeka belajar muncul istilah RPP versi satu lembar. Istilah-istilah tersebut sebenarnya merujuk ke benda yang sama, yakni perencanaan pembelajaran yang harus disusun oleh guru sebelum mengajar agar kegiatan pembelajaran berjalan sesuai dengan pesanan kurikulum, yakni pembelajaran yang aktif, interaktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Seringkali ada guru yang tidak menyadari bahwa menyusun RPP sebelum mengajar adalah salah satu kewajiban atau keharusan sebagai salah satu tugas pokoknya. Berdasarkan aturan yang ada, di antaranya berdasarkan Permenegpan RB Nomor 16 Tahun 2009 kewajiban guru dalam melaksanakan tugas adalah merencanakan pembelajaran/bimbingan, melaksanakan pembelajaran/bimbingan yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran/bimbingan, serta melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan (Kemenpan RB, 2009: 6). Selain itu juga berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah Pasal 3 disebutkan bahwa pelaksanaan beban kerja selama 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja efektif sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) bagi guru mencakup kegiatan pokok yang salah satunya adalah merencanakan pembelajaran atau pembimbingan (Kemdikbud, 2018 : 3).

Jika seorang guru menyusun RPP karena dimotivasi dengan kewajiban mereka sebagai motivasi ekstrinsik maka guru tersebut melakukan penyusunan RPP karena keharusan. Sebagai konsekuensi dari penyusunan RPP dengan hanya motivasi seperti itu, kadangkala kepemilikan RPP oleh guru bukan karena diperlukan sebagai kebutuhan untuk keberhasilan pembelajaran melainkan karena keharusan dari segi tuntutan administratif. Temuan di lapangan, pada umumnya para guru membuat RPP karena mau diperiksa oleh Kepala Sekolah atau Pengawas tetapi kalau tidak ada pemeriksaan maka RPP tersebut tidak ada.

Dalam situasi seperti itu, RPP jadi asal ada. RPP bukan lagi barang yang dibuat sebagai perencanaan pembelajaran melainkan hanya setumpuk perangkat administrasi yang isinya tidak bisa dimengerti oleh orang yang membacanya bahkan tidak bisa dimengerti oleh pemiliknya sendiri. Ketika sekolah ada kegiatan visitasi akreditasi biasanya RPP semacam ini banyak muncul. RPP itu ada dan super lengkap tetapi hasil dari download yang tidak jelas siapa penyusunnya. Apapun mata pelajarannya isi RPP cenderung sama dan isinya tidak dipahami oleh pemiliknya. Ada juga RPP hasil dari fotokopi yang tidak sempat teredit identitasnya karena dibuat semalam sebelum mau diperiksa. Jika sudah seperti itu, kumpulan RPP tersebut jadi seonggok administrasi yang masih berupa lembaran fotokopi yang masih hangat, yang tidak dibuat berdasarkan kompetensi baik pedagogik maupun profesional yang sebagian sudah mereka peroleh sejak di bangku kuliah keguruannya dan sebagian lagi mereka peroleh dari pengalamannya selama menjadi guru. Di tahun-tahun berikutnya, kumpulan administrasi tersebut akan menjadi barang yang out of date karena tidak pernah direvisi. Mereka seolah tidak tahu bahwa RPP bisa dibuat jika mereka mendayagunakan 4 kompetensi guru yang seharusnya mereka amalkan terutama kompetensi pedagogik dan profesional.

Apapun motivasinya, guru yang membuat RPP dinilai lebih baik ketimbang yang tidak membuat, karena ternyata ada juga yang tidak membuatnya sama sekali meskipun mau disupervisi. Dengan kata lain, kegiatan pemantauan dan supervisi serta tindak lanjutnya dalam hal ini memegang peranan penting agar para guru bisa menyusun RPP minimal dengan motivasi ekstrinsik dengan harapan pada suatu waktu bisa timbul motivasi intrinsik dari dalam dirinya dan menyadari bahwa memang RPP harus dibuat karena diperlukan demi pembelajaran siswa yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Kita yakin bahwa RPP yang bagus adalah RPP yang selesai, dibuat dan/atau diedit sendiri sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi kelas masing-masing.

Idealnya, kegiatan menyusun RPP itu seharusnya merupakan suatu kebutuhan, dan bukan hanya keharusan, yakni agar para guru bisa mempersiapkan kegiatan mengajarnya baik dalam hal tujuan, materi, metode, media, dan komponen lainnya ditujukan untuk keberhasilan pembelajaran di kelas. Penyusunan RPP dilakukan agar pembelajaran di kelas menjadi lebih bermutu dan optimal, artinya agar siswa sebagai salah satu pelanggan pendidikan merasa puas jika guru mengajar dengan terlebih dahulu membuat RPP. Kepuasan siswa dalam mengikuti proses belajar belajar merupakan salah satu ukuran harus dipegang teguh sebagai tujuan dibuatnya RPP sebagai skenario pembelajaran.

Ada beberapa indikator sebagai penciri bahwa sebuah RPP itu disusun berdasarkan kebutuhan. Yang pertama RPP tersebut dibuat berdasarkan analisis di antaranya analisis alokasi waktu yang disesuaikan dengan muatan materi yang akan diajarkan kepada siswa. Itulah sebabnya penyusunan RPP seharusnya dilakukan setelah dibuatnya program tahunan, program semester dan silabus. Tidak mungkin, RPP dibuat secara mandiri tanpa analisis terlebih dahulu yang dibuktikan dengan dimilikinya perangkat-perangkat pembelajaran pendukung tersebut. Yang kedua, tujuan pembelajaran dirumuskan sesuai dengan kriteria yang baik dan benar, antara lain menggunakan kata kerja operasional dan bisa diukur capaiannya. Yang ketiga, kegiatan pembelajaran dibuat operasional dan berisikan model pembelajaran yang diyakini akan membelajarkan siswa secara aktif, interaktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku. Meskipun ada prinsip bahwa model pembelajaran “apapun” boleh dilakukan asalkan KD bisa tercapai tetapi tetap model atau teknik pembelajaran tersebut seharusnya ada landasan teoritisnya, minimal meskipun menggunakan model pembelajaran sendiri tetapi tetap harus berupa hasil penelitian tindakan kelas yang sudah dilakukannya. Yang terahir, penilaiannya diyakini bisa mengukur sejauhmana tujuan pembelajaran yang sudah dirumuskan bisa tercapai untuk setiap kompetensi, baik ranah sikap, pengetahuan dan keterampilannya.

Sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan di atas, konsep Merdeka Belajarnya Pak Mendikbud, khususnya tentang RPP 1 lembar bisa didayagunakan minimal untuk menghindari budaya pintas “download” yang tidak jelas sumbernya. Biasanya kegiatan pembelajarannya pun berisikan kegiatan-kegiatan teoretis dan tidak operasional. Seharusnya seorang guru yang notabene seorang sarjana yang ahli di bidangnya yang seharusnya menghasilkan skenario pembelajaran khususnya bagi kepentingannya sendiri bukan dihasilkan oleh seseorang yang belum tentu seorang ahli dan mengetahui yang para guru perlukan. Dengan konsep RPP 1 lembar, seorang guru dituntut untuk, meskipun singkat, membuat sendiri skenario pembelajaran yang berbasis kebutuhan dan bukan hanya karena keharusan, minimal berbasis kebutuhan plus keharusan. ***

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...