Penulis: Fileski Walidha Tanjung
BIDAAH
Oleh Fileski Walidha Tanjung
Sebuah sinetron,
ketika dikemas dengan ketajaman naratif dan keberanian mengangkat isu sensitif,
bisa menjadi lebih dari sekadar tontonan—ia menjelma jadi ruang kontemplasi
kolektif. Serial Bidaah adalah salah satunya. Di permukaan, ia menyajikan kisah
dramatis: Baiduri, seorang perempuan muda, dipaksa masuk dalam sebuah sekte
keagamaan yang dikendalikan oleh figur guru kharismatik bernama Walid al Mahdi.
Namun di balik kerumitannya, Bidaah adalah perenungan tentang bagaimana agama
bisa menjadi pisau bermata dua: menyembuhkan sekaligus melukai.
Agama, pada
dasarnya, adalah ruang tafsir yang tak pernah final. “Religion is excellent
stuff for keeping common people quiet,” tulis Napoleon Bonaparte dalam
catatannya yang sinis, “Religion is what keeps the poor from murdering the
rich.” Di tangan mereka yang haus kuasa, agama menjelma jadi instrumen dominasi
yang membungkam. Guru Walid adalah arketipe dari tokoh agama yang menyimpang:
karismanya dijadikan legitimasi untuk menundukkan, bukan membebaskan. Ritual
minum air cucian kakinya, misalnya, bukan sekadar praktik aneh, melainkan
simbol absolutisasi kekuasaan spiritual yang menjadikan tubuh manusia lain
sebagai objek ketaatan mutlak.
Tokoh Baiduri,
yang mempertanyakan struktur-sekte dan mendobraknya dari dalam, hadir sebagai
metafora resistensi terhadap kultus otoritas. Ia tidak hanya melawan Walid
sebagai figur, tetapi juga melawan struktur keagamaan yang sudah terlalu lama
dibiarkan tumbuh liar tanpa kritik. Ia adalah perwujudan dari tafsir agama yang
hidup—dinamis, bertanya, dan bergerak melampaui teks-teks beku.
Yang menarik,
serial ini seakan menyampaikan pesan tersirat bahwa mendalami agama bukanlah
jalan satu arah menuju kebaikan. Justru, ia mempertegas karakter dasar
seseorang. Seperti yang ditulis Karen Armstrong, seorang teolog dan mantan
biarawati, dalam bukunya The Battle for God: "Fundamentalism is not about
religion per se; it is about power, control, and fear." Maka, seorang yang
pada dasarnya penuh dendam, ketika berkutat dalam tafsir literalistik agama,
bisa menjelma mesin kekerasan. Sebaliknya, mereka yang menghayati agama sebagai
jalan cinta dan kasih—seperti Baiduri dan Hambali—akan menggunakan ajaran itu
untuk melindungi dan membebaskan.
Serial ini juga
menjadi kritik telak terhadap praktik hidup para pemuka agama yang memamerkan
kemewahan dengan alasan legitimasi spiritual. Nabi Muhammad SAW hidup dalam
kesederhanaan: tidur di atas tikar, menjahit bajunya sendiri, dan menolak
kekuasaan duniawi. Kisahnya bukan dongeng moral, tapi cermin bagi siapa pun
yang mengaku berjalan di jalannya. Ketika pemuka agama zaman ini berlomba
membeli mobil mewah dari dana umat, atau membangun istana pribadi di atas nama
wakaf, maka kita sedang menyaksikan ironi sejarah yang paling getir.
Yesus dari
Nazaret, sebelum perjamuan terakhir, membasuh kaki para muridnya—tindakan
radikal yang menantang struktur hierarki sosial dan spiritual. Dia menolak
mahkota duniawi dengan berkata, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” Para Rabi
dalam tradisi Yahudi awal, juga para Bhiksu dalam Buddhisme awal, menekankan
kesahajaan hidup sebagai jalan spiritual. Dalam tradisi Sanatana Dharma,
seorang Brahmana bukanlah penguasa, tapi pelayan—“seorang yang telah memadamkan
api egonya.”
Namun kini, kita
hidup di zaman di mana simbol-simbol keagamaan lebih kuat dari makna dasarnya.
Jubah lebih dihormati ketimbang keluhuran akhlak. Seorang guru spiritual bisa
dianggap suci hanya karena suaranya lembut dan kata-katanya manis, meskipun
tangan dan pikirannya menyimpan kebusukan. Bidaah menyibak ini semua: bahwa di
balik selimut “kesalehan”, bisa tersembunyi borok kekuasaan yang jauh lebih
menyesatkan dari sekadar bid’ah ritualistik.
Agama adalah
artefak hidup. Ia menyimpan lapisan makna, sejarah, dan luka kolektif yang tak
pernah tuntas dimaknai. Apa yang tampak sebagai ketaatan hari ini, bisa jadi
adalah bentuk penindasan yang disucikan. Karena itu, masyarakat harus melek
terhadap lapisan simbolik dalam praktik keagamaan. Bukan untuk mencurigai
semua, melainkan untuk mencegah pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur yang
justru ingin dijaga oleh agama itu sendiri.
Martin Luther,
dalam revolusi reformasi gereja, pernah berkata: “Even if I knew that tomorrow
the world would go to pieces, I would still plant my apple tree.” Ini adalah
seruan tentang integritas iman: bahwa iman bukan ketaatan membabi buta, tetapi
keberanian untuk memilih yang benar di tengah kepungan kebatilan, sekalipun
sendirian.
Maka, pertanyaannya
bukan lagi apakah agama itu baik atau buruk. Pertanyaannya adalah: siapa yang
sedang menggunakannya, untuk apa, dan bagaimana? Apakah kita masih sanggup
membedakan antara cahaya dan ilusi cahaya? Antara wahyu yang membebaskan dan
dogma yang memperbudak?
Serial Bid'ah
menunjukkan bahwa tidak semua yang mengatasnamakan Tuhan sedang bekerja untuk
Tuhan. Justru sering kali, yang mengumandangkan nama-Nya paling keras, adalah
mereka yang paling jauh dari nilai-nilai-Nya. Dalam dunia yang penuh simbol
suci, siapakah yang masih berani melihat ke balik jubah, menantang struktur,
dan menanyakan: benarkah ini jalan kebenaran, atau hanya koridor kekuasaan yang
dilapisi doa-doa palsu?
Kita hidup di masa
ketika banyak orang lebih takut dianggap tidak religius ketimbang tidak adil.
Lebih sibuk mempercantik ritus daripada memanusiakan manusia. Padahal agama,
bila kita gali ke akarnya yang paling purba, bukanlah sistem aturan yang
membelenggu, melainkan ruang batin yang memerdekakan.
Apa gunanya shalat
lima waktu jika setelah itu kita memperkosa murid-murid kita? Apa gunanya hafal
kitab suci jika lidah kita mencaci, tangan kita merampas, dan hati kita
membatu? Siapa yang lebih mulia: orang yang tak begitu menguasai ilmu agama
tapi jujur dan penyayang, atau orang yang mengatasnamakan agama untuk menumpuk
kekayaan dan memperalat sesama?
Pertanyaan-pertanyaan
ini bukan untuk dijawab dengan cepat, melainkan untuk dibawa pulang, dipendam
dalam hati, dan direnungkan seumur hidup. Karena mungkin, tugas kita sebagai
manusia bukanlah menemukan jawaban, tetapi menjaga agar pertanyaan-pertanyaan
itu tetap hidup. Sebab ketika kita berhenti bertanya, kita berhenti tumbuh. Dan
ketika agama kehilangan daya untuk membuat kita merenung, maka ia telah
kehilangan jiwanya.
Agama yang sejati
tidak memaksa. Ia mengajak. Ia tidak mengancam. Ia merangkul. Ia tidak
membutakan, tetapi justru membuka mata kita—pada kemanusiaan, pada cinta kasih,
pada makna terdalam dari menjadi manusia di hadapan Tuhan yang tak bisa
dibatasi oleh bangunan, gelar, atau atribut.
Dan pada akhirnya,
barangkali Tuhan sendiri pun akan bertanya pada kita, bukan seberapa sering
kita mengucap nama-Nya, tapi seberapa sering kita membuat orang lain merasa
disayangi dan dihargai karenanya. (*)
Fileski Walidha
Tanjung adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan
prosa di berbagai media lokal dan nasional.