"Viral Sekte Sesat; Tafsir Ulang atas Ketaatan dalam Serial Bid’ah"

Penulis: Fileski Walidha Tanjung

Dibaca: 92 kali

BIDAAH

Oleh Fileski Walidha Tanjung

 

Sebuah sinetron, ketika dikemas dengan ketajaman naratif dan keberanian mengangkat isu sensitif, bisa menjadi lebih dari sekadar tontonan—ia menjelma jadi ruang kontemplasi kolektif. Serial Bidaah adalah salah satunya. Di permukaan, ia menyajikan kisah dramatis: Baiduri, seorang perempuan muda, dipaksa masuk dalam sebuah sekte keagamaan yang dikendalikan oleh figur guru kharismatik bernama Walid al Mahdi. Namun di balik kerumitannya, Bidaah adalah perenungan tentang bagaimana agama bisa menjadi pisau bermata dua: menyembuhkan sekaligus melukai.

Agama, pada dasarnya, adalah ruang tafsir yang tak pernah final. “Religion is excellent stuff for keeping common people quiet,” tulis Napoleon Bonaparte dalam catatannya yang sinis, “Religion is what keeps the poor from murdering the rich.” Di tangan mereka yang haus kuasa, agama menjelma jadi instrumen dominasi yang membungkam. Guru Walid adalah arketipe dari tokoh agama yang menyimpang: karismanya dijadikan legitimasi untuk menundukkan, bukan membebaskan. Ritual minum air cucian kakinya, misalnya, bukan sekadar praktik aneh, melainkan simbol absolutisasi kekuasaan spiritual yang menjadikan tubuh manusia lain sebagai objek ketaatan mutlak.

Tokoh Baiduri, yang mempertanyakan struktur-sekte dan mendobraknya dari dalam, hadir sebagai metafora resistensi terhadap kultus otoritas. Ia tidak hanya melawan Walid sebagai figur, tetapi juga melawan struktur keagamaan yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh liar tanpa kritik. Ia adalah perwujudan dari tafsir agama yang hidup—dinamis, bertanya, dan bergerak melampaui teks-teks beku.

Yang menarik, serial ini seakan menyampaikan pesan tersirat bahwa mendalami agama bukanlah jalan satu arah menuju kebaikan. Justru, ia mempertegas karakter dasar seseorang. Seperti yang ditulis Karen Armstrong, seorang teolog dan mantan biarawati, dalam bukunya The Battle for God: "Fundamentalism is not about religion per se; it is about power, control, and fear." Maka, seorang yang pada dasarnya penuh dendam, ketika berkutat dalam tafsir literalistik agama, bisa menjelma mesin kekerasan. Sebaliknya, mereka yang menghayati agama sebagai jalan cinta dan kasih—seperti Baiduri dan Hambali—akan menggunakan ajaran itu untuk melindungi dan membebaskan.

Serial ini juga menjadi kritik telak terhadap praktik hidup para pemuka agama yang memamerkan kemewahan dengan alasan legitimasi spiritual. Nabi Muhammad SAW hidup dalam kesederhanaan: tidur di atas tikar, menjahit bajunya sendiri, dan menolak kekuasaan duniawi. Kisahnya bukan dongeng moral, tapi cermin bagi siapa pun yang mengaku berjalan di jalannya. Ketika pemuka agama zaman ini berlomba membeli mobil mewah dari dana umat, atau membangun istana pribadi di atas nama wakaf, maka kita sedang menyaksikan ironi sejarah yang paling getir.

Yesus dari Nazaret, sebelum perjamuan terakhir, membasuh kaki para muridnya—tindakan radikal yang menantang struktur hierarki sosial dan spiritual. Dia menolak mahkota duniawi dengan berkata, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” Para Rabi dalam tradisi Yahudi awal, juga para Bhiksu dalam Buddhisme awal, menekankan kesahajaan hidup sebagai jalan spiritual. Dalam tradisi Sanatana Dharma, seorang Brahmana bukanlah penguasa, tapi pelayan—“seorang yang telah memadamkan api egonya.”

Namun kini, kita hidup di zaman di mana simbol-simbol keagamaan lebih kuat dari makna dasarnya. Jubah lebih dihormati ketimbang keluhuran akhlak. Seorang guru spiritual bisa dianggap suci hanya karena suaranya lembut dan kata-katanya manis, meskipun tangan dan pikirannya menyimpan kebusukan. Bidaah menyibak ini semua: bahwa di balik selimut “kesalehan”, bisa tersembunyi borok kekuasaan yang jauh lebih menyesatkan dari sekadar bid’ah ritualistik.

Agama adalah artefak hidup. Ia menyimpan lapisan makna, sejarah, dan luka kolektif yang tak pernah tuntas dimaknai. Apa yang tampak sebagai ketaatan hari ini, bisa jadi adalah bentuk penindasan yang disucikan. Karena itu, masyarakat harus melek terhadap lapisan simbolik dalam praktik keagamaan. Bukan untuk mencurigai semua, melainkan untuk mencegah pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur yang justru ingin dijaga oleh agama itu sendiri.

Martin Luther, dalam revolusi reformasi gereja, pernah berkata: “Even if I knew that tomorrow the world would go to pieces, I would still plant my apple tree.” Ini adalah seruan tentang integritas iman: bahwa iman bukan ketaatan membabi buta, tetapi keberanian untuk memilih yang benar di tengah kepungan kebatilan, sekalipun sendirian.

Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah agama itu baik atau buruk. Pertanyaannya adalah: siapa yang sedang menggunakannya, untuk apa, dan bagaimana? Apakah kita masih sanggup membedakan antara cahaya dan ilusi cahaya? Antara wahyu yang membebaskan dan dogma yang memperbudak?

Serial Bid'ah menunjukkan bahwa tidak semua yang mengatasnamakan Tuhan sedang bekerja untuk Tuhan. Justru sering kali, yang mengumandangkan nama-Nya paling keras, adalah mereka yang paling jauh dari nilai-nilai-Nya. Dalam dunia yang penuh simbol suci, siapakah yang masih berani melihat ke balik jubah, menantang struktur, dan menanyakan: benarkah ini jalan kebenaran, atau hanya koridor kekuasaan yang dilapisi doa-doa palsu?

Kita hidup di masa ketika banyak orang lebih takut dianggap tidak religius ketimbang tidak adil. Lebih sibuk mempercantik ritus daripada memanusiakan manusia. Padahal agama, bila kita gali ke akarnya yang paling purba, bukanlah sistem aturan yang membelenggu, melainkan ruang batin yang memerdekakan.

Apa gunanya shalat lima waktu jika setelah itu kita memperkosa murid-murid kita? Apa gunanya hafal kitab suci jika lidah kita mencaci, tangan kita merampas, dan hati kita membatu? Siapa yang lebih mulia: orang yang tak begitu menguasai ilmu agama tapi jujur dan penyayang, atau orang yang mengatasnamakan agama untuk menumpuk kekayaan dan memperalat sesama?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk dijawab dengan cepat, melainkan untuk dibawa pulang, dipendam dalam hati, dan direnungkan seumur hidup. Karena mungkin, tugas kita sebagai manusia bukanlah menemukan jawaban, tetapi menjaga agar pertanyaan-pertanyaan itu tetap hidup. Sebab ketika kita berhenti bertanya, kita berhenti tumbuh. Dan ketika agama kehilangan daya untuk membuat kita merenung, maka ia telah kehilangan jiwanya.

Agama yang sejati tidak memaksa. Ia mengajak. Ia tidak mengancam. Ia merangkul. Ia tidak membutakan, tetapi justru membuka mata kita—pada kemanusiaan, pada cinta kasih, pada makna terdalam dari menjadi manusia di hadapan Tuhan yang tak bisa dibatasi oleh bangunan, gelar, atau atribut.

Dan pada akhirnya, barangkali Tuhan sendiri pun akan bertanya pada kita, bukan seberapa sering kita mengucap nama-Nya, tapi seberapa sering kita membuat orang lain merasa disayangi dan dihargai karenanya. (*)

Fileski Walidha Tanjung adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan prosa di berbagai media lokal dan nasional.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...