Penulis Undang Iman Santosa
Undang Iman Santosa
Oleh
Undang Iman Santosa*)
*)
Pegiat Literasi SMKN PP CIANJUR
Sudah
menjadi maklum bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah
seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun amal yang dilakukan oleh seorang
mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah SWT.
Ikhlas
adalah sesuatu yang sangat mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk
dilaksanakan. Belum tentu orang yang mengaku ikhlas, itu ikhlas. Mengapa?
Karena orang yang mengetahui apakah orang tersebut benar-benar ikhlas atau
tidak adalah Allah. Bahkan, malaikat dan setan pun tidak mengetahui perihal
keikhlasan seseorang.
Dalam
sebuah hadits musalsal, Rasulullah ditanya tentang makna ikhlas. Lalu kemudian
Rasulullah bertanya kepada Jibril dan Jibril bertanya langsung kepada Allah.
Dalam hadits tersebut, Allah berfirman bahwa ikhlas adalah satu diantara banyak rahasia-Ku (Allah) yang Aku titipkan
di hati seseorang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku, yang tidak dapat dilihat
malaikat untuk dicatatnya, dan tidak juga terlihat oleh setan untuk dirusaknya.
Namun
demikian, tidak sedikit orang yang mengumpamakan sikap ikhlas dengan
perumpamaan-perumpamaan. Ada yang mengumpamakan ikhlas dengan akar pohon. Tidak
terlihat, tapi tetap bekerja dalam sunyi. Ia mengangkut makanan dari tanah
sehingga sebuah pohon menjadi besar, beranting banyak, berdaun lebat, berbunga,
dan berbuah.
Ada
juga yang menamsilkan ikhlas dengan Surat Al-Ikhlas, surat ke-112 dalam Al-Qur’an.
Nama surat tersebut Al-Ikhlas, tapi di dalamnya tidak ditemukan kata ‘ikhlas.’
Ada pula yang mengibaratkan ikhlas dengan gula pasir. Gula
pasir memberikan rasa manis pada teh sehingga disebut teh manis, bukan teh
gula. Dan tamsil-tamsil yang lainnya.
Betul,
hanya Allah yang mengetahui keikhlasan seseorang. Akan tetapi, seorang tokoh
sufi besar pada abad ketiga Hijriyah, Dzun Nun al-Misri, mengemukakan bahwa
ikhlas memiliki tanda-tanda. Dalam sebuah makalah –dalam kitab Al-Risalah
Al-Qusyairiyyah yang dikutip buku Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, Dzun
Nun al-Misri mengatakan, ada tiga tanda keikhlasan seseorang. Pertama, menganggap pujian dan celaan
sama. Seseorang yang betul-betul ikhlas akan bersikap sama ketika menerima
pujian atau pun celaan. Ia tidak akan terpengaruh karena dua hal tersebut.
Baginya, apapun yang dilakukan adalah karena dan untuk Allah.
Kedua, melupakan amal baik. Suatu ketika Gus Dur pernah ditanya
tentang makna ikhlas. Menurut Gus Dur, ikhlas adalah seseorang bekerja untuk
orang lain dan telah memberikan kesenangan kepada mereka, namun seseorang
tersebut telah lupa dan tak pernah ingat telah melakukannya. Itu lah tanda
seseorang ikhlas. Ia tidak pernah ingat tentang apa yang telah dikerjakannya.
Ketiga, melupakan hak amal baiknya untuk memperoleh pahala di akhirat.
Tidak lain, orang yang ikhlas adalah orang yang hanya menginginkan pahala amal
di akhirat, bukan di dunia. Ia tidak pernah mengharapkan imbalan atau balasan
amal baiknya di dunia ini.
Dalam
hal beribadah, ikhlas menjadi sebuah kunci utama. Bahkan, Syekh Ibnu Athaillah
as-Sakandari dalam kitabnya Al-Hikam
mengibaratkan amal ibadah seperti jasad fisik tanpa nyawa. Sementara ruhnya
amal ibadah adalah keikhlasan. Oleh karena itu, setiap amal ibadah yang
dilakukan dengan tidak ikhlas, artinya amal ibadah tersebut mati karena tidak
ada ruhnya. “Amal bagaikan sosok yang tegak (tanpa nyawa), dan nyawa-nya adalah
keikhlasan yang berada di dalamnya,” kata Syekh Ibnu Athaillah.
Sumber
tulisan: