Penulis IDRIS APANDI
IDRIS APANDI
Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi
Pendidikan)
Implementasi
Kurikulum merdeka disertai dengan semangat agar para guru mengimplementasikan
paradigma baru pembelajaran dalam rangka untuk meningkatkan mutu proses
pembelajaran sebagai bentuk komitmen pembelajaran yang berpihak kepada peserta
didik. Dalam analisis saya, sedikitnya ada 8 (delapan) paradigma baru yang
diharapkan diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran berbasis kurikulum
merdeka.
1. Pembelajaran Berpusat kepada Peserta
Didik
Guru diharapkan
dapat melaksanakan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (student
center). Pembelajaran yang berpusat kepada guru (teacher) dinilai sudah tidak
relevan lagi dengan harapan dan tuntutan zaman. Sudah bukan zamannya lagi guru
one man show mengajar murid-muridnya. Guru menjadikan murid hanya sebagai objek
yang dijejali dengan berbagai materi dan penjelasan yang disampaikan oleh guru.
Murid diposisikan
ibarat gelas kosong yang siap diisi dengan air. Bahkan saking banyaknya air
(baca = materi) yang diberikan oleh guru, gelas (baca = murid) tidak mampu
menampungnya karena melebihi kapasitas gelas. Padahal kondisi, bentuk, ukuran,
dan daya tampung gelasnya berbeda. Inilah yang kemudian disebut sebagai
pendidikan gaya bank yang ditentang oleh beberapa ahli pendidikan karena proses
pendidikan dianggap tidak manusiakan peserta didik.
Pembelajaran yang
berpusat kepada peserta didik sesuai dengan paradigma bahwa pendidikan harus
berpihak kepada peserta didik. Fokus tujuan pembelajaran adalah 3 M yaitu;
murid, murid, dan murid. Guru berperan bukan hanya sebagai salah satu sumber
belajar, tetapi juga sebagai fasilitator. Peran sebagai fasilitator yang
diharapkan lebih dominan dilakukan oleh guru. Sebagai fasilitator, guru
mengelola dan mengatur proses pembelajaran yang efektif, efisien, dan bermakna
bagi peserta didik.
Pembelajaran yang
berpusat kepada peserta didik sebenarnya sudah ditekankan untuk dilaksanakan
oleh guru sejak kurikulum-kurikulum sebelumnya, tinggal pelaksanaannya saja
yang perlu dilakukan lebih optimal dan konsisten karena pada praktiknya
pembelajaran masih banyak yang berpusat kepada guru. Inilah semangat yang coba
ditegaskan pada implementasi kurikulum merdeka.
2. Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran
kontekstual adalah pembelajaran yang mengaitkan materi dengan lingkungan,
kehidupan, dan tingkat perkembangan berpikir peserta didik. Tujuannya agar
peserta didik bisa lebih mudah memahami materi pelajaran, meyakini bahwa materi
yang dipelajarinya tersebut akan sangat bermanfaat, relevan dengan kebutuhan,
dan akan digunakan dalam kehidupannya, bahkan menjadi sarana untuk mengatasi
masalah yang dihadapinya.
Pembelajaran
kontekstual akan memberikan pengalaman belajar yang berharga dan bermakna bagi
peserta didik. Saat menyajikan sebuah materi, guru memberikan contoh hal yang
paling dekat dan relevan dengan kehidupan peserta didik dan mulai dari hal yang
paling sederhana sehingga mereka bisa memahaminya dengan baik. Selain itu, guru
juga bisa meminta peserta didik memberikan contoh sesuai dengan pengetahuan dan
pengalamannya.
3. Membangun Konstruktivisme dalam
Pembelajaran
Konstruktivisme
dalam pembelajaran maksudnya adalah peserta didik diarahkan dan dibimbing oleh
guru untuk menemukan atau membangun sendiri definisi, konsep, dan makna dari
materi yang dipelajarinya sehingga hal tersebut terekam dalam ingatannya dalam
jangka waktu lama bahkan seumur hidupnya. Penggunaan metode inkuiry (mencari)
dan discovery (menemukan) bisa menjadi sarana bagi peserta didik untuk
membangun konstruksi pemahaman mereka dari materi yang dipelajarinya.
Guru tidak lagi
menjejali peserta didik dengan teori, definisi, pengetahuan, dan penjelasan,
dan contoh-contoh yang seolah hal yang disampaikan gurulah yang paling tepat
dan paling benar, tetapi justru memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk mengidentifikasi masalah, mengolah dan menganalisis data dan informasi
yang ditemukannya hingga mereka bisa menyusun sebuah kesimpulan dari hal-hal
yang ditemukannya. Setelah itu, guru bisa memberikan penguatan, menambahkan,
melengkapi, atau mengoreksi jika kesimpulan peserta didik dianggap kurang
tepat.
4. Memberikan Pengalaman yang Bermakna
Belajar melalui
pengalaman. Hal tersebut akan lebih kuat dampaknya dibandingkan dengan belajar
hanya sebatas membaca, mendengar, dan melihat tidak secara langsung melalui
rekaman video. Mengalami langsung berarti peserta didik aktif selama proses
belajar. Pengalaman secara langsung menghindari peserta didik dari verbalisme
atau hanya bisa menceritakan tanpa mengalaminya secara langsung. Penggunaan
metode praktik, simulasi, eksperimen, demonstrasi, proyek, atau produk menjadi
sarana bagi peserta didik untuk mendapatkan pengalaman belajar.
Melalui
pengalaman, peserta didik akan menemukan makna yang berharga bagi dirinya dan
membekas dalam hati dan ingatannya. Pengalaman tersebut selain bermanfaat bagi
dirinya, juga tidak tertutup kemungkinan akan bermanfaat bagi orang lain saat
dia membagikannya kepada orang lain.
5. Membangun Kemampuan Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir
kritis peserta didik dibangun melalui pembelajaran yang menantang. Guru
mengajukan pertanyaan atau masalah yang perlu dipecahkan oleh peserta didik.
Selain itu, guru pun dapat memberikan stimulus berupa teks wacana, tabel,
gambar, grafik, dan bagan untuk memancing peserta didik berpikir kritis. Metode
tanya jawab, diskusi, atau curah pendapat (brainstorming) bisa menjadi
alternatif untuk memancing dan membangun kemampuan berpikir kritis peserta
didik.
6. Membangun Kemampuan Berpikir Tingkat
Tinggi
Selain kemampuan
berpikir kritis, peserta didik juga diarahkan untuk menguasai kemampuan
berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS). Tujuannya agar
peserta didik dapat menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks dan memerlukan
daya analisis yang kuat. Hal ini sebagai bekal bagi mereka dalam menyongsong
masa depan yang semakin penuh dengan tantangan.
Kemampuan berpikir
tingkat tinggi merupakan salah satu bentuk dari keterampilan abad 21 yang
terdiri dari 4 hal, yaitu; (a) komunikasi, (b) kolaborasi, (c) berpikir kritis
dan menyelesaikan masalah, (d) kreatif dan inovatif. Era revolusi industri 4.0
yang dilanjut dengan era masyarakat sipil 5.0 serta situasi zaman yang semakin
kompleks sangat memerlukan manusia-manusia yang memiliki keterampilan abad 21
tersebut. Pada proses pembelajaran, metode proyek, inquiry, discovery,
pembelajaran berbasis masalah, dan penyelesaian masalah bisa menjadi sarana
bagi guru untuk menanamkan 4 kecakapan abad 21 tersebut.
7. Menghargai Keberagaman Karakter, Gaya
Belajar, Minat, dan Kebutuhan Belajar Peserta Didik
Setiap peserta
didik adalah unik. Mereka memiliki kecerdasan, karakteristik, gaya belajar,
minat, dan kebutuhan belajar yang beragam. Oleh karena itu, guru diharapkan
bisa mengidentifikasi keunikan-keunikan tersebut melaui asesmen diagnostik agar
bisa memberikan layanan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan setiap peserta didiknya. Inilah yang disebut sebagai pembelajaran
berdiferensiasi.
Adanya keunikan
dan perbedaan karakter, minat, gaya belajar, dan kebutuhan belajar peserta
didik berkonsekuensi guru harus menyusun skenario dan strategi yang beragam
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Tujuannya agar setiap peserta didik
mendapatkan layanan pendidikan secara adil, proporsional, dan tidak ada yang
tertinggal karena sekali lagi, fokus layanan pembelajaran adalah untuk murid,
murid, dan murid.
Strategi
pembelajaran berdiferensiasi yang bisa diterapkan oleh guru ada 4, yaitu; (a)
berbasis konten (isi/materi pelajaran), (b) berbasis proses, (c) berbasis
produk, dan (d) berbasis lingkungan belajar. Strategi pembelajaran
berdiferensiasi berbasis konten
(isi/materi pelajaran) pada intinya adalah guru menyajikan materi
melalui beragam media pembelajaran sesuai dengan gaya belajar peserta didiknya.
Gaya belajar peserta didik diantaranya gaya belajar auditori, visual, dan
kinestetik.
Peserta didik yang
memiliki gaya belajar auditori lebih cepat memahami materi pelajaran melalui
indera pendengaran. Media yang sesuai misalnya menyimak rekaman audio, menonton
video bersuara, menyimak penjelasan guru, menyimak suara temannya, atau membaca
dengan suara nyaring.
Peserta didik yang
memiliki gaya belajar visual lebih cepat memahami materi pelajaran melalui
tampilan gambar, video, melihat langsung sebuah tempat atau objek tertentu, dan
membaca buku-buku bergambar. Sedangkan peserta didik yang memiliki gaya belajar
kinestetik lebih mudah memahami materi pelajaran melalui gerakan atau praktik.
Strategi
pembelajaran berdiferensiasi berbasis proses intinya adalah guru menerapkan
beragam pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran yang sesuai dengan
situasi, kondisi, dan kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, guru harus
terampil dalam mengelola proses pembelajaran. Guru pun harus memiliki keterampilan
proses seperti kemampuan menjelaskan, kemampuan bertanya, kemampuan membentuk
dan membimbing kelompok, kemampuan menggunakan media pembelajaran, bahasa tubuh
yang baik, dan sebagainya.
Strategi
pembelajaran diferensiasi berbasis produk intinya adalah guru memberikan
kebebasan kepada peserta didik untuk membuat produk sebagai ekspresi atau bukti
pemahaman atau penguasaan materi. Misalnya saat tujuan pembelajarannya peserta
didik dapat menggambar pemandangan alam, maka guru memberikan kebebasan kepada
peserta didik untuk melukis pemandangan alam di desa, kota, daerah pegunungan,
daerah pesisir pantai, daerah pertanian, dan sebagainya.
Strategi
pembelajaran berdiferensiasi berbasis lingkungan, misalnya peserta didik ada
lebih nyaman belajar di dalam kelas atau di luar kelas, belajar sendiri atau
berkelompok, belajar disertai bimbingan intensif atau belajar secara mandiri,
belajar dalam suasana hening atau suasana yang ramai, dan sebagainya.
8. Memberikan Kesempatan Peserta Didik
untuk Belajar dari Kegagalan
Memberikan
kesempatan peserta didik untuk belajar dari kegagalan tujuannya supaya peserta
mau mencoba, tidak takut gagal, dan mengambil hikmah atau pelajaran dari
kegagalan tersebut untuk perbaikan atau peningkatan mutu proses dan hasil.
Misalnya, sebuah perusahaan memiliki bagian yang bertugas untuk meneliti dan
mengembangkan inovasi produknya. Dalam proses pembuatannya belum tentu berjalan
mulus. Mungkin mengalami trial and error hingga dihasilkan produk yang
diharapkan.
Contoh yang lebih
sederhana, misalnya, saat seorang ibu membuat cake atau bolu belum tentu
hasilnya langsung bagus. Mungkin saja mengalami beberapa kali kegagalan seperti
cake-nya gosong, keras, bolunya tidak mengembang dengan baik tapi terus dicoba
hingga akhirnya menghasilkan cake atau bolu yang rasanya enak dan empuk.
Begitu pun dalam
sebuah proses pembelajaran. Peserta didik diberikan kesempaan untuk mencoba dan
gagal hingga dia berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Pada saat peserta didik
gagal, guru menguatkan mentalnya, memotivasi, dan membimbingnya sampai berhasil
mencapai tujuan pembelajaran. Dari proses trial and error tersebut, bisa
dihasilkan peserta didik yang menjadi penemu atau inovator. Inilah yang kita
perlukan dari generasi muda saat ini di tengah persaingan global yang semakin
kompetitif. Wallahu a’lam.