Penulis Siti Rubaeah Adawiah, S.Pd.
Siti Rubaeah Adawiah, S.Pd. dan Rekan
Oleh
Siti Rubaeah Adawiah, S.Pd.
(Guru
SMKNPP Cianjur)
“Orang beradab pasti berilmu orang berilmu
belum tentu beradab”. Kalimat tersebut seringkali terdengar dan mungkin menjadi
topik pembicaraan akhir-akhir ini di dunia pendidikan, fakta di lapangan benar
adanya anak-anak krisis tentang adab. Mereka lupa bahwa adab lebih tinggi
tingkatannya dibandingkan dengan ilmu, artinya siswa yang menempatkan ilmu
tanpa beradab, akan menambah kesombongan dan tidak bermanfaat untuk dirinya dan
orang lain. Namun sebaliknya dengan beradab dalam berilmu itu lebih mudah
dipelajari dan diamalkan serta lebih mudah untuk disampaikan karena adab
menerapkan akhlak yang mulia serta dapat mencegah segala sesuatu yang tercela.
Dengan demikian adab mengedepankan kemuliaan budi pekerti yang luhur dari pada
orang yang berilmu. Ilmu dan adab adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
karena keduanya berkaitan erat dan saling berhubungan satu sama lain. Penulis
teringat akan kisah syekh Abdul Qodir al-Jaelani merupakan seorang ulama
sekaligus wali Allah yang begitu hebat.
Kala itu, Syekh Abdul Qadir al-Jailani
mengajar di sebuah madrasah. Beliau memiliki banyak murid yang berguru di
madrasah tersebut. Uniknya, karena para santrinya mengharapkan berkah dari
beliau, setiap Syekh Abdul Qadir al-Jailani selesai makan ataupun minum dan
terdapat sisa, para santri itu akan berebut mengambil sisa makanan atau minuman
itu. Mereka percaya bahwa di sana terdapat berkah dari beliau.
Suatu ketika, ada orang yang begitu iri
dengan beliau dan melaporkan pada salah satu orang tua santri. Dia berkata, ‘Hei!
Kau tahu? Anakmu yang belajar di madrasah Syekh Abdul Qadir al-Jailani itu
selalu diberi makanan sisa. Dia diperlakukan seperti binatang saja. Apa kamu rela
kalau anakmu diperlakukan seperti itu?’
Orang tua dari santri itu yang sudah
termakan amarah, langsung datang dan marah di madrasah itu. Dia memaki Syekh
Abdul Qadir al-Jailani dengan mengatakan perkataan yang tidak baik. Mereka
berkata bahwa anak mereka diperlakukan seperti hewan dan perkataan-perkataan
jelek lainnya. Sang orang tua santri yang begitu marah itu langsung membawa
anak mereka pulang.
Selang beberapa waktu, ketika sudah
tinggal di rumah, orang tua si santri menanyainya tentang apa yang dipelajari
di madrasah. Si santri kemudian ditanya tentang perkara fikih, lalu ia menjawab
dengan benar. Ia ditanya lagi tentang perkara agama yang lain, lalu dia
menjawab lagi dengan benar.
Begitu seterusnya,
hingga orang tuanya pun tersadar bahwa anak mereka benar-benar memiliki banyak
ilmu setelah belajar di madrasah itu. Mereka pun berniat mengembalikan anak
mereka ke madrasah Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Dengan menahan malu, mereka meminta maaf
kepada sang Syekh dan meminta beliau untuk mengajar kembali anak mereka. Namun,
apa yang dikatakan oleh beliau?
‘Maaf, aku sudah tidak bisa mengajar anak
kalian. Bukannya aku tidak mau, tetapi di hari kalian memakiku dengan perkataan
yang tidak baik itu, Allah menutup pintu keberkahan di hati anak kalian.’
Betapa menyesalnya orang tua dari santri tersebut.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa
menghargai seorang guru adalah hal yang sangat penting, bukan hanya bagi
seorang penuntut ilmu, bahkan juga orang tua para penuntut ilmu. Para ulama
terdahulu bahkan lebih dulu belajar tentang adab, baru belajar tentang ilmu.
Kenapa? Karena ketika seorang penuntut
ilmu sudah beradab dan gurunya rida kepadanya maka mudah bagi Allah untuk
memasukkan ilmu ke hatinya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga pernah berkata, ‘Aku
lebih memilih orang yang beradab daripada orang yang berilmu.’
Menjadi orang yang memiliki adab adalah
hal yang paling dibutuhkan oleh negeri ini sekarang. Semoga kita semua dapat
menjadi orang yang memiliki adab kepada guru, orang tua, dan orang-orang di
sekitar kita.
Semoga tulisan saya bermanfaat dan menjadi
nilai ibadah.