Penulis: IDRIS APANDI
IDRIS APANDI
Oleh IDRIS APANDI
(Penulis Buku
Literasi atau Mati)
Dalam sebuah
webinar literasi, saya mendengar seorang narasumber menyampaikan bahwa salah
satu upaya atau strategi meningkatkan minat dan aktivitas membaca peserta didik
di sekolah tempatnya bertugas adalah dengan memfasilitasi peserta didik dengan
bahan bacaan yang ramah cerna. Maksudnya adalah bahan bacaan tersebut
disesuaikan dengan perkembangan dan tingkat kemampuan berpikir peserta didik.
Misalnya bahan bacaan untuk peserta didik SD kelas rendah (I, II, dan III) tentunya berbeda dengan
peserta didik SD kelas tinggi (IV, V, dan VI) baik dari sisi tema/ topik
bahasan, sistematika, tampilan, jenis huruf, ukuran huruf, spasi, karakter
gambar ilustrasi, warna gambar ilustrasi, dan lain-lain.
Tidak setiap penulis
bisa menulis buku anak. Hanya penulis yang memiliki kompetensi, spesialisasi,
dan passion yang tinggi dalam menulis buku anak yang bisa melakukannya dengan
baik. Bahkan ada pendidikan khusus yang ditujukan untuk penulis buku anak.
Bahan-bahan bacaan yang cukup menarik perhatian peserta didik, khususnya di
jenjang SD biasanya buku-buku fiksi seperti buku cerita pendek (cerpen),
dongeng, fabel, buku sains yang dikemas dengan menggunakan cerita, dan
buku-buku penunjang/ suplemen pembelajaran yang dikemas dengan gaya penulisan
yang sederhana.
Hal yang ditulis
di atas adalah sebuah kondisi ideal sebuah buku bacaan untuk peserta didik,
khususnya peserta didik SD. Walau demikian, pada kenyataannya, saya pernah
menemukan buku paket kelas I SD yang menurut saya kurang sesuai dengan kondisi
dan tingkat perkembangan berpikirnya. Saya kebetulan punya anak kelas I SD.
Saat itu, anak saya menyodorkan PR tema/
mata pelajaran PPKn dari gurunya. Dia meminta saya untuk membantu mengerjakannya.
Saat membacanya,
saya merasa terhenyak, karena anak kelas 1 SD yang membaca pun belum bisa harus
mengerjakan PR yang isinya kalimat yang panjang-panjang, ukuran hurufnya kecil
(12 point), dan spasinya 1 spasi. Dan parahnya lagi, pada PR tersebut anak diminta
untuk menjawab soal yang berbentuk pernyataan positif dan pernyataan negatif
dengan pilihan YA dan TIDAK. Untuk menjawabnya tentunya diperlukan kemampuan
berpikir kritis dari anak tersebut.
Anak tersebut
boro-boro bisa mencerna atau memahami maksud dari soal-soal tersebut,
membacanya saja belum bisa. Saya tidak habis pikir, apa yang menjadi
pertimbangan penulis buku tersebut, baik dari sisi teori pedagogik, teori
psikologi perkembangan, maupun teori kepenulisan sehingga menulis materi dan
soal-soal yang begitu kompleks bagi peserta didik SD kelas I. Mengapa buku yang
tidak ramah untuk mata dan ramah cerna bagi anak kelas I SD bisa diizinkan
beredar dan digunakan di SD? Bukanlah konsep pembelajaran bagi anak SD adalah
dari hal yang sederhana kepada yang rumit, dari hal yang mudah ke hal yang
sulit, dari hal yang konkrit kepada hal yang abstrak? Saya kira ini adalah hal
yang fundamental yang harus dipahami oleh penulis buku bagi anak SD dan bagi
guru SD.
Akibatnya, yang
mengisi PR tersebut bukan anaknya, tetapi
orang tuanya karena anaknya belum bisa membaca. Hal tersebut sebenarnya
kurang baik. Tugas orang tua sebenarnya untuk mendampingi dan membimbing
anaknya mengerjakan PR, bukan mengerjakan PR anaknya. Tapi orang tua terpaksa
melakukannya karena anaknya tidak bisa bahkan tidak mau mengisinya karena tidak
paham cara mengerjakannya.
Pada saat saya
posting masalah tersebut di FB, ternyata cukup banyak mendapat respon, termasuk
dari kepala dan guru SD. Ternyata guru
pun cukup mengalami kesulitan saat mengajarkan materi membaca untuk anak kelas
I SD. Di satu sisi, anak kelas I SD belum disyaratkan atau diwajibkan bisa
membaca, tetapi di sisi lain, materi pada buku paketnya cukup rumit dan bahan
bacaannya panjang-panjang. Semangat untuk meningkatkan kemampuan literasi,
numerasi, dan berpikir kritis peserta didik adalah sebuah hal yang baik, tetapi
harus sesuai dengan proporsinya. Jangan sampai menjadi kontraproduktif karena
tidak sesuai dengan perkembangan berpikir, karakter, dan kebutuhan peserta
didik.
Berkaitan dengan
hal tersebut, menurut saya, di sinilah kreativitas dan inovasi guru diperlukan
dalam menyusun bahan ajar. Guru mengajar
tidak bergantung kepada buku paket atau buku yang telah didrop dari pemerintah
atau buatan penerbit, tetapi perlu menyusun bahan ajar yang sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Di era merdeka belajar saat ini
guru-guru diberikan kemerdekaan untuk menyusun bahan ajar yang sesuai kebutuhan
peserta didik.
Bicara tentang
menyusun bahan ajar, kompetensi dan mutu guru menjadi tantangan tersendiri
mengingat kemampuan guru dalam menyusun bahan ajar beragam. Bahkan ada guru
yang sama sekali belum pernah menyusun bahan ajar sendiri. Hanya mengandalkan
dan menggunakan buku paket yang sudah ada dengan berbagai alasan. Akibatnya,
dia sendiri kesulitan mengajarkannya dan peserta didik kesulitan
mempelajarinya. Guru harus ekstra sabar mengajarkan materi, apalagi peserta
didik yang sama sekali belum bisa membaca.
Bahan bacaan yang
akan diberikan untuk peserta didik, khususnya anak SD kelas rendah harus
benar-benar memperhatikan berbagai hal. Diskusi saat penyusunan dengan ahli dan
praktisi serta uji petik yang melibatkan guru yang sesuai dengan jenjang atau
mata pelajaran yang diampunya menjadi hal mutlak harus dilakukan sebagai upaya
menghasilkan bahan bacaan yang ramah cerna bagi peserta didik.
Pelatihan kepada
guru tentang cara menyusun bahan ajar yang ramah cerna perlu dilakukan oleh
satuan pendidikan, organisasi profesi guru, komunitas belajar guru, dan
pemerintah. Lomba-lomba pun perlu dilakukan untuk memotivasi guru dalam
menghasilkan karya terbaiknya, khususnya dalam menyusun bahan ajar ramah cerna.
Karya-karya terpilih bisa menjadi rekomendasi untuk digunakan oleh guru-guru
yang lain yang mengampu kelas atau mata pelajaran yang sama. Wallaahu a’lam.