Penulis: Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.
Oleh Cecep Darmawan
(Guru Besar Ilmu Politik Universitas
Pendidikan Indonesia/Komunitas Cinta Indonesia/KACI#PASTI
BISA#))
Tulisan ini
merupakan bagian dari intisari atau pokok-pokok pikiran yang penulis sajikan di
Simposium Nasional yang diadakan oleh Badan Keahlian DPR RI, pada 30 Juli 2018
di Jakarta dengan judul Demokrasi Pancasila dalam Bidang Politik. Beberapa hal
sudah diberi tambahan pemikiran.
Konspsi demokrasi kerap diperdebatkan
berbagai kalangan. Bahkan bukan sekedar diskursus filosofi dan pemikiran kontemplasi,
demokrasi juga digugat dalam hal implementasinya. Ada sebagai ahli yang
menyatakan bahwa demokrasi kita baru sebatas pada pelaksanaan demokrasi yang
bersifat formal-prosedural, belum banyak menyentuh domokrasi yang substansial.
Demokrasi substansial pada hakikatnya adalah demokrasi yang menjunjung tinggi
kesejahteraan rakyat. Sebab, demokrasi bukanlah tujuan. Demokrasi adalah
instrumen mencapai tujuan. Tujuan demokrasi itu sendiri adalah tercapainya
kesejahteraan rakyat dengan ditopang kehidupan politik yang aman, damai, dan
tertib sosial. Dengan demikian antara prosedur dan substansi demokrasi haruslah
satu kesatuan atau rangkaian yang tidak boleh putus dalam satu proses panjang
sistem politik yang deliberative dan partisipatif. (Darmawan, 2017).
Tatanan masyarakat dalam berdemokrasi
diwarnai kehidupan yang harmonis, elegan, dan penuh dengan partisipasi aktif
warga negaranya. Disamping itu, demokrasi kita belum sepenuhnya melahirkan
relasi politik yang postitive sum
yakni pola hubungan warga negara dengan elite dilakukan atas dasar kekuatan
yang sama, seimbang dan serasi.
Persoalan yang kerap mengemuka saat
ini antara lain adalah berkembangnya pragmatisme politik kehidupan politik.
Pragamatisme politik diwarnai oleh hubungan politik yang transaksional demi
meraih kepentingan politik sesaat (vested
interest). Hubungan ini bersifat pragmatisme yang resiprokal, yakni relasi
kekuasaan yang saling “menguntungankan” kedua belah pihak. Sayangnya, hubungan
politik resiprokal ini acap mengabaikan kepentingan yang lebih besar, yakni
kemaslahatan dalam kehidupan politik. Malah kerap kondisi ini, melahirkan
oligarkhi baru yang didukung kaum shadow
goverment atau shadow state yang
memegang remote control dengan para rent seeker nya mempengaruhi kebijakan dan mengendalikannya
dari “kejauhan”.
Bagaimana dengan konsep demokrasi Pancasila?
Demokrasi Pancasila adalah
demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah-mufakat, dan
nilai keadilan sosial. Demokrasi
Pancasila memiliki arti bahwa segala keputusan sejatinya dilaksanakan melalui
proses musyawarah-mufakat dengan didasari nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demi menegakkan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi Pancasila suatu paham
demokrasi yang berbasis Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Inti
demokrasi Pancasila terletak pada kedaulatan rakyat berdasarkan musyawarah mufakat yang penuh dengan hikmah kebijaksanaan
dalam proses pengambilan keputusannya. Proses musyawarah mufakat dalam
demokrasi Pancasila menghasilkan keputusan yang sarat dengan nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa, memperhatikan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dalam suasana yang penuh hikmah
kebijaksanaan, untuk keadilan sosial yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dengan demikian,
pengambilan keputusan dalam konteks demokrasi Pancasila, baik dalam proses dan hasilnya harus
didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai itu menjadi panduan dalam
proses pengambilan keputusan sekaligus tercermin dalam bentuk keputusannya yang bermuatan hikmat kebijaksanaan, Hikmat kebijaksanaan
ini adalah cermin dari nilai
Pancasila. Tidak boleh terjadi proses pengambilan keputusan dengan pola diktator
mayoritas atau pun tirani minorotas. Namun, pengambilan keputusan harus
dilaksanakan dengan suasana yang penuh
dengan kekeluargaan dan gotong royong, saling percaya dan menghormati, sekaligus mengingatkan kekurangan, adanya kebebasan
yang selaras dan serasi dengan tanggung jawab sosial, saling memperkuat rasa persatuan dan
mengakui kelebihan orang lain
dengan lapang dada. Jika terjadi konflik, diselesaikan dengan cara musyawarah
yang berkeadaban mulia dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kekeluargaan
demi menjaga persatuan Indonesia. Begitu keputusan telah ditetapkan maka sejatinya kita semua menerima dan
melaksanakannya dengan penuh keikhlasan.
Segala hasil putusannya
harus dapat dipertangungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada bangsa dan
negara, dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Artinya seluruh keputusan itu
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, demi menegakkan nilai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Hakikat kebenaran dalam demokrasi Pancasila, tidak bisa asal voting dengan kalkulasi kuantitatif, sebab suara mayoritas pun
belum tentu “benar” sebelum diuji oleh nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Hikmah kebijaksanaan, dan Keadilan sosial. Dengan kata lain, suara rakyat
adalah suara Tuhan atau bahasa Latinnya fox
populi fox dei. Filosofi ini harus dipahami suara rakyat
adalah suara Tuhan jika suara rakyat
sesuai dengan suara nuraninya. Jadi kebenaran itu tidak bisa divoting. Voting
hanyalah metode mencari kebenaran. Itu pun harus dengan cara yang benar.
Hal di atas
pernah diungkapkan oleh Bung Karno, bahwa “demokrasi
kita janganlah mengikuti model “mayorokrasi” dan “minorokrasi”. Dalam arti
kata, demokrasi di Indonesia tujuannya mencapai “win-win solution”, agar
merawat persatuan dan kesatuan bangsa. Bukannya, win-lost solution yang
berpotensi the winner takes all yang menimbulkan perpecahan. (Subiakto et al., 2016)Terkait demokrasi yang
menyejahterakan, Bung Karno pernah menyatakan bahwa membaca “ sila 4 dan 5 itu harus dimaknai dalam satu tarikan nafas “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, musyawarah dalam penuh hikmat kebjiksanaan itu haruslah dalam upaya mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan berdasarkan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal pelembagaan dari kebebasan, demokrasi Pancasila menyaratkan
pentingnya dua hal, pertama menyangkut prinsip bahwa kebebasan dibatasi oleh
hak orang lain yang tidak boleh dilanggar atas dasar kebebasan, dan yang kedua,
bahwa kebebasan haruslah memiliki dasar yuridis dan konsensus melalui peraturan
atau konstitusi. Kedua hal inilah sesungguhnya melekat dalam prinsip demokrasi Pancasila
secara yang terlembaga. Praktika demokrasi Pancasila dibatasi oleh konstitusi
dan aturan sebagai wujud kesepakatan warga bangsa dan implementasi nilai-nilai
demokrasi Pancasila yang termuat dalam konstitusi. (Darmawan, 2015).
Bagaimana demokrasi memandang bahwa, pertama seluruh materi peraturan di bidang perundang-undangan harus bersumber
dari nilai-nilai filosofi Pancasila. Peraturan
perundang-undangan di bidang politik tidak boleh tertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, musyawarah-mufakat dan keadilan sosial. Kedua, dari sisi proses pembentukan peraturan perundang-undangan
harus melalui proses demokrasi yang sarat dengan nilai-nilai Pancasila, yakni bernilai
religius, mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, dilakukan dengan
musyawarah mufakat dan damai, menghargai perbedaan pendapat, menghindari
konflik yang mengarah kepada disintegrasi, ditujukan untuk kepentingan rakyat,
bangsa dan negara, dan tidak menunjukkan kekuatan dominasi mayoritas atau
tirani minoritas.
Ketiga, peraturan perundang-undangan bidang politik haruslah
mencerminkan kepentingan nasional, tidak diskriminatif, penuh dengan keberkaha,
dan mesti bernuansa kedamaian untuk menciptakan sistem hukum dan politik yang
demokratis yang ditopang oleh sistem ekonomi yang stabil. Jadi, sistem politik dalam demokrasi Pancasila mengandung unsur pokok yaitu kebebasan yang bertanggung jawab terhadap kepentingan negara dan adanya persamaan hukum dan pemerintahan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Jika dimungkinkan adanya oposisi, maka oposisi yang bermodel opisisi
loyal, bukan oposisi seperti di negara liberal. Oposisi loyal artinya
mendukung pemerintahan yang menjalankan prinsip demokrasi Pancasila dan
mengkritisi dengan nilai hikmah kebijaksanaan jika pemerintah salah arah.
Oleh karenanya demokrasi dalam
konteks “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, sejatinya didasarkan atas moralitas yang
bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan, moralitas atas dasar nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab, moralitas atas dasar nilai-nilai
persatuan, dan moralitas atas dasar nilai-nilai
keadilan sosial. Itulah
esensi hikmat kebijaksaan dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, dengan
demokrasi Pancasila akan terlahir kebijakan yang penuh dengan hikmat bagi
semua. Bukan demokrasi liberalis dengan kekuatan pemodal yang memainkan
demokrasi demi meraup keuntungan diri dan kelompoknya.