DISKURSUS DEMOKRASI “HIKMAH KEBIJAKSANAAN”

Penulis: Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

Dibaca: 764 kali

Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

Oleh Cecep Darmawan

 

(Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia/Komunitas Cinta Indonesia/KACI#PASTI BISA#))

 

Tulisan ini merupakan bagian dari intisari atau pokok-pokok pikiran yang penulis sajikan di Simposium Nasional yang diadakan oleh Badan Keahlian DPR RI, pada 30 Juli 2018 di Jakarta dengan judul Demokrasi Pancasila dalam Bidang Politik. Beberapa hal sudah diberi tambahan pemikiran.

Konspsi demokrasi kerap diperdebatkan berbagai kalangan. Bahkan bukan sekedar diskursus filosofi dan pemikiran kontemplasi, demokrasi juga digugat dalam hal implementasinya. Ada sebagai ahli yang menyatakan bahwa demokrasi kita baru sebatas pada pelaksanaan demokrasi yang bersifat formal-prosedural, belum banyak menyentuh domokrasi yang substansial. Demokrasi substansial pada hakikatnya adalah demokrasi yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat. Sebab, demokrasi bukanlah tujuan. Demokrasi adalah instrumen mencapai tujuan. Tujuan demokrasi itu sendiri adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dengan ditopang kehidupan politik yang aman, damai, dan tertib sosial. Dengan demikian antara prosedur dan substansi demokrasi haruslah satu kesatuan atau rangkaian yang tidak boleh putus dalam satu proses panjang sistem politik yang deliberative dan partisipatif. (Darmawan, 2017).

Tatanan masyarakat dalam berdemokrasi diwarnai kehidupan yang harmonis, elegan, dan penuh dengan partisipasi aktif warga negaranya. Disamping itu, demokrasi kita belum sepenuhnya melahirkan relasi politik yang postitive sum yakni pola hubungan warga negara dengan elite dilakukan atas dasar kekuatan yang sama, seimbang dan serasi.

            Persoalan yang kerap mengemuka saat ini antara lain adalah berkembangnya pragmatisme politik kehidupan politik. Pragamatisme politik diwarnai oleh hubungan politik yang transaksional demi meraih kepentingan politik sesaat (vested interest). Hubungan ini bersifat pragmatisme yang resiprokal, yakni relasi kekuasaan yang saling “menguntungankan” kedua belah pihak. Sayangnya, hubungan politik resiprokal ini acap mengabaikan kepentingan yang lebih besar, yakni kemaslahatan dalam kehidupan politik. Malah kerap kondisi ini, melahirkan oligarkhi baru yang didukung kaum shadow goverment atau shadow state yang memegang remote control dengan para rent seeker nya  mempengaruhi kebijakan dan mengendalikannya dari “kejauhan”.

Bagaimana dengan  konsep demokrasi Pancasila?

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah-mufakat, dan nilai keadilan sosial. Demokrasi Pancasila memiliki arti bahwa segala keputusan sejatinya dilaksanakan melalui proses musyawarah-mufakat dengan didasari nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demi menegakkan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Pancasila suatu paham demokrasi yang berbasis Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Inti demokrasi Pancasila terletak pada kedaulatan rakyat berdasarkan musyawarah mufakat yang penuh dengan hikmah kebijaksanaan dalam proses pengambilan keputusannya. Proses musyawarah mufakat dalam demokrasi Pancasila menghasilkan keputusan yang sarat dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, memperhatikan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dalam suasana yang penuh hikmah kebijaksanaan, untuk keadilan sosial yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, pengambilan keputusan dalam konteks demokrasi Pancasila, baik dalam proses dan hasilnya harus didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai itu menjadi panduan dalam proses pengambilan keputusan sekaligus tercermin dalam bentuk keputusannya  yang bermuatan hikmat kebijaksanaan, Hikmat kebijaksanaan ini adalah cermin dari  nilai Pancasila. Tidak boleh terjadi proses pengambilan keputusan dengan pola diktator mayoritas atau pun tirani minorotas. Namun, pengambilan keputusan harus dilaksanakan dengan suasana  yang penuh dengan kekeluargaan dan gotong royong, saling percaya dan menghormati, sekaligus mengingatkan kekurangan, adanya kebebasan yang selaras dan serasi dengan tanggung jawab sosial, saling memperkuat rasa persatuan dan mengakui kelebihan orang lain dengan lapang dada. Jika terjadi konflik, diselesaikan dengan cara musyawarah yang berkeadaban mulia dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kekeluargaan demi menjaga persatuan Indonesia. Begitu keputusan telah ditetapkan maka sejatinya kita semua menerima dan melaksanakannya dengan penuh keikhlasan.

Segala hasil putusannya harus dapat dipertangungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada bangsa dan negara, dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Artinya seluruh keputusan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai  Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demi menegakkan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakikat kebenaran dalam demokrasi Pancasila,  tidak bisa asal voting dengan kalkulasi kuantitatif, sebab suara mayoritas pun belum tentu “benar” sebelum diuji oleh nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Hikmah kebijaksanaan, dan Keadilan sosial. Dengan kata lain, suara rakyat adalah suara Tuhan  atau  bahasa Latinnya fox populi fox dei. Filosofi ini harus dipahami suara rakyat adalah suara Tuhan  jika suara rakyat sesuai dengan suara nuraninya. Jadi kebenaran itu tidak bisa divoting. Voting hanyalah metode mencari kebenaran. Itu pun harus dengan cara yang benar.

Hal di atas pernah diungkapkan oleh Bung Karno, bahwa demokrasi kita janganlah mengikuti model “mayorokrasi” dan “minorokrasi”. Dalam arti kata, demokrasi di Indonesia tujuannya mencapai “win-win solution”, agar merawat persatuan dan kesatuan bangsa. Bukannya, win-lost solution yang berpotensi the winner takes all yang menimbulkan perpecahan. (Subiakto et al., 2016)Terkait demokrasi yang menyejahterakan, Bung Karno  pernah menyatakan  bahwa membaca “ sila 4 dan 5 itu harus dimaknai dalam satu tarikan nafasKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, musyawarah dalam penuh hikmat kebjiksanaan itu haruslah dalam upaya mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan  berdasarkan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam hal pelembagaan dari kebebasan, demokrasi Pancasila menyaratkan pentingnya dua hal, pertama menyangkut prinsip bahwa kebebasan dibatasi oleh hak orang lain yang tidak boleh dilanggar atas dasar kebebasan, dan yang kedua, bahwa kebebasan haruslah memiliki dasar yuridis dan konsensus melalui peraturan atau konstitusi. Kedua hal inilah sesungguhnya melekat dalam prinsip demokrasi Pancasila secara yang terlembaga. Praktika demokrasi Pancasila dibatasi oleh konstitusi dan aturan sebagai wujud kesepakatan warga bangsa dan implementasi nilai-nilai demokrasi Pancasila yang termuat dalam konstitusi. (Darmawan, 2015). 

Bagaimana demokrasi memandang bahwa, pertama seluruh materi peraturan di bidang perundang-undangan harus bersumber dari nilai-nilai filosofi Pancasila. Peraturan perundang-undangan di bidang politik tidak boleh  tertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah-mufakat dan keadilan sosial. Kedua, dari sisi proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus melalui proses demokrasi yang sarat dengan nilai-nilai Pancasila, yakni bernilai religius, mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, dilakukan dengan musyawarah mufakat dan damai, menghargai perbedaan pendapat, menghindari konflik yang mengarah kepada disintegrasi, ditujukan untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, dan tidak menunjukkan kekuatan dominasi mayoritas atau tirani minoritas.

Ketiga, peraturan perundang-undangan bidang politik haruslah mencerminkan kepentingan nasional, tidak diskriminatif, penuh dengan keberkaha, dan mesti bernuansa kedamaian untuk menciptakan sistem hukum dan politik yang demokratis yang ditopang oleh sistem ekonomi yang stabil. Jadi, sistem politik dalam demokrasi Pancasila mengandung unsur pokok yaitu kebebasan yang bertanggung jawab terhadap kepentingan negara dan adanya persamaan hukum dan pemerintahan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika dimungkinkan adanya oposisi, maka oposisi yang bermodel opisisi loyal, bukan oposisi seperti di negara liberal. Oposisi loyal artinya mendukung pemerintahan yang menjalankan prinsip demokrasi Pancasila dan mengkritisi dengan nilai hikmah kebijaksanaan jika pemerintah salah arah.

Oleh karenanya demokrasi dalam konteks “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, sejatinya didasarkan atas moralitas yang bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan, moralitas atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, moralitas atas dasar nilai-nilai persatuan, dan moralitas atas dasar nilai-nilai keadilan sosial. Itulah esensi hikmat kebijaksaan dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, dengan demokrasi Pancasila akan terlahir kebijakan yang penuh dengan hikmat bagi semua. Bukan demokrasi liberalis dengan kekuatan pemodal yang memainkan demokrasi demi meraup keuntungan diri dan kelompoknya.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...