Penulis Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.
Dr. Drs. Raya Erwana, M.Pd.
Oleh Dr. Drs. Raya
Erwana, M.Pd.
(Kepala SMAN 1
Cigombong Kab. Bogor)
Mu'adz bin Jabal
adalah sahabat Nabi dari kaum Anshar yang berbai'at kepada Rasulullah
sejak pertama kali. Sehingga ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam
(as-Sabiqun al-Awwalun).
Mu'adz bin Jabal
adalah sahabat Rasulullah yang mempunyai kelebihan yang sangat menonjol dan
istimewa yaitu ilmu fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam
fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak
menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Umatku yang paling
tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu'adz bin Jabal." Dalam
kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama
dengan Umar bin Khathab.
Pendapat Mu'adz
bin Jabal tentang keberadaan guru, sebagaimana seorang guru itu harus bersikap
dan bertingkah laku seharusnya adalah: Guru yang menggembirakan bukan guru yang
menakut-nakuti, guru yang mempersatukan bukan guru yang menceraiberaikan dan guru
yang mempermudah bukan guru yang mempersulit.
Pendapat Mu'adz
bin Jabal di atas patut dijadikan pegangan oleh semua guru didalam menjalankan
tugasnya sehari-hari dalam mentransfer ilmu pengetahuan juga memberikan suri
tauladan dalam kehidupannya.
1. Guru
Menggembirakan bukan Menakut-nakuti
Seorang guru
harus mengikhlaskan niatnya di dalam mengajar, dan menganggap pekerjaannya
sebagai ibadah untuk mencari ridha Allah. Seorang guru bertugas menjalankan
tugas rasul-rasul yang terpilih, dalam memberikan petunjuk dan mengajarkan
kebenaran kepada manusia.
Pedoman seorang
guru dalam mentransfer ilmu sebaiknya mengikuti kaidah-kaidah dan
ketentuan-ketentuan yang mempermudah dan menggembirakan, bukan pada kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang
mempersulit dan menakutkan, sebagaimana telah Nabi Shalallaahu ‘Alaihi
Wasallam perintahkan kepada umatnya,
Belajar dengan
gembira merupakan metode pembelajaran yang memusatkan perhatian pada siswa,
dalam hal ini guru sangat berperan penting di dalamnya. Jadi tugas guru
semata-mata sebagai pengajar bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, namun
juga sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar. Jadi guru harus bisa mengemas
pelajaran semenarik mungkin sehingga siswa bisa mengikutinya dengan rasa
antusias dan gembira.
Jangan sekali-kali
seorang guru menakut-nakuti siswanya, karena selain tidak ada kegembiraan pada
siswa, yang ada hanya kekhawatiran saja sehingga membuat mental siswa menjadi
jatuh.
2. Guru
Mempersatukan bukan Menceraiberaikan
Penekanan
pentingnya seorang guru senantiasa memberikan segala sesuatunya, termasuk
memberikan pelajaran, dengan suasana yang sejuk, damai dan tanpa provokasi.
Sebab jika pembelajaran dilakukan dengan sejuk, maka kesejukan itu akan
mengimbas kepada para siswanya. Sebaliknya, jika pembelajaran dilakukan
dengan tidak santun, apalagi penuh dengan emosi, maka materi pelajaran yang
sampai kepada siswa juga tidak akan maksimal.
Memberikan nasehat
serta suri tauladan yang baik akan membuat persatuan yang hakiki sehingga
nantinya tidak ada permasalahan yang bisa menceraiberaikan satu sama lain.
3. Guru
Mempermudah bukan Mempersulit
Di antara
kemudahan dalam mengajar adalah memandang manusia secara bertahap. Karena itu,
seorang guru harus mengalihkan siswanya dari hal yang susah kepada hal yang
mudah, dan dari hal yang rumit kepada hal yang sederhana.
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala mensyariatkan terlebih dahulu kepada manusia di Kota Mekah
akidah dan dasar sifat-sifat utama, sebelum masuk ke dalam perkara syariat dan
hukum-hukum. Tugas Rasul sepanjang fase Mekah adalah menanamkan keimanan yang
benar dan dasar-dasar etika Islam dalam diri para sahabat untuk mengemban
amanat yang mulia di kemudian hari, yaitu amanat kewajiban-kewajiban Islam,
dakwah Islamiah, dan jihad di jalan dakwahnya.
Karena itu, tidak
seyogianya seorang guru yang bijak untuk menyelam bersama siswanya dalam lautan
masalah yang masih diperselisihkan, sebelum siswanya memahami betul perkara
yang telah disepakati. Karena memulai belajar dengan tidak tahu akar
permasalahannya akan mengacaukan akal dan pikiran.
Kalau ada sebagian
ilmu pengetahuan yang berada di atas kemampuan orang yang ia ajarkan, maka
seorang guru wajib mengakhirkan masalah ini, hingga matang pemikiran mereka dan
mereka telah siap untuk menerima ilmu tersebut.
Ali r.a. berkata,
“Ajaklah manusia berbicara dalam perkara yang mereka ketahui (pahami) dan
tinggalkan apa yang mereka mungkiri. Adakah kamu sekalian ingin mereka
berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya?”
Seorang guru
diharuskan untuk tidak menjadikan perhatiannya hanya kepada bagaimana cara
mengisi otak-otak dengan informasi saja, akan tetapi ia dituntut pada penyucian
jiwa dengan sifat-sifat yang utama dan baik. Ia juga dituntut untuk lebih
banyak mendidik melalui apa yang diucapkan dan mengucapkan apa yang sudah
dilakukan dan juga melakukan perubahan, ketimbang mendidik dengan
kata-kata.
Dengan demikian,
ia bisa masuk dalam kategori guru yang mengajarkan manusia pada kebaikan.
Seorang guru atau pendidik harus bisa menampilkan suri tauladan yang
baik di depan para siswanya.
Cigombong,
05/04/23