Penulis: Dr. Hj. Raden Eti Mulyati, M.Pd
Dr. Hj. Raden Eti Mulyati, M.Pd
Oleh Dr. Hj. Raden
Eti Mulyati, M.Pd
(Komunitas Cinta
Indonesia)
Banyak rasa yang
belum tersampaikan, kecewa yang tak terluapkan. Harapan dan rencana berujung luka, lagi-lagi hati teriris pedih,
sebagai manusia pekerja serasa kandas dan terhempas. Awalnya lebih berharga
rasa tanpa kata-kata, guman tanpa ucap, telinga tanpa mendengar, mata tanpa warna
terlihat. Tapi saya adalah manusia biasa yang ingin jujur berceloteh tentang
perasaan.
Gelar Mercusuar
terpampang nyata “Spektakuler! BAN-SM Sukses Gelar Uji Kompetensi Online
Pertama di Indonesia dengan Peserta Terbanyak”. Rasa syukur Penyelenggara
karena keberhasilannya melaksanakan uji kompetensi Assesor UKA secara online
pertama di Indonesia, peserta terbanyak, terpantau ketat dalam kamera,
berlangsung sukses tanpa kendala meskipun dengan persiapan yang cukup singkat.
Congratulation BAN–SM You are the best.
Yes, I agree...tetapi
ketika membaca tulisan Juli Wahyu Pari Dunda (Komunitas Cinta Indonesia/KACI)
bahwa menurutnya kekecewaan pengawas karena tidak lulus, itu wajar. Sebenarnya
BAN lebih kecewa, yang menganggap assesor itu sudah profesional. Dan Ketua BAN,
Dr. Toni kecewa terhadap hasil pencapaian para assesor dalam uji kompetensi
yang berkaitan dengan non kognitif (TKB+pengetahuan akreditasi). Dan ini akan
menjadi bahan evaluasi untuk rekruitmen serta pembinaan assesor ke depan oleh
BAN-SM. BAN lebih kecewa karena assesor itu tidak profesional itu artinya ”Buruk
muka cermin dibelah”.
Wajarkah kalau
saya mengguman seperti itu? Alasannya:
1. Assesor yang
mendapat label Assesor yang tidak profesional adalah kebanyakan adalah Assesor
yang memiliki SIM berupa sertifikat kelulusan Diklat Assesor BAN-SM yang masih
berlaku. Bukankah yang mengeluarkannya Badan Akreditasi Nasional
Sekolah/Madrasah dan Ketuanya adalah yang memberi label tidak Profesional? Itu
artinya “kau yang berjanji kau yang mengingkari”
2. Meskipun sudah
menggunakan aplikasi tapi penyelenggara kurang fairplay dengan tidak
menampilkan hasil perolehan nilai secara langsung, bukankah dalam aplikasi
perolehan nilai itu bisa terlihat secara langsung dan mudah seperti membalikkan
sebelah tangan, sehingga para peserta tidak berharap-harap cemas menunggu nilai,
kemudian setelah sekian lama baru ada pengumumannya.
3. Bukankah
Fairplay itu terjemahan alternatifnya adalah tindakan yang wajar terhadap semua
orang yang artinya, ketika nilai digulirkan secara langsung wajar jika orang-orang
yang mengikuti ujian akan merasa ikhlas dan sadar diri dengan hasil perolehan
nilainya, bukankah kelebihan sebuah aplikasi itu adalah untuk transfaransi?
4. UKG (Uji
Kompetensi Guru) misalnya melakukan secara serempak dan nilai bisa langsung
terlihat alhasil cukup membahagiakan karena cukup dijadikan pemetaan kompetensi
guru bukan untuk menjustifikasi profesional dan tidak profesional. Karena
dikatakan profesional itu tidak dapat dilihat dari alat uji teoritik saja akan
tetapi justru yang lebih menyeluruh
adalah aktivitas, habbit lalu karakter real ketika di lapangan.
4. Test Kognitif,
Test non kognitif, TKB bukan merupakan cara satu-satunya dalam penentuan
prestasi dan performa dalam pekerjaan, pilihan dan pengembangan perlu dilakukan
secara hati-hati dan tidak bisa dijustifikasi secara singkat. Oleh karena itu
BAN-SM sebaiknya menggunakan kombinasi yang menyeluruh, perbaikan yang
terstruktur, analisis panjang mengenai rubrik yang digunakan. Sehingga ada
kecocokan antara test dengan karakteristik psikologi yang diukur, terlebih
Assesor kebanyakan di usia 50 tahun.
5. Uji Kompetensi
Assesor lebih tepatnya dijadikan sebagai test Diagnostik bagi Assesor yaitu
untuk mengetahui kelemahan khusus yang dimiliki assesor yang tidak berhasil,
serta untuk mengetahui kesulitan (kelemahan) dan kekuatan assesor dalam
pekerjaannya, lalu memberikan Diklat/Bimtek misalnya melalui (Blended Learning
dalam IASP), jadi bukan belum apa-apa sudah bilang tidak profesional? Sudahkan BAN–SM
memanage UKA secara menyeluruh secara profesional?
Peribahasa Sunda
“Halodo Sataun Lantis ku Hujan Sapoe” adalah ungkapan hati penulis yang dirasa pas menurut realita yang terjadi
saat ini pasca-UKA. Pengawas Sekolah yang sudah berproses sampai belasan tahun
bahkan puluhan tahun (Pembina dan Pemantau 8 SNP dari puluhan Sekolah binaan
sebagai aktivitas hariannya) Pengawas yang sudah punya Gelar Doktor dari
Institusi Perguruan Tinggi Akreditasi A, Pengurus Assesor, Ketua MKPS, Ketua
Organisasi Pendidikan, Intruktur Nasional Pendidikan, banyak yang TIDAK LULUS
dan mendapat predikat tidak profesional. Sementara para dosen yang baru menjadi
assesor 1 Tahun dan muda usia kebanyakan
lulus UKA dan mendapat Predikat Profesional. Terasa ada Wide-gap dan Merasa tersisih di rumah sendiri.
Penulis ingin
merangkum beberapa syarat seseorang yang memiliki pribadi yang profesional
yaitu: Bagaimana ia bekerja, bagaimana ia mengatasi persoalan, bagaimana ia
akan menguasai hasil pekerjaannya, mempunyai loyalitas, mempunyai integritas,
mampu bekerja keras, mempunyai visi, mempunyai kebanggaan, mempunyai komitmen,
mempunyai motivasi dan lain sebagainya, banyak sekali dan sulit berbatas.
Dengan segenap rasa hormat tulisan ini semata-mata pendapat pribadi penulis,
ketika terdapat pernyataan yang keliru atau kesalahan pendapat mohon untuk
diluruskan. ***