Halodo Sataun Lantis ku Hujan Sapoe, Potret Uji Kompetensi Assesor

Penulis: Dr. Hj. Raden Eti Mulyati, M.Pd

Dibaca: 2681 kali

Dr. Hj. Raden Eti Mulyati, M.Pd

Oleh Dr. Hj. Raden Eti Mulyati, M.Pd

(Komunitas Cinta Indonesia)

 

Banyak rasa yang belum tersampaikan, kecewa yang tak terluapkan. Harapan dan rencana  berujung luka, lagi-lagi hati teriris pedih, sebagai manusia pekerja serasa kandas dan terhempas. Awalnya lebih berharga rasa tanpa kata-kata, guman tanpa ucap, telinga tanpa mendengar, mata tanpa warna terlihat. Tapi saya adalah manusia biasa yang ingin jujur berceloteh tentang perasaan.

Gelar Mercusuar terpampang nyata “Spektakuler! BAN-SM Sukses Gelar Uji Kompetensi Online Pertama di Indonesia dengan Peserta Terbanyak”. Rasa syukur Penyelenggara karena keberhasilannya melaksanakan uji kompetensi Assesor UKA secara online pertama di Indonesia, peserta terbanyak, terpantau ketat dalam kamera, berlangsung sukses tanpa kendala meskipun dengan persiapan yang cukup singkat. Congratulation BAN–SM You are the best.

Yes, I agree...tetapi ketika membaca tulisan Juli Wahyu Pari Dunda (Komunitas Cinta Indonesia/KACI) bahwa menurutnya kekecewaan pengawas karena tidak lulus, itu wajar. Sebenarnya BAN lebih kecewa, yang menganggap assesor itu sudah profesional. Dan Ketua BAN, Dr. Toni kecewa terhadap hasil pencapaian para assesor dalam uji kompetensi yang berkaitan dengan non kognitif (TKB+pengetahuan akreditasi). Dan ini akan menjadi bahan evaluasi untuk rekruitmen serta pembinaan assesor ke depan oleh BAN-SM. BAN lebih kecewa karena assesor itu tidak profesional itu artinya ”Buruk muka cermin dibelah”.

Wajarkah kalau saya mengguman seperti itu? Alasannya:

1. Assesor yang mendapat label Assesor yang tidak profesional adalah kebanyakan adalah Assesor yang memiliki SIM berupa sertifikat kelulusan Diklat Assesor BAN-SM yang masih berlaku. Bukankah yang mengeluarkannya Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah dan Ketuanya adalah yang memberi label tidak Profesional? Itu artinya “kau yang berjanji kau yang mengingkari”

2. Meskipun sudah menggunakan aplikasi tapi penyelenggara kurang fairplay dengan tidak menampilkan hasil perolehan nilai secara langsung, bukankah dalam aplikasi perolehan nilai itu bisa terlihat secara langsung dan mudah seperti membalikkan sebelah tangan, sehingga para peserta tidak berharap-harap cemas menunggu nilai, kemudian setelah sekian lama baru ada pengumumannya.

3. Bukankah Fairplay itu terjemahan alternatifnya adalah tindakan yang wajar terhadap semua orang yang artinya, ketika nilai digulirkan secara langsung wajar jika orang-orang yang mengikuti ujian akan merasa ikhlas dan sadar diri dengan hasil perolehan nilainya, bukankah kelebihan sebuah aplikasi itu adalah untuk transfaransi?

4. UKG (Uji Kompetensi Guru) misalnya melakukan secara serempak dan nilai bisa langsung terlihat alhasil cukup membahagiakan karena cukup dijadikan pemetaan kompetensi guru bukan untuk menjustifikasi profesional dan tidak profesional. Karena dikatakan profesional itu tidak dapat dilihat dari alat uji teoritik saja akan tetapi justru yang lebih menyeluruh  adalah aktivitas, habbit lalu karakter real ketika di lapangan.

4. Test Kognitif, Test non kognitif, TKB bukan merupakan cara satu-satunya dalam penentuan prestasi dan performa dalam pekerjaan, pilihan dan pengembangan perlu dilakukan secara hati-hati dan tidak bisa dijustifikasi secara singkat. Oleh karena itu BAN-SM sebaiknya menggunakan kombinasi yang menyeluruh, perbaikan yang terstruktur, analisis panjang mengenai rubrik yang digunakan. Sehingga ada kecocokan antara test dengan karakteristik psikologi yang diukur, terlebih Assesor kebanyakan di usia 50 tahun.

5. Uji Kompetensi Assesor lebih tepatnya dijadikan sebagai test Diagnostik bagi Assesor yaitu untuk mengetahui kelemahan khusus yang dimiliki assesor yang tidak berhasil, serta untuk mengetahui kesulitan (kelemahan) dan kekuatan assesor dalam pekerjaannya, lalu memberikan Diklat/Bimtek misalnya melalui (Blended Learning dalam IASP), jadi bukan belum apa-apa sudah bilang tidak profesional? Sudahkan BAN–SM memanage UKA secara menyeluruh secara profesional?

Peribahasa Sunda “Halodo Sataun Lantis ku Hujan Sapoe” adalah ungkapan hati penulis  yang dirasa pas menurut realita yang terjadi saat ini pasca-UKA. Pengawas Sekolah yang sudah berproses sampai belasan tahun bahkan puluhan tahun (Pembina dan Pemantau 8 SNP dari puluhan Sekolah binaan sebagai aktivitas hariannya) Pengawas yang sudah punya Gelar Doktor dari Institusi Perguruan Tinggi Akreditasi A, Pengurus Assesor, Ketua MKPS, Ketua Organisasi Pendidikan, Intruktur Nasional Pendidikan, banyak yang TIDAK LULUS dan mendapat predikat tidak profesional. Sementara para dosen yang baru menjadi assesor 1  Tahun dan muda usia kebanyakan lulus UKA dan mendapat Predikat Profesional. Terasa ada Wide-gap dan Merasa tersisih di rumah sendiri.

Penulis ingin merangkum beberapa syarat seseorang yang memiliki pribadi yang profesional yaitu: Bagaimana ia bekerja, bagaimana ia mengatasi persoalan, bagaimana ia akan menguasai hasil pekerjaannya, mempunyai loyalitas, mempunyai integritas, mampu bekerja keras, mempunyai visi, mempunyai kebanggaan, mempunyai komitmen, mempunyai motivasi dan lain sebagainya, banyak sekali dan sulit berbatas. Dengan segenap rasa hormat tulisan ini semata-mata pendapat pribadi penulis, ketika terdapat pernyataan yang keliru atau kesalahan pendapat mohon untuk diluruskan. ***

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...