Penulis: DR. H Dedi Nurhadiat, M.Pd
DR. H Dedi Nurhadiat, M.Pd
Oleh DR. H Dedi
Nurhadiat, M.Pd
(Komunitas Cinta Indonesia/KACI)
Di saat masyarakat sibuk mengejar duniawi,
suami istri semuanya meninggalkan keluarga di rumah untuk sementara waktu.
Pertemuan untuk anak tersayang di rumah relatif sedikit. Tak jarang pendidikan
anak-anak di rumah diserahkan kepada mekanisme yang ada di masyarakat. Maka
peran pembantu, dan medsos menjadi sangat dominan. Tidak demikian di Turki.
Sekian puluh tahun dikuasai pemerintahan sekuler, akhirnya kembali pada jati
dirinya.
A.
Turki dalam Cengkraman Pemerintahan
Sekuler
Mustafa
Kemal Atatürk, nama lainnya adalah Gazi Mustafa Kemal Pa?a. Beliau
seorang perwira militer dan negarawan Turki yang memimpin revolusi negara itu
(1934). Ia merupakan pendiri dan presiden pertama Republik Turki. Sejak saat
itulah Turki menjadi negara sekuler di bawah
pimpinannya.
Sekularisme
adalah pemisahan antara negara dan agama. Atatürk sebagai intelektual Turki
"mencari" sekularisme sebagai prinsip moderinisasi negara dan juga
gagasan progresif yang meliputi tidak hanya kehidupan politik dan pemerintahan
namun juga lingkungan sosial dan budaya.
Jika
saat ini, banyak masyarakat di Turki yang masih didominasi takhayul, dogma dan
ketidaktahuan. Diduga karena keberhasilan pembangunan ideologi dari
pemerintahan sekuler itu.
Tak
jarang para turis dari Indonesia dewasa ini, banyak juga digiring ke hal
seperti barang kerajinan yang memiliki keganjilan/mistis. Seperti hiasan berupa
gelang dan cincin yang menjurus pada keyakinan mistis, dengan corak hiasan
berupa gambar mata satu (Seperti logo Yahudi/bermata satu). Tak jarang pula turis
Indonesia membeli barang-barang pembodohan seperti itu. Walau barang oleh-oleh
dibeli karena nilai keindahannya, padahal sangat kental dengan takhayul.
Kecuali
para turis dengan wisata umroh, mungkin tak banyak diajak memasuki dunia
takhayul seperti itu. Karena wisatawan umroh, banyak mengunjungi Turki untuk
mempertebal keimanan. Karena di Turki banyak benda peninggakan sejarah masa
lampau.
Di
Turki banyak benda peninggalan kejayaan Islam dan benda sejarah yang ada dalam
Qur'an dan dalam buku sejarah dunia seperti; Tongkat Nabi Musa, Rambut Nabi
Muhammad SAW, pakaian istri Rosulullah, pedang
asli yang digunakan para sahabat nabi, dll. Benda bersejarah tentang Islam
sangat terpelihara di berbagai tempat. Bahkan benda sejarah sebelum Islam
seperti tiang obelish dari Mesir dengan tulisan hieroglifnya,
serta benteng-benteng pertahanan zaman Romawi
berdiri dengan kokohnya.
Peninggalan
sekuralisme di Turki, menunjukkan kontrol negara dan peraturan keadaan
sikap sebagai salah satu dari "netralitas aktif". Tindakan Turki yang
berkaitan dengan agama, di zaman sekuler adzanpun
diubah menjadi berbahasa Turki. Konon banyak sekali mu’adzzin yang terbunuh
karena mempertahankan adzan berbahasa Arab.
Dalam
wikipedia dituliskan bahwa tugas-tugas pemerintahan urusan agama adalah
"untuk melaksanakan pekerjaan yang menyangkut keyakinan, ibadah, dan
etika, mencerahkan masyarakat tentang agama mereka, dan mengelola tempat ibadah
suci"
Banyak
macam kegiatan sekularisasi yang dilakukan pada zaman
kepemerintahan Ataturk, salah satunya yang paling banyak dikecam, ganti Azan
dengan bahasa Turki, tanpa memasukkan unsur
Arab. Bahkan pembunuhan terhadap pelanggaran
itu sering terjadi. Dapat ditonton di film youtube (boleh buka di https://youtu.be/9Gvc4aOf-ss)
Adzan saat
itu, masih diperbolehkan berkumandang, dengan syarat harus menggunakan bahasa Turki,
dan para wanita harus melepaskan jilbab mereka jika masuk lembaga
negara.
B.
Kembali ke
Ruh Islam
Puluhan
tahun Turki dalam kendali pemerintahan sekuler. Kini bangkit kembali dalam
tatanan Islami. Diduga karena keberhasilan pendidikan dalam keluarga dan
pengajian rutin yang dibina masyarakat secara turun temurun. Banyak masjid
besar dijadikan tempat aktivitas anak balita
di bawah bimbingan para guru mereka.
Desakan
masyarakat mayoritas muslim untuk mengaktifkan kembali Aya Sophia terus
bergelora. Gedung ini dibangun pada abad keenam sebagai katedral namun sempat dijadikan
perebutan antarpenganut gereja yang berbeda paham, dengan cara kekerasan.
Akhirnya menjadi masjid pada 1453 ketika zaman Ottoman.
Kekuasaan
Otoman biasa disebut juga dengan Kekhalifahan Utsmaniyah, di bawah Mehmed
II atau Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel
yang kemudian berganti nama menjadi Istanbul. Kini hampir semua buku
yang ada di Turki menulisnya Istambul.
Di
bulan lalu, 10 Juli 2020 Aya Sophia diputuskan untuk dipelihara kembali sebagai
tempat peribadatan. Dengan pembukaan resminya pada hari Jumat 24 Juli 2020. Berita
ini heboh ke seantero jagad raya, terutama berita di medsos. Aya Sophia kembali
menjadi masjid, dengan pembacaan Quran oleh sang Presiden. Ruangannya dipenuhi
jemaat hingga kepelataran depan, semua yang hadir khusyu mendengarkan lantunan Surat
Albaqoroh oleh Erdogan.
Seandainya
saja Paus Fransiskus mengetahui perbandingan pemeliharaan Aya Shophia
saat jadi musium dengan saat jadi masjid. Kemungkinan akan
merasa senang karena perawatan gedung tua ini, lebih terjaga dan terjamin
kelestariannya.
Kalau
kita tengok sejarah saat jadi musium, bangunan ini tampak dari luarnya sangat
kotor oleh bercak-bercak kotoran burung dan faktor
pelapukan karena hukum alam. Saat memasuki bangunan, sangat tampak lorong
tangga naik ke lantai atas, kurang terawat, ubin lantai mulai rapuh dan berdebu,
di samping ubin bangunan banyak yang
miring-miring. Kemungkinan karena banyaknya hilir mudik wisatawan yang berkunjung
setiap harinya.
Masyarakat
dunia yang tidak paham lebih dekat tentang kondisi bangunan. Hanya mengetahui
lewat media saja, pasti sangat kecewa. Hingga Paus Fransiskus tak
mampu berbicara banyak, hanya mengeluarkan beberapa patah kata tentang perkara
ini: "Saya memikirkan Istanbul. Saya memikirkan Santa Sophia dan saya
sangat terluka." Begitu tertulis di beberapa media. Padahal peristiwa ini,
merupakan peningkatan pemeliharaan bangunan tua bersejarah, demi pelestarian. Di samping membuka mata dunia. Karena beda perilaku
manusia antara perawatan terhadap tempat peribadatan dengan perawatan terhadap musium.
Di samping masalah-masalah lainnya.
Tempat
peribadatan itu biasanya dirawat dengan keikhlasan. Karena merawat bangunan peribadatan
itu, adalah ibadah. Kita tahu, Aya Shophia sejak tahun 1934, di bawah
kepemimpinan Presiden Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki modern, setelah
jatuhnya Ottoman, masjid itu dijadikan museum. Realitanya kondisi gedung tua
ini, sangat mengkhawatirkan. Sangat jauh dengan realita
di foto-foto yang beredar di majalah atau kalender.
Masyarakat
dunia mengenal indahnya Aya Sophia, mayoritas hanya dari dalam
gambar, yang tampak begitu indah. Padahal karena kepiawaian para ahli fotografi.
Kondisi yang ada, sangat jauh dibanding masjid di sekitarnya. Pelapukan
material bangunan seperti itu, memang perlu keseriusan dalam menanganinya.
Kondisi memprihatinkan itu berjalan hingga menjelang tahun 2020.
Ketika
Aya Sophia dijadikan musiun, masyarakat kebingungan untuk beribadat. Maka lahirlah
masjid yang setara besarnya berjarak beberapa kilo meter di seberangnya. Sangat
kontras kondisinya dengan Aya Sophia. Kondisi masjid mentereng dan kokoh karena
perawatannya.
Kini ketika
Aya Sophia sudah menjadi masjid, karpet yang digelar sebagai landasan orang
salat memancarkan pamor cemerlang. Tentu
saja kelak hampir pasti akan berimbas pada sistem
instalasi air, listrik, perawatan pengecatan bagian luar gedung, pemeliharaan
taman, hingga publikasi republik Turki itu sendiri.
Dari
Aya Sophia ini, memancar sinar anugerah
rakhmatan lilalamin. Lintas agama, tetap ikut memelihara dan tetap boleh
dikunjungi masyarakat lintas agama. Di tahun 2020 ini sangat dirasakan oleh
mayoritas masyarakat Turki, sangat bergairah. Tatkala Aya Sophia difungsikan
kembali menjadi tempat peribadatan, kebutuhan untuk itu terpenuhi. Hingga berbagai
pengamat politik membandingkannya lintas negara.
Dukungan
mayoritas masyarakat Turki begitu kuatnya. Berdampak pada sorotan masyarakat
dunia yang majemuk, imbasnya hingga ke gedung PBB menyangkut Masjidil Aqso
di Palestina dan Alhambra di Cordova. Akhirnya banyak masyarakat dunia membuka
mata atas mandulnya PBB terhadap Israel yang menguasai dan menjajah negara
Palestina.
Berguru
ke Aya Sophia yang dikuasai penguasa berpaham sekularisme, selama puluhan tahun
sejak jatuhnya Otoman. Ternyata Pendidikan ruhani Islam tidak pernah mati.
Anak-anak usia TK setiap hari banyak berlarian di atas
karpet-karpet tua yang terawat. Lantunan ayat-ayat Alquran,
ucapan salam dan sapa Islami selalu meluncur dari mulut-mulut generasi muda
mereka.
C.
Turki Gambaran Islam di Indonesia
Lupakan
dulu Turki, mari kita lihat di tanah air kita. Ternyata hal serupa dirasakan di
Indonesia. Pengajian anak kecil dari mulai para balita hingga pesantren dalam ruangan
bentuk kobong terus bergerak.
Para
lulusan pesantren itu, berbeda dengan lulusan sekolah umum. Mari kita tengok peran
alumni pesantren di kampung-kampung yang tidak tersentuh bantuan pemerintah. Terutama
pesantren yang mandiri dan indipenden dalam berpolitik. Para santri lulusannya berpikir
sangat merdeka.
Para
santri mondoknya di kobong, ada yang nyambi bersekolah juga. Para santri berijazah
itu punya cerita berbeda dengan mereka lulusan pesantren tanpa ijazah. Mereka
yang punya ijazah telah banyak mewarnai pemerintahan.
Para
alumni pesantren yang tidak punya ijazah juga perannya sangat penting. Alumni
pesantren banyak mewarnai rumah mewah. Buah pernikahan itu, ditinggal orangtua
di rumah mewah, bersama alumni pesantren yang mereka percaya.
Karena
kejujurannya, tak jarang, alumni pesantren menjadi ahli kebun, teknisi, sopir,
hingga juru masak dan perawat bayi mungil di istana pemburu dunia. Anak-anak
gedongan itu, laksana Nabi Musa dalam Istana Firaun yang disusui seorang ibu
dari kampung (Ibunya sendiri).
Para
lulusan pesantren itu saat berada di Istana kerajaan modern, banyak jadi perhatian
karena ketauladanan. Makanya sangat dibutuhkan. Mereka sangat jujur, dampak produk
pendidikan akidah dari kobong. Kejujuran alumni pesantren ini, banyak melahirkan
Musa-Musa baru dalam kerajaan modern. Jasa alumni pesantren telah menunjukkan
jati dirinya dalam sebuah pendidikan anak di rumah mewah.
Jika
hal ini terus terpelihara, suatu saat akan lahir Erdogan
Erdogan baru di Indonesia. Bahkan mungkin akan
lahir Nabi Musa abad modern. Atau pembaruan akan terlahir di negeri ini.
Karena kekuasaan
presiden Erdogan di Turki itu merupakan buah
pengajian yang bergerilya dan terus bergerak secara evolusi.
Siklus
perubahan zaman yang mengkhawatirkan ditandai dengan
pergeseran nilai moral generasi muda. Perubahan itu terus menampakan kengerian.
Terpuruknya
moral generasi, karena pengaruh pendidikan lewat medsos yang liar. Namun di balik itu, ada alumni pesantren yang indipenden,
menyelinap masuk lewat sendi-sendi kemasyarakatan.
Stigma atau
pelabelan negatif tentang pesantren sebagai sarang terorisme, akan hilang
dengan sendirinya. Karena karya nyata lewat pendidikan
seperti di atas.
Pelabelan
terorisme itu, patut diduga dibangun oleh kelompok tertentu, agar masyarakat
menuju pemerintahan sekularisme seperti Turki masa lalu.
Dengan
lahirnya alumni pesantren memasuki berbagai sektor, maka pelabelan negatif itu
akan lenyap dengan sendirinya.
Jika
pak Buya Hamka pernah masuk penjara, atau Habib Riziek mengasingkan diri. Itu
adalah pupuk NKRI. Jangan dijadikan sebagai petaka yang tidak ada manfaat. Itu
adalah tonggak untuk lahirnya Recep Tayyip Erdogan di
Indonesia. Atau mungkin tokoh dunia lainnya yang lebih hebat dari itu.
Karena
kita tahu populernya petinju Muhammad Ali karena ada lawan-lawan tangguh
seperti George Foreman. Populernya sileher beton Mike Tyson
karena ada Evander Holyfield dan sederet tokoh lainnya.
Kita
pahami populernya riwayat para nabi dan rosul hingga akhir zaman,
karena ada penganiayaan, penghinaan, meremehkan, atau bahkan penindasan hingga penderitaan.
Tak terhitung korban anak manusia di kayu salib bahkan dipaksa minum racun. Peristiwa
itu, banyak ditulis di buku sejarah. Hingga Allah melalui malaikat membelalakan
mata kaum yang Dzalim. Banyak sudah lahir mukjizat kenabian yang tak terhitung
jumlahnya.
Mukjizat
atau perkara di luar kebiasaan itu,
tidak akan lahir tanpa ada kisah asbabunnuzulnya. Kisah Nabi Musa dengan
tongkat ular, Nuh dengan banjir besar dan perahu raksasanya. Bahkan Nabi
Muhammad SAW lebih unik lagi, karena mukjizatnya ada yang muncul ketika
beliau telah wafat. Hingga mukjizat itu disaksikan secara kasat mata oleh
generasi sekian abad kemudian.
Filsafat
Sunda “kunang-kunang nurih bumi” yaitu menyala lenyap dan akhirnya menyala
kembali, dan begitulah seterusnya. Ada kalanya generasi penerus mulai
mengabaikan akidah religi akibat tergerus budaya kebathilan.
Namun tatkala
ditemukan sains, yang mencengangkan, dan spektakuler, seperti penemuan; Dua
lautan bertemu tidak bersatu, api menyala di dasar laut, cakrawala menyerupai
mawar, rahasiah sidik jari, rahasiah kulit ari. Semuanya tertulis di kitab suci.
Dan membuka wawasan generasi abad berikutnya. Religi yang hampir pudar itu
menyala kembali, laksana kunang-kunang menerangi kegelapan.
Kisah-kisah
pahit, heroik, dan masa-masa suram, serta keji itu adalah bagian dari dinamika
dunia. Agar makhluk mau berpikir; Bukankah kita tahu tentang burung gagak yang
mengubur mayat sesama gagak, atau Siti Hawa (Eva) merengek meminta buah Khuldi.
Tanpa kisah-kisah seperti itu, tampaknya dunia ini tidak terlalu indah.
Sekulernya
Turki karena terpuruk dan terkuburnya kejayaan Otoman. Derasnya pengaruh
kekuatan politik internasional, memarginalkan kaum tertindas.
Doa
orang tertindas itu, melahirkan pendidikan menyatu bersama Nurani. Tatkala
diperkuat nilai-nilai religi, maka perubahan itu terus merayap dengan pasti
hingga bangkitlah Erdogan. Intinya adalah pendidikan
yang punya peranan. (DN)
Pesan
Moral: Jika keluarga terlalu sibuk, tak ada salahnya umat Muslim membidik
alumni pesantren untuk bekerja di rumah kita (memelihara taman, kebun, memandikan
anak, sebagai sopir, asisten pribadi, dst).