MALIN KUNDANG ABAD 21

Penulis: Drs. KAMAJAYA, M.Pd

Dibaca: 7605 kali

Drs. KAMAJAYA, M.Pd

Oleh Drs. KAMAJAYA, M.Pd.

(Guru SMKN 1 Losarang Indramayu/Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)

 

Cerita rakyat mengenai anak durhaka yang dikutuk menjadi sesuatu tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Salah satunya di Padang, Sumatera Barat terdapat legenda “Malin Kundang” yang dikutuk ibunya menjadi batu. Legenda tersebut biasanya dituturkan oleh orang tua kepada anak- anaknya untuk mengingatkan mereka agar tidak menjadi anak durhaka.

Kisah Malin Kundang sangat populer di Nusantara. Meski lahir di tanah Minang, namun dongeng klasik ini begitu populer dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Sama seperti dongeng klasik lainnya, Malin Kundang bukan sekadar cerita namun ada nasihat kehidupan yang disisip di dalamnya.

Dikisahkan ada sebuah keluarga kecil yang terdiri atas ayah ibu dan seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena keadaan ekonomi yang buruk, sang ayah memutuskan untuk merantau. Namun lama dinanti, sang ayah tidak kunjung kembali. Si ibu dan anaknya pun hidup hanya berdua.

Si anak yakni Malin Kundang tergolong cerdas meski nakal. Saat beranjak dewasa, ia tergoda untuk ikut seseorang merantau ke negeri seberang. Awalnya sang ibu tak mengizinkan namun pada akhirnya Malin pergi merantau juga. Di tengah perantauan, Malin mendapat banyak cobaan termasuk kapal yang dibajak para perompak. Beruntung ia bisa bersembunyi sehingga selamat. Selanjutnya ia kemudian terombang ambing di lautan hingga akhirnya terdampar di sebuah pulau yang subur. Di tempat inilah Malin Kundang bekerja dengan sangat giat sampai akhirnya ia pun meraih impiannya sebagai orang kaya yang kemudian juga menikahi wanita tercantik di tempat tersebut. Pada bagian ini, nilai yang bisa dipetik adalah bahwa kerja keras dan pantang menyerah akan selalu membuahkan hasil.

Kabar keberhasilan Malin di negeri seberang sampai ke telinga ibunya. Ia pun setiap hari pergi ke dermaga sambil berharap Malin Kundang datang ke kampung. Lama berselang, sang anak pun benar benar datang dengan kapal mewah bersama dengan istrinya yang jelita. Si ibu senang bukan kepalang. Namun saat bertemu Malin, ia mendapat penolakan. Dengan sombong dan angkuh, Malin menolak mengakui ibunya dan bahkan menuduhnya sebagai pengemis tua yang mau menguasai hartanya. Karena sakit hati, sang ibu pun mengutuk Malin dan oleh Yang Maha Kuasa, ia diubah menjadi sebuah batu.

Pada bagian penutup kisah ini, berubahnya Malin menjadi batu adalah sebuah hukuman atas sikap durhaka, sombong dan angkuh terhadap sang ibu. Hukuman yang diberikan tiada lain karena terpaksa; air susu telah dibalas dengan air tuba. Sejak kecil Malin dibesarkan, setelah dewasa tidak membalas guna:

Aie susu dibaleh jo aie tubo, indak malin maraso ibo, dari ketek digadangkannyo,

lah gadang indak mambaleh guno.

Air susu dibalas dengan air tuba Malin tidak merasa iba, dari kecil telah dibesarkannya, telah besar tidak membalas guna. (Udin, 1996: 66-67) .

Apakah pesan moral yang terkandung dalam cerita Malin Kundang. Pesan-pesan moral yang terkandung dalam cerita klasik Malin Kundang sebagai berikut:

?         Dalam kondisi apapun kita harus hormat dan berbakti pada orang tua utamanya Ibu, baik dalam susah maupun senang.

?         Kerja keras akan selalu berbuah hasil selama kita terus berusaha pantang menyerah.

?         Berbohong juga angkuh adalah sifat yang harus dijauhi.

Dalam artikel ini penulis tidak bermaksud untuk bercerita tentang Malin Kundang. Penulis hanya ingin mengomentari seorang pengamat pendidikan yang alur ceritanya persis sama dengan dengan cerita Malin Kundang, Kacang Lupa akan Kulitnya, Air Susu dibalas dengan air tuba.

Kenapa demikian?

Salah satunya disebabkan oleh ejekan-ejekan yang dilontarkannya terhadap profesi guru yang menjadi bulan-bulanan sang pengamat yang kerap nongol di berbagai media dengan identitas “Pengamat Pendidikan”. Beliau menjadi selebriti yang sangat populer dengan cara menghina profesi guru. Dengan “keangkuhan dan kesombongannya ia menjadi trending topik di kalangan guru. Sayangnya bukan pujian yang ia dapat, tapi sebaliknya.

Apa sajakah celotehannya tentang guru?

?         Guru Itu Hanya Mengejar Tunjangan Saja, Kualitas Nomor Dua (infokemendikbud.com – 03/10/2016)

?         Percuma Digaji Jutaan Kalau Gurunya Masih Gaptek (Pojoksatu.id – 26 /04/2016)

?         Saya kok ragu. Betul tidak mereka sudah lama mengabdi? Apa betul jasa-jasa honorer K2 bagi bangsa ini kelihatan. Prestasi itu kan tidak bisa ditutupi, (JPNN.com - 26/07/2018).

?         97,5 Persen Guru Gagap Teknologi (FAJAR.co.id – 21/10/2019)

?         50% Guru Berstatus Honorer Gaji Rendah, Pengin Pendidikan Berkualitas? (JPPN.com – 28/12/2019)

?         Guru Honorer Tak Punya NPUTK, Sebaiknya Dipecat (FAJAR.co.id – 14/02/2020)

?         Mayoritas Guru Hanya Memberi Tugas tanpa Interaksi dengan Siswa (JPPN.com – 19/03/2020)

?         Enak Dosen dan Guru PNS, Tidur-tiduran Tetap Digaji (JPPN.com – 30/04/2020)

?         2,9 Juta Guru PNS dan Honorer Tak Berkualitas, Bikin Siswa Stres (JPPN.com – 01/05/2020)

?         Terbuka Semua Kan, Guru-guru Kita Kompetensinya Rendah (FAJAR.co.id – 01/05/2020)

?         1000 Kali Ganti Kurikulum Kalau Guru Enggak Mampu Tetap Anak-Anak Akan Stres.

(FAJAR.co.id – 05/05/2020)

?         SDM Unggul Hanya Retorika (JPPN.com – 09/05/2020)

?         Ada Balai Guru Penggerak Kemendikbud, Memangnya Negara Ini Perusahaan Dia?

(JPPN.com – 10/05/2020)

?         Guru di Indonesia Antikritik, Maunya Gaji Besar, Kualitas Rendah (JPPN.com – 12/05/2020)

Konon pengamat pendidikan ini yang kerap muncul di berbagai media yang sangat populer tidak mengetahui persis bagaimana guru di seluruh peloksok tanah air bekerja.

Seperti misalnya yang dituturkan oleh Guru SDN 164 Panassang Enrekang, Herman (44):

“Jumlah guru masih kurang dan tidak adanya aliran listrik di sekolah membuat kesulitan saat mengajar. Kita kerap kewalahan karena guru kurang, jadi biasanya kita taktisi gabung beberapa kelas untuk belajar bersama. Dia berharap, jumlah guru di sekolahnya bisa bertambah, begitupula akses jalan dan aliran listrik bisa tersedia”. (TRIBUNENREKANG.com – 01/05/2017)

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Natuna Suherman menjelaskan, “Minimnya guru menjadi bahan catatan yang perlu diusahakan sejak berdirinya konsep Satu Atap mulai SD, sampai SMP di daerah terpencil. (Satap). Sekarang ini, ketersediaan guru untuk mengajar di Satap yang berada di Desa Segeram Kecamatan Bunguran Utara masih sangat terbatas. Masih perlu dibenahi sarana dan prasarana (Sapras) pendukung sekaligus ketersediaan guru pengajar. Namun untuk memberikan pengajaran dan pelajaran masih memakai atau diperbantukan dari guru SD yang ada didaerah sekitar”. (Tanjungpinang Pos, 15/09/2018)

Distribusi guru di Indonesia tak merata. Banyak daerah terpencil kekurangan guru. Di SMK kekurangan guru terjadi karena peningkatan jumlah sekolah tak diiringi penambahan tenaga pengajar (Tirto.id., 02/12/2016).

Beberapa waktu lalu, terkuak bahkan seorang guru honorer hanya memiliki gaji sebesar Rp 300.000,-. Pendapatan tersebut bukanlah hitungan 1 bulan, melainkan 3 bulan. Artinya, satu bulan guru honorer hanya mendapatkan gaji Rp 100.000. Hal tersebut terungkap kala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem menyampaikan kuliah umum pada acara Musyawarah Nasional ke-5 Ikatan Keluarga Alumni UII pada 14 Desember 2019 lalu. (CNBC Indonesia, 21/01/2020)

Bukankah para mahasiswa yang saat ini sedang kuliah di seluruh perguruan tinggi baik di dalam maupun luar negeri adalah produk hasil kerja keras seorang guru? Bukankan profesi pekerjaan apapun yang ada di Indonesia adalah hasil kerja keras seorang guru?

Bagaimana Bapak/Ibu guru dengan penuh rasa tanggung jawab dengan profesi yang dicintainya melaksanakan SE Mendikbud: Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah untuk Mencegah Penyebaran Covid-19.

Bagaimana para guru bahu membahu membantu pemerintah untuk melindungi peserta didik di masa wabah pandemi covid 19 agar mereka tidak terpapar, seperti apa yang dilakukan guru dalam menjalankan tugas keprofesiannya di masa wabah terutama daerah yang tidak terjangkau oleh aliran listrik dengan gaji yang hanya cukup untuk kehidupan sehari-harinya, bahkan mungkin sebagian sangat kurang. Namun mereka karena kecintaannya pada profesi guru dan negaranya dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, mereka bekerja pantang menyerah, sangat pantas mereka dijuluki sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Sebenarnya penulis ingin menyampaikan banyak permasalahan yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia ini, terutama terkait dengan tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh guru di Indonesia yang tersebar di seluruh peloksok tanah air dalam menjalankankan profesinya sebagi guru untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun kenapa anak yang lahir dari seorang pendidik yang merasa faktor genetik sangat kuat mengalir di tubuhnya menghujat bertubi-tubi terhadap profesi guru. Apakah karena kini engkau telah menjadi seorang yang sukses dengan pendidikan tinggi dari luar negeri?

Dendam apa engkau sampai tega mengejek profesi guru yang merupakan profesi orang tuamu juga?

Apakah dengan profesi guru yang menjadi bulan-bulananmu engkau menjadi terkenal dan banyak mendapat manfaat darinya?

Engkau boleh saja berpendapat tentang permasalahan dunia pendidikan di Indonesia, sampaikan saja dengan data yang benar, sampaikan dengan santun, tunjukkan kapasitas intelektual dan etika berbicaramu, bukankah engkau mengaku sebagai pengamat pendidikan yang berpendidikan, tapi mengapa tak beretika apalagi menjelek-jelekkan profesi guru. Kalau engkau tidak mau mengubah gaya bicaramu tanpa data dan selalu membuat keonaran, maka tidak salah kalau engkau dijuluki Si Malin Kundang Abad 21”.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...