Penulis: Drs. KAMAJAYA, M.Pd
Drs. KAMAJAYA, M.Pd
Oleh Drs. KAMAJAYA, M.Pd.
(Guru SMKN 1 Losarang Indramayu/Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI
BISA#)
Cerita rakyat mengenai
anak durhaka yang dikutuk
menjadi sesuatu tersebar
di berbagai tempat di Indonesia. Salah satunya
di Padang, Sumatera
Barat terdapat legenda
“Malin Kundang” yang dikutuk ibunya menjadi batu. Legenda tersebut
biasanya dituturkan oleh orang tua kepada anak- anaknya untuk mengingatkan mereka agar tidak menjadi
anak durhaka.
Kisah Malin Kundang sangat populer di Nusantara.
Meski lahir di tanah Minang, namun dongeng klasik ini begitu populer dan
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Sama seperti dongeng klasik lainnya,
Malin Kundang bukan sekadar cerita namun ada nasihat kehidupan yang disisip di dalamnya.
Dikisahkan ada sebuah keluarga kecil yang
terdiri atas ayah ibu dan seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena
keadaan ekonomi yang buruk, sang ayah memutuskan untuk merantau. Namun lama
dinanti, sang ayah tidak kunjung kembali. Si ibu dan anaknya pun hidup hanya
berdua.
Si anak yakni Malin Kundang tergolong cerdas
meski nakal. Saat beranjak dewasa, ia tergoda untuk ikut seseorang merantau ke
negeri seberang. Awalnya sang ibu tak mengizinkan namun pada akhirnya Malin pergi merantau juga.
Di tengah perantauan, Malin mendapat banyak cobaan termasuk kapal yang dibajak para perompak.
Beruntung ia bisa bersembunyi sehingga selamat. Selanjutnya ia kemudian
terombang ambing di lautan hingga akhirnya terdampar di sebuah pulau yang
subur. Di tempat inilah Malin Kundang bekerja dengan sangat giat sampai
akhirnya ia pun meraih impiannya sebagai orang kaya yang kemudian juga menikahi
wanita tercantik di tempat tersebut. Pada bagian ini, nilai yang bisa dipetik
adalah bahwa kerja keras dan pantang menyerah akan selalu membuahkan hasil.
Kabar keberhasilan Malin di negeri
seberang sampai ke telinga ibunya.
Ia pun setiap hari pergi ke dermaga sambil berharap Malin
Kundang datang ke kampung. Lama berselang, sang anak pun benar benar datang dengan kapal
mewah bersama dengan istrinya yang jelita. Si ibu senang
bukan kepalang. Namun saat bertemu Malin, ia
mendapat penolakan. Dengan sombong dan angkuh, Malin menolak mengakui
ibunya dan bahkan menuduhnya sebagai
pengemis tua yang mau menguasai hartanya. Karena sakit hati, sang ibu pun mengutuk Malin dan oleh Yang Maha Kuasa, ia diubah menjadi sebuah batu.
Pada bagian penutup kisah ini, berubahnya Malin
menjadi batu adalah sebuah hukuman atas sikap durhaka, sombong dan angkuh
terhadap sang ibu. Hukuman yang diberikan tiada lain karena terpaksa; air susu
telah dibalas dengan air tuba. Sejak kecil Malin dibesarkan, setelah dewasa
tidak membalas guna:
Aie susu dibaleh jo aie tubo,
indak malin maraso ibo, dari ketek digadangkannyo,
lah gadang indak mambaleh guno.
Air susu dibalas dengan air tuba Malin tidak
merasa iba, dari kecil telah dibesarkannya, telah besar tidak membalas guna. (Udin, 1996: 66-67) .
Apakah pesan moral yang
terkandung dalam cerita Malin Kundang. Pesan-pesan
moral yang terkandung dalam cerita klasik Malin Kundang sebagai berikut:
? Dalam
kondisi apapun kita harus hormat dan berbakti pada orang tua utamanya Ibu, baik
dalam susah maupun senang.
? Kerja
keras akan selalu berbuah hasil selama kita terus berusaha pantang menyerah.
? Berbohong
juga angkuh adalah sifat yang harus dijauhi.
Dalam artikel ini penulis tidak bermaksud untuk
bercerita tentang Malin Kundang.
Penulis hanya ingin
mengomentari seorang pengamat pendidikan yang alur ceritanya persis sama dengan
dengan cerita Malin Kundang, Kacang Lupa akan Kulitnya, Air Susu dibalas dengan
air tuba.
Kenapa demikian?
Salah satunya disebabkan oleh ejekan-ejekan yang dilontarkannya terhadap profesi guru yang menjadi bulan-bulanan sang pengamat yang kerap
nongol di berbagai media dengan identitas “Pengamat Pendidikan”. Beliau menjadi selebriti
yang sangat populer
dengan cara menghina profesi guru. Dengan
“keangkuhan dan kesombongannya ia menjadi trending topik di kalangan guru. Sayangnya
bukan pujian yang ia dapat, tapi sebaliknya.
Apa sajakah celotehannya tentang guru?
? Guru
Itu Hanya Mengejar Tunjangan Saja, Kualitas Nomor Dua (infokemendikbud.com – 03/10/2016)
? Percuma
Digaji Jutaan Kalau Gurunya Masih Gaptek (Pojoksatu.id – 26 /04/2016)
? Saya
kok ragu. Betul tidak mereka sudah lama mengabdi? Apa betul jasa-jasa honorer
K2 bagi bangsa ini kelihatan. Prestasi itu kan tidak bisa ditutupi, (JPNN.com -
26/07/2018).
? 97,5
Persen Guru Gagap Teknologi (FAJAR.co.id – 21/10/2019)
? 50%
Guru Berstatus Honorer Gaji Rendah, Pengin Pendidikan Berkualitas? (JPPN.com –
28/12/2019)
? Guru
Honorer Tak Punya NPUTK, Sebaiknya Dipecat (FAJAR.co.id – 14/02/2020)
? Mayoritas
Guru Hanya Memberi Tugas tanpa Interaksi dengan Siswa (JPPN.com – 19/03/2020)
? Enak
Dosen dan Guru PNS, Tidur-tiduran Tetap Digaji (JPPN.com – 30/04/2020)
? 2,9
Juta Guru PNS dan Honorer Tak Berkualitas, Bikin Siswa Stres (JPPN.com –
01/05/2020)
? Terbuka
Semua Kan, Guru-guru Kita Kompetensinya Rendah (FAJAR.co.id – 01/05/2020)
? 1000
Kali Ganti Kurikulum Kalau Guru Enggak Mampu Tetap Anak-Anak Akan Stres.
(FAJAR.co.id – 05/05/2020)
? SDM
Unggul Hanya Retorika (JPPN.com – 09/05/2020)
? Ada
Balai Guru Penggerak Kemendikbud, Memangnya Negara Ini Perusahaan Dia?
(JPPN.com – 10/05/2020)
? Guru
di Indonesia Antikritik, Maunya Gaji Besar, Kualitas Rendah (JPPN.com –
12/05/2020)
Konon pengamat pendidikan ini yang kerap muncul
di berbagai
media yang sangat populer tidak mengetahui persis bagaimana guru di seluruh peloksok tanah air
bekerja.
Seperti misalnya yang dituturkan oleh Guru SDN
164 Panassang Enrekang, Herman (44):
“Jumlah guru
masih kurang dan tidak
adanya aliran listrik di sekolah membuat kesulitan saat mengajar. Kita kerap
kewalahan karena guru kurang, jadi biasanya kita taktisi gabung beberapa kelas untuk belajar
bersama. Dia berharap, jumlah guru di sekolahnya bisa bertambah, begitupula
akses jalan dan aliran listrik bisa tersedia”. (TRIBUNENREKANG.com –
01/05/2017)
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Natuna Suherman
menjelaskan, “Minimnya guru menjadi bahan
catatan yang perlu diusahakan sejak berdirinya konsep Satu Atap mulai SD,
sampai SMP di daerah terpencil. (Satap). Sekarang ini, ketersediaan guru untuk
mengajar di Satap yang berada di Desa Segeram Kecamatan Bunguran Utara masih
sangat terbatas. Masih perlu dibenahi sarana dan
prasarana (Sapras) pendukung sekaligus ketersediaan guru pengajar. Namun untuk
memberikan pengajaran dan pelajaran masih memakai atau diperbantukan dari guru
SD yang ada didaerah sekitar”. (Tanjungpinang Pos, 15/09/2018)
Distribusi guru di Indonesia tak merata. Banyak daerah terpencil
kekurangan guru.
Di SMK kekurangan guru terjadi karena peningkatan jumlah sekolah tak diiringi penambahan
tenaga pengajar (Tirto.id., 02/12/2016).
Beberapa waktu lalu, terkuak bahkan seorang guru honorer hanya memiliki
gaji sebesar Rp 300.000,-. Pendapatan tersebut bukanlah hitungan 1 bulan,
melainkan 3 bulan. Artinya, satu bulan guru honorer hanya mendapatkan gaji Rp 100.000. Hal
tersebut terungkap kala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem
menyampaikan kuliah umum pada acara Musyawarah Nasional ke-5 Ikatan Keluarga
Alumni UII pada 14 Desember 2019 lalu. (CNBC Indonesia, 21/01/2020)
Bukankah para mahasiswa yang saat ini sedang
kuliah di seluruh
perguruan tinggi baik di dalam maupun luar negeri adalah
produk hasil kerja keras seorang guru? Bukankan profesi
pekerjaan apapun yang ada di Indonesia adalah hasil kerja keras seorang guru?
Bagaimana Bapak/Ibu guru dengan penuh rasa
tanggung jawab dengan profesi yang dicintainya melaksanakan SE Mendikbud:
Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah untuk Mencegah Penyebaran
Covid-19.
Bagaimana para guru bahu membahu membantu pemerintah untuk melindungi
peserta didik di masa wabah pandemi
covid 19 agar mereka tidak
terpapar, seperti apa yang
dilakukan guru dalam menjalankan tugas keprofesiannya di masa wabah terutama daerah yang tidak terjangkau oleh aliran listrik
dengan gaji yang hanya cukup untuk kehidupan sehari-harinya,
bahkan mungkin sebagian sangat kurang. Namun
mereka karena kecintaannya pada profesi guru dan negaranya dalam usaha mencerdaskan kehidupan
bangsa, mereka bekerja pantang menyerah, sangat pantas mereka dijuluki sebagai
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Sebenarnya penulis ingin menyampaikan banyak
permasalahan yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia ini, terutama
terkait dengan tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh guru di Indonesia yang
tersebar di seluruh peloksok tanah air dalam menjalankankan profesinya sebagi guru untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Namun kenapa anak yang lahir dari seorang
pendidik yang merasa faktor genetik sangat kuat mengalir di tubuhnya menghujat
bertubi-tubi
terhadap profesi guru. Apakah karena kini engkau telah menjadi seorang yang sukses dengan
pendidikan tinggi dari luar negeri?
Dendam apa engkau sampai tega mengejek profesi
guru yang merupakan profesi
orang tuamu juga?
Apakah dengan profesi guru yang menjadi bulan-bulananmu engkau menjadi
terkenal dan banyak mendapat manfaat darinya?
Engkau boleh saja berpendapat tentang
permasalahan dunia pendidikan di Indonesia, sampaikan saja dengan data yang benar, sampaikan dengan santun,
tunjukkan kapasitas intelektual dan etika berbicaramu, bukankah engkau mengaku
sebagai pengamat pendidikan yang berpendidikan, tapi mengapa tak beretika
apalagi menjelek-jelekkan
profesi guru. Kalau engkau tidak mau mengubah gaya bicaramu
tanpa data dan selalu membuat
keonaran, maka tidak salah kalau engkau dijuluki Si “Malin Kundang Abad 21”.