MELIHAT 4 BIDADARI DI DEPAN BUMI SILIWANGI

Penulis: DR. H. Dedi Nurhadiat, M.Pd

Dibaca: 927 kali

DR. H. Dedi Nurhadiat, M.Pd

(Biarkan Burung Terbang Dengan Sayapnya)

 

Oleh DR. H. Dedi Nurhadiat, M.Pd

(Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)

 

 

Banyak orangtua menumpuk harta, dengan dalih demi anak dan cucunya. Tapi ada orangtua unik, yang mewariskan sebuah cerita menjadi nyata. Cerita berangkai hingga sampai ke cicit dan tembus lintas generasi. Mimpi itu menjadi nyata setelah 4 generasi. Mungkin akan mengulang sukses jika warisan leluhur berupa pendidikan lewat alur cerita ini, terus ditularkan.

Filsafat burung terbang karena sayapnya akan selalu jadi bukti di kemudian hari. Walaupun tulisan ini dibuat saat dies natalis UNJ (Universitas Negeri Jakarta) ke 56. Namun cerita cikal bakalnya adalah dari Bumi Siliwangi. Kini cerita ini sudah tembus ke generasi nomor 4. Tak lagi hanya bicara tentang Bumi Siliwangi. Namun mengembang hingga ke mancanegara seperti; the University Of Hongkong, Istambul Sabahattin Zaim University Turky, hingga Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.

Dalam acara dialog dengan Indra Charismiadji di acara Ngopi (ngobrol Pintar) pada statsiun kompas TV Jumat 24 April 2020. Terasa nuansa generalisasi dari beberapa kasus, sangat keliru. Padahal Indonesia itu sangat luas. Mungkin kisah ini salah satunya. Adapun bantahan Prof. Dr. Cecep Darmawan, SPd., S.IP., MSI.,M.H., Guru besar UPI, disajikan di akhir naskah ini.

Dalam biografi Indra Charismiadji itu tertulis orang Bandung. Maka saya tuturkan seorang anak telanjang kaki di Bumi Siliwangi yang melihat 4 bidadari.

A. Anak Telanjang Kaki Melewati Villa Isola

Alkisah ada anak kecil usia 8 tahun kala itu. Dia berjalan kaki dari Cipedes, kampung Kenal Gede nama tempat kelahiran keturunannya.  Anak kecil itu selalu berjalan telanjang kaki, menuju kampung yang berada di pedalaman perkebunan Tuan Hofland  di Subang. Tepatnya kampung Babakan Kondang, Pasanggrahan, Kabupaten Subang (Sekarang di Kecamatan Kasomalang). Anak kecil telanjang kaki itu, menjadi yatim sejak masih bayi. Karena ditinggal orangtua lelaki. Orangtua yang termashur sebagai salah satu penghapal Qur'an. Kyai yang sangat populer saat itu dikampungnya.  Karena bisa membaca masa depan seseorang dalam sebuah terawangan yang rasional. Walau ada sedikit mistis, katakanlah seperti anak indigo Roy Kiyoshi yang ramai di TV saat ini.

Lelaki yang berstatus kyai itu, lulusan pesantren tahfidz Qur"an, begitu  kata seorang nenek tua yang sempat jadi istri kyai untuk selamanya. Karena selama hidup nenek, hanya satukali menikah. Dengan alasan kelak di sorga ingin dipertemukan kembali. Suatu cita-cita yang sangat mulia.

Anak kecil telanjang kaki,  adalah  anak seorang kyai Holil. Begitu saja kita katakan dalam cerita ini, yang saat kyai itu almarhum, meninggalkan 3 orang anak bernama, bernama Naah, Dayat, & Badru.  Akhirnya 3 orang anak itu, dibesarkan oleh seorang ibu, dengan status janda kampung di daerah pedalaman. Wanita yang menikah di saat dia masih lugu. Dikatakan lugu, karena nikah tanpa dasar cinta pada awal mula, namun cinta itu lahir belakangan, hingga tak mau dipisahkan oleh maut sekalipun.

Sayang wanita lugu itu, ditinggal pergi sang kyai untuk selamanya, dikala cinta sedang bersemi. Karena cinta yang mendalam, walau tanpa harta peninggalan yang memadai, dia ikhlas membesarkan anak-anaknya. Memang  ada peninggalan harta itu, namun hanya untuk hidup darurat. Berupa bukit yang angker, kadang ada harimau ganas yang konon banyak memakan korban hewan ternak dan korban manusia.

Penghasilan seorang ibu itu, hanya dari tani. Untuk hidup di desa,  paling cukup untuk makan apa adanya. Wajar ketika seorang anak paling kecil bernama Badru, tragis meninggal karena sakit yang tak sempat dibawa berobat secara medis.  Maklum saat itu NKRI baru merdeka, jadi tak ada Puskesmas. Yang ada cuma dukun beranak atau dikenal paraji di tempat itu. Pada saat NKRI baru berdiri, cerita seperti itu, merupakan hal biasa. Yang luar biasa justru adalah pendidikan lewat cerita berangkai yang diterapkannya. Cerita itu tembus hingga tiga bahkan empat generasi.

Anak kecil telanjang kaki, yang diangkat dalam cerita ini, adalah sosok sentral lintas generasi, yang sangat inspiratif. Anak yang dilahirkan seorang ibu yang mendidik dirinya secara unik. Memang keberhasilannya tak istimewa, bagi yang terbiasa hidup mewah bergelimang harta. Dalam cerita ini, setiap kali anak berperilaku, hamper pasti selalu berdasarkan pilsafat yang disampaikan ibunya.  Inilah keistimewaan itu.

Salah satu contohnya adalah do’a untuk sang adik yang selalu dilantunkannya, hingga menjelang ajal. Selalu terdengar  berdo'a, tak lepas dari nama Badru. Do'a untuk sang adik kesayangan tempat senda gurau semasa kecil. Adik kecil yang pergi mendahului, dikala sang kaka membutuhkan kehadiran seorang teman. Kata ibunya saat itu kita akan bersatu kembali kelak jika kita sering mengingatnya setiap kali habis salat. Begitulah nama Bandru selalu terucap dalam do’anya.

Kesedihan anak yang terbiasa berjalan telanjang kaki itu, bertambah rapuh, tatkala kaka wanitanya  pergi disunting seorang lelaki. Maka tinggalah dia sendiri menapaki jejak kaki yang dulu bersama ibu, menyusuri jejak sejarah masa lalu. Saat mereka Bersama-sama  ibu dan tiga saudara, kumpul dan pergi berjalan kaki agar dapat mengais rizqi.

Beban seorang ibu memang menjadi ringan, dengan dipinangnya salah satu anak wanita yang dia cinta. Memang  cukup meringankan beban hidup. Namun hal ini, telah menyempurnakan kesepian seorang anak lelaki yang selalu telanjang kaki itu.

Anak itu, kemudian sering berjalan sendiri, ratusan kilo meter jauhnya.  Hanya berkunjung ke kampung  tempat keturunan yang melahirkannya. Kenal Gede, di Cimahi, katakan saja itu nama kampungnya. Menelusuri jalan setapak melewati hutan lebat, turun ke lembah, mengarungi sungai,  naik gunung turun gunung, akhirnya napaspun lega ketika jalan setapak itu tembus ke jalan raya Lembang. Dari jauh tampaklah  Bumi Siliwangi begitu indah.

Sudah biasa anak itu beristirahat di puncak bukit  yang dipenuhi hamparan rumput.  Anak kecil itu biasanya mulai melepaskan genggaman jari tangan ibunya yang  sudah berkeringat dan memerah ujung jarinya karna jadi tempat gelantungan diri si anak kecil. Jari seorang ibu itulah sebagai tempat pegangan, dikala sedih dan memerlukan bantuan. Tetapi Itu dahulu. Saat mereka masih bersatu, menunggu usia dewasa. Tatkala si anak, berjalan sendiri, menyusuri bekas jejak kaki yang konon katanya itu bekas kaki seorang kyai. Kyai itu seorang ayah yang tidak pernah dia kenali semasa hidupnya. Tampak pada anak tu  ada sebuah rindu pada sosok ayah, ada rindu pada sosok adik, dan kakak satu-satunya.

B. Pendidikan Lewat Cerita Penglipur Lara

Di salah satu tempat istirahat, tepatnya di depan Isola, Bandung Utara, sesuai isi lagu Hymne IKIP Bandung, Ciptaan Dana Setia.

Di lokasi itu, cerita seorang ibu biasanya mulai berhenti dari satu topik, berganti dengan topik lainnya. Cerita seorang ibu beranak tiga, janda tua tanpa harta yang memadai. Namun tarampil mendidik anak dengan cara yang berbeda, dibanding dari kaum ibu yang lain pada umumnya. Terbiasa mendidik lewat cerita selama bekerja di rumah,  diperjalanan, atau mendidik lewat cerita  sambil berkebun. Biasanya bercocok tanam padi di kebun kering. Cara Bertani padi di lahan kering itu, HUMA Namanya. Mungkin kebun itu, saat ini masih sesak dengan tumpukan  cerita-cerita yang dipaparkan setiap harinya.

Cerita biasanya dimulai, saat ada peristiwa yang dijumpai. Dirangkai dengan pilsafat hidup yang harus ditauladani. Katakanlah seperti kisah tentang harimau yang sering mengitai orang yang bekerja tanpa suara, di hutan belantara. Maka saat bekerja di hutan jangan sepi tapi bernyanyi, solawat, atau canda dengan suara keras. Ini adalah pelajaran pertama di hutan yang banyak binatang liar dan ganas. Binatang akan takut dengan suara yang gemuruh. Begitu kata seorang ibu kepada anak-anaknya. Makanya lantunan ayat suci dan solawat selalu terdengar nyaring. Kadang berselang dengan nyanyian tradisional. Mungkin cerita itu tak akan diturunkan kembali kepada keturunannya. Karena harimau ditempat itu kini telah musnah, di buru oleh orang yang bisnis kulit. Saat itu, kehadiran pemburu sangat dibutuhkan karena banyak musibah.  Korbannya adalah orang yang bekerja di hutan tanpa suara. Ilmu yang melekat adalah penyelamatan diri yang ramah lingkungan. Aman bagi manusia, tanpa harus membunuh hewan liar.

Cerita lainnya, pilsafat pasca musim kemarau. Lahan yang sudah bersih dari semak, mulai ditanami padi dengan cara melubangi tanah dengan tiang kayu atau bambu. Perhitungan waktu tanam yang tepat diperlukan, sehingga tak lama hujan lebatpun tiba. Filsafat lingkungan dan cara membuka lahan hutan, yang ramah lingkungan sesuai zaman. Tidak seperti pembakaran hutan di Sumatra atau Kalimantan yang selalu jadi musibah nasional. Dan muncul di statsiun TV sangat tragis. Cerita seorang ibu  berpilsafat tentang alam yang ramah dengan lingkungan, saat itu;  asap api ini pengusir bala katanya. Asal asap api itu sesuai dengan aturan alam. Begitu setiap mengawali cerita menggarap lahan di belantara. Menghitung jumlah area lahan yang akan digarap, menghitung asap yang dibutuhkan untuk mengusir tawon ganas dan ular berbisa. Begitu juga nyamuk, babi hutan, monyet, kera, taakan berani mengganggu, karena takut terbakar, dan asap ini membumbung jauh keangkasa itu seperti tampilan raksasa. Cerita itu sangat melekat pada anaknya. Nilai sosial terungkap  saat mengurus perijinan. Kalau membakar hutan harus bicara sama tetangga, bicara ke desa, bicara ke semua orang. Karena api itu sangat berbahaya, katanya. Begitu kata seorang ibu dan selalu di ulang-ulang di pelajaran berikutnya. (saat ini orang serakah tak menghiraukan hal ini)

Kearifan lokal dijunjung tinggi seorang ibu yang ramah lingkungan. Membakar hutan dengan dasar pilsafat; mengusir binatang liar tanpa membunuh. Tapi api itu harus terus di jaga, agar tidak menyebar ke luar area batas yang ditentukan. Kita siapkan kayu dan bambu untuk mematikannya, jangan lupa sediakan air juga untuk menuntaskan pada akhirnya. Agar api benar-benar mati. Ciri api itu sudah mati ditandai tidak ada asap dan bau wangi pembakaran. Kondisi angin juga harus diperhitungkan, sebab angin bisa menyalakan api membakar hutan yang dilindungi. Jika tidak mampu jangan lakukan ini, begitu katanya. Api itu sahabat, asal tidak serakah, pungkasnya.

Kebiasaan mendidik lewat cerita itu disesuaikan dengan kebutuhan. Dan akan terhenti dengan topik lainnya ketika ada peristiwa yang menyita perhatiannya. Seperti ketika ada ayam hutan, ada suara gemuruh pesawat lewat, ada angin, ada hujan, atau ketika ada suara yang keluar dari perut tandanya lapar. Perut berbunyi itu pilsafat tandanya waktu makan tiba, sendawa itu tanda kita makan sudah berlebihan. Berhentilah makan sebelum kenyang, dan tutup dengan doa. Khusunya berdoa harus seperti diawal makan, sebagai tanda syukur atas nikmat yang kita peroleh. Begitu cerita yang meluncur dari seorang ibu, sambil memperagakan cara cuci tangan dan berwudhu di kebun yang minim dengan air. Pembelajaran terus berjalan sambil praktek, bukan pelajaran tumpukan teori-teori.

Saat bercerita sepanjang perjalanan menuju kota Bandung. Ibu akan berganti bercerita pada saat yang tepat. Begitulah saat perjalanan jauh menuju kota bandung dengan jalan kaki. Topik cerita akan berhenti  sesaat, ketika melewati isola.   Berhenti cerita setiap menatap bangunan megah itu. Selalu  berulang begitu kejadiannya di waktu yang berbeda. Tidak terasa bosan karena, disesuaikan dengan kondisi. Kadang bercerita karena terpukau dengan indahnya bangunan yang unik dan langka disambungkan dengan cerita yang ada. Dan bukan hanya itu.  Suatu saat pernah sang ibu, dengan jari lentiknya menunjuk bangunan indah dengan cerita perang dunia II dan cerita pahlawan revolusi NKRI. Cerita duka dan juga cerita patriotik pernah di tuturkan di lokasi ini.

Anak kecil telanjang kaki itu, seperti biasanya. Kesekian kali dia beristirahat sejenak sambil menatap bangunan unik. Bernama Gedung Bumi Siliwangi. Saat itu sudah ada plang bertuliskan Universitas Padjadjaran Bandung. Fakultas Ilmu Pendidikan. Di depan gedung itu biasanya banyak mahasiswa dan mahasiswi, sibuk berjalan dan bercerita dengan buku yang mereka bawa di tas, juga di tangannya. Saat itu anak kecil berjalan telanjang kaki, pernah menyaksikan ada 4 orang wanita cantik berjalan  sambil bercanda dengan teman-temannya. Ternyata jika bersekolah, akan banyak teman, begitu tersirat pada imajinasinya. 4 mahasiswi itu selalu jadi inspirasi pelengkap hidupnya.

Inilah bedanya Pendidikan yang ada di USA, yang alam dan lingkungannya berbeda dengan Indonesia. Indra Charismiadji di acara Ngopi (ngobrol Pintar) pada statsiun kompas TV Jumat 24 April 2020. Sangat keliru jika mutu pendidikan digeneralisasi dari sebuah kasus. Saat ada covid-19 saja, untuk PBM virtual banyak siswa yang tidak punya Hp. Dan tidak ada sinyal internet.

C. Belajar Memakai Sepatu

Sang anak yang selalu berjalan telanjang kaki itu suka teringat cerita ibunda. Kata ibu waktu itu, kalua bersekolah, harus belajar memakai sepatu. Terbukti saat tertangkap oleh aparat desa dia diajari memakai sepatu. Karena ada aturan saat itu, bagi anak usia sekolah tak boleh pergi ke kebun. Alangkah senangnya saat itu. Dikala ada operasi wajib bersekolah.  Masyarakat sekitar sering berupaya menyembunyikan anaknya. Setiap anak sudah terbiasa bersembunyi di kolong rumah panggung, saat ada Razia, agar tidak ditangkap. Tapi berbeda bagi anak ini, Dia  sangatlah senang saat digiring aparat desa menuju sekolahan. Dalam benaknya berkata  “kini saatnya belajar memakai sepatu”. Dan benar adanya beasiswa telah menggiringnya masuk SGB (Sekolah Guru Bawah), & SGA (Sekolah Guru Atas). Walau cerita lucu selalu menyertainya. Dari rumah selalu berjalan telanjang kaki, dengan sepatu masuk di tas buku. Saat melewati sungai kaki di cuci sampai bersih, lalu dibungkus plastik dan diikat karet gelang. Sesampainya di jalan raya, plastik yang jadi alas kaki dibuka, diganti kaos kaki dan sepatu. Walau terpaksa harus berjalan terhuyung-huyung, kadang kakinya lecet-lecet bekas sepatu. Beban berat mengenakan sepatu itupun sirna ketika beasiswa mengikutinya. Masuk kelas percepatan selalu menyertainya (saat ini dikenal kelas CI / cerdas Istimewa. Nama siswa CI dikenal dengan sebutan siswa akselerasi.

Selalu terbayang dalam benaknya. Saat seorang ibu, mengiring ke tiga anaknya untuk bisa mengais rizqi melewati bangunan Isola/Bumi siliwangi. Terngiang ditelinganya “Kalua ingin bersekolah harus bisa memakai sepatu”, begitu kata seorang ibu waktu itu.

Pembelajaran lewat cerita dari seorang ibu, yang selalu tampil jadi ibu setia pada suami yg menitipkan 3 anaknya. Seorang ibu belia dititipi anak yang masih kecil dan tanpa harta benda. Si ibu  sering bercerita tentang gedung indah yang berasal dari puing sebuah Villa, milik orang Belanda, yang bernama Villa Isola. Bangunan itulah yang menggiring anak telanjang kaki untuk belajar memakai sepatu. Dengan beasiswa dari negara yang baru merdeka. Mungkin ini adalah hasil perjuangan para tantara kemerdekaan yang menempati isola itu.

Jasa pejuang penghuni gedung bekas villa Belanda, yang sempat jadi puing-puing. Merupakan gedung bekas peninggalan masa sebelum perang dunia ll (gedung itu, pernah jadi markas pejuang kemerdekaan). Ketika puing-puing itu dibangun kembali. Tampaklah  seperti gedung villa aslinya, kemudian diberi nama Bumi Siliwangi.

Cerita sejarah di atas ini, disampaikan alakadarnya. Maklum hanya cerita seorang ibu yang menikah disaat masih lugu. Katanya, bangunan karya Prof. Walf Scheomaler ini merupakan salah satu ikon bersejarah di kota Bandung. Terkait perang dunia II  dan perang kemerdekaan di Bandung kala itu. Tercatat 16 februari 1946 gedung ini di bom pasukan devisi India, Inggris dan pasukan Belanda untuk menyelamatkan para tawanan. Ditahun 1951 Villa Isola di nasionalisasi oleh pemerintah RI, namanya diganti menjadi Bumi Siliwangi.

Anak kecil telanjang kaki itu tak sempat duduk, belajar di bangku kuliah yang dicita-citakannya. Di Gedung Siliwangi yang sering dia lewati. Namun tampaknya kata hati itu adalah do'a.  Setiap membaca plang Universitas Pajajaran, selalu  membara semangat di hatinya. Bahkan ketika plang yang ada, berganti namanya menjadi IKIP. Anak yang selalu terbiasa telanjang kaki itu sudah lulus SGA atau Sekolah Guru Atas. Namun tidak  sempat duduk di gedung Bumi Siliwangi sesuai harapannya. Karena Ibu sudah tidak berdaya membiayainya lagi.

Tatkala cucu kiai melahirkan Cicit, cerita isola yang bertuliskan UNPAD dan berubah jadi IKIP sampai juga ke cucu dan cicitnya. Perjalanan panjang cerita anak lelaki telanjang kaki, hingga menular ke cicit-cicitnya. Saat sang cucu mulai menikmati belajar di bangku isola. Sang cucu berkata “wajar jika anak kecil telanjang kaki itu terpesona dengan indahnya gedung Villa yang megah itu’. Karena dari temuan sang cucu dari buku, bangunan arsitektur gaya Art Deco yang populer setelah perang dunia I dan berakhir sebelum perang dunia II.  Dikatakan indah karena  penataan bentuk bangunan hingga ke taman dan kolam. Nilai estetikanya merupakan gabungan berbagai gaya seni abad ke-20 seperti konstruksionis, kubisme, modernis, bauhaus, Art Neoveaume dan futurisme. Begitu kata Cucu Kyai yang menamatkan kuliah jurusan seni. Walau sempat dicaci karena dicap sebagai seorang cucu kyai penghafal Qur’an kini jadi pembuat desain berhala. Jurusan Seni Rupa memang belajar membuat patung-patung dan belajar membuat desain bangunan arsitek. Hingga hafal sejarahnya.

Sang cucu kyai, meresapi cerita tentang anak telanjang kaki. Bertemu dengan 4 bidadari di gerbang Isola. Sampai juga cerita itu pada cicitnya. Begitu seterusnya hingga mengharap ada 4 bidadari yang dijumpainya tempo dulu. Wanita itu adalah wanita yang dapat mengubah wajah dunia lewat cerita yang merasuk sukma. seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien atau R.A Kartini. Entah kapan lahir 4 wanita yang bisa mengubah dunia itu. 4 wanita yang sempat diceritakan anak lelaki telanjang kaki. Semoga jadi inspirasi. Indra Charismiadji di acara Ngopi (ngobrol Pintar) diharap bisa meralat pembicaraannya pada statsiun kompas TV Jumat 24 April 2020. Karena cerita seperti ini, hanya secuil kisah. Indonesia berbeda dengan USA. Memang mutu Pendidikan itu didominasi negara OECD, karena lingkungannya.

D. Trimakasih Indra Charismiadji

Sedang ramai-ramainya arus bawah di organisasi PGRI dan Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) menyoroti pendapat Indra Charismiadji di Media TV. Seorang yang menyelesaikan studi dari The University of Toledo, negara bagian Ohio, Amerika Serikat, dengan gelar ganda di bidang keuangan dan pemasaran. Kemudian melanjutkan di Dana University, Otawa Lake. Dia,  mengatakan pendidikan di Indonesia banyak yang harus diubah. Ironisnya, pendidikan gerbang utama perubahan, tapi di Indonesia justru Pendidikan paling sulit berubah, katanya. Yang menyakitkan adalah menilai perilaku guru yang tidak menciptakan siswa belajar. Fisik siswa datang di sekolah tapi ruhaninya tidak berada di sana.

Seperti Mas Menteri Nadiem yang suskes di bisnis aplikasi Gojek, Indra Charismiadji berkiprah di CALL (computer-Assisted language learning) bergerak di bidang teknologi pendidikan dan jejaring internasional. Maka didaulat pemerintah pusat, sebagai pengembangan pembelajaran abad 21. Seharusnya dia tunjukkan saja dalam bentuk karya nyata. Jika ada guru yang seperti dalam kritikannya segera tegur lewat sistem. Kecuali jika dia tidak pernah punya peran. Karena tampaknya para pakar ICT inilah yang jadi perhatian dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Wajar jika Prof. Dr. Cecep Darmawan, SPd., S.IP., MSI., M.H., Guru Besar UPI dan sebagai ketua harian Persatuan Guru Besar (PERGUBI) Jawa Barat mengklarifikasi dengan ?antang.

Prof dari UPI itu menjelaskan, "Indra Charismiadji bisa mengkritik guru karena ilmu dari gurunya, namun sayang bukan kritik membangun, cenderung melecehkan profesi guru. Harusnya yang dikritik indra itu mengapa ada sebagian guru. Jangan digeneralisir. Banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi kinerja guru. Salah satunya kebijakan pendidikan. Harusnya Indra turut memperbaiki.

Dalam acara dialog dengan Indra Charismiadji di acara Ngopi (ngobrol Pintar) kompas TV Jumat 24 April 2020. Terasa nuansa generalisasi dari beberapa kasus. Padahal Indonesia itu sangat luas. Memang patut diakui kiblat kemajuan pendidikan itu adanya di negara OECD. Namun ingat di era covid-19 ini. Ketahanan pangan di negara OECD tidak akan mengalahkan NKRI. Karena Pendidikan itu harus menyatu dengan pijakan kaki di Bumi. Mengapa? Ingat saat krisis moneter melanda dunia, orang desa-desa di Indonesia tidak merasakan dampaknya.

Indra Charismiadji, lupa Indonesia itu sangat luas, jika beberapa kasus digeneralisasi maka yang dikritik itu adalah termasuk guru-guru yang telah mendidiknya. Yang telah mengantarkan dia ke gerbang keberhasilan, lewat konsep Ki Hajar Dewan Toro. Jangan menganggap remeh jasa guru yang tidak mencicipi pendidikan di USA. Karena guru di Indonesia itu, kakinya berpijak ke tanah yang tidak rata. World Class University itu syaratnya memiliki kandidat peraih nobel. Jika jurinya netral peraih nobel itu adalah guru Indonesia yang melahirkan B.J. Habibie.

 

SUMBER BACAAN

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Universitas_Pendidikan_Indonesia

http://berita.upi.edu/1906/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Art_Deco

https://g.co/kgs/P3iwi2

https://beritagar.id/artikel/tabik/orang-tua-dan-orangtua

https://www.hotcourses.co.id/study/hongkong/school-college-university/university-of-hong-kong/349396/international.html

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Universitas_Al-Azhar

https://g.co/kgs/P3iwi2

http://nirmalutami.blogspot.com/2015/08/lirik-hymne-upi-mars-upi-totalitas.html?m=1

https://books.google.co.id/books?id=HMClDwAAQBAJ&pg=PT188

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...