Penulis ENCU EDI SUKMADI, M.Pd.
ENCU EDI SUKMADI, M.Pd.
Oleh ENCU
EDI SUKMADI, M.Pd.
(CGP
Angkatan 6/Guru SMP Negeri 2 Cingambul Kabupaten Majalengka)
A.
Pendahuluan
Indonesia
telah memberlakukan beberapa kurikulum sejak jaman kemerdekaan sampai tahun
2023. Setiap pemberlakuan kurikulum memiliki titik penekanan sebagai fokus dari
hasil pembelajaran, di antaranya ada kurikulum yang menitikberatkan pada proses
pembelajaran, tujuan pembelajaran, hasil pembelajaran, kompetensi, dan materi
pembelajaran.
Beberapa
pergantian kurikulum yang telah berlaku di Indonesia diantaranya: KBK, KTSP,
dan K13. Di beberapa sekolah di Kabupaten Majalengka sekarang ini sudah mulai
memberlakukan Kurikulum Merdeka. Sebagai bahan refleksi menyikapi pemikiran
filosofi Ki Hajar Dewantara (KHD) ada beberapa hal sebagai berikut:
1. Semula
guru memiliki anggapan bahwa: Siswa memiliki kemampuan sama untuk belajar dan
mempelajari apa disampaikan guru sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Pembelajaran yang dilakukan diseragamkan untuk semua murid. Siswa seakan-akan
dipaksa dapat mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Siswa sebagai obyek
pembelajaran. Pembelajaran banyak didominasi oleh guru. pembelajaran hanya
dominasi ranah kognitif.
2. Perubahan
cara pandang pendidikan masa kini bahwa pembelajaran harus berpusat pada murid
yang memiliki kodrat yang berbeda dan unik. Pendidikan harus menjadi sebuah
tuntunan kodrat yang telah dimiliki anak, tidak memaksakan kepada anak karena
pendidikan merupakan sebuah tuntunan.
B. Intisari
Pemikiran Filosofi Pendidikan KHD
Pemikiran
filosofi Ki Hajar Dewantara (KHD) sungguh dalam, beliau memaknai pendidikan
adalah “tuntunan” terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar mampu
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan adalah
tempat persemaian benih-benih kebudayaan. Beliau mengibaratkan pendidikan
sebagai petani dan bibit. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah penanaman budi
pekerti baik di sekolah maupun di keluarga yang merupakan awal mula pendidikan
anak.
C.
Konstruksi Pemikiran KHD Dalam Proses
Pembelajaran di Kelas dan Sekolah.
Di
bawah ini pemaparan rekonstrusi pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran
di kelas dan di sekolah. Makna kata menuntun berasal dari kata tuntun dan diserangkaikan
dengan awalan (pefiks) me -. Kata tuntun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI, 2005:1227) bermakna; 1) berjalan dengan memegang tangan atau menggandeng
tangan orangl ain, 2) menggunakan pedoman untuk melakukan sesuatu. Sedangkan
menuntun bermakna 1) membimbing dengan menggandeng tangan, 2) menunjuk
(mengarahkan) ke jalan yang benar.
Menuntun
meliputi makna: Memberi arahan , memberi contoh, memberi bimbingan, menjag atau
melindungi, mengawasi, mengembangkan, menunjukkan, mengajari, melatih,
memfasilitasi, menemani . Makna kata “menuntun” dalam konteks sosial budaya di
daerah yang memiliki kearifan lokal yang berbeda sosial kulturalnya harus
cermat dilakukan. Sosial budaya di daerah merupakan kekayaan daerah yang tidak
dapat dihilangkan. Sosial budaya sudah ada sejak dahulu dan terus berkembang
sesuai kemajuan zaman. Sosial budaya mewarnai cara interaksi antar warga di
daerahnya. Makna kata “menuntun” dalam konteks sosial budaya daerah adalah
pendidik dan murid harus ikut menjaga, mengembangkan dan melestarikan sosial
budaya yang ada di daerahnya agar tetap terjaga dan lestari.
Hal-hal
yang dapat dilakukan dalam mewujudkan pendidikan anak yang relevan dengan
konteks sosial budaya di daerah adalah berkewajiban menjaga dan memelihara
sosial budaya yang ada, dengan cara menjaga, melestarikan dan mengembangkan
sosial budaya yang baik sebagai aset daerah dan sebagai ciri khas daerah
sebagai kearifan lokal yang harus dilestarikan. Tugas pendidik adalah menyelaraskan pendidikan
anak di sekolah dengan kearifan lokal yang ada. Anak dikenalkan, diajarkan dan
dibimbing unuk mengenal dan mau peduli dengan kearifan lokal yang ada. Misalnya
adat istiadat, budaya, kesenian daerah, bahasa daerah, tatakrama dan tika
bermasyarakat di daerah anak berada.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam proses menuntun kodrat anak menurut pemikiran Ki
Hajar Dewantara:
1.
Pendidikan anak perlu mempertimbangkan
kodrat alam dan kodrat zaman.
Seperti yang telah disampaikan di bagian atas,
menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan yang diberikan adalah untuk
menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kodrat memiliki makna: 1) kekuasaan (Tuhan), 2) hukum, 3) sifat asli,
sifat bawaan (KBBI,2005:578). Setiap anak memiliki kodrat (sifat asli, sifat
bawaan) masing- masing yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Mereka memiliki keunikan baik kekurangan dan
kelebihannya masing-masing. Tugas pendidik yaitu mengoptimalkan tumbuh dan
berkembangnya kodrat anak tersebut. Hal yang tak kalah pentingnya dalam
pendidikan adalah kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam merupakan karunia
Alloh yang meski disyukuri dan dimanfaatkan sebaik-bainya. Kodrat zaman perlu disikapi
bijak demi tumbuh kembangnya kodrat anak.
Pertama, Pendidikan
harus benar-benar mempertimbangkan kodrat alam anak, yaitu sosial
budaya/kultur, adat istiadat, lingkungan alam tempat anak tinggal, agama yang
dianut, dan lain-lainnya. Kondisi daerah tertentu pasti berbeda dengan kodisi
daerah lainnya, seorang guru tidak boleh menyamaratakan perlakuan pendidikan
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Pendidik perlu memperhatikan
kearifan lokal yang berlaku. Biarkan anak tumbuh dan mengembangkan kodratnya
dengan kodrat alam mereka sendiri.
Kedua,
pendidikan harus mempertimbangkan kodrat zaman ketika anak belajar, tidak boleh
perlakuan disamakan antara jaman sekarang yang dialami oleh siswa dengan jaman
yang dialami oleh pendidik dahulu saat belajar.
Sudah
pasti berbeda. Kemajuan jaman yang sangat pesat menuntut seorang pendidik harus
lebih waspada menjaga anak agar dapat memilihi dan memilah informasi dan
teknologi yang berkembang saat ini, jangan sampai pengaruh jaman dapat merusak
tumbuh kembangnya kodrat siswa secara maksimal.
2.
Pendidikan yang berhamba pada anak
Pemikiran
Ki Hajar Dewantara yang mengemukakan “Pendidikan yang berhamba pada anak”
sangat relevan dengan peran pendidik. Sebagai pendidik harus berhamba pada anak
yang maknanya memberikan pelayanan kepada anak semaksimal mungkin untuk
memenuhi kebutuhannya dalam menumbuhkembangkan kodrat anak. Berhamba pada anak
maknanya, guru memberikan kebebasan kepada anak dalam belajar, memenuhi segala
kebutuhan yang diinginkan dalam belajar. Guru tidak memaksakan keinginannya
untuk diikuti oleh anak, tetapi sebaliknya guru harus mengakomodasi apa yang
diinginkan dan diperlukan oleh anak dalam belajar. Seorang pendidik harus jadi
fasilitator bagi anak yang menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan anak dalam
belajar baik sarana prasarana maupun yang lainnya.