Penulis: Dr. Muslih Taman, M.Pd.I.
Dr. Muslih Taman, M.Pd.I.
Oleh Dr. Muslih Taman, M.Pd.I.
(Humas SMAN I
Rumpin)
Pekan ini publik
tanah air dibuat heboh dan penasaran dengan kasus penjual es yang ‘dihina’ sang
pendakwah kontroversial Gus Miftah, dalam sebuah kesempatan ceramahnya. Meski,
sebenarnya gaya komunikasi yang seperti itu bagi pendakwah yang memiliki nama
lengkap Miftah Maulana Habiburrohman tersebut, adalah hal yang sudah biasa.
Telah menjadi gaya komunikasi sehari-hari dalam ceramahnya. Cenderung ceplas
ceplos, vulgar, sarkas, bahkan ada yang menilainya jorok. Yang semua itu, bagi
para penggemar dan jamaahnya dipandang sebagai candaan semata.
Kenapa Candaan
Berbuntut Panjang?
Sang Ustadz
mungkin lupa dan khilaf, atau mungkin karena sudah terlalu saking biasanya
melakukan hal serupa, maka dia sudah saatnya harus ‘dijewer’ Tuhan. Diingatkan
dengan cara-Nya. Bukankah beliau kini, juga sudah bukan seperti dulu lagi?
Sekadar seorang ustadz yang ngasih ceramah di hadapan jamaahnya, atau seorang
gus yang sedang guyon dan santai mengisi pengajian di hadapan para santrinya. Tetapi,
saat hari itu Gus Miftah adalah seorang pejabat publik, Utusan Khusus Presiden Bidang
Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Sebuah jabatan yang
menuntutnya harus lebih berhati-hati, karena pada saat itu dia bukan lagi hanya
berada di hadapan para jamaah dan santrinya. Keadaan itulah yang mungkin dia
lupa.
Kini, nasi telah
menjadi bubur. Sang Gus di depan media telah menyesali perbuatannya, bahkan
langsung mengundurkan diri dari jabatan teranyarnya. Tangis sedunya telah pecah
yang menggambarkan penyesalan dan perasaan sedih amat mendalam. Jabatan baru
yang diterimanya seakan menghantarkannya pada jurang yang menjerumuskan dan
merendahkan martabat dirinya, sekaligus memberi pelajaran paling berharga
baginya. Pelajaran langsung dari Tuhan.
Kun Fayakun…dalam sekejap,
Allah mengangkat derajat sang hamba dan sekaligus merendahkannya, memberikan
kekuasaan dan mencabutnya, memberikan rezeki dan mencabutnya. Pak Sunhaji sang
penjual es teh dari kampung pun mendadak jadi terkenal, terangkat martabatnya, banyak
yang memuji dan menyanjung, serta berlimpah rezeki.
Menghormati
Martabat Sesama
Berdakwah adalah
suatu aktivitas mulia yang bertujuan untuk menyampaikan pesan kebaikan dengan
cara yang baik. Mengajak umat untuk hidup sesuai dengan ajaran agama, serta
mengingatkan umat akan tujuan hidup yang sesungguhnya, dengan tanpa mengejek.
Dalam berdakwah, seorang dai atau pendakwah dituntut untuk menyampaikan pesan
dengan cara yang bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak membenci atau
menghakimi. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang pendakwah untuk
menghindari hinaan dalam setiap bentuk dakwah yang disampaikannya, meski
bercanda tujuannya.
Berdakwah sudah
semestinya tidak menunjukkan sifat arogan dan sombong. Meski, semendalam apa
pun ilmu yang dimiliki, sebanyak apa pun kekayaan yang dipunyai, setinggi apa
pun kedudukan yang diraih, termasuk sehebat apa pun ibadah yang telah dijalani.
Tidak selayaknya pendakwah menunjukkan kesombongan diri atau merendahkan diri orang
lain yang didakwahinya. Kalimat dan sikap merendahkan orang lain yang dilakukan
pendakwah dapat mengesankan bahwa ia merasa lebih baik, atau lebih benar, atau
lebih hebat, atau bahkan lebih suci daripada orang lain. Padahal, Allah sendiri
telah mengingatkan, "Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa."
(QS. Al-Hujurat: 13) Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman, “Dan janganlah kamu menganggap dirimu suci.
Allah yang lebih tahu siapa yang suci (bertakwa).” (An-Najm: 32)
Menciptakan
Harmoni dalam Masyarakat
Hinaan dalam
berdakwah dapat memicu perpecahan dan konflik di dalam masyarakat. Ketika
seseorang merasa dihina, meskipun tujuannya untuk bercanda, atau memberi
pelajaran, atau melakukan koreksi, ia bisa saja merasa kecewa dan dilecehkan,
kemuadian ia menutup hati untuk mendengarkan lebih lanjut. Sebaliknya, dakwah
yang dilakukan dengan cara yang penuh kasih sayang dan kelemahlembutan akan
menciptakan keharmonisan dan ketentraman dalam masyarakat.
Setiap orang
memiliki latar belakang karakter, sifat, dan pemahaman yang berbeda. Oleh
karena itu, pendakwah perlu bijak dalam memilih metode dan bahasa yang
digunakan dalam berdakwah. Hinaan yang dipakai bercanda mungkin bisa diterima
oleh sebagian orang, tetapi bisa sangat menyakitkan bagi yang lain. Pendakwah
harus memilih cara yang paling tepat untuk audiens yang ada, mengingat bahwa
tujuan dakwah adalah untuk mengajak kepada kebaikan, bukan untuk menimbulkan kebencian,
perasaan kecewa, dan putus asa. Wallahu a`lam.