MEMETIK HIKMAH DI BALIK GAYA DAKWAH GUS MIFTAH

Penulis: Dr. Muslih Taman, M.Pd.I.

Dibaca: 433 kali

Dr. Muslih Taman, M.Pd.I.

Oleh Dr. Muslih Taman, M.Pd.I.

(Humas SMAN I Rumpin)

 

Pekan ini publik tanah air dibuat heboh dan penasaran dengan kasus penjual es yang ‘dihina’ sang pendakwah kontroversial Gus Miftah, dalam sebuah kesempatan ceramahnya. Meski, sebenarnya gaya komunikasi yang seperti itu bagi pendakwah yang memiliki nama lengkap Miftah Maulana Habiburrohman tersebut, adalah hal yang sudah biasa. Telah menjadi gaya komunikasi sehari-hari dalam ceramahnya. Cenderung ceplas ceplos, vulgar, sarkas, bahkan ada yang menilainya jorok. Yang semua itu, bagi para penggemar dan jamaahnya dipandang sebagai candaan semata.

Kenapa Candaan Berbuntut Panjang?

Sang Ustadz mungkin lupa dan khilaf, atau mungkin karena sudah terlalu saking biasanya melakukan hal serupa, maka dia sudah saatnya harus ‘dijewer’ Tuhan. Diingatkan dengan cara-Nya. Bukankah beliau kini, juga sudah bukan seperti dulu lagi? Sekadar seorang ustadz yang ngasih ceramah di hadapan jamaahnya, atau seorang gus yang sedang guyon dan santai mengisi pengajian di hadapan para santrinya. Tetapi, saat hari itu Gus Miftah adalah seorang pejabat publik, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Sebuah jabatan yang menuntutnya harus lebih berhati-hati, karena pada saat itu dia bukan lagi hanya berada di hadapan para jamaah dan santrinya. Keadaan itulah yang mungkin dia lupa.

Kini, nasi telah menjadi bubur. Sang Gus di depan media telah menyesali perbuatannya, bahkan langsung mengundurkan diri dari jabatan teranyarnya. Tangis sedunya telah pecah yang menggambarkan penyesalan dan perasaan sedih amat mendalam. Jabatan baru yang diterimanya seakan menghantarkannya pada jurang yang menjerumuskan dan merendahkan martabat dirinya, sekaligus memberi pelajaran paling berharga baginya. Pelajaran langsung dari Tuhan.

Kun Fayakun…dalam sekejap, Allah mengangkat derajat sang hamba dan sekaligus merendahkannya, memberikan kekuasaan dan mencabutnya, memberikan rezeki dan mencabutnya. Pak Sunhaji sang penjual es teh dari kampung pun mendadak jadi terkenal, terangkat martabatnya, banyak yang memuji dan menyanjung, serta berlimpah rezeki. 

Menghormati Martabat Sesama

Berdakwah adalah suatu aktivitas mulia yang bertujuan untuk menyampaikan pesan kebaikan dengan cara yang baik. Mengajak umat untuk hidup sesuai dengan ajaran agama, serta mengingatkan umat akan tujuan hidup yang sesungguhnya, dengan tanpa mengejek. Dalam berdakwah, seorang dai atau pendakwah dituntut untuk menyampaikan pesan dengan cara yang bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak membenci atau menghakimi. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang pendakwah untuk menghindari hinaan dalam setiap bentuk dakwah yang disampaikannya, meski bercanda tujuannya.

Berdakwah sudah semestinya tidak menunjukkan sifat arogan dan sombong. Meski, semendalam apa pun ilmu yang dimiliki, sebanyak apa pun kekayaan yang dipunyai, setinggi apa pun kedudukan yang diraih, termasuk sehebat apa pun ibadah yang telah dijalani. Tidak selayaknya pendakwah menunjukkan kesombongan diri atau merendahkan diri orang lain yang didakwahinya. Kalimat dan sikap merendahkan orang lain yang dilakukan pendakwah dapat mengesankan bahwa ia merasa lebih baik, atau lebih benar, atau lebih hebat, atau bahkan lebih suci daripada orang lain. Padahal, Allah sendiri telah mengingatkan, "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa." (QS. Al-Hujurat: 13) Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman, “Dan janganlah kamu menganggap dirimu suci. Allah yang lebih tahu siapa yang suci (bertakwa).” (An-Najm: 32)

Menciptakan Harmoni dalam Masyarakat

Hinaan dalam berdakwah dapat memicu perpecahan dan konflik di dalam masyarakat. Ketika seseorang merasa dihina, meskipun tujuannya untuk bercanda, atau memberi pelajaran, atau melakukan koreksi, ia bisa saja merasa kecewa dan dilecehkan, kemuadian ia menutup hati untuk mendengarkan lebih lanjut. Sebaliknya, dakwah yang dilakukan dengan cara yang penuh kasih sayang dan kelemahlembutan akan menciptakan keharmonisan dan ketentraman dalam masyarakat.

Setiap orang memiliki latar belakang karakter, sifat, dan pemahaman yang berbeda. Oleh karena itu, pendakwah perlu bijak dalam memilih metode dan bahasa yang digunakan dalam berdakwah. Hinaan yang dipakai bercanda mungkin bisa diterima oleh sebagian orang, tetapi bisa sangat menyakitkan bagi yang lain. Pendakwah harus memilih cara yang paling tepat untuk audiens yang ada, mengingat bahwa tujuan dakwah adalah untuk mengajak kepada kebaikan, bukan untuk menimbulkan kebencian, perasaan kecewa, dan putus asa. Wallahu a`lam.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...