Penulis: A. Rusdiana
A. Rusdiana
Oleh A. Rusdiana
Ramadan dan Idulfitri bukan hanya ritual ibadah, tetapi juga ruang hidup yang sarat
nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah keberagaman Indonesia, bulan suci ini
menjadi peluang besar bagi siswa untuk menghayati dan mempraktikkan toleransi
serta kebersamaan. Pada tahun 2025, sesuai Surat Edaran Bersama (SEB) Tiga
Menteri, kegiatan pembelajaran di sekolah dilanjutkan kembali pada 9 April 2025
sebuah momentum strategis untuk melakukan refleksi pendidikan yang lebih
bermakna. Nilai-nilai toleransi dan kebersamaan sejalan dengan value-based
learning dalam Kurikulum Merdeka, yang menempatkan peserta didik sebagai
subjek aktif pembentukan karakter. Prinsip Profil Pelajar Pancasila
menekankan pada berakhlak mulia, gotong royong, dan berkebinekaan global, yang
sangat relevan dengan makna Ramadan. Sayangnya, masih banyak pembelajaran yang
tidak memanfaatkan momen kebudayaan dan keagamaan sebagai bagian dari penguatan
karakter. Toleransi seringkali hanya menjadi wacana, bukan praktik nyata di
ruang kelas maupun komunitas belajar.
Tulisan ini hadir untuk menjawab tantangan tersebut: bagaimana menjadikan
Ramadan dan Idulfitri sebagai sumber inspirasi pembelajaran aktif dan
kontekstual, yang menumbuhkan nilai-nilai toleransi dan kebersamaan pada siswa,
demi menyongsong Indonesia Emas 2045. Untuk kepentingan itu, mari lita
elaborasi satu-persatu:
Pertama: Toleransi dalam Keberagaman Agama dan Budaya; Siswa perlu
diajak memahami bahwa Ramadan tidak hanya milik umat Muslim, tetapi juga dapat
menjadi sarana saling menghormati antarumat beragama. Kegiatan seperti
"cerita lintas iman", pertukaran pengalaman, hingga proyek eksplorasi
budaya lokal selama Ramadan, dapat dikembangkan dalam modul pembelajaran
tematik. Guru sebagai fasilitator bisa merancang tugas reflektif yang mendorong
siswa melihat keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Kedua: Kebersamaan dan Gotong Royong dalam
Keluarga maupun Komunitas; Kebersamaan selama Ramadan seperti berbuka puasa bersama, tadarus, atau
kegiatan sosial dapat diangkat menjadi praktik pembelajaran berbasis proyek
(PjBL). Misalnya, siswa membuat jurnal kolaboratif tentang kegiatan sosial di
lingkungan mereka, lalu membandingkannya untuk memahami berbagai bentuk
kontribusi dalam masyarakat. Nilai gotong royong bisa ditanamkan melalui kerja
tim dalam kelas, menciptakan ruang diskusi, dan evaluasi peer-to-peer.
Ketiga: Sikap Empati terhadap Sesama; Puasa mengajarkan rasa lapar dan haus
sebagai sarana melatih empati. Sekolah bisa mengintegrasikan ini ke dalam sesi
refleksi pasca-libur Ramadan, melalui diskusi terbuka, permainan peran, atau
kampanye sosial kecil. Program ini dapat diperkuat dengan prinsip student
agency, di mana siswa merancang sendiri kegiatan berbasis nilai empati,
seperti penggalangan dana atau membuat surat untuk anak-anak kurang mampu.
Momentum Ramadan dan Idulfitri 2025 dapat menjadi laboratorium sosial yang
konkret bagi peserta didik untuk menginternalisasi nilai-nilai toleransi dan
kebersamaan. Dengan pendekatan Kurikulum Merdeka, pembelajaran tidak lagi
terikat oleh dinding kelas, tetapi menyatu dengan kehidupan. Dengan ini,
merekomendasikan untuk Guru dan Pemangku Kepentingan Pendidikan: 1) Guru perlu
merancang pembelajaran reflektif pasca-libur Ramadan yang mengaitkan pengalaman
pribadi siswa dengan nilai-nilai Pancasila; 2)
Sekolah sebaiknya mendorong proyek berbasis nilai yang relevan dengan
kehidupan sosial dan budaya siswa; 3) Pemangku kebijakan dapat menguatkan
kurikulum nilai dengan menyediakan panduan integratif untuk momen-momen
keagamaan dan budaya seperti Ramadan.
Mempraktikkan Nilai-Nilai Toleransi dan Kebersamaan; Ramadan dan
Idulfitri adalah momentum yang tepat bagi siswa untuk menginternalisasi
nilai-nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat. Wallahu A'lam.