MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN PENYANDANG DISABILITAS

Penulis: Drs. Dedy Kustawan, M.Pd.

Dibaca: 3927 kali

Drs. Dedy Kustawan, M.Pd.

Oleh Drs. Dedy Kustawan, M.Pd.

Ketua Umum Lintang Samudra Edukasi Yayasan MDP Indonesia

Bidang Regulasi Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI)

Ketua I APPKhI Jawa Barat.

Ketua Bidang Regulasi Pengurus IKA PKh UPI

Komunitas Cinta Indonesia/KACI#PASTI BISA#

 

Sebelumnya kita pernah mengenal nomenklatur atau peristilahan dalam bidang pendidikan yaitu Anak Luar Biasa dan Pendidikan Luar Biasa. Pengertian Pendidikan Luar Biasa diatur Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Ssistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa: “Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.” Turunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa. Dari Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 ini lahirlah istilah Anak Luar Biasa (ALB), Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Mennegah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) serta Sekolah Luar Biasa (SLB).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Istilah Pendidikan Luar Biasa yang biasa disingkat PLB berubah menjadi Pendidikan Khusus yang biasa disingkat PK, PKh atau Diksus. Pengertian Pendidikan Khusus diatur Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, adalah: “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, istilah anak berkebutuhan khusus (ABK) bukanlah merupakan penghalusan terhadap kata anak luar biasa atau berkelainan saja, tapi merupakan perluasan bidang garapan yang perlu mendapat perhatian bersama, sebab yang memerlukan pendidikan khusus bukan anak berkelainan saja tani anak yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) adalah peserta didik yang mengalami hambatan perkembangan, hambatan belajar dan memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan, yang diakibatkan oleh faktor internal dan eksternal atau kombinasi dari keduanya, sehingga diperlukan adaptasi dan modifikasi dalam pembelajaran baik dalam tujuan, bahan, metode, media, dan/atau penilaian. (Kemendikbud 2019)

Kebutuhan khusus yang disebabkan oleh faktor internal biasanya bersifat permanen. Sedangkan kebutuhan khusus yang disebabkan oleh faktor eksternal biasanya bersifat temporer. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development) dan anak yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan serta kecerdasan dan bakat atau keunggulan yang dialami oleh masing-masing anak.

Selanjutnya, Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 10/D/KR/2017 tanggal 4 April 2017 tentang Struktur Kurikulum, Kompetensi Inti-Kompetensi Dasar, dan Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus menyebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) adalah individu yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Sedangkan Zaenal Alimin (2007) mengungkapkan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.

Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki perkembangan hambatan belajar dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak menurut Zaenal Alimin (2007) disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1) faktor lingkungan; 2) faktor dalam diri anak itu sendiri; dan 3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak.

Kebutuhan khusus atau disabilitas yang dimiliki atau disandang peserta didik akan memberi warna tersendiri dalam perencanaan, proses, dan hasil belajarnya. Pemahaman guru yang mengenai karakteristik atau keberagaman peserta didik akan berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Menjadi suatu kewajiban bagi setiap guru untuk memahami keberagaman peserta didik berkebutuhan khusus agar perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran lebih bermakna.

Peserta didik berkebutuhan khusus terdiri dari peserta didik yang memiliki kelainan atau penyandang disabilitas dan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.  Pengertian Penyandang Disabilitas adalah pengganti istilah Penyandang Cacat yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyandang Cacat. Dengan digantinya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1977 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas maka istilah Penyandang Cacat diganti dengan istilah Penyandang Disabilitas.

Penyandang Disabilitas menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 sebagai berikut: “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

Peserta didik berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan dijelaskan pada Pasal 129 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 sebagai berikut: ”Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang:

a. tunanetra; 

b. tunarungu;

c. tunawicara;

d.       tunagrahita;

e. tunadaksa;

f.        tunalaras;

g. berkesulitan belajar; 

h.       lamban belajar; 

i.        autis;

j.        memiliki gangguan motorik;  

k.       menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan

l.        memiliki kelainan lain

Di bawah ini terlebih dahulu dijelaskan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus atau penyandang disabilitas yang bersekolah di SLB terdiri atas peserta didik yang memiliki: a. hambatan penglihatan (tunanetra); b. hambatan pendengaran (tunarungu); c. hambatan kecerdasan/mental (tunagrahita); d. hambatan fisik dan fungsi gerak (tunadaksa) dan e. hamabatan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku (autis).

a.       Anak/Peserta Didik Tunanetra

Anak/peserta didik tunanetra adalah anak/peserta didik yang memiliki hambatan dalam penglihatan yang sedemikian rupa. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitubuta total (blind) dan kurang awas (low vision). Menurut Kaufman dan Hallahan tunanetra adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada anak tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat  taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan  tulisan Braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata, sedangkan media yang bersuara adalah radio, tape recorder, VCD, DVD, televisi dan sebagainya. Untuk membantu tunanetra beraktifitas di satuan pendidikan khusus (Sekolah Luar Biasa) mereka diberikan program kebutuhan khusus Pengembangan Orientasi Mobilitas Sosial dan Komunikasi.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran bagi anak/peserta didik tunanetra sebagai betikut.

1)       Gunakan obyek yang konkrit/riil atau nyata untuk menjelaskan konsep

2)       Panggilnama Peserta Didik Tunanetra ketika hendak menarik perhatiannya

3)       Gunakan komunikasi verbal dalam menjelaskan sesuatu

4)       Sentuh pungung tangan kita pada lengan atau bahu ketika menyapa Peserta Didik Tunanetra

5)       Siapkan materi sesuai dengan tingkat penglihatan Peserta Didik Tunanetra (huruf Braille, pembesaran huruf, penggunaan audio)

6)       Gunakan arah jarum jam untuk menunjukkan letak

7)       Beritahukan Peserta Didik Tunanetra apabila ada perubahan letak barang terutama bila kita akan meninggalkan Peserta Didik Tunanetra sendiri

8)       Hindari kata tunjuk ini atau itu, kata ganti tempat di sana, di sini,kata ganti orang dia,kamu.

9)       Seringlah bercerita mengenai situasi sekitar saat bepergian dengan Peserta Didik Tunanetra

10)     Buat buku bicara dengan cara merekam

11)     Biasakan agar Peserta Didik Tunanetra menggunakan tongkat putih untuk alat bantu jalan.

12)     Sediakaan alat bantu seperti riglet stylus (riglet dan pen) untuk menulis Braille dan tape recorder untuk merekam.

b.       Anak/Peserta Didik Tunarungu

Anak/peserta didik tunarungu adalah anak/peserta didik yang memiliki hambatan dalam pendengaran yang sedemikian rupa. Anak/peserta didik dengan gangguan pendengaran atau tunarungu mengalami kehilangan pendengaran meliputi seluruh gradasi atau tingkatan baik ringan, sedang, berat dan sangat berat yang akan mengakibatkan pada gangguan komunikasi dan bahasa. Keadaan ini walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya.

Ketunarunguan dikelompokkan atau digolongkan ke dalam kurang dengar (hard of hearing) dan tuli (deaf). Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah gangguan pendengaran sangat ringan (27-40 dB), gangguan pendengaran ringan (41-55 dB), gangguan pendengaran sedang (56-70 dB) gangguan pendengaran berat (71-90 dB), gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91 dB). Karena memiliki hambatan dalam pendengaran anak tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka sering tertukar pemahamannya dengan tunawicara. Bagi anak/peserta didik tunarungu yang mengalami kesulitan berkomunikasi dengan  amany oral/lisan, cara berkomunikasi dengan anak/peserta didik menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia dikenal dengan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Saat ini di beberapa satuan pendidikan khusus dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Cara berkomunikasi ini bisa digunakan di satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan. Anak tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Pada anak tunarungu perlu dikembangkan program kebutuhan khusus Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama (PKPBI). Pengetahuan mengenai ketunarunguan dan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan untuk anak tunarungu penting untuk diketahui oleh semua guru.

1)       Ketika berbicara upayakan untuk berhadapan muka dengan muka Peserta Didik Tunarungu agar gerak bibir dan mimic terlihat

2)       Bicara dengan artikulasi yang jelas

3)       Gunakan gambar dalam memperkenalkan kata/konsep baru

4)       Gunakan komunikasi dengan tulisan

5)       Gunakan Bahasa Isyarat apabila diperlukan

6)       Gunakan  bahasa tubuh seperti menggeleng, mengangguk)

7)       Gunakan cermin untuk latihan bicara bibir untuk meniru bentuk dan gerakan mulut.

 

c.       Anak/Peserta Didik Tunagrahita

Anak/peserta didik tunagrahita adalah anak/peserta didik yang memiliki intelligensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Anak tunagrahita mempunyai hambatan akademik yang sedemikian rupa sehingga dalam layanan pembelajarannya memerlukan adaptasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ. Tunagrahita ringan (IQ: 51-70), Tunagrahita sedang (IQ: 36-51), Tunagrahita berat (IQ: 20-35), Tunagrahita sangat berat (IQ di bawah 20). Pembelajaran bagi anak/peserta didik tunagrahita lebih dititik beratkan pada pengembangan diri dan cara bersosialisasi. Seperti anak/peserta didik berkebutuhan khusus tunanetra dan tunarungu, maka untuk anak/peserta didik berkebutuhan khusus tunagrahita pun membutuhkan program kebutuhan khusus yang disebut Pengembangan Diri (PD).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran bagi peserta didik tunagrahita antara lain:

1)       Gunakan media konkrit yang menarik yang dekat dengan kehidupannya

2)       Lakukan instruksi dengan kalimat yang pendek, jelas, dan bertahap

3)       Konsistensi dan pengulangan dalam belajar

4)       Lakukan pembiasaan

5)       Berikan pendampingan  atau pengawasan dari orang lain

6)       Belajar bertahap

7)       Adakan koreksi secara langsung dan berulang.

d.       Anak/Peserta Didik Tunadaksa

Anak/peserta didik tunadaksa adalah anak/peserta didik yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk cerebral palsy, amputasi (amputi) polio dan lumpuh. Tingkat gangguan pada anak/peserta didik tunadaksa adalah “ringan” yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktifitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, “sedang” yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, “berat” yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik. Bagi anak tunadaksa tersebut perlu diberikan program kebutuhan khusus yang disebut Pengembangan Diri dan Gerak (PDG).

1)       Jangan memegang tangan mereka bila menggunakan kruk atau tongkat

2)       Biasakan ketika mereka berjalan biarkaqn mereka bertumpu pada bahu atau lengan kita

3)       Sediakan ram (bidang miring) bagi pengguna kursi roda

4)       Bicaralah secara singkat dan jelas bagi peserta didik tunadaksa yang mengalami gangguan bicara

5)       Tawarkan tempat duduk di dekat pintu

6)       Siapkan toilet yang luas agar memudahkan kursi roda masuk ke dalam toilet

7)       Pasang ralling di sepanjang dinding untuk membantu bergerak

8)       Upayakan jika bangunan berlantai sediakan lift dan jika belum mungkin maka ruang bagi Peserta Didik Tunadaksa harus berada di lantai bawah.

e.       Anak/Peserta Didik Autis

Anak/peserta didik autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.  Autis adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal, peserta didik tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Kata autis berasal dari bahasa Yunani auto berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri. 

Pada umumnya anak autis mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau bahkan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak merespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan peserta didik lain dan sebagainya). Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa atau di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan penanganan yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik. Peserta didik autis memiliki hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi, pola bermain, gangguan sensoris , perkembangan lambat atau tidak normal, penampakan gejala, perilaku, dan emosi .Untuk itulah anak autis perlu diberikan program kebutuhan khusus Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku. Kita harus mengetahui banyak istilah atau sebutan lain yang artinya sama untuk anak autis, antara lain “autistik”, “autisma”, “autism”, dan “autisme.”  Termasuk spektrum anak/peserta didik autis yaitu anak/peserta didik dengan gangguan konsentrasi (pemusatan perhatian) dan hiperaktif.

Bantuan-bantuan yang dapat diberikan dalam kegiatan pembelajaran bagi anak/peserta didik autis adalah:

1)       Ajarkan rutinitas sedikit demi sedikit

2)       Gunakan simbol-simbol gambar untuk mewakili kegatan

3)       Buatlah jadwal kegiatan dengan waktu sesuai dengan kemampuan konsentrasi Peserta Didik Autis

4)       Ajarkan secara rutin komunikasi

5)       Kembangkan dan gunakan clue-clue visual untuk memahami aturan

6)       Gunakan komunikasi gambar

7)       Buat kesepakatan dengan aturan yang jelas dan tegas

8)       Biasakan berbicara dengan kalimat singkat dan jelas. Anda juga bisa berbicara perlahan dengan jeda di antara kata.

9)       Berikan waktu pada anak untuk memahaminya. Jika perlu, iringi kata yang diucapkan dengan bahasa tubuh yang sederhana.

10)     Biasakan selalu memanggil dengan namanya.

11)     Batasi suara-suara yang timbul di dekatnya.

Berikutnya dijelaskan peserta didik berkebutuhan khusus lainnya, sebagai berikut:

f.        Anak lamban belajar

Anak lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit dibawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berfikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan anak pada umumnya, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Karakteristik atau ciri-ciri anak lamban belajar yaitu rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah, dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya, daya tangkap terhadap pelajaran lambat dan pernah tidak naik kelas.

g.       Anak berkesulitan belajar spesifik (Learning Disability)

Anak berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, braininjury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. Anakberkesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.

h.       Anak yang memiliki hambatan emosi dan perilaku atau konrol sosial (tunalaras)

Anak bekebutuhan khusus tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan dalam mengendalikan emosi dan perilaku atau kontrol sosial. Anak tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Anak tunalaras mudah marah, mudah terangsang emosinya (emosional), sering menentang perintah atau tugas, sering melanggar tata tertib, agresif, sering merusak, suka mencuri, mengganggu lingkungan dan tidak suka dengan kegiatan yang rutin.Bagi anak tunalaras tersebut perlu diberikan program kebutuhan khusus yang disebut Pengembangan Pribadi dan Sosial (PPS).

i.        Anak yang memiliki hambatan bicara (tunawicara)

Anak tunawicara yaitu anak yang mengalami kesulitan bicara, yang bisa diakibatkan tidak/kurang berfungsinya alat-alat bicara seperti rongga mulut, bibir, lidah, langit-langit, pita suara, dan lainnya, bisa juga diakibatkan pada kerusakan lain seperti tidak/kurang berfungsinya indera pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada sistem saraf dan struktur otot, juga ketidakmampuan dalam kontrol gerak dapat mengakibatkan gangguan bicara. Di antara mereka ada yang tidak dapat bicara sama sekali, ada yang bisa mengeluarkan bunyi tetapi tidak berucap, dan ada yang berbicara sedikit tapi tidak jelas. Kelainan bicara juga bisa dari faktor psikologis sehingga ditemui anak yang bicaranya gagap (stutering).

j.        Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang    dan zat adiktif lainnya.

Anak yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras diluar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang. Anak yang pernah menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras, yang dilakukan sekali, lebih dari sekali atau dalam taraf coba-coba. Secara medik anak tersebut sudah dianyatakan bebas dari ketergantungan obat oleh dokter yang berwenang.

Perlu diketahui bahwa peristilahan anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang    dan zat adiktif lainnya banyak pihak yang tidak setuju dikelompokkan menjadi peserta didik berkebutuhan khusus. Hanya dijelaskan di sini bagian dari menjelaskan yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009.

k.       Anak yang memiliki gangguan motorik

Anak yang memiliki gangguan motorik mempunyai hambatan yang berat dalam perkembangan koordinasi motorik, yang tidak disebabkan oleh retardasi mental, gangguan neurologis yang didapat maupun kongenital. Gangguan ini bisa bersamaan dengan kesulitan bicara. Saat bayi, anak ini tidak bisa merangkak, kalau merangkak seperti merayap. Bila duduk posisi kaki seperti huruf “w”. Anak tampak berbeda atau aneh dalam berjalan tidak seperti anak lainnya, sering jatuh, tersandung dan menabrak. Anak yang memiliki gangguan motorik lambat belajar berlari, melompat dan naik turun tangga. Anak tersebut kesulitan mengikat sepatu, kesulitan memasang dan melepaskan kancing, kesulitan melempar dan menangkap bola. Anak tampak lamban dalam gerak halus dan kasar. Benda yang dipegang sering jatuh, tidak pandai menggambar, dan tulisannya kurang baik.

l.        Anak tunaganda (kelainan majemuk)

Anak tunaganda atau kelainan majemuk adalah anak yang memiliki dua kelainan atau lebih. Misalnya anak yang mempunyai hambatan penglihatan dan pendengaran, anak yang mempunyai hambatan pendengaran, kecerdasan dan autis, dan sebagainya. Anak tersebut memerlukan program khusus disesuaikan dengan kekhususannya, misalnya anak tunaganda karena tunanetra dan tunagrahita maka memerlukan program kebutuhan khusus Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial, dan Komunikasi serta program kebutuhan khusus Pengembangan Diri.

m.      Anak dengan gangguan konsentrasi (Attention Deficit Disorder/ADD)

Anak dengan gangguan konsentrasi memiliki kesulitan untuk beradaptasi dan tingkat perkembanagnnya tidak konsisten. Gejala-gejala yang nampak antara lain sering gagal ketika memperhatikan secara detail, sering membuat kesalahan dalam kegiatan atau dalam pekerjaan sekolah. Anak inipun sering kesulitan dalam memperhatikan aktivitas permainan atau tugas-tugas.Ketika diajak bicarapun sering tidak mendengarkan.Tidak senang atau sering tidak mengikuti instruksi untuk menyelesaikan pekerjaan sekolah.Tidak senang dengan pekerjaan atau tugas sekolah.Sering beralih perhatian pada rangsangan luar serta mudah lupa terhadap kegiatan sehari-hari.

n.       Anak dengan gangguan hiperaktif (Attention Deficit Hiperactivity Disorder)

Anak dengan gangguan hiperaktif tidak mampu untuk memberi perhatian pada suatu obyek dengan waktu yang cukup lama.Anak ini cenderung hiperaktivitas.Gerakan motorik tinggi, perhatiannya mudah buyar, tidak bisa diam, canggung, tidak fleksibel, sering berbuat tanpa dipikir akibatnya dan mudah prustasi.

o.       Anak yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

Anak yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat  istimewa adalah anak yang secara significant memiliki potensi di atas rata-rata dalam bidang kemampuan umum, akademik khusus,  kretivitas, kepemimpinan, seni, dan/atau olahraga. Penggunaan istilah potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berkait erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan.Potensi kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan bakat tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Proses mengidentifikasi anak cerdas istimewa dilakukan dengan menggunakan pendekatan multidimensional. Artinya  kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelligensi). Batasan yang digunakan adalah anak yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 135 ke atas dengan pengukuran menggunakian skala Wechsler.  Konsepsi tiga cingcin dari Renzuli banyak digunakan dalam menyusun pendidikan untuk peserta didik cerdas istimewa dan merupakan teori yang mendasari  pengembangan pendidikan peserta didik cerdas istimewa dan berbakat istimewa (Giftedand Talented Children).  Tiga komponen yang penting yaitu : (1) Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan atau kemampuan khusus di atas rata-rata, (2) kreativitas yang tinggi, dan (3) komitmen terhadap tugas yang tinggi. Anak yang memiliki bakat istimewa yaitu memiliki bakat yang sangat istimewa misalnya dalam bidang seni (seni musik, seni suara, dan seni rupa) dan olahraga.

Semoga dengan pembahasan di atas tidak menjadi lebih bingung sebab peristilahan dan pengaturan kebijakan Pendidkan Khusus itu beririsan atau bersinggungan antara peristilahan yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindangan Anak, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Belum lagi diwarnai dengan peristilahan yang digunakan oleh lembaga mitra terkait baik dari dalam dan luar negeri dan organisasi disabilitas lainnya.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...