Penulis: Denny Kodrat
Denny Kodrat
Oleh Denny Kodrat
(Pengajar di
SMA Negeri Jatinangor dan Universitas Sebelas April)
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengeluarkan tagline merdeka
belajar dalam desain pendidikan nasional. “Perubahan mindset” begitu gagasan yang diusung oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Beberapa
produk kebijakan sudah disiapkan dan diluncurkan, seperti Implementasi
Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Sekolah Penggerak,
Guru Penggerak dan kebijakan sejenis yang bertujuan meningkatkan mutu
pembelajaran.
Paradigma “Merdeka Belajar”
sebenarnya perlu penjelasan lebih lanjut dari aspek filosofis dan praktis oleh Kemendikbudristek.
Terdapat harapan besar baik dari satuan pendidikan, masyarakat dan stakeholders
pendidikan. Utamanya, meningkatkan pelayanan pembelajaran. Banyak isu krusial
dalam dunia pendidikan, diantaranya masalah RUU Sisdiknas, kesejahteraan
pendidik, kurikulum, transparansi dan akuntabilitas BOS, hingga mutu lulusan.
Pemerintah pusat memegang kendali
atas regulasi umum pendidikan. Sehingga, ia bertanggung jawab menjelaskan tagline
merdeka belajar tersebut. Apakah sekolah dimerdekakan dalam merumuskan, membuat
dan mengimplementasikan kurikulum? Ataukah sekolah, sebagaimana perguruan
tinggi, diberikan otonomi dalam pengelolaan keuangan, seleksi peserta didik
baru hingga dalam membuat dan menetapkan kompetensi lulusan? Ataukah peserta
didik diberikan kemerdekaan dalam memilih jurusan, mata pelajaran yang ia
inginkan? Pertanyaan-pertanyaan serupa muncul baik di masyarakat maupun di
sekolah, sebagai wujud harapan atas pendidikan yang tidak begitu sentralistis,
kaku dan sarat kepentingan. Tapi tidak hanya itu, keinginan masyarakat
pendidikan bermutu sebagaimana negara-negara Eropa seperti Finlandia, Jerman,
atau negara tetangga seperti Singapura, Australia, sehingga Indonesia dapat
berbicara banyak pada posisi PISA atau TIMS.
Di balik itu, ada hal fundamental
yang dilupakan saat tagline “Merdeka Belajar” ini diluncurkan, yaitu
“Belajar Merdeka”. Betapa sistem pendidikan kita masih dipahami secara
birokratis oleh masyarakat. Kebijakan yang bersifat top down lebih
kentara dibandingkan dengan bottom-up. Bahkan terdapat kesenjangan
antara kebijakan pendidikan dengan implementasi. Sebut saja penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Saat pengelolaan sekolah dalam konteks MBS diharapkan
terjadi kolaborasi antara sekolah dan komite sekolah. Namun faktanya, komite
sekolah dijadikan alat legitimasi untuk sumbangan keuangan. Tak urung, dalam
beberapa kasus, masalah keuangan terjadi. Sekolah seolah-olah banyak memiliki
labirin yang tidak dapat diakses oleh komite sekolah. Padahal, transparansi dan
akuntabilitas menjadi syarat penting sukses tidaknya MBS.
Guru-guru pun perlu untuk belajar
merdeka. Mereka sudah sedemikian lama terpapar dengan pemahaman bahwa
pendidikan adalah urusan mengajar di dalam kelas. Minim inovasi, tidak mampu
mendayagunakan fasilitas, bahkan tidak sedikit yang menjauh dari teknologi,
dengan alasan sudah tua, akan pensiun. Guru memiliki fixed mindset, sulit
untuk digerakkan atau belajar dan memahami secara lebih holistik bahwa kualitas
mengajar di dalam kelas akan menentukan peradaban suatu bangsa.
Belajar merdeka bermakna tidak takut
atas perubahan, growth mindset, senantiasa mengkalibrasi kompetensi
profesional dan pedagogik. Menjadikan masalah yang ia temui saat mengajar
menjadi topik Penelitian Tindakan Kelas (PTK), untuk menemukan solusi dan
mendesiminasikan kepada guru lainnya. PTK ini dibuat bukan karena tuntutan naik
pangkat, namun karena wujud merdeka bahwa ia dibuat untuk kepentingan
pendidikan.
Belajar merdeka berarti tidak takut
untuk menyampaikan pendapat yang didasarkan kepenasaran (curiosity).
Karena keahlian berpikir kritis mensyaratkan guru untuk memiliki rasa
penasaran. Senantiasa tidak puas dan berpikir skeptis, menguji keraguan untuk
mendapatkan jawaban yang kokoh. Bagaimana mungkin peserta didik memiliki
keahlian yang dibutuhkan di abad 21 seperti kemampuan berkomunikasi,
kolaborasi, berpikir kritis, kreatif dan inovatif, bila guru tidak mampu
memerdekakan pola pikir siswa untuk berani masuk pada kemampuan-kemampuan
tersebut.
Belajar mandiri berarti memahami
bahwa tidak ada yang instan dalam sebuah pencapaian. Semua kesuksesan
membutuhkan proses. Ini menjadi nilai yang dimunculkan. Sehingga seharusnya
tidak ada lagi copy paste perangkat pembelajaran dari guru lain, tidak
ada lagi plagiarisme atas karya tulis ilmiah untuk kenaikan pangkat,
tidak ada lagi pungutan liar, suap dan korupsi dalam tata kelola dan kebijakan
pendidikan. Merdeka dari berbagai macam praktik-praktik tidak baik. Merdeka
dari ketersanderaan hasil atau menghalalkan segala cara untuk hasil baik.
Integritas, sikap dan mindset menjadi
kata kunci dalam belajar merdeka. Dengan integritas, pendidikan benar-benar menjadi
garda terdepan dalam pembentukan sikap dan peradaban. Sikap dalam dunia
akademik menjadi penentu kesuksesan di masa depan. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi (Emotional Quotient) lebih menentukan
kesuksesan karir dibandingkan kecerdasan intelegensi. Sementara growth
mindset atau mindset bertumbuh menjadi pendorong bagi guru untuk beradaptasi
dengan berbagai macam perubahan dan tantangan. Ini semua mengharuskan
seluruh stakeholders belajar merdeka. Memerdekakan diri dari segala macam
keterjajahan dan keterkungkungan. Bila gurunya telah merdeka, maka relatif
mudah menularkan kemerdekaan belajar pada diri siswa.
Jadi, nampaknya harus diinisiasi
“Belajar Merdeka” dalam “Merdeka Belajar”. Wallahu’alam bishshawwab