MERDEKA BELAJAR VERSUS BELAJAR MERDEKA

Penulis: Denny Kodrat

Dibaca: 534 kali

Denny Kodrat

Oleh Denny Kodrat

(Pengajar di SMA Negeri Jatinangor dan Universitas Sebelas April)

 

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengeluarkan tagline merdeka belajar dalam desain pendidikan nasional. “Perubahan mindset” begitu gagasan yang diusung oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Beberapa produk kebijakan sudah disiapkan dan diluncurkan, seperti Implementasi Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Sekolah Penggerak, Guru Penggerak dan kebijakan sejenis yang bertujuan meningkatkan mutu pembelajaran.

Paradigma “Merdeka Belajar” sebenarnya perlu penjelasan lebih lanjut dari aspek filosofis dan praktis oleh Kemendikbudristek. Terdapat harapan besar baik dari satuan pendidikan, masyarakat dan stakeholders pendidikan. Utamanya, meningkatkan pelayanan pembelajaran. Banyak isu krusial dalam dunia pendidikan, diantaranya masalah RUU Sisdiknas, kesejahteraan pendidik, kurikulum, transparansi dan akuntabilitas BOS, hingga mutu lulusan.

Pemerintah pusat memegang kendali atas regulasi umum pendidikan. Sehingga, ia bertanggung jawab menjelaskan tagline merdeka belajar tersebut. Apakah sekolah dimerdekakan dalam merumuskan, membuat dan mengimplementasikan kurikulum? Ataukah sekolah, sebagaimana perguruan tinggi, diberikan otonomi dalam pengelolaan keuangan, seleksi peserta didik baru hingga dalam membuat dan menetapkan kompetensi lulusan? Ataukah peserta didik diberikan kemerdekaan dalam memilih jurusan, mata pelajaran yang ia inginkan? Pertanyaan-pertanyaan serupa muncul baik di masyarakat maupun di sekolah, sebagai wujud harapan atas pendidikan yang tidak begitu sentralistis, kaku dan sarat kepentingan. Tapi tidak hanya itu, keinginan masyarakat pendidikan bermutu sebagaimana negara-negara Eropa seperti Finlandia, Jerman, atau negara tetangga seperti Singapura, Australia, sehingga Indonesia dapat berbicara banyak pada posisi PISA atau TIMS.

Di balik itu, ada hal fundamental yang dilupakan saat tagline “Merdeka Belajar” ini diluncurkan, yaitu “Belajar Merdeka”. Betapa sistem pendidikan kita masih dipahami secara birokratis oleh masyarakat. Kebijakan yang bersifat top down lebih kentara dibandingkan dengan bottom-up. Bahkan terdapat kesenjangan antara kebijakan pendidikan dengan implementasi. Sebut saja penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Saat pengelolaan sekolah dalam konteks MBS diharapkan terjadi kolaborasi antara sekolah dan komite sekolah. Namun faktanya, komite sekolah dijadikan alat legitimasi untuk sumbangan keuangan. Tak urung, dalam beberapa kasus, masalah keuangan terjadi. Sekolah seolah-olah banyak memiliki labirin yang tidak dapat diakses oleh komite sekolah. Padahal, transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat penting sukses tidaknya MBS.

Guru-guru pun perlu untuk belajar merdeka. Mereka sudah sedemikian lama terpapar dengan pemahaman bahwa pendidikan adalah urusan mengajar di dalam kelas. Minim inovasi, tidak mampu mendayagunakan fasilitas, bahkan tidak sedikit yang menjauh dari teknologi, dengan alasan sudah tua, akan pensiun. Guru memiliki fixed mindset, sulit untuk digerakkan atau belajar dan memahami secara lebih holistik bahwa kualitas mengajar di dalam kelas akan menentukan peradaban suatu bangsa.

Belajar merdeka bermakna tidak takut atas perubahan, growth mindset, senantiasa mengkalibrasi kompetensi profesional dan pedagogik. Menjadikan masalah yang ia temui saat mengajar menjadi topik Penelitian Tindakan Kelas (PTK), untuk menemukan solusi dan mendesiminasikan kepada guru lainnya. PTK ini dibuat bukan karena tuntutan naik pangkat, namun karena wujud merdeka bahwa ia dibuat untuk kepentingan pendidikan.

Belajar merdeka berarti tidak takut untuk menyampaikan pendapat yang didasarkan kepenasaran (curiosity). Karena keahlian berpikir kritis mensyaratkan guru untuk memiliki rasa penasaran. Senantiasa tidak puas dan berpikir skeptis, menguji keraguan untuk mendapatkan jawaban yang kokoh. Bagaimana mungkin peserta didik memiliki keahlian yang dibutuhkan di abad 21 seperti kemampuan berkomunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, kreatif dan inovatif, bila guru tidak mampu memerdekakan pola pikir siswa untuk berani masuk pada kemampuan-kemampuan tersebut.

Belajar mandiri berarti memahami bahwa tidak ada yang instan dalam sebuah pencapaian. Semua kesuksesan membutuhkan proses. Ini menjadi nilai yang dimunculkan. Sehingga seharusnya tidak ada lagi copy paste perangkat pembelajaran dari guru lain, tidak ada lagi plagiarisme atas karya tulis ilmiah untuk kenaikan pangkat, tidak ada lagi pungutan liar, suap dan korupsi dalam tata kelola dan kebijakan pendidikan. Merdeka dari berbagai macam praktik-praktik tidak baik. Merdeka dari ketersanderaan hasil atau menghalalkan segala cara untuk hasil baik.

Integritas, sikap dan mindset menjadi kata kunci dalam belajar merdeka. Dengan integritas, pendidikan benar-benar menjadi garda terdepan dalam pembentukan sikap dan peradaban. Sikap dalam dunia akademik menjadi penentu kesuksesan di masa depan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosi (Emotional Quotient) lebih menentukan kesuksesan karir dibandingkan kecerdasan intelegensi. Sementara growth mindset atau mindset bertumbuh menjadi pendorong bagi guru untuk  beradaptasi   dengan berbagai macam perubahan dan tantangan. Ini semua mengharuskan seluruh stakeholders belajar merdeka. Memerdekakan diri dari segala macam keterjajahan dan keterkungkungan. Bila gurunya telah merdeka, maka relatif mudah menularkan kemerdekaan belajar pada diri siswa.

Jadi, nampaknya harus diinisiasi “Belajar Merdeka” dalam “Merdeka Belajar”. Wallahu’alam bishshawwab

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...