MERESPONS KOREAN WAVE DENGAN MEMPELAJARI SEJARAH NASIONALISME DI DUNIA

Penulis: Gilang Aji Pangestu, S.Pd.

Dibaca: 350 kali

Gilang Aji Pangestu, S.Pd.

Oleh Gilang Aji Pangestu, S.Pd.

(Pengajar di SMAN 1 Cikembar)

 

Indonesia masa kini telah memasuki era globalisasi, yang mana berbagai hal dapat dengan mudah masuk ke Indonesia. Berkembangnya teknologi seakan mempercepat perkembangan globalisasi. Melalui media massa, manusia dapat dengan mudah mendapatkan akses informasi terkini, baik itu dalam negeri atau pun luar negeri. Seperti yang disampaikan Abdullah (2010, hlm.50) bahwa media merupakan saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup, iklan cenderung untuk membentuk pasar baru dan mendidik kaum muda untuk menjadi konsumen. Perkembangan teknologi dan media memberikan dampak dengan masuknya budaya-budaya asing yang menjadi popular di Indonesia, salah satunya adalah budaya Korea Selatan.

Fenomena masuknya budaya Korea Selatan ke Indonesia ini disebut dengan Korean Wave atau Hallyu wave. Masuknya budaya korea selatan ini diawali dengan berkembangnya industry musik dan film di Korea Selatan. Industri tersebut berkembang dan mendunia, menjadi suatu hal yang digandrungi oleh generasi muda masa kini. Dalam perkembangannya, Korean Wave ini tidak hanya membawa pengaruh dari segi industry music dan film saja, melainkan turut serta membawa pengaruh budaya korea selatan ke Indonesia yang pada akhirnya ditiru dan diikuti oleh generasi muda di Indonesia sebagai gaya hidup.

Meningkatnya Korean Wave di Indonesia sangat berpengaruh terhadap rasa cinta tanah air generasi muda. Mereka merasa bangga ketika menggunakan budaya dari Korea Selatan dibandingkan dengan budaya mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya rasa cinta generasi muda terhadap budaya sendiri.

Dalam menghadapi era globalisasi ini, tentunya Indonesia perlu memupuk rasa cinta tanah air warganya sendiri agar tidak terkalahkan oleh budaya asing yang masuk. Indonesia sendiri perlu belajar kepada Negara lain yang berhasil dalam memupuk rasa cinta tanah airnya, seperti Negara Jepang. Jepang dapat dikatakan sebagai Negara yang mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari upaya Jepang dengan melakukan politik isolasi (Sakoku) pada zaman Edo. Pada zaman Edo, Jepang yang dipimpin oleh Tokugawa Ieasu menerapkan politik isolasi sebagai cara untuk membentuk masyarakat Jepang agar memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap pemerintahan Jepang terutama Kaisar Jepang dan sebagai upaya pemerintah Jepang dalam menjauhi pengaruh masyarakat Jepang dari dunia luar, sehingga membentuk Jepang menjadi negara feodalisme yang kuat (Widarahesty dan Ayu, 2011, hlm 49).

Pada masa ini, Jepang berhasil menumbuhkan semangat nasionalisme dan rasa cinta tanah airnya dengan dibuatnya “falsafah nasional” bangsa Jepang yang digunakan sebagai pegangan hidup yang dalam bahasa Jepangnya disebut “kokutai no honggi” (prinsip dasar negara) dimana prinsip tersebut menempatkan Kaisar sebagai penguasa negara yang merupakan keturunan langsung dari Amaterasu (Dewa). Selain itu juga, semangat nasionalisme Jepang tumbuh akibat adanya penerapan semangat bushido dan pengaruh ajaran konfusianisme. Konfusianisme di Jepang itu dikembangkan untuk memperkuat posisi Shogun dalam masyarakat militer, maka ciri khas konfusianisme Jepang adalah sifat nasionalisnya. Pada masa isolasi (sakoku) konfusianisme merupakan ajaran pokok yang mempertebal etos ”Nasionalisme Jepang”.

Dampak dari diterapkannya politik sakoku ini dapat membelokan pikiran orang-orang Jepang ke masa lampau, karena masyarakat tidak berinteraksi dengan orang lain diluar orang Jepang. Akhirnya sejarah Jepang banyak digali dan disusun kembali, sehingga dengan demikian menimbulkan rasa cinta terhadap segala sesuatu pada bangsa Jepang dan menimbulkan rasa cinta tanah air yang tinggi (Agung, 2012, hlm. 103).

Berdasarkan hal tersebut dapat kita liat bahwa Jepang menanamkan rasa cinta tanah air ke warga nya dengan berani menutup akses dengan dunia luar. Mereka mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum membuka diri dengan dunia luar, sehingga setelah mereka membuka diri dengan restorasi meiji, mereka siap dalam menghadapi dunia luar. Selain itu peranan pemimpin dalam melakukan kebijakan pun sangat memiliki pengaruh besar terhadap terciptanya masyarakat yang cinta tanah air.

Apa yang telah dilakukan Jepang pada masa lampau, dapat kita ambil pelajarannya sebagai bekal untuk diterapkan di Indonesia. Namun demikian, sebenarnya Indonesia pun telah melakukan upaya penanaman nasionalisme dan cinta tanah air dengan baik pada era pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1983, presiden Soeharto dengan keputusannya mewajibkan seluruh siswa baru untuk mengikuti kegiatan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Proses indoktrinasi terjadi dalam penerapan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan di sekolah-sekolah, sejak dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang berisi tentang butir-butir Pancasila. Penataran P4 menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan bagi masa depan siswa pada masa Orde Baru.

Selain penerapan P4, pada masa orde baru juga diterapkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai upaya penanaman nasionalisme dan cinta tanah air. Generasi muda dipaksa untuk mempelajari kembali nilai-nilai pancasila dan sejarah perjuangan bangsa, agar mereka dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, upaya yang dilakukan oleh Soeharto ini mendapat tanggapan dari beberapa pengamat, Menurut Darmaningtyas (dalam Hartono, 2017, hlm. 49) PMP pada masa Orde Baru memiliki dampak politik yang cukup besar. Selain itu, PSPB yang berlaku sejak Kurikulum 1984, dinilai sebagai upaya hegemoni pendidikan yang lekat dengan nuansa politis karena hanya terfokus pada peranan Angkatan Darat dalam menghadapi PKI pada tahun 1965-1966, sehingga pasca Soeharto lengser seluruh program yang telah diterapkan di era Orde Baru ini dirubah.

Usaha yang dilakukan oleh Soeharto dapat dikatakan sejalan dengan yang dilakukan Tokugawa di Jepang. Mereka sama-sama berperan dalam pembudayaan rasa cinta tanah air warganya dengan kebijakan yang mengikat, sehingga warganya secara perlahan dapat tumbuh rasa cinta kepada tanah air. Hal inilah yang perlu kita terapkan di era sekarang, peranan pemimpin dalam mengambil kebijakan yang dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air. Kebijakan yang memaksa perlu dilakukan, agar generasi muda secara perlahan tumbuh rasa cinta tanah airnya dan siap dalam menghadapi era globalisasi.

Pada akhirnya, penulis berharap agar generasi muda dapat lebih meningkatkan lagi rasa cinta tanah airnya dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya cinta tanah air. Selain itu, pemerintah perlu mengadakan kembali upaya-upaya terkait penanaman rasa cinta tanah air, tidak hanya sekedar program formalitas, namun program berkelanjutan agar masyarakat Indonesia dapat meningkat rasa cinta tanah airnya

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. (2010). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Agung, Leo. (2012). Sejarah Asia Timur 1. Yogyakarta : Ombak

Hartono, Y. (2017). Model Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter Bangsa Di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Jurnal Agastya. 7(1) hlm. 34-47.

Widarahesty, Y dan Rindu, A. (2011). Pengaruh Politik Isolasi (Sakoku) Jepang Terhadap Nasionalisme Bangsa Jepang : Studi Tentang Politik Jepang dari Zaman Edo (Feodal) Sampai Perang Dunia II. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL. 1(1) hlm. 46-61.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...