Paksakan, Biasakan, dan Butuhkan

Penulis Taopik ipebe

7 Mar 2023, dalam 2 tahun. Dibaca: 1068 kali

Taopik ipebe

Oleh Taopik ipebe

(Kepala SMAN 1 Leuwiliang)

 

 

Tidak ada perilaku baik yang mudah untuk dibiasakan apalagi menjadi kebutuhan.  Apalagi perilaku baik itu bersifat aturan yang oleh manusia dirasa membatasi atau mengurangu kebebasan hidupnya. Begitupun jika perilaku baik itu dianggap sebagai beban hidupnya, sudah pasti akan semakin sulit untuk menjadi pembiasaan.

 

Manusia secara umum memang memiliki sifat ingin bebas, walaupun pada kenyataannya mereka sering terjebak di kebebasannya sendiri. Terlalu umum jika manusia berkeinginan tidak diikat oleh aturan-aturan yang mengurangi kebebasan hidupnya. Namun, karena manusia adalah makhluk sosial, dimana perilaku setiap individunya saling mempengaruhi, maka aturan atau norma merupakan kebutuhan hakiki yang harus ada.

 

Mari kita ingat-ingat pengalaman masa kecil kita. Kita dipaksa untuk terbiasa bangun pagi atau subuh. Orang tua kita menerapkan aturan bangun pagi agar bisa melaksanakan shalat subuh tepat waktu. Mungkin dengan diawali paksaan, kita bangun kemudian dituntun masuk ke kamar mandi untuk berwudu dan kemudian shalat subuh. Ketika itu berlangsung sebelum usia sekolah dan kemudian menjadi kebiasaan, maka alangkah beruntungnya kita. Sebab ketika di usia sekolah kita telah dituntut untuk bangun pagi, maka tidak akan terasa berat lagi.

 

Begitupun dengan perilaku baik lainnya. Bersedekah, merupakan perilaku baik dengan pahala yang sangat besar. Sifat dasar manusia yang sering berkeluh kesah saat tidak punya dan kikir saat berkecukupan, mendorong manusia untuk membiasakan bersedekah walaupun awalnya (mungkin) harus dipaksa. Pemaksaan itu bisa dilakukan orang lain, misalnya orang tua atau guru bisa juga oleh diri sendiri. Membaca, mendengar atau mempelajari ayat-ayat atau hadits tentang keutamaan bersedekah (infaq fi sabilillah) akan “memaksa” kita untuk bersedekah. Ke”terpaksa”an ini tidak akan lama, sebab akan bergatnti menjadi kebiasaan dan kemudian berubah menjadi kebutuhan. Butuh pahala yang banyak sebagai tabungan untuk kehidupan abadi di akhirat kelak.

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung," (QS. At-Tagabun [64]: 16).

 

Memilih untuk memberi daripada menerima, baik dalam keadaan lapang maupun sempit adalah sebuah pilihan terbaik. Menunggu lapang atau berkecukupan untuk bersedekah adalah bisikan setan dengan hawa nafsunya yang menginginkan manusia mendapatkan keuntungan berlimpah. Padahal bersedekah Allah Subhanahu wata'ala ibaratkan memberikan pinjaman kepada-Nya. DIA berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pahala) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak. (QS. Al-Hadid: 18).

 

Memaksa diri sendiri dalam perbuatan baik merupakan langkah yang lebih tidak berisiko daripada dipaksa oleh orang lain. Menumbuhkan keingintahuan akan manfaat dari kebaikan itu akan menguatkan paksaan kepada diri sendiri untuk melakukannya. Jika kebaikan itu telah dipaksakan secara berkala, maka akan tumbuh habitual action, kebiasaan baik dan lama-kelamaan akan tumbuh rasa kehilangan dan butuh saat tidak melaksaksanakannya.

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS Al-Baqarah: 271).

 

Memaksakan diri bukan hanya dalam hal sedekah, perbuatan baik lainnya pun harus dilakukan. Memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, merupakan langkah yang harus dilakukan. Puasa senin-kamis, puasa tengah bulan, puasa arafah dan lain-lain. Shalat sunnah yang dicontohkan Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam  dengan pahala pasti berlimpah, merupakan aktifitas yang harus mulai dipaksakan kepada diri sendiri. Keterpaksaan itu bukan berarti tidak ikhlas, sebab masalah ikhlas adalah masalah hati yang mengaitkan ibadahnya hanya untuk meraih rida Allah Subhanahu wata'ala. Memaksa diri untuk melakukan kebaikan merupan ikhtiar agar kita terbiasa dengan kebaikan itu dan pada akhirnya akan merasa butuh dengan kebaikan itu.

 

Tidak cukup hanya tahu ilmunya tentang kebaikan, tentang ibadah kepada Allah Subhanahu wata'ala. Perlu usaha yang sungguh-sungguh dalam memulai melakukannya. Memaksakan diri, membiasakan sehingga tumbuh kebutuhan adalah implementasi dari ilmu tentang ibadah dan amal saleh yang kita tahu. Lihatlah bagaimana Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam  mengajarkan orang tua untuk mengajari anak-anaknya shalat, ada punishment (pukullah) ketika usia 10 tahun tidak melaksanakan shalat:

Diriwayatkan oleh Muammal ibn Hisyam yaitu al-Yaskuri, diriwayatkan oleh Ismail dari Sawwar Abi Hamzah, bahwa Abu Dawud yaitu Sawwar ibn Dawud Abu Hamzah al-Muzanni al-Shairafi, dari Amru ibn Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya telah berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda: Suruhlah anak-anakmu (mendirikan) shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak shalat) ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur. (HR. Abu Daud).

 

“Memaksa” anak untuk melaksanakan shalat adalah jalan dalam mendidik anak. Seperti fitrah pendidikan yang memiliki dua sisi berbeda yakni reward and punishment, hadiah dan hukuman/sanksi. Keduanya berjalan beriringan dan saling melengkapi. Pe”maksa”an dalam arti mendidik dengan sungguh-sungguh agar anak mendirikan shalat adalah kewajiban orang tua. Karen setiap Musilm tahu tentang pentingnya shalat dalam Islam.

 

Shalat adalah tiang agama, shalat adalah pokok segala amalan dan shalat adalah pembeda seorang Muslim dengan kekafiran.

"Inti segala perkara adalah Islam dan tiangnya yang merupakan sholat." (HR. Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3973.)

 

Ada juga hadits yang menegaskan bahwa sholat menjadi pembeda antara seorang muslim dengan orang kafir. "Perjanjian antara kami dengan orang kafir adalah sholat. Barangsiapa yang meninggalkan sholat maka ia telah kafir." (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah).

 

Selain hadits, perintah sholat fardhu juga dituangkan dalam Surat Hud ayat 114:

"Dan dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (QS Hud: 114).

 

Sholat juga memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Berdasarkan ayat tentang sholat dalam Quran Surat Al-Ankabuut ayat 45, Allah SWT berfirman:

Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan

 

Wallahu a’lam

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...