Penulis Taopik ipebe
Taopik ipebe
(Kepala SMAN 1 Leuwiliang)
Tidak ada perilaku baik yang mudah untuk dibiasakan apalagi menjadi
kebutuhan. Apalagi perilaku baik itu bersifat
aturan yang oleh manusia dirasa membatasi atau mengurangu kebebasan hidupnya.
Begitupun jika perilaku baik itu dianggap sebagai beban hidupnya, sudah pasti
akan semakin sulit untuk menjadi pembiasaan.
Manusia secara umum memang memiliki sifat ingin bebas, walaupun pada
kenyataannya mereka sering terjebak di kebebasannya sendiri. Terlalu umum jika
manusia berkeinginan tidak diikat oleh aturan-aturan yang mengurangi kebebasan
hidupnya. Namun, karena manusia adalah makhluk sosial, dimana perilaku setiap
individunya saling mempengaruhi, maka aturan atau norma merupakan kebutuhan
hakiki yang harus ada.
Mari kita ingat-ingat pengalaman masa kecil kita. Kita dipaksa untuk
terbiasa bangun pagi atau subuh. Orang tua kita menerapkan aturan bangun pagi
agar bisa melaksanakan shalat subuh tepat waktu. Mungkin dengan diawali
paksaan, kita bangun kemudian dituntun masuk ke kamar mandi untuk berwudu dan
kemudian shalat subuh. Ketika itu berlangsung sebelum usia sekolah dan kemudian
menjadi kebiasaan, maka alangkah beruntungnya kita. Sebab ketika di usia sekolah
kita telah dituntut untuk bangun pagi, maka tidak akan terasa berat lagi.
Begitupun dengan perilaku baik lainnya. Bersedekah, merupakan perilaku
baik dengan pahala yang sangat besar. Sifat dasar manusia yang sering berkeluh
kesah saat tidak punya dan kikir saat berkecukupan, mendorong manusia untuk
membiasakan bersedekah walaupun awalnya (mungkin) harus dipaksa. Pemaksaan itu
bisa dilakukan orang lain, misalnya orang tua atau guru bisa juga oleh diri
sendiri. Membaca, mendengar atau mempelajari ayat-ayat atau hadits tentang
keutamaan bersedekah (infaq fi sabilillah) akan “memaksa” kita untuk
bersedekah. Ke”terpaksa”an ini tidak akan lama, sebab akan bergatnti menjadi
kebiasaan dan kemudian berubah menjadi kebutuhan. Butuh pahala yang banyak
sebagai tabungan untuk kehidupan abadi di akhirat kelak.
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan
barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung," (QS. At-Tagabun [64]: 16).
Memilih untuk
memberi daripada menerima, baik dalam keadaan lapang maupun sempit adalah
sebuah pilihan terbaik. Menunggu lapang atau berkecukupan untuk bersedekah
adalah bisikan setan dengan hawa nafsunya yang menginginkan manusia mendapatkan
keuntungan berlimpah. Padahal bersedekah Allah Subhanahu wata'ala ibaratkan
memberikan pinjaman kepada-Nya. DIA berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik
laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang
baik, niscaya akan dilipatgandakan (pahala) kepada mereka dan bagi mereka
pahala yang banyak.”
(QS. Al-Hadid: 18).
Memaksa diri
sendiri dalam perbuatan baik merupakan langkah yang lebih tidak berisiko
daripada dipaksa oleh orang lain. Menumbuhkan keingintahuan akan manfaat dari
kebaikan itu akan menguatkan paksaan kepada diri sendiri untuk melakukannya.
Jika kebaikan itu telah dipaksakan secara berkala, maka akan tumbuh habitual
action, kebiasaan baik dan lama-kelamaan akan tumbuh rasa kehilangan dan
butuh saat tidak melaksaksanakannya.
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah
baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah:
271).
Memaksakan diri bukan hanya dalam hal sedekah, perbuatan baik lainnya pun
harus dilakukan. Memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah,
merupakan langkah yang harus dilakukan. Puasa senin-kamis, puasa tengah bulan,
puasa arafah dan lain-lain. Shalat sunnah yang dicontohkan Rosulullah
shalallaahu ‘alaihi wasalam dengan
pahala pasti berlimpah, merupakan aktifitas yang harus mulai dipaksakan kepada diri
sendiri. Keterpaksaan itu bukan berarti tidak ikhlas, sebab masalah ikhlas adalah
masalah hati yang mengaitkan ibadahnya hanya untuk meraih rida Allah Subhanahu
wata'ala. Memaksa diri untuk melakukan kebaikan merupan ikhtiar agar kita
terbiasa dengan kebaikan itu dan pada akhirnya akan merasa butuh dengan
kebaikan itu.
Tidak cukup hanya tahu ilmunya tentang kebaikan, tentang ibadah kepada Allah
Subhanahu wata'ala. Perlu usaha yang sungguh-sungguh dalam memulai
melakukannya. Memaksakan diri, membiasakan sehingga tumbuh kebutuhan adalah implementasi
dari ilmu tentang ibadah dan amal saleh yang kita tahu. Lihatlah bagaimana Rosulullah
shalallaahu ‘alaihi wasalam mengajarkan orang
tua untuk mengajari anak-anaknya shalat, ada punishment (pukullah) ketika usia
10 tahun tidak melaksanakan shalat:
“Diriwayatkan oleh
Muammal ibn Hisyam yaitu al-Yaskuri, diriwayatkan oleh Isma’il
dari Sawwar Abi Hamzah, bahwa Abu Dawud yaitu Sawwar ibn Dawud Abu Hamzah
al-Muzanni al-Shairafi, dari Amru ibn Syu’aib, dari
bapaknya, dari kakeknya telah berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda: “Suruhlah anak-anakmu (mendirikan) shalat ketika mereka
berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak shalat) ketika berumur
sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur.” (HR. Abu Daud).
“Memaksa” anak untuk melaksanakan shalat adalah jalan dalam mendidik anak.
Seperti fitrah pendidikan yang memiliki dua sisi berbeda yakni reward and
punishment, hadiah dan hukuman/sanksi. Keduanya berjalan beriringan dan saling
melengkapi. Pe”maksa”an dalam arti mendidik dengan sungguh-sungguh agar anak
mendirikan shalat adalah kewajiban orang tua. Karen setiap Musilm tahu tentang
pentingnya shalat dalam Islam.
Shalat adalah tiang agama, shalat adalah pokok segala amalan dan shalat adalah
pembeda seorang Muslim dengan kekafiran.
"Inti segala
perkara adalah Islam dan tiangnya yang merupakan sholat." (HR. Tirmidzi no.
2616 dan Ibnu Majah no. 3973.)
Ada juga hadits
yang menegaskan bahwa sholat menjadi pembeda antara seorang muslim dengan orang
kafir. "Perjanjian antara kami dengan orang kafir adalah sholat.
Barangsiapa yang meninggalkan sholat maka ia telah kafir." (HR. Ahmad, Abu
Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah).
Selain hadits,
perintah sholat fardhu juga dituangkan dalam Surat Hud ayat 114:
"Dan
dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian
permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat." (QS Hud: 114).
Sholat juga
memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah mencegah perbuatan keji dan
mungkar. Berdasarkan ayat tentang sholat dalam Quran Surat Al-Ankabuut ayat 45, Allah SWT berfirman:
Bacalah Kitab
(Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat.
Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan
(ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah
yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan
Wallahu a’lam