Penulis: Katman, M.A.
Katman, M.A.
(Satgas Gerakan Literasi Sekolah/Komunitas Cinta Indonesia/KACI#PASTIBISA#)
Masyarakat Madani adalah sekumpulan
manusia yang berada dalam suatu wilayah atau daerah yang hidup dengan aman
serta patuh pada aturan atau ketentuan hukum tertentu dan segala bentuk tatanan
kemasyarakatan yang telah disepakati oleh suatu masyarakat di daerah tersebut.
Konsep umum
menjelaskan bahwa masyarakat madani atau civil
society atau al-mujtama’ al- madani berpedoman pada pola hidup masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban. Di dalam
Al-Quran kehidupan masyarakat Madani adalah baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur yang
diartikan sebagai negeri yang baik di atas keridhaan Allah. (Sumber: Redaksi Dalamislam;
dalamislam.com).
Rasanya
agak rumit mengaitkan pandemi yang saat ini sedang melanda seluruh dunia dengan
pencapaian pranata sosial masyarakat khususnya Indonesia. Oleh karena itu perlu
mencoba secara kritis mengamati transformasi bangsa Indonesia menuju masyarakat
madani, dan ketangguhannya dalam menghadapi pandemi covid-19 saat ini. Sebuah
konsep dan cita-cita kondisi ideal masyarakat madani Indonesia telah dicanangkan 22 tahun yang lalu. Selama lebih
dari dua kali dasawarsa kehidupan berbangsa boleh kita bersama-sama
mengevaluasinya dengan methode observasi masing-masing. Mengevaluasi terhadap
apa yang terjadi, apa yang beredar, apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan,
apa yang kita dengar, apa yang kita baca, bahkan apa yang kita persepsipkan.
Mengevaluasi dengan metode subyektif.
Negeri tercinta
Indonesia yang mengalami puncak pergolakan reformasi pada tahun 1998,
telah membangun komitmen untuk membentuk suatu masyarakat madani. Pak
Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia pada saat itu telah mengangkat Tim
Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani (Keppres 198 Tahun 1998). Pada
perubahan terakhir susunan Tim Nasional tersebut terdapat tujuh kelompok kerja;
1. Kelompok Reformasi ekonomi; 2. Kelompok Reformasi Tehno Industri; 3. Kelompok Reformasi
Politik; 4. Kelompok
Reformasi Kelembagaan; 5. Kelompok Reformasi Sosial Budaya; 6. Kelompok
Reformasi Hukum dan Perundang Undangan; 7. Kelompok Reformasi Pendidikan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Evaluasi
ini tentunya tidak dilakukan terhadap hasil kinerja dari ke tujuh kelompok
tersebut. Namun lebih kepada kondisi ideal yang diharapkan terhadap kondisi
yang terjadi saat ini. Itu pun tidak pada ketujuh-tujuhnya, hanya satu tolok ukur saja yang akan
menjadi fokus observasi, yaitu tentang Reformasi Pendidikan dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia. Masyarakat madani yang ingin diwujudkan ketika itu memiliki
karakteristik, kompetensi dan perilaku positif yang membawa suasana hidup
masyarakat damai dan menyenangkan.
Pertama,
adalah masyarakat agamis yang memahami dan memaknai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menghargai pluralisme dan kebhinekaan. Sehingga
yang tampak adalah kesetiakawanan, kebersamaan dan
persaudaraan. Suasana agamis yang penuh tolernsi, kehidupan masyarakat yang
tenteram, damai dan harmonis dapat terwujud.
Kedua,
kehidupan demokrasi semakin mantap. Banyaknya perbedaan pendapat tidak
meruncing menjadi suatu perselisihan dan dendam, dan bukan sebagai bibit
kecurigaan yang dapat berujung pada pertikaian antar individu maupun antar
kelompok. Munculnya perbedaan pendapat sebagai pencerminan meningkatnya tingkat berpikir
kritis masyarakat yang membuat
kedewasaan hidup berdemokrasi.
Ketiga,
pengakuan akan hak-hak asasi manusia semakin nyata. Masyarakat memiliki
pilihan- pilihan yang terkait dengan nilai-nilai universal, seperti hak atas
pekerjaan, hak untuk membentuk perserikatan, jaminan sosial, dan hak atas
pendidikan.
Keempat,
masyarakat yang tertib dan sadar hukum. Proses pendidikan diharapkan dapat membentuk
masyarakat yang tertib dan sadar hukum. Perlanggaran terhadap tata tertib dan
berbagai aturan dirasakan oleh masyarakat sebagai aib diri sendiri, keluarga
dan masyarakat. Sehingga tidak ada lagi kata-kata “si A-putus urat malunya”.
Budaya keteladanan menjadi perilaku hidup sehari hari.
Kelima,
masyarakat mandiri, kreatif dan memiliki daya nalar yang baik. Kurang lebihnya
sebagai masyarakat yang literat. Berkembang wawasannya terhadap ilmu
pengetahuan dan tehnologi, dinamis, kompetitif dan inovatif. Bukan hanya
sebagai pengguna tehnologi, tetapi menjadi bagian dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan tehnologi dunia.
Keenam,
masyarakat yang kompetetif dan kooperatif pada dunia global. Distribusi
kesejahteraan masyarakat yang merata sebagai
hasil dari pembangunan nasional. Kesejahteraan tidak lagi dinikmati hanya
oleh kelompok ras, suku dan golongan tertentu. Terbangun kompitisi
yang sehat tanpa ada lagi monopoli dalam sekala nasional maupun internasional.
Ketujuh,
masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai luhur dan jati diri bangsa. Yaitu
berkembangnya silahturrahmi, cinta kasih sesama manusia, sesama anggota bangsa Indonesia, dalam hidup bertetangga,
berkerbat dan bersaudara. Tidak ada lagi satu kelompok yang merendahkan
kelompok lainnya, tidak ada lagi satu kelompok yang menghina, mengejek,
merendahkan, berprasangka, menyalahkan dan mengumpat kelompok lainnya. Tidak
ada lagi bias gender dan bias kesukuan dan antar kelompok. Mengedepankan
intergritas dalam penyelesaian suatu masalah secara adil. Berkembangnya sikap
berpikir positif dalam setiap persoalan. Rendah hati merupakan sikap yang
dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Komitmen terhadap janji baik anaatar
individu maupun perjanjian atau kesepakatan antar kelompok. Mengedepankan
musyawarah terhadap perbedaan yang muncul. Mengemban amanah dengan penuh
tanggungjawab. Belas kasih terhadap orang lain, namun tidak mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Bersikap hemat dalam
pemanfaatan sumber daya. Tumbuh suburnya sikap saling
menolong dan kedermawanan kepada orang miskin dan yang sedang membutuhkan.
Kedelapan, masyarakat pembelajar. Belajar tidak lagi dibatasi
oleh dimensi ruang dan lembaga. Pendidikan dapat berlangsung di
mana saja dan kapan saja. Kehidupan alam sekitar daan masyarakat merupakan
salah satu sumber belajar.
Masyarakat
madani Indoensia akan terwujud jika ke delapan kondisi tersebut tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Beberapa jawabannya dapat diperoleh dengan mecoba
memperhatikan hikmah dari pandemi Covid – 19 saat ini.
Pada masa pandemi Covid
19, pembatasan kegiatan
keagamaan merupakan salah satu protokol yang harus dipatuhi oleh
masyarakat. Beberapa kegiatan ibadah yang mengumpulkan jamaah dalam jumlah
banyak harus dihentikan untuk sementara sampai kondisi dinyatakan kondusif.
Kondisi ini menyebabkan umat muslim tidak bisa melaksanakan ibadah jumat,
ibadah lima waktu berjamaah di masjid, bahkan mungkin Idul Fitri. Demikian pula
dengan umat kristiani tidak pula melaksanakan kegiatan mingguan di gereja. Sama halnya dengan
umat Hindu di Bali
yang melaksanakan upacara pecaruan secara terbatas menjelang nyepi tahun ini.
Pembatasan
sosial berskala besar (PSBB) ini menimbulkan pro dan kontra di tengah
masyarakat. Larangan beribadah berjamaah dan beribadah Jumat di Masjid banyak disoroti
oleh media sosial dan media elektronik karena timbulnya reaksi yang menentang
pada beberapa lapisan
masyarakat di beberapa tempat. Pemahaman masyarakat terhadap protokol kesehatan
yang harus ditaati oleh seluruh
masyarakat masih memunculkan persepsi yang berbeda.
Namun demikian tidak sedikit lembaga kemasjidan yang menyelesaikan
permasalahan melalui musyawarah antara dewan pengurus masjid,
tokoh agama, tokoh masyarakat, pengurus
RT dan RW serta perwakilan
jamaah untuk melakukan kesepakatan dalam menerapkan kebijakan PSBB tersebut.
Perdebatan seru antara kelompok pro dan kontra terjadi pada musyawarah
tersebut. Berbagai argumentasi dan pertimbangan saling
adu. Tidak ada yang merasa
kalah dan tidak ada yang
merasa menang. Pendapat para ustads ternama dijadikannya sebagai referensi
untuk mengambil keputusan. Fatwa majelis Ulama Indonesia pun masih
diperdebatkan. Walaupun pada akhirnya
kesepatan yang diambil
tetap merupakan jalan tengah yang disepakati
oleh semua pihak. Sekalipun kesepakatan tidak 100% mematuhi fatwa MUI tetapi
setidaknya protokol kesehatan dalam upaya mencegah
penyebaran pandemi dapat
dilakukan. Mereka yang tetap beribadah di masjid menjalankan
sesuai dengan keputusan dan keyakinaannya dan mereka yang memilih menjalankan
ibadah di rumah merupakan ketetapan hati dan kepatuhannya terhadap
peraturan yang ada. Namun yang perlu mendapat
perhatian adalah yang menentang baik ketetapan pemerintah
tentang PSBB dan Fatwa MUI dan menyebarkannya dengan penuh rasa kebencian. Munculnya bentuk perbedaan
pendapat semacam itu hendaknya
dihindari karena dapat mengusik ketentraman kehidupan masyarakat yang
dicita-citakan oleh tatantan masyarakat madani.
Peningkatan
kasus pasien positif dari hari ke hari terus meningkat dan sampai saat ini
belum menunjukkan penurunan, bahkan stabilitas kondisi juga belum tampak. Pada
masa sulit yang sangat rentan menyulut emosi masyarakat, kematangan demokrasi
dan tingkat berpikir masyarakat diuji. Perdebatan terkait mudik dan pulang
kampung sempat viral dari istana negara. Namun pada akhirnya kebijakan yang
diterbitkan beberapa kepala daerah terkait penganggulangan pandemi yang
kemudian mendapat dukungan secara luas dari masyarakat menunjukkan adanya
kedewasaan berpikir masyarakat. Mereka menyediakan dan menerapakan protokal
kesehatan bagi warganya yang berasal dari kota lain dan bermaksud kembali ke
kampung. Mengkarantina pemudik sebelum berbaur dengan masyarakat kampungnya.
Pandemik
tahun 2020 ini benar-benar menjadi ujian bagi bangsa Indonesia untuk mengetahui
seberapa tangguh memenuhi hak asasi warganya. Ada dua hak asasi yang sangat
menjadi isu strategis pada masa pandemi saat ini, yaitu hak atas pekerjaan dan
hak untuk memperoleh jaminan sosial. Pandemi
telah meningkatkan jumlah
pemutusan hubungan kerja pada beberapa sektor industri dan usaha
lainnya. Beberapa segmen masyarakat yang rentan kehilangan pekerjaan adalah
pegawai pada industri penjualan mobil, pekerja bangunan, pekerja sektor
priwisata dan perhotelan, operator angkutan umum, dan sektor terdampak lainnya.
Belum ada jaminan bahwa pekerjaan mereka akan kembali. Yang lebih sulit lagi
belum adanya jaminan bahwa mereka mendapatkan kompensasi penghasilan bulanan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara itu bantuan dari pemerintah dan
donatur lainnya hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan pada saat bantuan itu diterima.
Baik buruk
kondisi masyarakat adalah hasil pendidikan dan yang bisa mengkondisikan baik
buruknya masyarakat juga pendidikan. Namun pendidikan bukan hanya di sekolah. Pendidikan termasuk di masyarakat dan di
dalam keluarga. Kalau kita selalu tertib dan patuh terhadap nurma yang berlaku di masyarakat itu artinya diri kita telah memenuhi kriteria
sebagai anggota masyarakat
madani Indonesia dan dunia. Sebaliknya jika kita masih suka membuang sampah
sembarangan, melanggar tata tertib, melanggar protokol kesehatan di masa
pandemi. Nah artinya kita belum pantas sebagai
bagian dari masyarakat madani Indonesia apalagi
masyarakat dunia.
Bekerja
dari rumah dan belajar di rumah menjadi sangat populer pada saat pandemik
Covid-19. Pada minggu-minggu awal diberlakukannya BDR yang paling banyak
ditemui adalah keluhan masyarakat karena mengalami kesulitan bagaimana
melakukan BDR. Bagaimana mendampingi putra putrinya
belajar di rumah.
Media sosial sarat
dengan komplain kepada
guru dan pemerintah. Caci maki dan hujatan terhadap kondisi yang sedang
terjadi memenuhi candaan di grup grup whatsaap. Kondisi tersebut rupanya sebuah
pertanyaan ujian masyarakat madani.
Mampukah kita mandiri kemudian berkreasi dan keluar dari persoalan tersebut
sembari berhenti mengeluh, mengumpat dan mencaci. Akhirnya harus keluar dari
permasalahan dengan mengenal dan menggunakan berbagai fasilitas tehnologi
digital. Namun demikian kita masih
sebatas pengguna produk tehnologi negara lain. Harapannya kita sebagai kreator fasilitas digital tersebut. Pada kenyataannya kita belum memiliki
produk tehnologi yang memadai untuk rapat virtual dan
pembelajaran virtual. Masih ketinggalan dalam hal inovasi tersebut.
Sebuah
pemetaan kesejahteraan secara alami telah diperoleh dari pandemi Cocid 19.
Bagaimanapun tingkat pendapatan masih menunjukkan ketimpangan. Mengemukannya
pertentangan pendapat antara perlunya lockdown atau tidak lockdown, salah
satunya karena urusan kesjahteraan belum merata. Pertanyaan yang muncul adalah
“saya makan apa kalau lockdown”. Karena sebagian
masyarakat makan dari apa yang dihasilkan setiap
hari dan cukup untuk sehari saja. Sebagian
masyarakat dapat makan dari apa yang mereka hasilkan secara mingguan dan ada
pula yang secara bulanan yang bisa jadi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
seminggu atau sebulan. Ada pula yang peroleh penghasilan tidak menentu.
Pandemi telah memutus cara silahturahmi yang selama ini kita lakukan.
Covid 19 menguji
kita untuk tetap bersilahturahmi kendati tanpa perjumpaan. Berapa banyak
konser amal yang dilakukan untuk membantu
saudara saudara yang terdampat pandemik
Covid 19. Mereka
yang meningkatkan rasa sosial dan saling membantu kepada tetangga,
saudara dan handai tolan itulah sesungguhnya bagian dari masyarakat madani.
Sementara mereka yang mengumpat dan
mencela setiap keadaan
tanpa upaya turut
mencari solusi itu bagian dari kegagalan masyarakat madani yang masih tersisa.
Nyata
sekali bahwa Covid 19 secara fisik telah menjauhkan murid dari gurunya dan
menjauhkan murid dari meja belajar di kelas. Namun murid, guru dan orang tua
dituntut berkolaborasi untuk mewujudkan dan membuktikan bahwa belajar tidak harus di sekolah, tidak harus di dalam kelas dan tidak harus berhadapan secara fisik dengan guru. Pembelajaran secara virtual bisa dilakukan dari rumah masing-masing dengan
materi pembelajaran yang sangat fleksibel. Sayangnya tidak semua murid dapat
menikamti cara belajar yang sama. Akses internet belum merata. Sebagian
masyarakat belum memiliki alat canggih untuk belajar secara virtual. Sekali lagi pandemi covid telah menguji
ketangguhan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat madani. ***
Daftar
Bacaan:
-
Transformasi
Bangsa Menuju Masyarakat Madani
-
dalamislam.com