PENDIDIKAN BERBUDAYA MANUSIA Bagian 3

Penulis: Dr Uhar Saputra

Dibaca: 461 kali

Dr Uhar Saputra

Oleh Dr Uhar Saputra

(Komunitas Aksi Cinta Indonesia/KACI Kab Kuningan)

 

Budaya, kebudayaan suatu masyarakat, bangsa menjadi timbangan utama dalam melihat pendidikan baik dalm tujuan, proses maupun hasilnya. Ketika kecenderungan pendidikan makin mekanistik, pragmatis, maka refleksi akan makna serta alasan pendidikan dilakukan menjadi relevan, untuk terus memasukkan spirit dalam proses pendidikan yang makin kehilangan ruh dan nilai makna budaya di dalamnya.

Guru lebih sibuk pada apa yang diajarkan dan bagaimana menyelesaikan materi yang diajarkan tersebut, namun jarang atau sudah terlupakan untuk bertanya mengapa saya mengajar ini, untuk apa mengajar ini, apa relevansinya dengan budaya bangsa, inilah poin penting untuk merevitalisasi budaya dalam pendidikan agar jalan yang ditempuh dari mengajar ke mendidik terus berkembang dinamis, dan bermuatan penguatan budaya manusia, sehingga pendidikan akan membantu menyegarkan pandangan dan pelaksanaan pendidikan kita, sehingga tak perlu lagi jalan lain yang asing, karena budaya dalam mendidik telah terintegrasi dengan mengajar, mengajar ya mendidik, dan mendidik ya mengajar, mengajar manusia berbudaya dan membudayakan manusia.

1. Makna Budaya

Nah... sekarang apa itu BUDAYA? Secara umum budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu "buddhayah", yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang bermakna sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan, dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Sementara itu Geertz dalam bukunya “Mojokuto; Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa”, mengatakan bahwa budaya adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana setiap orang mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya, suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan, karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah dibaca, diterjemahkan dan diinterpretasikan.

Menurut Koentjaraningrat kebudayaan merupakan keseluruhan suatu sistem gagasan, tindakan, serta hasil karya manusia dalam kehidupan. Kebudayan juga dijadikan milik diri tiap manusia dengan belajar. Sementara itu menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan merupakan hasil perjuangan manusia oleh dua pengaruh yaitu keadaan zaman dan alam. Kebudyaan juga menjadi bukti kejayaan manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang lahirnya bersifat tertib dan damai. Menurut E.B Taylor, kebudayaan sebagai komples yang berisi pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat. Serta kemampuan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, budaya merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari suatu masyarakat. Menurut Linton budaya adalah keseluruhan sikap dan pola perilaku serta pengetahuan. Hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan yang diwariskan dan dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.

2. Unsur-unsur Kebudayaan

Lalu  apa saja unsur unsur budaya itu? Koentjaraningrat berpendapat bahwa unsur kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu pertama sebagai suatu IDE/GAGASAN, NILAI NILAI/NORMA, PERATURAN. Kedua sebagai suatu AKTIVITAS KELAKUAN berpola dari manusia dalam sebuah komunitas masyarakat, dan ketiga BENDA BENDA HASIL KARYA. Sementara Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil KARYA, RASA dan CIPTA masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. Memahami unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan penting untuk memahami kebudayaan manusia.

Kluckhon mendasarkan pada temuan pada semua bangsa di dunia dari kebudayaan yang sederhana hingga sistem kebudayaan yang kompleks berpandangan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan universal (cultural universal, Menurut Koentjaraningrat), di mana ketujuh unsur tersebut ada ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa yaitu: 1) Sistem bahasa, 2) Sistem pengetahuan, 3) sistwm sosial, 4) sitem peralatan hidup/teknologi, 5) sistem mata pencaharian hidup/ekonomi, 6) sistem religi/keyakinan agama, dan 7) kesenian.

Beberapa pemikir lain juga megutarakan pendapatnya tentang unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan, Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok dalam kebudayaan yang meliputi: 1. Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya. 2. Organisasi ekonomi. 3. Alat- alat dan lembaga atau petugas- petugas untuk pendidikan. 4. Organisasi kekuatan politik. Sementara itu Melville J. Herkovits mengajukan unsur-unsur kebudayaan yang terangkum dalam empat unsur: 1. Alat alat teknologi. 2. Sistem Ekonomi. 3. Keluarga. 4. Kekuasaan politik.

3. Esensi Kebudayaan

Berbagai pendapat tentang kebudayaan sebagaimana dikemukakan terdahulu menunjukan perluasan makna ketimbang perbedaan, karena esensinya selalu mendasarkan pada tabiat manusia yang memiliki berbagai kompetensi natural dan menjadi instrumen bagi hidup, kehidupan dan kelangsungan kehidupannya. Perubahan tentu terjadi dalam aspek materi, dan ini sangat cepat dewasa ini, namun kekuatan itu bisa membuat esensi hakekat manusia yang spesifik akan terjun menjadi hanya sebagai satu jenis materi yang hidup, sehingga kemanusian manusia berubah secara sosial menjadi kealaman yang bergerak tanpa arah, makna dan nilai yang jelas tergerus oleh akselerasi perkembangan budaya materi. Bila mencermati makna dan unsur unsur kebudayaan, dapat dikelompokkan pada tiga aspek kebudayaan utama yaitu sistem material, sistem moral, dan sistem spiritual.

Sistem material menunjukkan pada bagaimana makhluk hidup berinteraksi dengan alam dalam bertahan dan melanjutkan hidup dan kehidupannya, ini lebih pada pola jiwa nabati dan jiwa hewani yang semua makhluk hidup memilikinya. Sementara sistem moral dan sistem spiritual merupakan unsur yang khas manusia yang memiliki jiwa insani, sistem moral mengatur pola interaksi manusia dengan manusia lain, pun dengan alam makhluk lain, sedang sistem spiritual mengatur pola hubungan manusia dengan kekuatan lain, supranatural, baik berdasarkan adat maupun pewahyuan yang masuk dalam dunia manusia. Secara lebih sederhana tiga unsur utama tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua saja yaitu sistem material (budaya materil), dan sistem non materil (budaya non materil).

4. Dinamika Budaya

Perjalanan sejarah kehidupan manusia menunjukkan suatu dialektika tak henti antara ke dua unsur tersebut, adakalanya budaya non materil yang dominan, dan adakalanya budaya materil yang dominan membaurkan manusia dalam masyarakat. Perjalanan, dinamika tersebut sering menjadikan budaya dekat dan mendekat pada yang non materil dan kadang sebaliknya, di sinilah esensi manusia dipergulirkan sejarah yang secara esensial perbedaan utama dengan makhluk lain adalah kapasitas natural manusia yang bisa bermoral dan berkeyakinan.

Sejarah hidup dan kehidupan manusia menunjukkan dialektika yang kadang terlihat dalam pemikiran juga sering dalam bentuk konflik peperangan yang pada intinya memperebutkan dominasi budaya masing-masing, tentu dengan bumbu keserakahan dan the will to power yang kelewatan dari para penguasanya, dan itu terus terjadi sampai sekarang ini tanpa perlu menyatakan bahwa suatu bangsa punya masa lalu, tapi semua bangsa adalah masa lalunya dalam akumulasi sosial budaya yang dipikirkan diyakini dan dijalaninya, meski bukan hanya itu pembentuk bangsa dan tentu saja juga  pembentuk manusia.

Jadi budaya itu berdimensi ganda yaitu material dan mental, moral spiritual, dan dari makhluk hidup di dunia hanya manusia yang mengembangkan, menerima dan mewariskan budaya mental, moral spiritual. Ini bermakna bahwa apabila hidup dan kehidupan manusia yang berbudaya manusia menunjukkan spesifikasi khas dari esensi dan hakikat manusia sebagai pembeda dengan makhluk lainnya.

Budaya materil juga terus berkembang dikelola dan dihasilkan oleh manusia namun itu bukan yang esensial karena lebih pada alat mempermudah hidup fisikal material ketimbang yang spiritual, meskipun terdapat budaya material yang diinspirasi perwujudannya oleh nilai, moral, dan spiritual manusia. Dalam konteks pemahaman dan perspektif itulah PENDIDIKAN BERBUDAYA MANUSIA diposisikan sebagai hal utama dan terutama bagi perkembangan dan kelangsungan kehidupan masyarakat manusia, dan ini jugalah yang belakangan makin mendapat himpitan untuk berkembang dan tertanam dalam kehidupan masyarakat termasuk output dan proses pendidikan yg terus menggelinding tanpa bingkai dan fondasi kuat nilai, norma spiritual.

5. Gerak Budaya dan Manusia

Masyarakat dibentuk oleh manusia-manusia yang homogen dan heterogen sekaligus dengan esensi kemanusiaan yang sama. Manusia memiliki dua gerak utama yaitu gerak imanen yang berkaitan dengan kediriannya yang merupakan akulumalasi makna-makna nilai-nilai yang ada dari historisitasnya, dia mengembang, berefleksi dan berinteraksi dengan kemampuan gerak ke dua yaitu gerak transenden, gerak yang mampu mengatasi atau keluar dari dirinya, interaksi ini bertemu dalam suatu perwujudan pola-pola interaksi sosial, POLA2 HIDUP DAN KEHIDUPAN, menyadari diri dan kemudian menyadari orang lain dan berinteraksilah dalam suatu dialektika historis yang terus berubah.

Terdapat gerak yang bolak balik dalam melihat budaya masyarakat, dari universal, nasional, global yang diikuti oleh lahirnya negara-negara nasional dengan basis budayanya, namun sekaligus ditarik terus ke arah global lagi melalui instrumen ideologi, kebijakan yang membuat negara nasional secara sukarela terpaksa mengakomodasinya dengan berbagai alasan, yang intinya minder dan gak berani beda meski budaya nasional memberi fondasi yang kuat untuk bangsa dan negara birsikap, berpikir dan bertingkah independen. Ketika budaya materil dengan dorongn iptek terus berkembang, maka bangsa dan negara kemampuan kecil baik SDM, teknologi maupun kapital ikut ikutan berbaris dalam barisan mereka, dan dengan semangat  harus mengejar ketertinggalan, ucapan yang bagus tapi gak akan bisa, sampai kapanpun karena mereka yang sudah maju akan berlari lebih cepat lagi, akhirnya hanya jadi folower yang secara lambat laun dalam segala hal merasuki nilai-nilai budaya bangsa yang paling prinsip, paling utama, sehingga sulitlah jati diri bangsa tampil tegar dan membanggakan, selalin jadi peniru-peniru yang meniru terus karena kebijakan nasional yang tak menguatkan kemandirian bangsa.

Dalam konteks bangsa, jelas perjalanan sejarah dan budayanya sangatlah panjang, berbagai kerajaan dengan budayanya telah mewarnai nilai nilai, pola sosial serta kekuatan kekuatan internal yang menunjukan kemandirian yang cukup kuat, sampai masuknya penjajahan yang mau tak mau memberi efek budaya yang menekan baik melalui interaksi sosial kekuasaan maupun peperangan, yang intinya terdapat keterputusan dari masa lalunya dengan dimulai pada tingkat masyarakat kelas sosial atas. Budaya barat melalui penjajah "creeping" pada budaya bangsa secara evolutif dan sering juga menimbulkan konflik tajam sampai perang yang semua ini menjadi upaya dominasi satu dengan lainnya, dan umumnya bangsa kalah dalam konflik tersebut yang berimplikasi makin kuatnya instrumen budaya, kekuasaan penjajah masuk dalam kehidupan masyarakat.

Kondisi tersebut berefek juga pada cara pikir bangsa yang terlihat dari tarik menarik masalah apa dan budaya apa yang harus mengisi bangsa jika merdeka, ini telah jadi bahan diskusi yang menonjol di lingkungan pemikir-pemikir bangsa. Dalam perjalanannya pemikir-pemikir nasional/bangsa sebelum kemerdekaan telah memperbincangkan (berpolemik, terkenal dengan istilah Polemik Kebudayaan) tentang bagaimana budaya bangsa ke depan. Polemik yang terjadi pada tahun 30-an di kalangan cendekiawan dan kebudayaan/Budayawan Indonesia.

6. Polemik Kebudayaan

Polemik ini bermula dari tulisan Sutan Takdir  Alisyahbana "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia (dalam Pujangga baru, 2 Agustus 1935). Takdir membedakan "Zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan "zaman Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambungan dari generasi sebelumnya, sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda. Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.

Pemikiran Takdir tersebut yang intinya bangsa indonesia perlu ganti haluan membuang masa lalunya menuju budaya barat mendapat tanggapan dari pemikir-pemikir bangsa lainnya seperti Sanusi Pane, yang dalam tulisannya berjudul Persatuan Indonesia (Suara Umum, 4 September 1935), menulis: "Zaman sekarang ialah terusan zaman dahulu....Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individulisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme". Sementara itu  Poerbatjaraka dalam "Sambungan Zaman",  mengatakan, "Pada perasaan saya, yang manfaat buat tanah dan bangsa kita ini, ialah mengetahui jalan sejarah dari dulu-dulu sampai sekarang ini. Dengan pengetahuan ini kita seboleh-bolehnya berusahakan mengatur hari yang akan datang. Dengan pendek kata, janganlah mabuk kebudayaan kuno tetapi jangan mabuk kebaratan juga; ketahuilah dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak".

Diskusi tentang budaya apa yang mesti jadi nilai dasar bangsa indonesia menunjukan dinamika pemikiran yg terjadi setelah masuknya budaya barat yang dibawa penjajah ke dalam kehidupan soaial masyarakat. Mereka yg berdebat umumnya berpendidikan barat tapi pemikirannya jauh berbeda dalam melihat kondisi bangsa. Diskusi tsb terjadi pada tahun2 mendekati kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan cenderung tak lagi jadi perbincangan, ada kelembagaan penjajah yg dilanjutkan ada juga yg mengakomodasi, mengembangkan kelembagaan khas bangsa yg semuanya berjalan beriringan tanpa merasa saling mengalahkan

Namun dalam perkembangannya ternyata budaya barat etika lebih menonjol dalam penyelenggaraan kekuasaan terutama pasca kemerdekaan wabil khusus era etika pembangunan menjadi primadona mengelola negara dan bangsa, hubungan, bantuan dari negara2 maju yg liberal membawa bangsa secara perlahan masuk aliran budaya barat, dan dalam kondisi ini orde baru mencoba menetralisirnya dengan istilah pembangunan yg seimbang antara pembangunan fisik material dengan pembangunan mental spiritual, antara mendidik raga/jasmani dan jiwa/rokhani..

7. Daftar Pustaka

 

Achmad Charris Zubair. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta. LESFI.

Ahmad Fuad Al Ahwani, 1985. Filsafat Islam. Jakarta. Pustaka Firdaus.

Ahmad Syadali & Mudzakir, 1997. Filsafat Umum, Bandung. Pustaka Setia

A. Epping O.F.M. et al. 1983. Filsafat Ensie. Bandung Jemmar.

Ahmad Tafsir.1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Al Ghazali, 1986. Tahafut Al Falasifah, Kerancuan Para Filosuf. Jakarta. Pustaka Panjimas. (terj. Ahmadie Thaha)

-----------, tt. Mi’yarul Ilmi, Beirut. Darul Fikri

-----------,1978. Al Munqidzu Min Addolal, Jakarta. Tintamas. (terj. Abdulah Bin Nuh

Alisjahbana, Sutan Takdir (1988) Kebudayaan sebagai Perjuangan, Jakarta, PT Dian Rakyat

Aman, Sofyan (1980). Perkembangan Organisasi Pengurusan Sekolah Sekolah di Indonesia, Kurnia Esa, Jakarta.

Ayn Rand. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Yogyakarta. Bentang Budaya (terj. Cuk Ananta Wijaya)

Anton Bakker, A.C. Zubair, 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta. Kanisius.

Beerling, et.al. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Tiara Wacana.

Bastian, Aulia Reza. (2002) Reformasi Pendidikan, Lappera Pustaka Utama Yogyakarta

Batten, T.R. (1959) School and Community in the tropics, terj Suryadi, 1976, Alumni, Bandung

 Bertrand Russel. 2002. Persoalan-persoalan seputar Filsafat. Yogyakarta. IKON, (terj. Ahmad Asnawi)

Buchori, Mochtar (1994a) Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogya.

_______ (1994b) Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan, Tiara Wacana, Yogya.

_______ (2001) Transformasi Pendidikan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Capra, Fritjof. (1998), Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Budaya, YBB.

C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Jakarta. Gramedia

Cassirer, Ernst (1990) Manusia dan Kebudayaan, terj. A.A. Nugroho, Gramedia, Jakarta.

Darmaningtyas (2015) Pendidikan yang Memiskinkan, Intrans Publishing, Malang.

-------, et al (2014) Melawan Liberalisme Pendidikan, Medina, Malang.

Dewantara, Ki Hajar. (2009), Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta, Leutika.

-------, (1977). Pendidikan, Yogyakarta, Majlis Luhur Perguruan Taman Siswa

-------, (1967). Kebudayaan, Yogyakarta, Majlis Luhur Perguruan Taman Siswa

Djumhur I.  & Danasaputra, (1976). Sejarah Pendidikan, CV Ilmu, Bandung.

Descartes, 2003. Diskursus Metode, terj. A.F. Ma’ruf, Yogyakarta, IRCiSoD.

Donny Gahral Adian, 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Teraju.

Endang Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu,

Freire, Paulo. (1985) Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim, LP3ES, Jakarta

Freire, Paulo. (2000) Politik Pendidikan, terj. Agung Prihantoto, Read dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Freire, Paulo. Et.al (2000)  Menggugat Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fromm, Erich. The art of Loving..

-------, Revolution of Hope.

-------, The art of Living..

Frithjof Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung. Mizan. (terj. Rahmani Astuti)

Fuad Hasan. 1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta. Pustaka Jaya.

----------,1986. Apologia, Pidato Pembelaan Socrates yang diabadikan Plato (saduran). Jakarta. Bulan Bintang

----------. 1977. Heteronomia. Jakarta. Pustaka Jaya

Gazalba, Sidi (1975). Antropologi Gaya Baru (Jilid 1 dan 2), Jakarta, Bulan Bintang

——-, (1980). Kebudayaan, (Jilid 1 dan Jilid 2), Jakarta, Bulan Bintang

Griffith, Mary. (1998) The Unschooling Handbook, terj. Mutia Dharma, 2006, Nuansa, Bandung.

Gunawan, H. Ary.(2010). Sosiologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.

Hargraeves, Andy. (2003) Teaching in the Knowledge Society, Open University Press, Maidenhead, Philadelphia

Harari, Yuval Noah. (2019). Sapiens, riwayat singkat umat manusia, terj. Damaring Tyaa, cet. 7, KPG, Jakarta.

-------, (2018). Homo Deus, masa depan umat manusia, terj. YANTO mustofa, cet. 1, Alvabet, Tangerang.

-------, (2018) 21 Lessons untuk abad 21, terj. Haz Algebra, Global Indo Kreatif, manado.

Hidayat, Rakhmat. (2011) Pengantar Sosiologi Kurikulum, Rajawali Press, Jkt.

Hoppers, Wim. (2004) Orientasi Pendidikan Dasar, terj. Yusuf, Logos, Ciputat.

Hyman, Irwin A. & Snook (1999) Dangerous School, Jossey Bass, San Fransisco.

Koentjaraningrat, (1990) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta,Rineka Cipta

-------, (1980) Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.

-------, ed. (1975) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan  Jakarta.

Naisbitt, John., Aburdene, (1990). Megatrend 2000, William Marrow & Co

O'neil, William F. (2008). Ideologi Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Palmer, Joy A. ed. (2006). Fifty Modern Thinkers on Education, terj. Farid Assifa, Irciaod, Yogyakarta.

Peursen  C.A. van (1988) Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.

Pubakawatja, Sugarda. (1970). Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Gunung Agung, Jakarta.

Raliby, Osman (1962) Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta Bulan Bintang.

Rifa'i, Muhammad (2011) Sejarah Pendidikan Nasional, Ar Ruzz Media, Yogyakarta.

Saui, Muh. & Junimat Affan (1980). Mendidik dari Zaman ke Zaman, Jemmars, Bandung.

Seeley, Levy (2019) History of Education, terj. Sutrisno, Indoliterasi, Yogyakarta.

Susanto, Astrid, (1984), Komunikasi Masa, Jakarta, Bina Cipta

Toffler, Alvin (1970), The Future Shock, New York, Bantam Books

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...