Penulis: Dr Uhar Saputra
Dr Uhar Saputra
Oleh Dr Uhar Saputra
(Komunitas Aksi Cinta Indonesia/KACI Kab Kuningan)
Budaya,
kebudayaan suatu masyarakat, bangsa menjadi timbangan utama dalam melihat pendidikan
baik dalm tujuan, proses maupun hasilnya. Ketika kecenderungan
pendidikan makin mekanistik, pragmatis, maka refleksi akan makna serta alasan pendidikan
dilakukan menjadi relevan, untuk terus memasukkan spirit
dalam proses
pendidikan yang makin kehilangan ruh dan nilai makna budaya
di dalamnya.
Guru lebih
sibuk pada apa yang diajarkan dan bagaimana menyelesaikan materi
yang diajarkan tersebut, namun jarang atau sudah
terlupakan untuk bertanya mengapa saya mengajar ini, untuk apa mengajar ini, apa
relevansinya dengan budaya
bangsa, inilah poin penting untuk merevitalisasi budaya dalam pendidikan agar jalan
yang ditempuh dari mengajar ke mendidik terus
berkembang dinamis, dan bermuatan penguatan budaya manusia, sehingga pendidikan
akan membantu menyegarkan pandangan dan pelaksanaan pendidikan kita, sehingga tak
perlu lagi jalan lain yang asing, karena budaya dalam mendidik telah
terintegrasi dengan mengajar,
mengajar ya mendidik, dan mendidik ya mengajar, mengajar manusia berbudaya dan membudayakan
manusia.
1.
Makna Budaya
Nah... sekarang
apa itu BUDAYA? Secara umum budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu "buddhayah", yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang
bermakna sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa
Inggris kebudayaan disebut culture yang berasal
dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan, dapat diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Sementara itu Geertz dalam bukunya “Mojokuto; Dinamika
Sosial Sebuah Kota di Jawa”, mengatakan bahwa budaya adalah suatu sistem makna dan
simbol yang disusun dalam pengertian di mana
setiap orang mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya,
suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk
simbolik melalui sarana di mana orang-orang
mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan, karena kebudayaan
merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah dibaca, diterjemahkan dan diinterpretasikan.
Menurut
Koentjaraningrat kebudayaan merupakan keseluruhan suatu sistem gagasan, tindakan,
serta hasil karya manusia dalam kehidupan. Kebudayan juga dijadikan milik diri tiap
manusia dengan belajar. Sementara itu menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan
merupakan hasil perjuangan manusia oleh dua pengaruh yaitu keadaan zaman dan alam.
Kebudyaan juga menjadi bukti kejayaan manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang lahirnya bersifat tertib dan damai. Menurut E.B Taylor, kebudayaan sebagai
komples yang berisi pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat.
Serta kemampuan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, budaya merupakan
bagian yang tidak bisa terpisahkan dari suatu masyarakat. Menurut Linton budaya
adalah keseluruhan sikap dan pola perilaku serta pengetahuan. Hal tersebut merupakan
sebuah kebiasaan yang diwariskan dan dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
2.
Unsur-unsur Kebudayaan
Lalu apa saja unsur unsur budaya itu? Koentjaraningrat
berpendapat bahwa unsur kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu pertama sebagai suatu
IDE/GAGASAN, NILAI NILAI/NORMA, PERATURAN. Kedua sebagai
suatu AKTIVITAS KELAKUAN berpola dari manusia dalam sebuah komunitas masyarakat,
dan ketiga BENDA BENDA HASIL KARYA. Sementara Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil KARYA, RASA dan CIPTA masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta
hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. Memahami unsur-unsur yang
terdapat dalam kebudayaan penting untuk memahami kebudayaan manusia.
Kluckhon
mendasarkan pada temuan pada semua bangsa di dunia dari kebudayaan yang sederhana
hingga sistem kebudayaan yang kompleks berpandangan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan
universal (cultural universal, Menurut Koentjaraningrat), di mana ketujuh unsur tersebut ada ditemukan di
dalam kebudayaan semua bangsa yaitu: 1) Sistem bahasa, 2) Sistem pengetahuan, 3)
sistwm sosial, 4) sitem peralatan hidup/teknologi, 5) sistem mata pencaharian hidup/ekonomi,
6) sistem religi/keyakinan agama, dan 7) kesenian.
Beberapa
pemikir lain juga megutarakan pendapatnya tentang unsur-unsur yang terdapat dalam
kebudayaan, Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok dalam kebudayaan yang
meliputi: 1. Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya. 2. Organisasi ekonomi.
3. Alat- alat dan lembaga atau petugas- petugas untuk pendidikan. 4. Organisasi
kekuatan politik. Sementara itu Melville J. Herkovits mengajukan unsur-unsur kebudayaan
yang terangkum dalam empat unsur: 1. Alat
alat teknologi. 2. Sistem Ekonomi. 3. Keluarga. 4. Kekuasaan politik.
3.
Esensi Kebudayaan
Berbagai
pendapat tentang kebudayaan sebagaimana dikemukakan terdahulu menunjukan perluasan
makna ketimbang perbedaan, karena esensinya selalu mendasarkan pada tabiat manusia
yang memiliki berbagai kompetensi natural dan
menjadi instrumen bagi hidup, kehidupan dan kelangsungan kehidupannya. Perubahan
tentu terjadi dalam aspek materi, dan ini sangat cepat dewasa ini, namun kekuatan
itu bisa membuat esensi hakekat manusia yang spesifik
akan terjun menjadi hanya sebagai satu jenis materi yang
hidup, sehingga kemanusian manusia berubah secara sosial menjadi kealaman yang bergerak
tanpa arah, makna dan nilai yang jelas tergerus oleh
akselerasi perkembangan budaya materi. Bila mencermati makna dan unsur unsur kebudayaan,
dapat dikelompokkan pada tiga aspek kebudayaan utama yaitu sistem material, sistem
moral, dan sistem spiritual.
Sistem material
menunjukkan pada bagaimana makhluk hidup berinteraksi dengan
alam dalam bertahan dan melanjutkan hidup dan kehidupannya, ini
lebih pada pola jiwa nabati dan jiwa hewani yang
semua makhluk hidup memilikinya. Sementara sistem moral dan sistem
spiritual merupakan unsur yang khas manusia yang
memiliki jiwa insani, sistem moral mengatur pola interaksi manusia dengan
manusia lain, pun dengan
alam makhluk lain, sedang sistem spiritual mengatur pola hubungan
manusia dengan kekuatan
lain, supranatural, baik berdasarkan adat maupun pewahyuan yang
masuk dalam dunia manusia. Secara lebih sederhana tiga unsur utama tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua saja yaitu sistem material (budaya materil), dan sistem
non materil (budaya non materil).
4.
Dinamika Budaya
Perjalanan
sejarah kehidupan manusia menunjukkan suatu dialektika tak henti antara ke dua unsur
tersebut, adakalanya budaya non materil yang dominan,
dan adakalanya budaya materil yang dominan membaurkan
manusia dalam masyarakat. Perjalanan, dinamika tersebut sering menjadikan budaya
dekat dan mendekat pada yang non materil dan kadang sebaliknya, di sinilah esensi manusia dipergulirkan sejarah
yang secara esensial perbedaan utama dengan
makhluk lain adalah kapasitas natural manusia yang
bisa bermoral dan berkeyakinan.
Sejarah
hidup dan kehidupan manusia menunjukkan dialektika
yang kadang terlihat dalam pemikiran juga sering
dalam bentuk konflik peperangan yang pada intinya
memperebutkan dominasi budaya masing-masing,
tentu dengan bumbu
keserakahan dan the will to power yang kelewatan
dari para penguasanya, dan itu terus terjadi sampai sekarang ini tanpa perlu menyatakan
bahwa suatu bangsa punya masa lalu, tapi semua bangsa adalah masa lalunya dalam
akumulasi sosial budaya yang dipikirkan diyakini dan
dijalaninya, meski bukan hanya itu pembentuk bangsa dan tentu saja juga pembentuk manusia.
Jadi budaya
itu berdimensi ganda yaitu material dan mental, moral spiritual, dan dari makhluk
hidup di dunia hanya manusia yang mengembangkan, menerima dan mewariskan budaya
mental, moral spiritual. Ini bermakna bahwa apabila hidup dan kehidupan manusia
yang berbudaya manusia menunjukkan
spesifikasi khas dari esensi dan hakikat manusia
sebagai pembeda dengan makhluk
lainnya.
Budaya materil
juga terus berkembang dikelola dan dihasilkan oleh manusia namun itu bukan yang
esensial karena lebih pada alat mempermudah hidup fisikal material ketimbang yang
spiritual, meskipun terdapat budaya material yang diinspirasi perwujudannya oleh
nilai, moral, dan spiritual manusia. Dalam konteks pemahaman dan perspektif itulah
PENDIDIKAN BERBUDAYA MANUSIA diposisikan sebagai hal utama dan terutama bagi perkembangan
dan kelangsungan kehidupan masyarakat manusia, dan ini jugalah yang
belakangan makin mendapat himpitan untuk berkembang dan tertanam dalam kehidupan
masyarakat termasuk output dan proses pendidikan yg terus menggelinding tanpa bingkai
dan fondasi kuat nilai, norma spiritual.
5.
Gerak Budaya dan Manusia
Masyarakat
dibentuk oleh manusia-manusia yang
homogen dan heterogen sekaligus dengan esensi kemanusiaan yang
sama. Manusia memiliki dua gerak utama yaitu gerak imanen yang berkaitan dengan
kediriannya yang merupakan
akulumalasi makna-makna nilai-nilai
yang ada dari historisitasnya, dia mengembang,
berefleksi dan berinteraksi dengan kemampuan gerak ke dua yaitu gerak transenden,
gerak yang mampu mengatasi atau keluar dari dirinya, interaksi ini bertemu dalam
suatu perwujudan pola-pola interaksi sosial, POLA2 HIDUP DAN KEHIDUPAN,
menyadari diri dan kemudian menyadari orang lain dan berinteraksilah dalam suatu
dialektika historis yang terus berubah.
Terdapat
gerak yang bolak balik dalam melihat budaya masyarakat,
dari universal, nasional, global yang diikuti
oleh lahirnya negara-negara nasional dengan basis budayanya, namun
sekaligus ditarik terus ke arah global lagi melalui instrumen ideologi, kebijakan
yang membuat negara nasional secara sukarela terpaksa mengakomodasinya dengan
berbagai alasan, yang intinya minder dan gak berani beda meski
budaya nasional memberi fondasi yang kuat untuk bangsa dan negara birsikap, berpikir
dan bertingkah independen. Ketika budaya materil dengan
dorongn iptek terus berkembang, maka bangsa dan negara kemampuan
kecil baik SDM, teknologi maupun kapital ikut ikutan berbaris dalam
barisan mereka, dan dengan semangat harus mengejar ketertinggalan, ucapan yang
bagus tapi gak akan bisa, sampai kapanpun karena mereka yang sudah maju akan berlari
lebih cepat lagi, akhirnya hanya jadi folower yang secara
lambat laun dalam segala hal merasuki nilai-nilai budaya
bangsa yang paling prinsip, paling utama, sehingga sulitlah
jati diri bangsa tampil tegar dan membanggakan, selalin jadi peniru-peniru
yang meniru terus karena kebijakan nasional yang
tak menguatkan kemandirian bangsa.
Dalam konteks bangsa, jelas perjalanan sejarah dan budayanya
sangatlah panjang, berbagai kerajaan dengan
budayanya telah mewarnai nilai nilai, pola sosial serta kekuatan
kekuatan internal yang menunjukan kemandirian yang
cukup kuat, sampai masuknya penjajahan yang mau tak mau memberi efek budaya yang
menekan baik melalui interaksi sosial kekuasaan maupun peperangan, yang intinya
terdapat keterputusan dari masa lalunya dengan
dimulai pada tingkat masyarakat kelas sosial atas. Budaya barat
melalui penjajah "creeping" pada budaya bangsa secara evolutif dan sering
juga menimbulkan konflik tajam sampai perang yang semua ini menjadi upaya dominasi
satu dengan lainnya, dan umumnya bangsa kalah dalam konflik tersebut yang
berimplikasi makin kuatnya instrumen budaya, kekuasaan penjajah masuk dalam kehidupan
masyarakat.
Kondisi
tersebut berefek juga pada cara pikir bangsa
yang terlihat dari tarik menarik masalah apa dan budaya apa yang
harus mengisi bangsa jika merdeka, ini telah jadi bahan diskusi yang
menonjol di lingkungan pemikir-pemikir bangsa.
Dalam perjalanannya pemikir-pemikir nasional/bangsa
sebelum kemerdekaan telah memperbincangkan (berpolemik, terkenal dengan istilah
Polemik Kebudayaan) tentang bagaimana budaya bangsa ke depan. Polemik yang terjadi
pada tahun 30-an di kalangan cendekiawan dan kebudayaan/Budayawan Indonesia.
6.
Polemik Kebudayaan
Polemik
ini bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisyahbana
"Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia (dalam Pujangga baru, 2 Agustus 1935). Takdir
membedakan "Zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19)
dan "zaman Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia menegaskan
tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambungan
dari generasi sebelumnya, sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin
atau Sunda. Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.
Pemikiran
Takdir tersebut yang intinya bangsa indonesia perlu ganti haluan
membuang masa lalunya menuju budaya barat mendapat tanggapan dari pemikir-pemikir
bangsa lainnya seperti Sanusi Pane, yang
dalam tulisannya berjudul Persatuan Indonesia (Suara Umum, 4 September 1935), menulis:
"Zaman sekarang ialah terusan zaman dahulu....Haluan yang sempurna ialah menyatukan
Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individulisme dengan
spiritualisme, perasaan dan collectivisme". Sementara itu Poerbatjaraka dalam "Sambungan Zaman", mengatakan, "Pada perasaan saya, yang manfaat
buat tanah dan bangsa kita ini, ialah mengetahui jalan sejarah dari dulu-dulu sampai
sekarang ini. Dengan pengetahuan ini kita seboleh-bolehnya berusahakan mengatur
hari yang akan datang. Dengan pendek kata, janganlah mabuk kebudayaan kuno tetapi
jangan mabuk kebaratan juga; ketahuilah dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya
dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak".
Diskusi
tentang budaya
apa yang mesti jadi nilai dasar bangsa indonesia menunjukan
dinamika pemikiran yg terjadi setelah masuknya budaya barat yang
dibawa penjajah ke dalam kehidupan soaial masyarakat. Mereka yg berdebat umumnya
berpendidikan barat tapi pemikirannya jauh berbeda dalam melihat kondisi bangsa.
Diskusi tsb terjadi pada tahun2 mendekati kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan cenderung
tak lagi jadi perbincangan, ada kelembagaan penjajah yg dilanjutkan ada juga yg
mengakomodasi, mengembangkan kelembagaan khas bangsa yg semuanya berjalan beriringan
tanpa merasa saling mengalahkan
Namun dalam
perkembangannya ternyata budaya barat etika lebih menonjol dalam penyelenggaraan
kekuasaan terutama pasca kemerdekaan wabil khusus era etika pembangunan menjadi
primadona mengelola negara dan bangsa, hubungan, bantuan dari negara2 maju yg liberal
membawa bangsa secara perlahan masuk aliran budaya barat, dan dalam kondisi ini
orde baru mencoba menetralisirnya dengan istilah pembangunan yg seimbang antara
pembangunan fisik material dengan pembangunan mental spiritual, antara mendidik
raga/jasmani dan jiwa/rokhani..
7.
Daftar Pustaka
Achmad
Charris Zubair. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia.
Yogyakarta. LESFI.
Ahmad
Fuad Al Ahwani, 1985. Filsafat Islam. Jakarta. Pustaka Firdaus.
Ahmad
Syadali & Mudzakir, 1997. Filsafat Umum, Bandung. Pustaka Setia
A.
Epping O.F.M. et al. 1983. Filsafat Ensie. Bandung Jemmar.
Ahmad
Tafsir.1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Al
Ghazali, 1986. Tahafut Al Falasifah, Kerancuan Para Filosuf. Jakarta. Pustaka
Panjimas. (terj. Ahmadie Thaha)
-----------,
tt. Mi’yarul Ilmi, Beirut. Darul Fikri
-----------,1978.
Al Munqidzu Min Addolal, Jakarta. Tintamas. (terj. Abdulah Bin Nuh
Alisjahbana,
Sutan Takdir (1988) Kebudayaan sebagai Perjuangan, Jakarta, PT Dian Rakyat
Aman,
Sofyan (1980). Perkembangan Organisasi Pengurusan Sekolah Sekolah di Indonesia,
Kurnia Esa, Jakarta.
Ayn
Rand. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Yogyakarta. Bentang Budaya (terj.
Cuk Ananta Wijaya)
Anton
Bakker, A.C. Zubair, 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta.
Kanisius.
Beerling,
et.al. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Tiara Wacana.
Bastian,
Aulia Reza. (2002) Reformasi Pendidikan, Lappera Pustaka Utama Yogyakarta
Batten,
T.R. (1959) School and Community in the tropics, terj Suryadi, 1976, Alumni,
Bandung
Bertrand Russel. 2002. Persoalan-persoalan
seputar Filsafat. Yogyakarta. IKON, (terj. Ahmad Asnawi)
Buchori,
Mochtar (1994a) Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara Wacana,
Yogya.
_______
(1994b) Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan, Tiara Wacana, Yogya.
_______
(2001) Transformasi Pendidikan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Capra,
Fritjof. (1998), Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan
Budaya, YBB.
C.A.
Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Jakarta. Gramedia
Cassirer,
Ernst (1990) Manusia dan Kebudayaan, terj. A.A. Nugroho, Gramedia, Jakarta.
Darmaningtyas
(2015) Pendidikan yang Memiskinkan, Intrans Publishing, Malang.
-------,
et al (2014) Melawan Liberalisme Pendidikan, Medina, Malang.
Dewantara,
Ki Hajar. (2009), Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta, Leutika.
-------,
(1977). Pendidikan, Yogyakarta, Majlis Luhur Perguruan Taman Siswa
-------,
(1967). Kebudayaan, Yogyakarta, Majlis Luhur Perguruan Taman Siswa
Djumhur
I. & Danasaputra, (1976). Sejarah
Pendidikan, CV Ilmu, Bandung.
Descartes,
2003. Diskursus Metode, terj. A.F. Ma’ruf, Yogyakarta, IRCiSoD.
Donny
Gahral Adian, 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Teraju.
Endang
Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu,
Freire,
Paulo. (1985) Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim, LP3ES, Jakarta
Freire,
Paulo. (2000) Politik Pendidikan, terj. Agung Prihantoto, Read dan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Freire,
Paulo. Et.al (2000) Menggugat
Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fromm,
Erich. The art of Loving..
-------,
Revolution of Hope.
-------,
The art of Living..
Frithjof
Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung. Mizan. (terj. Rahmani
Astuti)
Fuad
Hasan. 1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta. Pustaka Jaya.
----------,1986.
Apologia, Pidato Pembelaan Socrates yang diabadikan Plato (saduran). Jakarta.
Bulan Bintang
----------.
1977. Heteronomia. Jakarta. Pustaka Jaya
Gazalba,
Sidi (1975). Antropologi Gaya Baru (Jilid 1 dan 2), Jakarta, Bulan Bintang
——-,
(1980). Kebudayaan, (Jilid 1 dan Jilid 2), Jakarta, Bulan Bintang
Griffith,
Mary. (1998) The Unschooling Handbook, terj. Mutia Dharma, 2006, Nuansa,
Bandung.
Gunawan,
H. Ary.(2010). Sosiologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
Hargraeves,
Andy. (2003) Teaching in the Knowledge Society, Open University Press,
Maidenhead, Philadelphia
Harari,
Yuval Noah. (2019). Sapiens, riwayat singkat umat manusia, terj. Damaring Tyaa,
cet. 7, KPG, Jakarta.
-------,
(2018). Homo Deus, masa depan umat manusia, terj. YANTO mustofa, cet. 1,
Alvabet, Tangerang.
-------,
(2018) 21 Lessons untuk abad 21, terj. Haz Algebra, Global Indo Kreatif,
manado.
Hidayat,
Rakhmat. (2011) Pengantar Sosiologi Kurikulum, Rajawali Press, Jkt.
Hoppers,
Wim. (2004) Orientasi Pendidikan Dasar, terj. Yusuf, Logos, Ciputat.
Hyman,
Irwin A. & Snook (1999) Dangerous School, Jossey Bass, San Fransisco.
Koentjaraningrat,
(1990) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta,Rineka Cipta
-------,
(1980) Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
-------,
ed. (1975) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan Jakarta.
Naisbitt,
John., Aburdene, (1990). Megatrend 2000, William Marrow & Co
O'neil,
William F. (2008). Ideologi Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Palmer,
Joy A. ed. (2006). Fifty Modern Thinkers on Education, terj. Farid Assifa,
Irciaod, Yogyakarta.
Peursen C.A. van (1988) Strategi Kebudayaan,
Kanisius, Yogyakarta.
Pubakawatja,
Sugarda. (1970). Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Gunung Agung,
Jakarta.
Raliby,
Osman (1962) Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta Bulan Bintang.
Rifa'i,
Muhammad (2011) Sejarah Pendidikan Nasional, Ar Ruzz Media, Yogyakarta.
Saui,
Muh. & Junimat Affan (1980). Mendidik dari Zaman ke Zaman, Jemmars,
Bandung.
Seeley,
Levy (2019) History of Education, terj. Sutrisno, Indoliterasi, Yogyakarta.
Susanto,
Astrid, (1984), Komunikasi Masa, Jakarta, Bina Cipta
Toffler,
Alvin (1970), The Future Shock, New York, Bantam Books