Penulisan: Torik Imanurdin, S.Pd., M.Pd.
Torik Imanurdin, S.Pd., M.Pd.
Oleh Torik Imanurdin, S.Pd., M.Pd.
(Ketua Yayasan
Bina Asih Cianjur)
Pendidikan inklusi
sering kali dipahami secara keliru oleh banyak pihak, termasuk pengawas sekolah
dan pemangku kebijakan. Dalam diskusi saya dengan kepala sekolah SMK, SMA, dan
pengawas, saya menemukan pemahaman yang masih rancu mengenai peran Sekolah Luar
Biasa (SLB) dan sekolah inklusi.
Saya menganggap
lucu ketika sekolah umum membuka layanan inklusi tanpa kesiapan sumber daya
manusia, terutama guru yang memiliki kompetensi dalam pendidikan khusus. Lebih
parah lagi, ketika seorang pengawas menyatakan bahwa SLB tidak bisa melayani
anak dengan slow learner, keterlambatan belajar, atau gangguan spektrum
lainnya, sehingga lebih cocok ditempatkan di sekolah inklusi. Pernyataan ini
jelas menunjukkan minimnya pemahaman terhadap fungsi dan tujuan SLB.
Faktanya, SLB
berada di bawah PKLK (Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus) yang memang
dirancang untuk menangani berbagai jenis kebutuhan khusus, termasuk anak-anak
dengan keterlambatan belajar dan spektrum gangguan lainnya. SLB memiliki
kurikulum yang disesuaikan, guru yang terlatih secara khusus, serta metode
pembelajaran yang dirancang untuk mendukung perkembangan anak berkebutuhan
khusus secara optimal. Jika SLB dianggap tidak mampu menangani kasus-kasus
tersebut, maka ada masalah dalam sistem pemahaman dan sosialisasi di tingkat
dinas pendidikan.
Lebih konyol lagi,
ada unit lembaga pra-sekolah (TK) yang membuka layanan inklusi tanpa memiliki
guru khusus. Bahkan, mereka menahan anak-anak berkebutuhan khusus yang
seharusnya sudah masuk jenjang SD-LB dengan alasan tidak akan ada perkembangan
jika masuk SLB. Pernyataan ini jelas menyesatkan dan berbahaya bagi
perkembangan anak. Justru dengan menahan anak di TK tanpa kurikulum dan metode
pembelajaran yang sesuai, perkembangan mereka akan semakin terhambat.
Pihak dinas
pendidikan harus turun tangan untuk mensosialisasikan peran SLB dan sekolah
inklusi dengan lebih baik. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru merugikan
anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi bukan sekadar tren, tetapi
membutuhkan kesiapan yang matang, baik dari segi tenaga pendidik, sarana,
maupun pemahaman yang benar di tingkat pengambil kebijakan.
Sebagai Ketua
Yayasan SLB Bina Asih, saya merasa tertantang untuk terus mengedukasi dan
mengadvokasi kebijakan pendidikan yang lebih berpihak kepada anak berkebutuhan
khusus. Karena yang menjadi taruhan di sini bukan hanya sekadar konsep inklusi,
tetapi masa depan anak-anak yang berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik
sesuai dengan kebutuhannya.