Penulis: Neneng Hendriyani
Neneng Hendriyani
Oleh Neneng Hendriyani
Ini
adalah tulisanku hasil refleksi setelah mempelajari materi Refleksi Pemikiran
Ki Hajar Dewantara pada modul 1.1. Pendidikan Guru Penggerak.
Pada
video yang disimak sebagai bahan utama mempelajari materi Refleksi Pemikiran Ki
Hajar Dewantara pada modul 1.1. saya menyadari beberapa hal yang sangat urgen
bagi para pelaku pendidikan dewasa ini. Yaitu, bagaimana kita memahami ide
besar sang tokoh pendidikan nasional.
Pada
zaman di mana Indonesia hanya nama di angan-angan para pejuang pergerakan
kemerdekaan, pemerintah kolonial hanya memberikan pendidikan bagi segelintir
orang saja. Beruntunglah mereka yang dilahirkan sebagai bagian dari keluarga
bangsawan bumi putera baik yang berada di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan pulau lainnya di Hindia Belanda. Tahu mengapa? Karena mereka
inilah yang mendapatkan hak istimewa (privileged right) untuk mendapatkan
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah Belanda.
Pada
tahun 1854 banyak sekali para pemimpin daerah yang bekerja di lembaga
pemerintahan Belanda menginisiasi lahirnya lembaga pendidikan di wilayah
kekuasaannya masing-masing semata-mata untuk mendapatkan tenaga-tenaga baru
yang berkualitas dan siap digaji kecil di instansinya masing-masing. Dengan
kata lain, menjadi kaki tangan Belanda dalam menjaga stabilitas pemerintahan
Belanda di tanah jajahan yaitu Hindia Belanda.
Para
pengusaha baik pengusaha asing maupun bumi putera pun mendapatkan hak istimewa
untuk mengirimkan putera-puterinya bersekolah pada masa itu. Ya, meskipun
lagi-lagi ada pembatasan bagi mereka terutama soal gender di mana puteri-puteri
pengusaha seperti pula puteri bangsawan pun tidak bisa melanjutkan studi mereka
ke tingkat lanjut apabila sudah menyelesaikan pendidikan kelas dua. Hanya para
putera alias anak laki-laki saja yang bisa meneruskan studinya ke tingkat yang
lebih lanjut bahkan hingga ke universitas di negeri Belanda. Selain anak
kandung, para pengusaha pun mengirimkan beberapa orang yang dipilihnya secara
langsung untuk bersekolah ke sekolah-sekolah Belanda semata-mata untuk
mendapatkan tenaga baru yang berperan sebagai pembantu kelancaran usaha
dagangnya.
Apabila
Anda hidup pada masa itu jangan bermimpi mendapatkan tunjangan selain gaji
bulanan bila hendak direkrut oleh pemerintah Belanda di berbagai instansi yang
dimilikinya saat itu. Sudah bisa diterima dan diangkat menjadi tenaga kerja
pemerintah setingkat resident saja sudah sangat bersyukur. Menerima sejumlah
gulden setiap bulannya adalah sebuah impian yang cukup banyak diimpikan oleh
sebagian besar rakyat jajahan. Sayang mayoritas tidak bisa mewujudkan impian
tersebut karena tidak dapat bersekolah.
Mayoritas
para pelajar ini dididik untuk menguasai keterampilan dasar yang dibutuhkan
pemerintah di bidang administrasi semata. Misalnya, membaca, menulis, dan
berhitung. Tidak ada pelajaran sosiologi, geografi, akuntansi, algoritma,
biologi, kimia, sejarah perjuangan bangsa, apalagi bahasa Inggris, Jepang, dan Mandarin
saat itu. Satu-satunya pelajaran bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah
Belanda adalah bahasa Belanda. Hal ini dikarenakan bahasa Belanda adalah bahasa
pengantar pendidikan di sekolah. Seluruh guru yang mengajar di sekolah-sekolah
Belanda di tanah air didatangkan langsung dari negeri Belanda. Itulah sebabnya
banyak guru yang sangat totok dan tidak bisa berbahasa melayu, bahasa yang
mayoritas digunakan di tanah air. Dengan begitu mau tidak mau para pelajar
tersebut harus menguasai bahasa Belanda secara aktif baik lisan maupun tulisan
agar tidak mengalami kesulitan dalam proses belajarnya di sekolah. Bagi mereka
yang tidak begitu fasih berbicara dalam bahasa Belanda tentu saja mengalami
banyak kesulitan dalam pergaulan dan proses pendidikannya. Tidak sedikit yang
harus mengulang pelajarannya lantaran kesulitan memahami maksud dan tujuan para
guru yang mengajarnya.
Mereka
yang menguasai bahasa Belanda dengan baik mendapatkan kemudahan dalam
memperoleh pekerjaan pada masa itu. Secara alamiah mereka ini menempati warga
kelas dua dalam pemerintahan kolonial Belanda setelah warga Negara Belanda
sendiri.
Pada
masa itulah muncul beberapa gagasan dari segelintir kaum muda yang memperoleh
pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Budi Utomo yang pada masa itu ditulis
dengan ejaan van Ophuijsen sebagai Boedi Oetomo misalnya adalah sebuah
organisasi yang dibentuk oleh kaum muda yang dididik oleh para Belanda.
Pendirinya adalah Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soeraji pada tanggal
20 Mei 1908. Organisasi ini diinisiasi oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo. Para
tokoh pendiri organisasi ini adalah dosen dan mahasiswa School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang merupakan sebuah sekolah yang diperuntukan
untuk mendidik dan menghasilkan dokter pribumi yang bekerja di Hindia Belanda.
Sekarang, sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Melalui
organisasi Budi Utomo inilah gaung kemerdekaan meluas di kalangan pelajar
Hindia Belanda yang berasal dari kalangan bangsawan pulau Jawa. Cita-cita luhur
mereka adalah mencapai Indonesia merdeka. Merdeka lahir dan batin. Itulah
sebabnya untuk menghormati perjuangan mereka Pemerintah Republik Indonesia
mengabadikan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Keputusan ini dilandasi
oleh pemikiran bahwa pada masa berdirinya organisasi Budi Utomo inilah kaum
pelajar bumi putera yang merupakan generasi muda tanah air bangkit dari tidur
panjangnya sebagai bagian dari warga jajahan Belanda. Mereka sadar bahwa tanah
air mereka sedang dijajah. Harta benda beserta seluruh kekayaan alamnya baik
yang dapat diperbaharui maupun yang tidak diperbaharui seluruhnya dibawa paksa
ke negeri Belanda dengan berbagai cara. Mereka sadar bahwa hanya dengan
menggelorakan semangat kemerdekaan mereka bisa melepaskan diri dari penjajahan
Belanda.
Gagasan
lainnya muncul dari seorang putri bangsawan tanah Jawa yang lahir di Jepara,
yaitu R.A. Kartini. Sebagai anak seorang ningrat yang menjabat sebagai kepala
pemerintahan di Jepara ia mendapatkan hak istimewa di bidang pendidikan, yaitu
bersekolah di sekolah Belanda. Sebagai anak perempuan yang cerdas dan cekatan
ia menyadari bahwa sebagai perempuan ia mendapatkan ketidakadilan dari sistem
pendidikan yang diterapkan oleh Belanda. Ia memandang bahwa pendidikan adalah
milik semua bangsa dan semua gender. Tidak boleh anak perempuan tertinggal
dalam hal pendidikan karena anak perempuanlah yang mengurus rumah tangganya
kelas saat mereka dewasa.
Bagaimana
bisa seorang perempuan yang buta huruf bisa mengurus dan mendidik anak-anaknya
hingga anak tersebut berhasil dalam kehidupannya adalah dasar pemikiran
pemberontakannya yang dituangkannya dalam surat-suratnya. Perempuan adalah
sosok di belakang layar yang mendukung kesuksesan suami dan anak-anaknya di
masyarakat. Hanya perempuan yang cerdas yang bisa menghasilkan anak-anak yang
cerdas. Demikian pemikirannya yang mendasari adanya gerakan feminisme di bidang
pendidikan di tanah air pada masa itu. Dengan penanya R.A. Kartini berjuang
meminta kebebasan kaumnya, yaitu kaum perempuan, untuk bisa bersekolah sebebas
laki-laki di sekolah-sekolah Belanda pada tahun 1912.
Gagasan
demi gagasan yang memandang pendidikan itu penting bagi seluruh anak jajahan
juga digaungkan oleh Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Dengan dimotori oleh R.M.
Suwardi Suryaningrat yang beralih nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, Taman Siswa
berkembang di seluruh Indonesia.
National
Onderwijs Institut Taman Siswa adalah nama lain dari Taman Siswa yang berpusat
di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur), di Jalan Taman Siswa Yogyakarta.
Dalam
proses pendidikan yang dilaksanakan oleh Ki Hadjar Dewantara di lembaga yang
didirikannya tersebut ia menerapkan Patrap Triloka. Salah satu Patrap ini
dijadikan semboyan Departemen Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
Republik Indonesia.
Patrap
Triloka ini lahir dari hasil pemikirannya setelah Ki Hadjar Dewantara
mempelajari teori Maria Montessori (Italia), Rabindranath Tagore (India), dan Friederich
Wilhelm August Frobel (Jerman). Patrap triloka tersebut adalah Ing ngarsa sung
tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Para
pamong yang lebih dikenal sebagai guru ini wajib menerapkan Patrap Triloka
tersebut dalam melaksanakan tugas pengajarannya sehari-hari di sekolah.
Ing
ngarsa sung tulodo yang berarti di depan memberi teladan adalah langkah awal
yang harus dimiliki guru di manapun ia mengajar dan berada. Sebagai agent of
change, guru haruslah menguasai banyak ilmu pengetahuan, keterampilan, dan
berbagai hal yang berguna bagi murid-murid yang diajarnya. Ia harus memberikan
contoh yang terbaik dari seluruh proses pendidikan yang dilakukannya. Bila ia
meminta murid menggambar sebuah pemandangan maka ia pun harus bisa
mencontohkannya di depan muridnya bagaimana menggambar sebuah pemandangan yang
baik. Begitu ilustrasinya. Jangan sampai ia menyuruh muridnya melakukan A
tetapi ia sendiri tidak bisa melakukan A tersebut dengan baik. Ini dikarenakan
murid sebagian besar meniru, mengamati dan memodifikasi hasil kerja yang
ditunjukkan oleh guru-gurunya. Dengan meniru, mengamati dan memodifikasi hasil
kerja gurunya mereka bisa melakukan apa yang diperintahkan gurunya dengan baik
bahkan lebih baik lagi.
Ing
madya mangun karso yang berarti di tengah membangun kemauan atau inisiatif
adalah langkah kedua yang wajib dilakukan guru dalam mengajar, dan mendidik
murid-muridnya. Guru dengan menggunakan berbagai metode dan teknik mengajar
diharuskan mampu membangun cita-cita pada diri murid. Ia harus mampu kesadaran,
mimpi, dan keinginan yang akan diwujudkan muridnya untuk bekal kehidupannya di
masa depan. Tanpa kemampuan ini bagaimana bisa muridnya menjadi sosok yang
diinginkannya dengan baik. Gurulah yang membangun cita-cita murid untuk menjadi
polisi, dokter, pengusaha, pengrajin, bahkan petani yang sukses. Gurulah yang membangun
kesadaran murid untuk belajar giat demi meraih cita-citanya. Gurulah yang
membangun semangat dan motivasi muridnya dengan cara yang unik agar murid
tersebut kembali bangkit dan maju setelah ia terpuruk dan gagal dalam usahanya.
Guru yang baik adalah guru yang mampu melakukan semua hal tersebut untuk
muridnya.
Patrap
Triloka terakhir adalah Tut wuri handayani yang berarti dari belakang
mendukung. Pengertian patrap ini adalah sebagai berikut, sebagai guru ia harus
mampu mendukung semua gerakan dan usaha yang dilakukan oleh sang murid demi
meraih tujuan dan cita-citanya. Apapun yang dibutuhkan sang murid dalam upaya
mewujudkan hal tersebut perlu didukung oleh sang guru. Cara memberikan dukungan
ini misalnya dengan memberikan suntikan motivasi dan semangat pantang menyerah.
Dari
seluruh Patrap Triloka Taman Siswa, Tut wuri handayani adalah patrap yang
paling banyak dipilih dan digunakan oleh guru-guru Indonesia dewasa ini. Mereka
senantiasa memilih memberikan dukungan kepada murid-muridnya dalam mengikuti
pertandingan atau pun perlombaan.
Persamaan
pendidikan yang dilaksanakan pada masa kolonial hingga saat ini adalah sebagai
berikut;
Pertama,
sama-sama dilaksanakan di sebuah ruangan yang khusus diperuntukkan untuk
melaksanakan proses pendidikan. Ruangan ini disebut dengan kelas. Gabungan
beberapa kelas yang menjadi gedung disebut sekolah.
Kedua,
pendidikan yang dilaksanakan selalu tidak terpisahkan dari aktor pendidikan itu
sendiri yaitu guru. Hanya istilahnya saja yang berbeda. Pada masa kolonial
Belanda guru disebut dengan Ndoro, Engku, Encik Guru (Cikgu), Meneer, Juffrouw,
dan Mevrouw. Sementara pada zaman kolonial Jepang, istilah berbau Belanda
diganti menjadi Sensei. Kini, guru hanya disebut dengan panggilan Bapak dan Ibu
saja. Lengkapnya, Bapak Guru, dan Ibu Guru.
Ketiga,
media belajar yang digunakan masih sama yaitu sama-sama menggunakan buku
sebagai salah satu sumber belajar. Perbedaannya hanya bentuknya saja. Kini,
buku tidak hanya berbentuk cetak tetapi juga non-cetak alias soft file yang bisa diakses dengan
menggunakan gawai pintar.
Keempat,
tujuan pendidikannya adalah sama-sama mencerdaskan murid. Pada masa kolonial
Belanda, anak-anak bangsawan pribumi diajarkan dengan sungguh-sungguh agar
cerdas dalam berkomunikasi dengan bahasa Belanda, bisa membaca, dan menulis
dalam bahasa Belanda, dan bisa berhitung dengan baik. Kini, tujuan pendidikan
nasional diperluas tidak hanya sekadar mencerdaskan murid saja. Inilah
perbedaan mendasar dari tujuan pendidikan yang ada di masa kolonial dengan masa
sekarang. Tujuan pendidikan masa kolonial adalah menyediakan tenaga siap pakai
untuk bekerja mendukung stabilitas pemerintahan kolonial di tanah jajahan.
Sementara, tujuan pendidikan nasional masa kini tertuang dalam Undang-undang
sistem pendidikan nasional Nomor 20 tahun 2003. Yaitu, pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman (UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 2). Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak, mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 3).
Kelima,
fungsi guru sama-sama sebagai tokoh pendidikan yang berada di ruang kelas
mengajarkan materi, pengetahuan, dan keterampilan yang dinilai penting untuk
dikuasai oleh murid. Perbedaanya adalah pada masa kolonial guru benar-benar
memiliki tempat social yang tinggi di mana murid tidak boleh membantah, berbeda
pendapat, dan pembelajaran dilaksanakan dengan sistem teacher centered. Guru
adalah sumber belajar utama. Pada masa kini, guru berperan sebagai fasilitator
di kelas. Guru tidak lagi menjadi sumber belajar utama. Murid bisa belajar dari
orang lain yang menjadi tokoh masyarakat, tokoh industry, dan lainnya yang
tinggal di sekitar sekolah. Murid juga bisa mengakses YouTube, TikTok, Google,
dan beragam media sosial lainnya sebagai sumber belajar. Dengan begitu,
pengetahuan, keterampilan murid pada masa kini jauh lebih luas dan cakap
dibandingkan pada masa kolonial.
Demikianlah
potret pendidikan Indonesia sejak zaman Kolonial hingga kini.(*)
***
Biografi
Penulis
Neneng Hendriyani, Guru Bahasa Inggris
di SMA Negeri 4 Cibinong Kabupaten Bogor. Senang menulis sejak masih di SMP.
Lahir, 9 Agustus 1982 di Bogor, Jawa Barat.