Potret pendidikan Indonesia sejak zaman kolonial hingga kini

Penulis: Neneng Hendriyani

Dibaca: 3213 kali

Neneng Hendriyani

Oleh Neneng Hendriyani

 

Ini adalah tulisanku hasil refleksi setelah mempelajari materi Refleksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara pada modul 1.1. Pendidikan Guru Penggerak.

Pada video yang disimak sebagai bahan utama mempelajari materi Refleksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara pada modul 1.1. saya menyadari beberapa hal yang sangat urgen bagi para pelaku pendidikan dewasa ini. Yaitu, bagaimana kita memahami ide besar sang tokoh pendidikan nasional.

Pada zaman di mana Indonesia hanya nama di angan-angan para pejuang pergerakan kemerdekaan, pemerintah kolonial hanya memberikan pendidikan bagi segelintir orang saja. Beruntunglah mereka yang dilahirkan sebagai bagian dari keluarga bangsawan bumi putera baik yang berada di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya di Hindia Belanda. Tahu mengapa? Karena mereka inilah yang mendapatkan hak istimewa (privileged right) untuk mendapatkan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah Belanda.

Pada tahun 1854 banyak sekali para pemimpin daerah yang bekerja di lembaga pemerintahan Belanda menginisiasi lahirnya lembaga pendidikan di wilayah kekuasaannya masing-masing semata-mata untuk mendapatkan tenaga-tenaga baru yang berkualitas dan siap digaji kecil di instansinya masing-masing. Dengan kata lain, menjadi kaki tangan Belanda dalam menjaga stabilitas pemerintahan Belanda di tanah jajahan yaitu Hindia Belanda.

Para pengusaha baik pengusaha asing maupun bumi putera pun mendapatkan hak istimewa untuk mengirimkan putera-puterinya bersekolah pada masa itu. Ya, meskipun lagi-lagi ada pembatasan bagi mereka terutama soal gender di mana puteri-puteri pengusaha seperti pula puteri bangsawan pun tidak bisa melanjutkan studi mereka ke tingkat lanjut apabila sudah menyelesaikan pendidikan kelas dua. Hanya para putera alias anak laki-laki saja yang bisa meneruskan studinya ke tingkat yang lebih lanjut bahkan hingga ke universitas di negeri Belanda. Selain anak kandung, para pengusaha pun mengirimkan beberapa orang yang dipilihnya secara langsung untuk bersekolah ke sekolah-sekolah Belanda semata-mata untuk mendapatkan tenaga baru yang berperan sebagai pembantu kelancaran usaha dagangnya.

Apabila Anda hidup pada masa itu jangan bermimpi mendapatkan tunjangan selain gaji bulanan bila hendak direkrut oleh pemerintah Belanda di berbagai instansi yang dimilikinya saat itu. Sudah bisa diterima dan diangkat menjadi tenaga kerja pemerintah setingkat resident saja sudah sangat bersyukur. Menerima sejumlah gulden setiap bulannya adalah sebuah impian yang cukup banyak diimpikan oleh sebagian besar rakyat jajahan. Sayang mayoritas tidak bisa mewujudkan impian tersebut karena tidak dapat bersekolah.

Mayoritas para pelajar ini dididik untuk menguasai keterampilan dasar yang dibutuhkan pemerintah di bidang administrasi semata. Misalnya, membaca, menulis, dan berhitung. Tidak ada pelajaran sosiologi, geografi, akuntansi, algoritma, biologi, kimia, sejarah perjuangan bangsa, apalagi bahasa Inggris, Jepang, dan Mandarin saat itu. Satu-satunya pelajaran bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda adalah bahasa Belanda. Hal ini dikarenakan bahasa Belanda adalah bahasa pengantar pendidikan di sekolah. Seluruh guru yang mengajar di sekolah-sekolah Belanda di tanah air didatangkan langsung dari negeri Belanda. Itulah sebabnya banyak guru yang sangat totok dan tidak bisa berbahasa melayu, bahasa yang mayoritas digunakan di tanah air. Dengan begitu mau tidak mau para pelajar tersebut harus menguasai bahasa Belanda secara aktif baik lisan maupun tulisan agar tidak mengalami kesulitan dalam proses belajarnya di sekolah. Bagi mereka yang tidak begitu fasih berbicara dalam bahasa Belanda tentu saja mengalami banyak kesulitan dalam pergaulan dan proses pendidikannya. Tidak sedikit yang harus mengulang pelajarannya lantaran kesulitan memahami maksud dan tujuan para guru yang mengajarnya.

Mereka yang menguasai bahasa Belanda dengan baik mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pekerjaan pada masa itu. Secara alamiah mereka ini menempati warga kelas dua dalam pemerintahan kolonial Belanda setelah warga Negara Belanda sendiri.

Pada masa itulah muncul beberapa gagasan dari segelintir kaum muda yang memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Budi Utomo yang pada masa itu ditulis dengan ejaan van Ophuijsen sebagai Boedi Oetomo misalnya adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh kaum muda yang dididik oleh para Belanda. Pendirinya adalah Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini diinisiasi oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo. Para tokoh pendiri organisasi ini adalah dosen dan mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang merupakan sebuah sekolah yang diperuntukan untuk mendidik dan menghasilkan dokter pribumi yang bekerja di Hindia Belanda. Sekarang, sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Melalui organisasi Budi Utomo inilah gaung kemerdekaan meluas di kalangan pelajar Hindia Belanda yang berasal dari kalangan bangsawan pulau Jawa. Cita-cita luhur mereka adalah mencapai Indonesia merdeka. Merdeka lahir dan batin. Itulah sebabnya untuk menghormati perjuangan mereka Pemerintah Republik Indonesia mengabadikan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Keputusan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pada masa berdirinya organisasi Budi Utomo inilah kaum pelajar bumi putera yang merupakan generasi muda tanah air bangkit dari tidur panjangnya sebagai bagian dari warga jajahan Belanda. Mereka sadar bahwa tanah air mereka sedang dijajah. Harta benda beserta seluruh kekayaan alamnya baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak diperbaharui seluruhnya dibawa paksa ke negeri Belanda dengan berbagai cara. Mereka sadar bahwa hanya dengan menggelorakan semangat kemerdekaan mereka bisa melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Gagasan lainnya muncul dari seorang putri bangsawan tanah Jawa yang lahir di Jepara, yaitu R.A. Kartini. Sebagai anak seorang ningrat yang menjabat sebagai kepala pemerintahan di Jepara ia mendapatkan hak istimewa di bidang pendidikan, yaitu bersekolah di sekolah Belanda. Sebagai anak perempuan yang cerdas dan cekatan ia menyadari bahwa sebagai perempuan ia mendapatkan ketidakadilan dari sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda. Ia memandang bahwa pendidikan adalah milik semua bangsa dan semua gender. Tidak boleh anak perempuan tertinggal dalam hal pendidikan karena anak perempuanlah yang mengurus rumah tangganya kelas saat mereka dewasa.

Bagaimana bisa seorang perempuan yang buta huruf bisa mengurus dan mendidik anak-anaknya hingga anak tersebut berhasil dalam kehidupannya adalah dasar pemikiran pemberontakannya yang dituangkannya dalam surat-suratnya. Perempuan adalah sosok di belakang layar yang mendukung kesuksesan suami dan anak-anaknya di masyarakat. Hanya perempuan yang cerdas yang bisa menghasilkan anak-anak yang cerdas. Demikian pemikirannya yang mendasari adanya gerakan feminisme di bidang pendidikan di tanah air pada masa itu. Dengan penanya R.A. Kartini berjuang meminta kebebasan kaumnya, yaitu kaum perempuan, untuk bisa bersekolah sebebas laki-laki di sekolah-sekolah Belanda pada tahun 1912.

Gagasan demi gagasan yang memandang pendidikan itu penting bagi seluruh anak jajahan juga digaungkan oleh Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Dengan dimotori oleh R.M. Suwardi Suryaningrat yang beralih nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, Taman Siswa berkembang di seluruh Indonesia.

National Onderwijs Institut Taman Siswa adalah nama lain dari Taman Siswa yang berpusat di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur), di Jalan Taman Siswa Yogyakarta.

Dalam proses pendidikan yang dilaksanakan oleh Ki Hadjar Dewantara di lembaga yang didirikannya tersebut ia menerapkan Patrap Triloka. Salah satu Patrap ini dijadikan semboyan Departemen Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia.

Patrap Triloka ini lahir dari hasil pemikirannya setelah Ki Hadjar Dewantara mempelajari teori Maria Montessori (Italia), Rabindranath Tagore (India), dan Friederich Wilhelm August Frobel (Jerman). Patrap triloka tersebut adalah Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.

Para pamong yang lebih dikenal sebagai guru ini wajib menerapkan Patrap Triloka tersebut dalam melaksanakan tugas pengajarannya sehari-hari di sekolah.

Ing ngarsa sung tulodo yang berarti di depan memberi teladan adalah langkah awal yang harus dimiliki guru di manapun ia mengajar dan berada. Sebagai agent of change, guru haruslah menguasai banyak ilmu pengetahuan, keterampilan, dan berbagai hal yang berguna bagi murid-murid yang diajarnya. Ia harus memberikan contoh yang terbaik dari seluruh proses pendidikan yang dilakukannya. Bila ia meminta murid menggambar sebuah pemandangan maka ia pun harus bisa mencontohkannya di depan muridnya bagaimana menggambar sebuah pemandangan yang baik. Begitu ilustrasinya. Jangan sampai ia menyuruh muridnya melakukan A tetapi ia sendiri tidak bisa melakukan A tersebut dengan baik. Ini dikarenakan murid sebagian besar meniru, mengamati dan memodifikasi hasil kerja yang ditunjukkan oleh guru-gurunya. Dengan meniru, mengamati dan memodifikasi hasil kerja gurunya mereka bisa melakukan apa yang diperintahkan gurunya dengan baik bahkan lebih baik lagi.

Ing madya mangun karso yang berarti di tengah membangun kemauan atau inisiatif adalah langkah kedua yang wajib dilakukan guru dalam mengajar, dan mendidik murid-muridnya. Guru dengan menggunakan berbagai metode dan teknik mengajar diharuskan mampu membangun cita-cita pada diri murid. Ia harus mampu kesadaran, mimpi, dan keinginan yang akan diwujudkan muridnya untuk bekal kehidupannya di masa depan. Tanpa kemampuan ini bagaimana bisa muridnya menjadi sosok yang diinginkannya dengan baik. Gurulah yang membangun cita-cita murid untuk menjadi polisi, dokter, pengusaha, pengrajin, bahkan petani yang sukses. Gurulah yang membangun kesadaran murid untuk belajar giat demi meraih cita-citanya. Gurulah yang membangun semangat dan motivasi muridnya dengan cara yang unik agar murid tersebut kembali bangkit dan maju setelah ia terpuruk dan gagal dalam usahanya. Guru yang baik adalah guru yang mampu melakukan semua hal tersebut untuk muridnya.

Patrap Triloka terakhir adalah Tut wuri handayani yang berarti dari belakang mendukung. Pengertian patrap ini adalah sebagai berikut, sebagai guru ia harus mampu mendukung semua gerakan dan usaha yang dilakukan oleh sang murid demi meraih tujuan dan cita-citanya. Apapun yang dibutuhkan sang murid dalam upaya mewujudkan hal tersebut perlu didukung oleh sang guru. Cara memberikan dukungan ini misalnya dengan memberikan suntikan motivasi dan semangat pantang menyerah.

Dari seluruh Patrap Triloka Taman Siswa, Tut wuri handayani adalah patrap yang paling banyak dipilih dan digunakan oleh guru-guru Indonesia dewasa ini. Mereka senantiasa memilih memberikan dukungan kepada murid-muridnya dalam mengikuti pertandingan atau pun perlombaan.

Persamaan pendidikan yang dilaksanakan pada masa kolonial hingga saat ini adalah sebagai berikut;

Pertama, sama-sama dilaksanakan di sebuah ruangan yang khusus diperuntukkan untuk melaksanakan proses pendidikan. Ruangan ini disebut dengan kelas. Gabungan beberapa kelas yang menjadi gedung disebut sekolah.

Kedua, pendidikan yang dilaksanakan selalu tidak terpisahkan dari aktor pendidikan itu sendiri yaitu guru. Hanya istilahnya saja yang berbeda. Pada masa kolonial Belanda guru disebut dengan Ndoro, Engku, Encik Guru (Cikgu), Meneer, Juffrouw, dan Mevrouw. Sementara pada zaman kolonial Jepang, istilah berbau Belanda diganti menjadi Sensei. Kini, guru hanya disebut dengan panggilan Bapak dan Ibu saja. Lengkapnya, Bapak Guru, dan Ibu Guru.

Ketiga, media belajar yang digunakan masih sama yaitu sama-sama menggunakan buku sebagai salah satu sumber belajar. Perbedaannya hanya bentuknya saja. Kini, buku tidak hanya berbentuk cetak tetapi juga non-cetak alias soft file yang bisa diakses dengan menggunakan gawai pintar.

Keempat, tujuan pendidikannya adalah sama-sama mencerdaskan murid. Pada masa kolonial Belanda, anak-anak bangsawan pribumi diajarkan dengan sungguh-sungguh agar cerdas dalam berkomunikasi dengan bahasa Belanda, bisa membaca, dan menulis dalam bahasa Belanda, dan bisa berhitung dengan baik. Kini, tujuan pendidikan nasional diperluas tidak hanya sekadar mencerdaskan murid saja. Inilah perbedaan mendasar dari tujuan pendidikan yang ada di masa kolonial dengan masa sekarang. Tujuan pendidikan masa kolonial adalah menyediakan tenaga siap pakai untuk bekerja mendukung stabilitas pemerintahan kolonial di tanah jajahan. Sementara, tujuan pendidikan nasional masa kini tertuang dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional Nomor 20 tahun 2003. Yaitu, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 2). Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak, mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 3).

Kelima, fungsi guru sama-sama sebagai tokoh pendidikan yang berada di ruang kelas mengajarkan materi, pengetahuan, dan keterampilan yang dinilai penting untuk dikuasai oleh murid. Perbedaanya adalah pada masa kolonial guru benar-benar memiliki tempat social yang tinggi di mana murid tidak boleh membantah, berbeda pendapat, dan pembelajaran dilaksanakan dengan sistem teacher centered. Guru adalah sumber belajar utama. Pada masa kini, guru berperan sebagai fasilitator di kelas. Guru tidak lagi menjadi sumber belajar utama. Murid bisa belajar dari orang lain yang menjadi tokoh masyarakat, tokoh industry, dan lainnya yang tinggal di sekitar sekolah. Murid juga bisa mengakses YouTube, TikTok, Google, dan beragam media sosial lainnya sebagai sumber belajar. Dengan begitu, pengetahuan, keterampilan murid pada masa kini jauh lebih luas dan cakap dibandingkan pada masa kolonial.

Demikianlah potret pendidikan Indonesia sejak zaman Kolonial hingga kini.(*)

 

***

Biografi Penulis

Neneng Hendriyani, Guru Bahasa Inggris di SMA Negeri 4 Cibinong Kabupaten Bogor. Senang menulis sejak masih di SMP. Lahir, 9 Agustus 1982 di Bogor, Jawa Barat. 

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...