Penulis: Rakhmi Ifada, S.Ag, M.Pd.I
Rakhmi Ifada, S.Ag, M.Pd.I
Oleh Rakhmi Ifada, S.Ag, M.Pd.I
(Guru SMAN 1 Cigombong Bogor)
Pengertian qudwah adalah panutan atau suri tauladan. Al
qudwah juga berarti Al qadwah, Al qidwah, dan Al qidyah yang bermakna ‘apa-apa
yang telah engkau ikuti dan engkau biasa dengannya.’ Al qudwah juga bermakna Al
uswah (contoh).
Nama qudwah berasal dari bahasa arab dengan huruf awal q dan
terdiri atas 6 huruf. Kata qudwah memiliki pengertian, definisi, maksud
atau makna panutan, suri tauladan, contoh, teladan, bisa digunakan untuk nama
bayi (nama anak), nama perusahaan, nama merek produk, nama tempat, dan lain
sebagainya. Kata qudwah yang bermakna panutan, suri tauladan; contoh,
teladan ini boleh kita gunakan selama arti qudwah tidak berkonotasi negatif di
lingkungan tempat tinggal kita.
Kajian kitab 10 Qowaid Fii Tazkiyatun Nafs yang membahas
tentang kaidah keempat yaitu, "menjadikan uswah dan
qudwah". Perbedaan kedua hal tersebut yaitu terletak pada bentuknya. Seperti
uswah yang memiliki arti panutan yang bersifat ilmu pengetahuan dan akhlak.
Sementara qudwah memiliki arti panutan yang bersifat perbuatan. Namun, keduanya
sangat berat untuk dilakukan. Sehingga yang perlu kita jadikan panutan adalah
para rasul, terutama Rasulullah saw, teladan kita semua.
Tentang uswah dan qudwah tersebut difirmankan Allah swt dalam
Qs. Al-Ahzab ayat 21 yang artinya "Sungguh ada dalam diri Rasulullah
uswatun hasanah bagi seseorang yang mengharapkan Allah, hari akhir, dan zikir
kepada Allah."
Menurut tafsir Ibnu Katsir, (Ibnu Katsir, jilid
6, hlm. 391) bahwa ayat ini merupakan pedoman bergaya hidup. Yang mana dengan
pedoman itu seseorang dapat mengontrol diri dan selalu mengintrospeksi
kesesuaian gaya hidup sehari-harinya sebagai hamba Allah yang saleh. Ayat tersebut merupakan pokok paling besar di dalam penjelasan tentang
keteladanan Rasulullah saw dalam ucapan, dalam perbuatan dan dalam
sikap-sikapnya. Sehingga keteladanan pada diri Rasulullah merupakan totalitas.
Dan ketika kita mengikuti ajaran beliau, itu merupakan bukti cinta kepada
Allah. Kita tidak dapat melakukan tazkiyatun nafs jika tidak mengikuti
sunah nabi.
Keteladanan (qudwah/uswah hasanah) dijadikan sebagai metode
dalam pendidikan Islam secara psikologi didasarkan akan fitrah manusia yang
memiliki sifat gharizah (kecenderungan mengimitasi atau meniru orang lain).
Alquran memberikan petunjuk pada manusia kepada siapa mereka
harus mengikuti dan meneladani agar mereka tidak tersesat.
Seseorang menjadi berakhlak dan berbudi pekerti baik,
tidak cukup hanya dengan mengajarinya tanpa ada unsur keteladanan di
dalamnya. Karena itu salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam UU
Sisdiknas pada pasal 4 adalah pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan. Dan ini penting sekali untuk dilaksanakan oleh kita semua.
Seorang budayawan pernah mengatakan bahwa seorang anak yang
rajin membaca bukan karena disuruh membaca, tapi karena selalu melihat orang
tuanya membaca. Orang tua adalah prototype yang dicontoh anak. Ini senada
dengan perkataan lisanul hal afshahu min lisanil maqal (bahasa perbuatan
lebih fasih daripada bahasa lisan). Perbuatan lebih mengena daripada sekedar
kata-kata.
Seorang anak kecil yang belum sanggup berbicara dan memahami
perintah lisan pun dapat meniru pekerjaan yang sering mereka lihat dan
saksikan. Anak balita mengikuti bagaimana orang tua dan lingkungan keluarga
mendidiknya. Memang ada kecenderungan manusia untuk lebih mudah meniru perilaku
orang lain daripada menaati perintah lisan. Hasil tiruan yang berulang-ulang
inilah, disadari atau tidak akan perlahan membentuk sikap dan karakter
seseorang. Dan ini dimulai dari rumah dan keteladanan yang diberikan orang tua
dan anggota keluarganya.
Melatih sikap, membentuk kepribadian dan menanamkan nilai
pada seseorang dengan cara memberikan contoh atau teladan, apalagi melalui
keteladanan kolektif lebih efektif dibandingkan hanya sekadar instruksi lisan,
karena orang pada dasarnya tidak senang disuruh-suruh, tidak senang
diatur-atur, atau merasa terlalu diawasi melalui peraturan yang ketat, bahkan
terkadang muncul pengulangan-pengulangan perintah. Senada dengan sebuah pendapat
yang mengatakan bahwa semakin banyak peraturan yang dibuat oleh negara, semakin
menunjukkan bahwa Negara itu lemah, karena itu yang dibutuhkan bukan
semata-mata aturan, tapi pembudayaan hukum.
Mendidik dan mengajari seseorang tanpa ada keteladanan di
dalamnya, serupa dengan orang yang melakukan amar ma’ruf tapi dia sendiri tidak
mengamalkannya. Seandainya memerintahkan orang lain berbuat kebaikan yang
kita sendiri tidak amalkan tetaplah sebuah kebaikan.
Dalam QS. Ash-Shaff: 2-3 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman!
Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah
dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” Oleh karena itu, seorang pendidik seyogyanya tidak hanya sebagai
seorang pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi teladan
atau uswah, sebagaimana juga disebutkan dalam UU Sisdiknas pada pasal 40
tentang kewajiban pendidik, yaitu salah satunya memberi teladan.
Menilik tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan seterusnya, maka tidak
cukup hanya dengan mengajarkan peserta didik ilmu pengetahuan yang menjadikan
mereka cerdas dan berilmu, tapi harus disertai keteladanan dalam
mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta
kepribadian yang baik. Memberikan contoh kebaikan untuk diteladani adalah aset
bangunan pendidikan yang kokoh, karena itu disebutkan dalam hadits “Barangsiapa
dalam Islam memberikan contoh kebaikan maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang yang mengamalkannya setelahnya” (HR. Muslim). Begitu pula dalam hadits
yang lain“Barangsiapa menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya pahala
seperti pahala orang yang melakukan kebaikan itu”(HR. Muslim)
Kita berharap adab dan akhlak yang baik serta nilai-nilai
kejujuran menjadi teladan yang semakin tumbuh, berkembang dan dilestarikan di
semua lingkungan pendidikan khususnya pendidikan formal yang saat ini lebih
banyak dipercayakan untuk memikul beban pendidikan. Fungsi Negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea keempat
pembukaan UUD 1945 tidak hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan
spiritual dan kecerdasan emosional tentunya.
Prinsip qudwah dengan memberikan teladan kepada orang lain
untuk diikuti atau bahkan diduplikasi sedekat mungkin dengan Rasulullah saw.
Qudwah hasanah dari prinsip tersebut diterapkan dari level personal sampai ke
level komunitas, di satuan pendidikan maupun di lingkungan masyarakat. Maka ke
depannya tentu akan mencetak calon pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab,
amanah dan berani membawa masyarakatnya menuju kedamaian, kebahagiaan dan
kesejahteraan sampai di level bernegara.
Qudwah yang menjadi karakter dalam nilai-nilai moderasi
beragama ini, jika dikaitkan dengan konteks sosial kemasyarakatan, maka
memberikan pemaknaan bahwa seseorang atau kelompok umat Islam dapat dikatakan
moderat jika mampu menjadi pelopor atas umat yang lain dalam menjalankan
nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Kepeloporan ini harus terus menerus disosialisasikan dari
contoh-contoh keteladanan Rasulullah saw, para sahabat, para tabi'in dan para
Ulama pewaris Nabi.
Indikator qudwah(kepeloporan) dalam nilai-nilai moderasi
antara lain bisa menjadi contoh/teladan di lingkungannya, mau
berintrospeksi jika berbuat kesalahan atau mengevakuasi di setiap kegiatan,
tidak suka menyalahkan orang lain, memulai langkah baik dari diri sendiri dan
menjadi pelopor dalam kebaikan seperti menjaga kelestarian lingkungan dan alam
sekitar.
Komitmen seseorang terhadap moderasi beragama akan terlihat
dari sejauh mana seorang tersebut mampu menjadi qudwah (teladan atau pelopor)
dalam menciptakan kehidupan damai, aman, tenteram, menghargai orang lain, yang
berorientasi pada nilai-nilai keadilan. Dengan kata lain qudwah dalam sembilan
nilai moderasi beragama ini memiliki ciri- ciri dapat memberikan
contoh/teladan, memulai langkah baik dari diri sendiri dan menjadi pelopor
dalam berbuat baik untuk kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kepeloporan seseorang harus terus berjalan berkesinambungan dan
berkelanjutan membawa kemaslahatan untuk umat manusia.
Bogor, 27 Agustus 2021