Penulis: Mustar, S,Pd., M.M.
Mustar, S,Pd., M.M.
(Guru SMA Negeri 5 Bandung)
Baru-baru ini DPR dan pemerintah
sepakat untuk tidak mewajibkan sekolah-sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka.
Sekolah dipersilahkan memilih menggunakan kurikulum merdeka atau 2013. Konon
kesepakatan ini setelah menempuh perdebatan panjang. Hal ini berkaitan erat
dengan evaluasi yang masih dilakukan oleh DPR.
Pertanyaan mendasar bagi DPR
adalah apakah kurikulum merdeka memberikan dampak yang sesuai harapan atau tidak.
Dapat ditangkap dengan pertanyaan ini adalah apakah dengan kurikulum merdeka
telah memberikan ruang yang optimal bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran,
dan apakah sudah mampu memberikan kesempatan yang optimal bagi siswa untuk
mengembangkan diri.
Sebagai praktisi sehari-hari
dalam kancah pendidikan, penulis dapat memahami kesepakatan tersebut. Banyak
hal dalam kurikulum merdeka yang harus dievaluasi. Tidak semata-mata pada
perbedaan format dengan kurikulum 2013, namun lebih jauh adalah apakah efektivitas
yang diharapkan dapat terwujud?
Dalam kurikulum merdeka terdapat
dua roh yang diimplementasikan, pembelajaran reguler dengan output nilai
akademik, dan pembelajaran proyek dengan output narasi ketercapaian kompetensi.
Keduanya berbobot sama, namun perbedaannya adalah jika pada pembelajaran
reguler berbasis mata pelajaran, dan pada pembelajaran proyek berbasis
penguatan profil pelajar pancasila. Dalam bahasa awamnya pembelajaran proyek
tidak selalu harus dikaitkan dengan mata pelajaran.
Pembelajaran dengan output nilai
akademik sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kurikulum 2013. Keduanya
menekankan pada kinerja siswa, dan memperhatikan kondisi yang berbeda antar
siswa. Guru sebagai fasilitator mengembangkan Lembar Kerja Peserta Didik atau
biasa disebut LKPD, atau beheula disebut LKS. Kemudian dengan LKPD inilah siswa
bekerja baik secara individu maupun berkelompok.
Lalu kemudian dalam kurikulum
merdeka dikenal adanya pembelajaran terdiferensiasi, dalam kurikulum 2013 pun
hal ini dilakukan walau tidak dengan istilah spesifik. Secara umum semua
karakteristik kurikulum merdeka sudah terlaksana pada kurikulum 2013. Sedikit
berbeda adalah ketika kurikulum 2013 memiliki penekanan pada penilaian sikap,
dan ini tertuang dalam kompetensi inti, baik sikap sosial maupun sikap
spiritual.
Pertimbangan penentuan model
pembelajaran pun selalu dilakukan guru tidak hanya pada kurikulum merdeka. Hal
ini dikarenakan guru memang sangat memahami berbagai variabel di dalam kelas.
Guru menyadari sepenuhnya bahwa dalam sebuah kelas selalu terdapat siswa dengan
kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Dalam arti, jika pada kelas tertentu untuk
materi tertentu dapat menggunakan model A, tapi pada kelas yang lain model A
belum tentu dapat diterapkan, atau bisa diterapkan dengan modifikasi pada
beberapa hal. Hal ini pun lazim dilakukan pada kurikulum 2013.
Jadi sebetulnya yang membedakan
antara kurikulum merdeka dengan kurikulum 2013 adalah pada pembelajaran proyek.
Dalam kurikulum merdeka peran guru selain sebagai pengampu mata pelajaran juga
menjadi fasilitator dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila.
Namun demikian seringkali terjadi tumpang tindih di lapangan. Pada saat yang
sama guru berkewajiban menyelenggarakan pembelajaran reguler sampai evaluasi
dan refleksi, pada sisi yang lain guru berkewajiban membimbing pembelajaran
proyek. Mungkin inilah salah satu bagian penting yang harus dievaluasi pada
kurikulum merdeka.
Solusi yang dapat ditawarkan
dalam hal ini adalah dengan cara memberikan kebebasan kepada guru dan kelompok
guru untuk menyelenggarakan pembelajaran proyek dan berkaitan dengan materi
pembelajaran reguler. Artinya tidak perlu mengacu pada enam dimensi yang
ditetapkan pada kurikulum merdeka. Dalam hal ini siswa diberikan kebebasan
untuk memilih mengerjakan proyek pada mata pelajaran tertentu sesuai dengan
minat dan kompetensi yang dimiliki, tentu saja dalam kelompok-kelompok kecil.
Misalnya dalam satu kelas terdapat 36 orang siswa, bisa jadi terdiri dari enam
kelompok. Masing-masing kelompok memilih mata pelajaran tertentu sebagai basis
proyeknya dan sudah tentu akan dibimbing oleh guru mata pelajaran yang
berkaitan.
Akhirnya penulis tertarik sebuah
quote dari Lisa Delpit, If the curriculum
we use to teach our children does not connect in positive ways to the culture
young people bring to school, it is doomed to failure.