Sekolah Swasta Sekarat, Siapa Peduli?

Penulis: H. Nanang, S.H.

Dibaca: 1787 kali

H. Nanang, S.H.

Oleh H. Nanang, S.H.

(Ketua Dewan Pendidikan Garut)

 

Pendidikan adalah tanggung jawab kolektif bangsa. Di dalamnya, pemerintah, masyarakat, dan individu masing-masing punya peran yang tidak terpisahkan. Di balik deretan sekolah negeri yang dibangun dengan dana negara, berdiri pula ribuan sekolah swasta yang tumbuh dari semangat gotong royong, kepedulian masyarakat, dan idealisme para pendidik. Sekolah swasta telah lama menjadi tiang penyangga dunia pendidikan Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh pembangunan sekolah negeri. Namun kini, dengan hadirnya Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1 Tahun 2025 tentang "Pedoman Umum Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS)", sekolah swasta justru seperti diabaikan. Mereka sekarat dan pertanyaannya: siapa yang peduli?

Sejak masa kolonial, sekolah-sekolah swasta telah berdiri dan menjadi pelopor pendidikan di nusantara. Pesantren, sekolah Muhammadiyah, sekolah-sekolah Katolik dan Kristen, sekolah Tionghoa, hingga sekolah swasta modern pasca-kemerdekaan semuanya memiliki kontribusi nyata dalam mencerdaskan bangsa. Di era Orde Baru hingga Reformasi, sekolah swasta menjadi mitra strategis pemerintah. Ketika negara belum mampu menjangkau seluruh pelosok, sekolah swastalah yang hadir lebih dahulu.

Sekolah swasta juga kerap menjadi alternatif bagi masyarakat yang menginginkan model pendidikan tertentu entah yang berbasis agama, kurikulum internasional, atau pendekatan pedagogi tertentu. Mereka tidak sekadar menampung siswa, tetapi juga menawarkan nilai-nilai yang memperkaya ekosistem pendidikan nasional.

Bahkan, saat ini banyak sekolah swasta yang telah menggratiskan biaya pendidikan sepenuhnya demi menjaga akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Hanya sebagian kecil dari sekolah swasta yang masih menerapkan biaya tambahan, itupun biasanya ditujukan untuk mendukung program-program pengayaan atau layanan khusus. Artinya, anggapan bahwa sekolah swasta selalu mahal sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan di lapangan.

Salah satu aspek penting dalam tata kelola pendidikan adalah pengaturan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Nomor 071/H/M/2024, ditetapkan bahwa jumlah ideal siswa dalam kondisi normal adalah: SD: 28 siswa; SMP: 32 siswa; SMA/SMK: 36 siswa. Namun, dalam kondisi pengecualian, dapat dinaikkan menjadi: SD: 40 siswa; SMP: 45 siswa; SMA/SMK: 50 siswa.

Pengecualian ini hanya berlaku pada wilayah-wilayah dengan kondisi tertentu: 1) wilayah padat penduduk dengan keterbatasan satuan pendidikan; 2) wilayah yang menerima peserta didik dari luar wilayah karena kekurangan satuan pendidikan; 3) wilayah dengan kondisi khusus seperti bencana alam atau sosial, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2020. Perlu dicatat, istilah "satuan pendidikan" tidak hanya mencakup sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta. Dan yang menentukan apakah suatu wilayah tergolong daerah khusus atau tidak adalah Menteri Pendidikan, bukan Gubernur.

Kepgub Jawa Barat Nomor 463.1 Tahun 2025 tentang Pedoman Umum Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) lahir dengan niat yang baik memastikan semua anak usia sekolah tetap belajar. Salah satu implementasinya adalah dengan menambah kapasitas rombel di sekolah negeri.

Namun, implementasi ini menimbulkan masalah. Jumlah siswa di kelas-kelas sekolah negeri membeludak, sementara sekolah swasta kekurangan siswa. Sekolah swasta yang selama ini hidup terancam kolaps.

Hadirnya Kepgub ini telah memicu eksodus siswa dari sekolah swasta ke negeri, terutama katanya karena pertimbangan biaya. Kelas-kelas di sekolah negeri dijejali hingga melebihi kapasitas ideal, sementara bangku di sekolah swasta terancam kosong. Akibatnya akan banyak sekolah swasta merumahkan guru karena kekurangan murid; kualitas pembelajaran menurun karena sekolah negeri kelebihan beban; siswa yang butuh perhatian lebih jadi terabaikan; ketimpangan kualitas pendidikan makin tajam. Sekolah swasta sekarat bukan karena tidak mampu bersaing, tetapi karena regulasi yang timpang.

Kelas yang terlalu penuh berdampak langsung pada kualitas pembelajaran. Dalam kelas dengan 45-50 siswa, guru kesulitan memberikan perhatian individual, mengevaluasi pembelajaran secara menyeluruh, dan menciptakan suasana belajar yang kondusif. Sementara itu, sekolah swasta yang biasanya memiliki rasio guru-murid lebih kecil justru ditinggalkan. Padahal dari segi proses, sekolah swasta kerap menawarkan pendekatan yang lebih personal dan inovatif. Kualitas pendidikan bukan hanya soal angka murid, tetapi juga suasana belajar, ketenangan kelas, dan kedalaman proses pembelajaran. Kepgub ini, tanpa analisis menyeluruh, justru menggerus prinsip-prinsip tersebut.

Kepgub ini bertentangan dengan sejumlah peraturan: pertama, Keputusan Kepala BSKAP No. 071/H/M/2024 yang sudah menetapkan batasan rombel ideal dan pengecualian yang hanya berlaku dalam kondisi tertentu; kedua, Permendikbud No. 23 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa status "wilayah khusus" tidak bisa ditetapkan oleh gubernur secara sepihak; dan ketiga, asas keadilan dan profesionalisme yang menjadi semangat jargon "Jabar Juara" dan "Jabar Istimewa". Regulasi daerah tidak boleh melangkahi regulasi nasional, apalagi menabraknya. Kepgub ini terindikasi bukan hanya cacat prosedural, tapi juga mengabaikan prinsip keadilan bagi sekolah swasta.

Sekolah swasta adalah mitra, bukan pesaing sekolah negeri. Mereka telah lama mengisi celah di mana negara belum mampu hadir. Banyak sekolah swasta yang telah berjasa mencetak lulusan berkualitas, bahkan menjadi pusat inovasi pendidikan. Namun kini, mereka seperti anak tiri.

Tidak mendapatkan perlindungan kebijakan, tidak dilibatkan dalam diskusi strategis, dan malah terkena imbas regulasi sepihak. Jika terus berlangsung, Indonesia akan kehilangan kekayaan ekosistem pendidikan yang selama ini dibangun bersama.

Kepada pemerintah provinsi, khususnya Gubernur Jawa Barat: revisi Kepgub 463.1/2025 agar selaras dengan regulasi nasional; libatkan sekolah swasta dalam forum-forum pendidikan daerah; berikan insentif atau subsidi bagi sekolah swasta yang melayani siswa dari keluarga tidak mampu. Kepada pemerintah pusat: tegakkan regulasi nasional agar tidak ditabrak oleh aturan daerah; perkuat posisi hukum sekolah swasta sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Kepada Masyarakat dukung keberadaan sekolah swasta sebagai alternatif yang layak; jangan nilai sekolah hanya dari segi biaya, tapi juga dari mutu dan nilai-nilai yang dibawanya.

Sekolah swasta sedang sekarat. Mereka butuh kehadiran negara, bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelindung ekosistem pendidikan yang sehat dan adil. Kepgub 463.1/2025 mungkin lahir dari niat baik, tapi implementasinya harus dikritisi agar tidak justru membunuh mitra strategis pendidikan itu sendiri. Dalam dunia pendidikan, kualitas tidak boleh dikorbankan demi kuantitas. Dan keadilan tidak boleh hilang demi efisiensi. Pertanyaannya: masih adakah yang peduli? Wallahu a’lam bishawab.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...