Suara Sekolah Penggerak di Pedesaan

Penulis: Dudung Nurullah Koswara

Dibaca: 45 kali

Sekolah pedesaan (FB/DNK)

Oleh Dudung Nurullah Koswara

(Praktisi Pendididkan)

 

Bila Presiden RI, Joko Widodo punya semangat membangun dari pinggiran, dari pedesaan, ibarat makan bubur yang kebanyakan dimulai dari pinggir mangkuk. Maka sebenarnya spirit ini pun harus diterapkan pada pola pengembangan program sekolah penggerak, khusus yang lokasinya di pedesaan atau pinggiran.

Unikasi dan keunggulan pola rekrutmen program sekolah penggerak (selanjutnya PSP) adalah semua sekolah di republik ini boleh ikut seleksi. Beda dengan pola rekrutmen penunjukan program sekolah RSBI zaman doeloe. RSBI zaman doeloe adalah “cacat pola” pengembangan sekolah yang melahirkan suudhon dan diskriminasi sekolah dan pendidik.

PSP terbalik dengan pola RSBI dan terbaik dalam menghargai potensi sekolah. Sangat demokratis dan memberi harapan pada sekolah mana pun, di mana pun untuk terlibat dalam upaya transformasi pendidikan di pelaksanaan PSP. Hanya di zaman PSP sekolah pinggiran, pedesaan dan di pegunungan bisa “sejajar” dengan sekolah favorit di tengah kota, sama-sama selevel sebagai sekolah penggerak. Tentu dengan modal dan start yang tak sama.

Lain ladang lain belalang, lain kolam lain ikannya. Terkait sekolah pelaksana PSP tentu ada sejumlah disparitas, ketakseragaman potensi awal saat maju sebagai pelaksana PSP. Ini harus dipahami pemerintah dan pemerintah daerah. Dokter saja akan memberikan resep pada pasien sesuai keadaan Sang Pasien. Tidak semua pasien diberi obat yang sama. Begitu pun pada sekolah pelaksana PSP.

Semua pasien tentu ada gangguan kesehatan, namun tidak semua pasien diberi obat atau resep yang sama. Sekolah penggerak pinggiran dan sekolah penggerak perkotaan favorit tentu tidaklah sama. Tidak sama secara geografis, secara sosial ekonomi, sosial partisifatif dan sosial kompleksitas. Walau pun semua punya soalan masing-masing yang khas.

Namun faktanya sekolah pinggiran atau sekolah pedesaan lebih banyak yang tidak terjangkau “tangan pemerintah” dan seolah terabaikan. Walau secara data based dalam dapodik sekolah kita Kementerian Pendidikan Kebudayaan Ristek sudah mulai terdata dengan baik. Banyak sisi lainnya dari sekolah pedesaan yang masih harus “distimulus” oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

Sejumlah soalan di sekolah pedesaan di antaranya terkait sarana dan prasarana yang masih jauh dari baik. Beda sengan sekolah perkotaan. Sarana dan prasarana sekolah jauh lebih “kinclong” dibanding sekolah pedesaan. Sekolah pedesaan dalam hal sarana prasarana sangat jauh dari “kinclong”. Sejatinya bantuan perbaikan sarana dan prasarana sekolahan utamakan sekolah pedesaan.

Jangan sampai ungkapan Rhoma Irama, “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Jangan sampai bantuan mebeler, bangunan, kendaraan dan fasilitas lainnya lebih banyak dialirkan pada sekolah perkotaan. Sekolah pedesaan tidak boleh menjadi “penonton” melintasnya truk pengangkut bantuan untuk sekolah perkotaan.

Suara sekolah penggerak di pedesaan intinya adalah “berikan bantuan” sebanyak-banyaknya pada sekolah pedesaan secara fisik khususnya, agar sekolah pedesaan bisa berwajah sekolah kota. Ungkapan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” bisa diterjemahkan ke dalam diksi “Keadilan Sosial Bagi  Seluruh Anak Dididik Pedesaan” terkait bantuan beragam fasilitas layanan pendidikan.

Ayo pemerintah pusat, Bupati, Walikota dan Gubernur yang terikat dalam MOU Asimetris PSP “sisir” sekolah pedesaan, apa kebutuhan mendesaknya? Utamakan sekolah paling pojok, terisolir dan pedesaan. Bahkan tidak hanya sekolah PSP saja. Semua sekolah punya “hak” yang sama untuk mendapatkan “Keadilan Sosial” layanan fasilitas pendidikan.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...