Penulis: Dudung Nurullah Koswara
Sekolah pedesaan (FB/DNK)
Oleh Dudung
Nurullah Koswara
(Praktisi
Pendididkan)
Bila Presiden RI,
Joko Widodo punya semangat membangun dari pinggiran, dari pedesaan, ibarat
makan bubur yang kebanyakan dimulai dari pinggir mangkuk. Maka sebenarnya
spirit ini pun harus diterapkan pada pola pengembangan program sekolah
penggerak, khusus yang lokasinya di pedesaan atau pinggiran.
Unikasi dan
keunggulan pola rekrutmen program sekolah penggerak (selanjutnya PSP) adalah
semua sekolah di republik ini boleh ikut seleksi. Beda dengan pola rekrutmen
penunjukan program sekolah RSBI zaman doeloe. RSBI zaman doeloe adalah “cacat
pola” pengembangan sekolah yang melahirkan suudhon dan diskriminasi sekolah dan
pendidik.
PSP terbalik dengan
pola RSBI dan terbaik dalam menghargai potensi sekolah. Sangat demokratis dan
memberi harapan pada sekolah mana pun, di mana pun untuk terlibat dalam upaya
transformasi pendidikan di pelaksanaan PSP. Hanya di zaman PSP sekolah
pinggiran, pedesaan dan di pegunungan bisa “sejajar” dengan sekolah favorit di
tengah kota, sama-sama selevel sebagai sekolah penggerak. Tentu dengan modal
dan start yang tak sama.
Lain ladang lain
belalang, lain kolam lain ikannya. Terkait sekolah pelaksana PSP tentu ada
sejumlah disparitas, ketakseragaman potensi awal saat maju sebagai pelaksana
PSP. Ini harus dipahami pemerintah dan pemerintah daerah. Dokter saja akan
memberikan resep pada pasien sesuai keadaan Sang Pasien. Tidak semua pasien
diberi obat yang sama. Begitu pun pada sekolah pelaksana PSP.
Semua pasien tentu
ada gangguan kesehatan, namun tidak semua pasien diberi obat atau resep yang
sama. Sekolah penggerak pinggiran dan sekolah penggerak perkotaan favorit tentu
tidaklah sama. Tidak sama secara geografis, secara sosial ekonomi, sosial
partisifatif dan sosial kompleksitas. Walau pun semua punya soalan
masing-masing yang khas.
Namun faktanya
sekolah pinggiran atau sekolah pedesaan lebih banyak yang tidak terjangkau
“tangan pemerintah” dan seolah terabaikan. Walau secara data based dalam
dapodik sekolah kita Kementerian Pendidikan Kebudayaan Ristek sudah mulai
terdata dengan baik. Banyak sisi lainnya dari sekolah pedesaan yang masih harus
“distimulus” oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Sejumlah soalan di
sekolah pedesaan di antaranya terkait sarana dan prasarana yang masih jauh dari
baik. Beda sengan sekolah perkotaan. Sarana dan prasarana sekolah jauh lebih
“kinclong” dibanding sekolah pedesaan. Sekolah pedesaan dalam hal sarana
prasarana sangat jauh dari “kinclong”. Sejatinya bantuan perbaikan sarana dan
prasarana sekolahan utamakan sekolah pedesaan.
Jangan sampai
ungkapan Rhoma Irama, “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Jangan
sampai bantuan mebeler, bangunan, kendaraan dan fasilitas lainnya lebih banyak
dialirkan pada sekolah perkotaan. Sekolah pedesaan tidak boleh menjadi
“penonton” melintasnya truk pengangkut bantuan untuk sekolah perkotaan.
Suara sekolah
penggerak di pedesaan intinya adalah “berikan bantuan” sebanyak-banyaknya pada
sekolah pedesaan secara fisik khususnya, agar sekolah pedesaan bisa berwajah
sekolah kota. Ungkapan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” bisa
diterjemahkan ke dalam diksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Anak Dididik Pedesaan” terkait bantuan
beragam fasilitas layanan pendidikan.
Ayo pemerintah
pusat, Bupati, Walikota dan Gubernur yang terikat dalam MOU Asimetris PSP
“sisir” sekolah pedesaan, apa kebutuhan mendesaknya? Utamakan sekolah paling
pojok, terisolir dan pedesaan. Bahkan tidak hanya sekolah PSP saja. Semua
sekolah punya “hak” yang sama untuk mendapatkan “Keadilan Sosial” layanan
fasilitas pendidikan.