Sukses Tidak Selalu Harus Berseragam Atau Berdasi (Kisah Inspiratif)

Penulis Jaka Suryawan

Dibaca: 202 kali

Jaka Suryawan

Oleh Jaka Suryawan

(SMAN 1 Cisayong)

 

Kisah ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya sedang antre di klinik dokter. Seperti biasa, untuk menepis kejenuhan saya memainkan gawai, tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar. Setelah sekian lama asyik seluncuran di dunia maya, sekilas sudut mata saya melihat sebuah Mitsubshi Pajero warna hitam berhenti di parkiran. Sesaat berselang, terlihat turun pasangan muda, cukup perlente. Sepertinya keluarga muda dengan dua orang anak perempuan sekitar sepuluh dan delapan tahunan. Lewat di depan saya dan memilih tempat duduk di samping kanan agak jauh dari tempat duduk saya. Saya pun kembali asyik dengan kegiatan yang tadi agak terganggu.

“Masih ingat saya, Pak?” Tiba-tiba ada suara yang memaksa saya melepas pandangan pada gawai. Perlahan nampak ada sosok yang sedang tersenyum penuh hormat di hadapan saya. Ternyata sosok itu adalah orang yang tadi turun dari Pajero bersama keluarganya. Sejenak mengamati raut wajah yang ada di hadapan saya, mencoba mengingat-ingat, namun belum juga berhasil.

“Saya Agus Pak. Murid kesayangan Bapak dulu.” Seperti faham yang sedang saya pikirkan, Ia mengenalkan nama sambil tak henti tersenyum.

“Oh… Iya. Saya ingat, Agus.., murid paling badung yang pernah saya ajar.” Saya menyambut hangat tangannya untuk bersalaman. Perlahan ingatan tentang orang ini mengental di selaput otak.

“Iya Pak.., murid Bapak paling istimewa.” Selorohnya. Selanjutnya Ia pun memperkenalkan istri dan anak-anaknya.

Seterusnya kami pun terlibat percakapan penuh kehangatan sambil menerawang kenangan belasan tahun ke belakang.

“Terima kasih atas bimbingan Bapak dulu selama saya sekolah Pak. Seandainya saya tidak bertemu Bapak, kayaknya tidak akan seperti sekarang kehidupan saya.” Ucapnya di sela-sela obrolan Panjang kami.

“Ha…ha…, dulu kamu memang satu-satunya murid yang meguras perhatian dan emosi saya.” Saya menjawab sejujurnya.

“Dan Bapak satu-satunya guru yang paling sabar dengan perilaku saya dulu Pak..” timpalnya.

“Ngomong-ngomong, di mana sekarang tinggal Gus, dan apa kegiatan kamu?” Didorong rasa penasaran, saya memberondongnya dengan pertanyaan.

“Sekarang saya tinggal di pinggiran Jakarta Pak.” Ia menjawab. Tangannya tidak henti mengusap kepala anaknya.

“Kalau usaha sich saya konsisten dengan cita-cita saya dulu, Bapak masih ingat?” lanjutnya diakhiri dengan pertanyaan. Matanya menatap wajah saya, seakan ingin cepat mendapat jawaban.

Ingatan saya kembali ke suatu hari, di akhir pembelajaran saya menelusuri minat dan rencana pendidikan dari siswa yang kebetulan saya bertugas menjadi wali kelasnya. Pada umumnya para siswa antusias menceritakan cita-cita dan rencana lanjutan studinya. Namun di antara empat puluh lebih anggota kelas, ada satu siswa yang jawabannya saat itu membuat emosi saya naik. Entah mungkin karena kondisi agak capek jadi saya terpancing dengan jawabannya.

“Saya tidak akan melanjutkan Pak. Saya tidak suka sekolah. Saya lebih suka bergelut dengan sampah ketimbang harus sekolah.”

“Agus.., jaga omongan kamu. Ini saya sedang serius mendata rencana studi.” Saya menghardiknya.

“Saya juga serius Pak!” Ia menjawab tak kalah keras.

“Jadi…” Belum selesai kata-kata saya.

“Betul Pak. Saya hidup dari sampah.” Seperti dahulu, gaya nyelenehnya tidak berubah.

Selanjutnya Ia bercerita tentang keberhasilannya merintis usaha di bidang limbah pabrik hingga dapat hidup lebih dari standar layak kehidupan di ibu kota.

“Kamu itu murid yang sering mengesalkan guru, Gus. Namun entah mengapa saya kok memiliki keyakinan bahwa kamu akan menjadi orang sukses.” Terasa bergetar suara dari kerongkongan.

“Terima kasih Pak. Ini semua juga berkat bimbingan Bapak dulu. Di saat guru-guru lain tidak ada yang menyukai saya, Bapak berkali-kali mengulurkan tangan untuk membangkitkan saya dari keterpurukan.” Ada keharuan di balik suara beratnya.

Selaput otak pun kembali terbuka untuk menerawang saat-saat membina dirinya. Suatu hari terjadi keributan di kelas 3 IPA-1. Ternyata Si Agus berantem dengan si Herman, teman sebangkunya. Setadinya saya mau beranjak ke kelas, namun Si Agus dan si Herman keburu digiring oleh guru BK. Saya pun mengikutinya ke ruang BK. Terlihat darah mengucur dari hidung si Herman. Segera saya ambilkan tissue yang ada di meja BK. Di tengah-tengah interogasi guru BK, saya mencoba bertanya.

“Benar kamu memukul si Herman, Agus?”

“Emh… Enggak Pak...” Jawabnya tanpa rasa bersalah.

“Lha itu hidung Si Herman sampai berdarah?” Saya bertanya dengan geram.

“Cuma eleg Pak.” Jawabnya tanpa rasa bersalah. Eleg itu Bahasa Sunda yang artinya main-main.

“Eleg nepika getihan kitu?”

“Eemh… itu… eleg besar Pak.” Jawabnya dengan wajah polos.

Saya tidak kuat menahan tertawa saat itu.

Masih banyak pelanggaran tata tertib yang sering Ia lakukan. Kasus mabal atau kabur dari pembelajaran, sering tidak mengerjakan tugas dari guru, bercanda berlebihan terhadap siswa perempuan, mengganti foto raport dengan gambar wajah yang tidak menentu. Bahkan pernah ada guru yang memboikot kelas dengan mogok mengajar di kelas 3 IPA-1. Kejadiannya itu berawal karena guru tersebut terlambat masuk kelas. Saat mau masuk, beliau melihat si Agus sedang menirukan guru yang bersangkutan menerangkan materi pelajaran. Tentu saja dengan gaya yang dipermainkan. Ujung-ujungnya wali kelas lah yang harus mengadakan pendekatan agar guru tersebut mau mengajar lagi di kelas asuhan saya.

Pernah ada kejadian besar yang hampir saja menyebabkan dia dikeluarkan dari sekolah. Saat itu masih pagi, sekitar lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. Seperti hari-hari lainnya, kebiasaan baik kepala sekolah adalah berkeliling memeriksa setiap sudut sekolah, termasuk ruang kelas. Biasanya saya juga sering ikut bersama beliau. Namun karena ada sedikit kesibukan, hari itu saya tidak menyertainya berkeliling. Sejenak kemudian terlihat Bapak kepala sekolah dengan tergesa-gesa berjalan menuju ruang guru. Di tangannya terlihat memegang kertas ukuran polio. Selintas terlihat wajahnya memerah. Sepertinya beliau sedang marah.

“Wali kelas 3 IPA- 1 itu Bapak ya?” Sambil memandang tajam ke arah saya, beliau berkata dengan nada tinggi. Tidak biasanya beliau bersikap seperti itu.

“Betul Pak.., emh… ada yang bisa saya bantu?” Dengan nada penuh keheranan.

“Ini… lihat Pak!” Menjulurkan kertas yang beliau pegang. Saya menerima kertas tersebut dan mencoba meneliti.

Saya menelisik dan membaca tulisan tangan tebal di kertas yang berbunyi:

“HATI-HATI!! ANDA MEMASUKI MARKAS PKI…”

Di bawahnya terdapat gambar alat laboratorium buret yang digambar melengkung mirip celurit, dan gambar thermometer yang dimiripkan palu.

Dalam keterkejutan saya tidak bisa berkata apa-apa.

“Ini pelanggaran berat Pak! Tolong ditelusuri siapa pelakunya. Langsung saja proses dengan BK, baiknya murid begini dikeluarkan saja! Berbahaya bagi lembaga dan murid-murid yang lain!” Suaranya bergetar penuh emosi.

“Baik Pak.., saya laksanakan secepatnya.” Hanya itu yang keluar dari mulut saya.

Pikiran saya melayang mengidentifikasi satu per satu wajah siswa kelas 3 IPA-1. Dari hasil penyelidikan didapatlah pelakunya yang tak lain adalah Agus.

“Gus.., coba jelaskan kepada kami apa maksud kamu dengan tulisan ini.” Saya memulai penyelidikan sambil memperlihatkan tulisan di kertas.

“Mohon maaf Pak, memangnya apa yang salah dengan tulisan saya ini?” Dengan gayanya yang ‘menyebalkan’ Ia bertanya.

Mendengar jawaban Agus, Ibu Guru BK terlihat marah.

“Jaga omonganmu Agus. Kamu tahu berbicara dengan siapa?” Dengan nada tinggi.

Segera saya menahan emosinya. Dengan kode saya minta guru BK untuk tidak terlalu reaktif.

“Saya tidak berbicara benar dan salah. Tapi saya minta kamu jelaskan kepada kami, apa maksud kamu dengan tulisan ini.” Tandas saya meminta.

“Mmh…, PKI yang saya maksud adalah Persatuan Kelas IPA Pak, gak ada hubungannya dengan komunisme.” Agus mulai menjelaskan maksudnya.

“Lalu.., bagaimana dengan gambar palu arit yang ada di bawah?” Tidak sabar guru BK menyerobot.

“Itu bukan gambar palu arit Bu…,” Sejenak Agus memandang ke arah saya. Dari pandangannya saya tahu Ia minta pertolongan. Namun saya diamkan saja.

“Itu gambar alat kimia Bu, yang satu thermometer, dan yang satunya saya gak tahu namanya, tapi saya pernah melihat saat praktek.” Lanjutnya.

“Alat yang satu lagi namanya buret Bu.” Saya mencoba membantu.

“Tapi gak ada buret yang melengkung begitu Agus. Dan juga gak ada thermometer yang ujungnya seperti pada gambar kamu, Gus.” Saya mengingatkan Agus.

“Improvisasi Pak.” Jawab Agus sekenanya. Tentu saja jawaban Agus membuat guru BK semakin merana. 

Dan interogasi pun berjalan sangat panjang, sampai ditemukan kesimpulan bahwa kelakuan Agus dikategorikan sebagai pelanggaran berat.

“Tahu gak Gus, kelakuan kamu ini termasuk pelanggaran berat yang mungkin akibatnya juga berat bagi kamu.” Guru BK mengintimidasi.

Saya kurang setuju dengan sikapnya itu. Segera saya menyela.

“Terima kasih kamu telah berbicara jujur Gus. Saran saya, pikir dulu sebelum kamu berbuat. Karena apa yang ada di kepala kamu belum tentu sama dengan yang lain. Akibatnya bisa saja orang salah faham akan maksud kamu. Dan ingat, di sekolah tidak boleh ada organisasi kesiswaan lain selain OSIS.”

“Kamu tunggu kelanjutan kasus ini, segera kami akan laporkan hasil interogasi ini ke kepala sekolah.” Dengan agak ketus guru BK menutup interogasi.

“Iya Bu…Pak.., saya minta maaf atas kesalahan saya ini.” Dengan gaya cengengesan Agus menjawab. Tidak disadarinya bahwa kasus ini mungkin akan membawanya pada masalah besar.

“Minta maaf saja tidak cukup. Harus ada konsekuensi!” Jawab guru BK seraya menerima tangan Agus bersalaman. Saya hanya menepuk pundaknya, menularkan kekuatan.

Ternyata kasus tulisan Agus berbuntut panjang. Laporan dan penjelasan saya bersama guru BK tidak membuat amarah dan kekecewaan Bapak Kepala Sekolah mereda.

“Bu.., tolong siapkan konfrensi kasus. Biar kita putuskan nanti di forum itu,” tandasnya.

Konfrensi kasus pun digelar. Dipimpin oleh Kepala Sekolah dan dihadiri oleh jajaran wakasek, Koordinator dan guru BK, dan saya sebagai wali kelas. Hampir semua pihak memvonis Agus bersalah. Tidak ada satu pun kelakuan Agus yang meringankan. Apa lagi dikaitkan dengan kasus-kasus sebelumnya. Rekomendasi akhir adalah mengembalikannya kepada orang tua.

“Saya mohon maaf dan mohon izin berpendapat. Memang ini salah satu kecerobohan saya dalam membina siswa binaan saya. Saya tidak bermaksud menyangkal semua pendapat bapak dan ibu. Namun jika boleh saya memohon, beri saya kesempatan terakhir untuk membina anak ini. Saya tidak berjanji, namun saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya, setidaknya hingga menyelesaikan studi di sekolah kita.” Dengan merendahkan diri saya memohon.

Dengan perdebatan sengit dan panjang saya mencoba menjelaskan maksud dari kelakuan Agus dan kebodohannya (kecerobohan) hingga kejadian ini bisa terjadi. Akhirnya Bapak Kepala Sekolah menyampaikan keputusannya.

“Baik.., saya sebagai pimpinan saya memberi kesempatan kepada wali kelas untuk membina siswa tersebut. Dan saya mengizinkan dia tetap bersekolah di sini.”

Tak terasa ada air hangat yang perlahan mengalir dari mata saya. Di tengah cibiran rekan-rekan kerja, saya mengucap syukur kepada illahi robbi. Entah mengapa, di tengah seabreg kenakalannya, saya melihat ada kebaikan pada diri Agus. Selebihnya, saya memiliki keyakinan bahwa anak ini akan sukses di kemudian hari.

Tak terasa lamunan dan obrolan kami terpotong oleh panggilan suster. Selesai pemeriksaan, saya melihat Agus dan keluarganya masih menunggu panggilan. Saya segera pamit karena harus berpindah tempat ke loket obat. Tapi Agus segera mengikuti langkah saya. Setelah petugas apotek menghitung biaya obat saya segera mengeluarkan dompet. Namun Agus dengan cepat mengambil bill pembayaran.

“Biar saya yang bayar Pak.”

Saya hanya bisa melongo melihat kegesitannya mengambil rincian biaya pengobatan saya. Selanjutnya dia mengeluarkan kartu kreditnya untuk membayar tagihan.

“Terima kasih Gus, saya jadi merepotkan.”

“Tidak serepot Bapak saat mendidik saya Pak.” Tetap dengan gaya cengengesannya.

Setelah menerima obat saya kembali pamit kepada Agus. Namun lagi-lagi dia mengikuti langkah saya hingga sampai ke mobil saya.

Agus meraih tangan saya untuk bersalaman.

“Ini ada sedikit untuk bensin Pak.” Terasa ada gumpalan kertas yang ia serahkan ke tangan saya. Kembali tertegun. Tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Agus terlihat cengengesan melihat kekonyolan saya.

Saya segera beranjak dari klinik karena waktu sudah beranjak malam. Didorong rasa penasaran saya membuka gulungan kertas yang berbalut kertas tissue. Ada beberapa lembaran berwarna merah. Saya alihkan pandangan pada kantong plastik kecil berisi obat. Seketika kerongkongan tercekat.

“Ya Allah…, inilah rezeki yang Engkau janjikan itu, Kau antarkan dengan cara yang tidak kuduga-duga…”

Terngiang lagi obrolan dengan Agus tadi. Tak salah insting saya sebagai guru. Dia kini membuktikan bahwa dia bisa sukses.

“Saya berhasil menunjukkan, bahwa sukses itu tidak selalu milik orang-orang berseragam atau yang berdasi Pak.” 

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...