Penulis Jaka Suryawan
Jaka Suryawan
Oleh
Jaka Suryawan
(SMAN 1
Cisayong)
Kisah
ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya sedang antre di klinik
dokter. Seperti biasa, untuk menepis kejenuhan saya memainkan gawai, tidak
terlalu memperhatikan keadaan sekitar. Setelah sekian lama asyik seluncuran di
dunia maya, sekilas sudut mata saya melihat sebuah Mitsubshi Pajero warna hitam
berhenti di parkiran. Sesaat berselang, terlihat turun pasangan muda, cukup
perlente. Sepertinya keluarga muda dengan dua orang anak perempuan sekitar
sepuluh dan delapan tahunan. Lewat di depan saya dan memilih tempat duduk di
samping kanan agak jauh dari tempat duduk saya. Saya pun kembali asyik dengan
kegiatan yang tadi agak terganggu.
“Masih
ingat saya, Pak?” Tiba-tiba ada suara yang memaksa saya melepas pandangan pada
gawai. Perlahan nampak ada sosok yang sedang tersenyum penuh hormat di hadapan
saya. Ternyata sosok itu adalah orang yang tadi turun dari Pajero bersama
keluarganya. Sejenak mengamati raut wajah yang ada di hadapan saya, mencoba
mengingat-ingat, namun belum juga berhasil.
“Saya
Agus Pak. Murid kesayangan Bapak dulu.” Seperti faham yang sedang saya
pikirkan, Ia mengenalkan nama sambil tak henti tersenyum.
“Oh…
Iya. Saya ingat, Agus.., murid paling badung yang pernah saya ajar.” Saya
menyambut hangat tangannya untuk bersalaman. Perlahan ingatan tentang orang ini
mengental di selaput otak.
“Iya
Pak.., murid Bapak paling istimewa.” Selorohnya. Selanjutnya Ia pun
memperkenalkan istri dan anak-anaknya.
Seterusnya
kami pun terlibat percakapan penuh kehangatan sambil menerawang kenangan
belasan tahun ke belakang.
“Terima
kasih atas bimbingan Bapak dulu selama saya sekolah Pak. Seandainya saya tidak
bertemu Bapak, kayaknya tidak akan seperti sekarang kehidupan saya.” Ucapnya di
sela-sela obrolan Panjang kami.
“Ha…ha…,
dulu kamu memang satu-satunya murid yang meguras perhatian dan emosi saya.”
Saya menjawab sejujurnya.
“Dan
Bapak satu-satunya guru yang paling sabar dengan perilaku saya dulu Pak..”
timpalnya.
“Ngomong-ngomong,
di mana sekarang tinggal Gus, dan apa kegiatan kamu?” Didorong rasa penasaran,
saya memberondongnya dengan pertanyaan.
“Sekarang
saya tinggal di pinggiran Jakarta Pak.” Ia menjawab. Tangannya tidak henti mengusap
kepala anaknya.
“Kalau
usaha sich saya konsisten dengan cita-cita saya dulu, Bapak masih ingat?”
lanjutnya diakhiri dengan pertanyaan. Matanya menatap wajah saya, seakan ingin
cepat mendapat jawaban.
Ingatan
saya kembali ke suatu hari, di akhir pembelajaran saya menelusuri minat dan
rencana pendidikan dari siswa yang kebetulan saya bertugas menjadi wali
kelasnya. Pada umumnya para siswa antusias menceritakan cita-cita dan rencana
lanjutan studinya. Namun di antara empat puluh lebih anggota kelas, ada satu
siswa yang jawabannya saat itu membuat emosi saya naik. Entah mungkin karena
kondisi agak capek jadi saya terpancing dengan jawabannya.
“Saya
tidak akan melanjutkan Pak. Saya tidak suka sekolah. Saya lebih suka bergelut
dengan sampah ketimbang harus sekolah.”
“Agus..,
jaga omongan kamu. Ini saya sedang serius mendata rencana studi.” Saya
menghardiknya.
“Saya
juga serius Pak!” Ia menjawab tak kalah keras.
“Jadi…”
Belum selesai kata-kata saya.
“Betul
Pak. Saya hidup dari sampah.” Seperti dahulu, gaya nyelenehnya tidak berubah.
Selanjutnya
Ia bercerita tentang keberhasilannya merintis usaha di bidang limbah pabrik
hingga dapat hidup lebih dari standar layak kehidupan di ibu kota.
“Kamu
itu murid yang sering mengesalkan guru, Gus. Namun entah mengapa saya kok
memiliki keyakinan bahwa kamu akan menjadi orang sukses.” Terasa bergetar suara
dari kerongkongan.
“Terima
kasih Pak. Ini semua juga berkat bimbingan Bapak dulu. Di saat guru-guru lain
tidak ada yang menyukai saya, Bapak berkali-kali mengulurkan tangan untuk
membangkitkan saya dari keterpurukan.” Ada keharuan di balik suara beratnya.
Selaput
otak pun kembali terbuka untuk menerawang saat-saat membina dirinya. Suatu hari
terjadi keributan di kelas 3 IPA-1. Ternyata Si Agus berantem dengan si Herman,
teman sebangkunya. Setadinya saya mau beranjak ke kelas, namun Si Agus dan si
Herman keburu digiring oleh guru BK. Saya pun mengikutinya ke ruang BK.
Terlihat darah mengucur dari hidung si Herman. Segera saya ambilkan tissue yang
ada di meja BK. Di tengah-tengah interogasi guru BK, saya mencoba bertanya.
“Benar
kamu memukul si Herman, Agus?”
“Emh…
Enggak Pak...” Jawabnya tanpa rasa bersalah.
“Lha
itu hidung Si Herman sampai berdarah?” Saya bertanya dengan geram.
“Cuma
eleg Pak.” Jawabnya tanpa rasa bersalah. Eleg itu Bahasa Sunda yang artinya
main-main.
“Eleg
nepika getihan kitu?”
“Eemh…
itu… eleg besar Pak.” Jawabnya dengan wajah polos.
Saya
tidak kuat menahan tertawa saat itu.
Masih
banyak pelanggaran tata tertib yang sering Ia lakukan. Kasus mabal atau kabur
dari pembelajaran, sering tidak mengerjakan tugas dari guru, bercanda
berlebihan terhadap siswa perempuan, mengganti foto raport dengan gambar wajah
yang tidak menentu. Bahkan pernah ada guru yang memboikot kelas dengan mogok
mengajar di kelas 3 IPA-1. Kejadiannya itu berawal karena guru tersebut
terlambat masuk kelas. Saat mau masuk, beliau melihat si Agus sedang menirukan
guru yang bersangkutan menerangkan materi pelajaran. Tentu saja dengan gaya
yang dipermainkan. Ujung-ujungnya wali kelas lah yang harus mengadakan
pendekatan agar guru tersebut mau mengajar lagi di kelas asuhan saya.
Pernah
ada kejadian besar yang hampir saja menyebabkan dia dikeluarkan dari sekolah.
Saat itu masih pagi, sekitar lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi.
Seperti hari-hari lainnya, kebiasaan baik kepala sekolah adalah berkeliling memeriksa
setiap sudut sekolah, termasuk ruang kelas. Biasanya saya juga sering ikut
bersama beliau. Namun karena ada sedikit kesibukan, hari itu saya tidak
menyertainya berkeliling. Sejenak kemudian terlihat Bapak kepala sekolah dengan
tergesa-gesa berjalan menuju ruang guru. Di tangannya terlihat memegang kertas
ukuran polio. Selintas terlihat wajahnya memerah. Sepertinya beliau sedang
marah.
“Wali
kelas 3 IPA- 1 itu Bapak ya?” Sambil memandang tajam ke arah saya, beliau
berkata dengan nada tinggi. Tidak biasanya beliau bersikap seperti itu.
“Betul
Pak.., emh… ada yang bisa saya bantu?” Dengan nada penuh keheranan.
“Ini…
lihat Pak!” Menjulurkan kertas yang beliau pegang. Saya menerima kertas
tersebut dan mencoba meneliti.
Saya
menelisik dan membaca tulisan tangan tebal di kertas yang berbunyi:
“HATI-HATI!!
ANDA MEMASUKI MARKAS PKI…”
Di
bawahnya terdapat gambar alat laboratorium buret yang digambar melengkung mirip
celurit, dan gambar thermometer yang dimiripkan palu.
Dalam
keterkejutan saya tidak bisa berkata apa-apa.
“Ini
pelanggaran berat Pak! Tolong ditelusuri siapa pelakunya. Langsung saja proses
dengan BK, baiknya murid begini dikeluarkan saja! Berbahaya bagi lembaga dan
murid-murid yang lain!” Suaranya bergetar penuh emosi.
“Baik
Pak.., saya laksanakan secepatnya.” Hanya itu yang keluar dari mulut saya.
Pikiran
saya melayang mengidentifikasi satu per satu wajah siswa kelas 3 IPA-1. Dari
hasil penyelidikan didapatlah pelakunya yang tak lain adalah Agus.
“Gus..,
coba jelaskan kepada kami apa maksud kamu dengan tulisan ini.” Saya memulai
penyelidikan sambil memperlihatkan tulisan di kertas.
“Mohon
maaf Pak, memangnya apa yang salah dengan tulisan saya ini?” Dengan gayanya
yang ‘menyebalkan’ Ia bertanya.
Mendengar
jawaban Agus, Ibu Guru BK terlihat marah.
“Jaga
omonganmu Agus. Kamu tahu berbicara dengan siapa?” Dengan nada tinggi.
Segera
saya menahan emosinya. Dengan kode saya minta guru BK untuk tidak terlalu
reaktif.
“Saya
tidak berbicara benar dan salah. Tapi saya minta kamu jelaskan kepada kami, apa
maksud kamu dengan tulisan ini.” Tandas saya meminta.
“Mmh…, PKI
yang saya maksud adalah Persatuan Kelas IPA Pak, gak ada hubungannya
dengan komunisme.” Agus mulai menjelaskan maksudnya.
“Lalu..,
bagaimana dengan gambar palu arit yang ada di bawah?” Tidak sabar guru BK
menyerobot.
“Itu
bukan gambar palu arit Bu…,” Sejenak Agus memandang ke arah saya. Dari
pandangannya saya tahu Ia minta pertolongan. Namun saya diamkan saja.
“Itu
gambar alat kimia Bu, yang satu thermometer, dan yang satunya saya gak tahu
namanya, tapi saya pernah melihat saat praktek.” Lanjutnya.
“Alat
yang satu lagi namanya buret Bu.” Saya mencoba membantu.
“Tapi
gak ada buret yang melengkung begitu Agus. Dan juga gak ada thermometer yang
ujungnya seperti pada gambar kamu, Gus.” Saya mengingatkan Agus.
“Improvisasi
Pak.” Jawab Agus sekenanya. Tentu saja jawaban Agus membuat guru BK semakin
merana.
Dan
interogasi pun berjalan sangat panjang, sampai ditemukan kesimpulan bahwa
kelakuan Agus dikategorikan sebagai pelanggaran berat.
“Tahu
gak Gus, kelakuan kamu ini termasuk pelanggaran berat yang mungkin akibatnya
juga berat bagi kamu.” Guru BK mengintimidasi.
Saya
kurang setuju dengan sikapnya itu. Segera saya menyela.
“Terima
kasih kamu telah berbicara jujur Gus. Saran saya, pikir dulu sebelum kamu
berbuat. Karena apa yang ada di kepala kamu belum tentu sama dengan yang lain.
Akibatnya bisa saja orang salah faham akan maksud kamu. Dan ingat, di sekolah
tidak boleh ada organisasi kesiswaan lain selain OSIS.”
“Kamu
tunggu kelanjutan kasus ini, segera kami akan laporkan hasil interogasi ini ke
kepala sekolah.” Dengan agak ketus guru BK menutup interogasi.
“Iya
Bu…Pak.., saya minta maaf atas kesalahan saya ini.” Dengan gaya cengengesan
Agus menjawab. Tidak disadarinya bahwa kasus ini mungkin akan membawanya pada
masalah besar.
“Minta
maaf saja tidak cukup. Harus ada konsekuensi!” Jawab guru BK seraya menerima
tangan Agus bersalaman. Saya hanya menepuk pundaknya, menularkan kekuatan.
Ternyata
kasus tulisan Agus berbuntut panjang. Laporan dan penjelasan saya bersama guru
BK tidak membuat amarah dan kekecewaan Bapak Kepala Sekolah mereda.
“Bu..,
tolong siapkan konfrensi kasus. Biar kita putuskan nanti di forum itu,” tandasnya.
Konfrensi
kasus pun digelar. Dipimpin oleh Kepala Sekolah dan dihadiri oleh jajaran
wakasek, Koordinator dan guru BK, dan saya sebagai wali kelas. Hampir semua
pihak memvonis Agus bersalah. Tidak ada satu pun kelakuan Agus yang meringankan.
Apa lagi dikaitkan dengan kasus-kasus sebelumnya. Rekomendasi akhir adalah
mengembalikannya kepada orang tua.
“Saya
mohon maaf dan mohon izin berpendapat. Memang ini salah satu kecerobohan saya
dalam membina siswa binaan saya. Saya tidak bermaksud menyangkal semua pendapat
bapak dan ibu. Namun jika boleh saya memohon, beri saya kesempatan terakhir
untuk membina anak ini. Saya tidak berjanji, namun saya akan berusaha sekuat
tenaga untuk menyelamatkannya, setidaknya hingga menyelesaikan studi di sekolah
kita.” Dengan merendahkan diri saya memohon.
Dengan
perdebatan sengit dan panjang saya mencoba menjelaskan maksud dari kelakuan
Agus dan kebodohannya (kecerobohan) hingga kejadian ini bisa terjadi. Akhirnya
Bapak Kepala Sekolah menyampaikan keputusannya.
“Baik..,
saya sebagai pimpinan saya memberi kesempatan kepada wali kelas untuk membina
siswa tersebut. Dan saya mengizinkan dia tetap bersekolah di sini.”
Tak
terasa ada air hangat yang perlahan mengalir dari mata saya. Di tengah cibiran
rekan-rekan kerja, saya mengucap syukur kepada illahi robbi. Entah mengapa, di
tengah seabreg kenakalannya, saya melihat ada kebaikan pada diri Agus.
Selebihnya, saya memiliki keyakinan bahwa anak ini akan sukses di kemudian
hari.
Tak
terasa lamunan dan obrolan kami terpotong oleh panggilan suster. Selesai
pemeriksaan, saya melihat Agus dan keluarganya masih menunggu panggilan. Saya
segera pamit karena harus berpindah tempat ke loket obat. Tapi Agus segera
mengikuti langkah saya. Setelah petugas apotek menghitung biaya obat saya
segera mengeluarkan dompet. Namun Agus dengan cepat mengambil bill pembayaran.
“Biar
saya yang bayar Pak.”
Saya
hanya bisa melongo melihat kegesitannya mengambil rincian biaya pengobatan
saya. Selanjutnya dia mengeluarkan kartu kreditnya untuk membayar tagihan.
“Terima
kasih Gus, saya jadi merepotkan.”
“Tidak
serepot Bapak saat mendidik saya Pak.” Tetap dengan gaya cengengesannya.
Setelah
menerima obat saya kembali pamit kepada Agus. Namun lagi-lagi dia mengikuti langkah
saya hingga sampai ke mobil saya.
Agus
meraih tangan saya untuk bersalaman.
“Ini
ada sedikit untuk bensin Pak.” Terasa ada gumpalan kertas yang ia serahkan ke
tangan saya. Kembali tertegun. Tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Agus
terlihat cengengesan melihat kekonyolan saya.
Saya
segera beranjak dari klinik karena waktu sudah beranjak malam. Didorong rasa
penasaran saya membuka gulungan kertas yang berbalut kertas tissue. Ada beberapa
lembaran berwarna merah. Saya alihkan pandangan pada kantong plastik kecil
berisi obat. Seketika kerongkongan tercekat.
“Ya
Allah…, inilah rezeki yang Engkau janjikan itu, Kau antarkan dengan cara yang
tidak kuduga-duga…”
Terngiang
lagi obrolan dengan Agus tadi. Tak salah insting saya sebagai guru. Dia kini
membuktikan bahwa dia bisa sukses.
“Saya
berhasil menunjukkan, bahwa sukses itu tidak selalu milik orang-orang
berseragam atau yang berdasi Pak.”