TEORI AGROPOLITAN SOLUSI KAUM MARGINAL

Penulis: Ninuk Dyah Ekowati, M.Pd. dan Drs. H. Priyono, M.Si.

Dibaca: 76 kali

Ninuk Dyah Ekowati, M.Pd dan Drs. H. Priyono, M.Si.

Oleh

1. Ninuk Dyah Ekowati, M.Pd. (Guru di SMAK St. Hendrikus, Surabaya)

2. Drs. Priyono, M.Si. (Dosen Senior pada Fakultas Geografi UMS)

 

Kelompok marginal adalah warga di desa yang selama ini terpinggirkan. Kelompok marginal dikenal dengan kehidupan yang sulit, terpinggirkan, dan terlebih mengalami kondisi hidup yang pra sejahtera. Kaum marginal adalah perkumpulan orang-orang yang kumuh, tidak tertib, dan bahkan tidak berpendidikan. Kaum marginal dikenal juga sebagai “virus” kekacauan. Hal ini disebabkan karena kesulitan ekonomi, tidak tercukupinya kebutuhan hidup, tinggal di tempat kumuh, putus sekolah juga termasuk ke dalam kaum yang digolongkan marginal atau pinggiran. Mereka yang merantau ke Kota besar umumnya tinggal di bantaran sungai, di pinggir rel kereta api atau di daerah pinggiran dn bekerja di sektor non formal yang kadang sangat riskan.Tekanan ekonomi di perkotaan jadi penyebab utamanya. Mereka ingin keluar dari daerah asalnya dengan migrasi ke kota untuk mdapatkan nilai lebih dan kotalah yang diharapkan karena kota dipersepsikan daerah yang banyak penduduk, banyak kesempatan kerja dan gampang mendapatkan uang dibanding di pedesaan yang mereka tinggalkan. Menurut Ibu Mother Terresa, kaum miskin, kaum marginal, dan orang-orang yang tidak diperhitungkan di masyarakat ada karena akibat dari keberadaan lingkungan sekitar.

Akhir-akhir ini muncul keresahan di Surabaya. Salah satu penyebab kekerasan tersebut adalah munculnya gangster-gangster. Fenomena ini muncul karena ingin menunjukkan eksistensi diri menurut sosiolog Universitas Airlangga Surabaya Prof Bagong Suyanto. Gangster tersebut diduga muncul dari anak muda sub marginal perkotaan. Eksistensi ditunjukkan karena ketidakpuasan terhadap kondisi lingkungannya yang tidak adil baik di bidang pendidikan, ekonomi, dan kondisi-kondisi yang lain.

Pembahasan tentang ketidakpuasan karena kemiskinan maka Jawa Timur memiliki tiga daerah yang miskin. Tiga daerah yang miskin tersebut adalah Sampang meliputi 23.76%, Kabupaten Bangkalan sebanyak 21.57%, dan Kabupaten Sumenep meliputi 20.51%. Gambaran kondisi kemiskinan adalah rata-rata setiap keluarga terdapat empat orang. Penghasilan keluarga rata-rata sebesar sekitar Rp 1.842.875,- per bulan berdasarkan JatimNetwork.com.

Berdasarkan BPS, rata-rata satu rumah tangga di Indonesia memiliki 4 hingga 5 anggota keluarga. Garis kemiskikanan rata-rata secara nasional menjadi sebesar Rp 1.990.170 per rumah tangga per bulan. Artinya, apabila ada satu rumah tangga yang memiliki pendapatan di bawah itu masuk ke dalam kategori miskin. Sesuatu yang tidak mudah untuk mendapatkan pendapatan setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,-.

Penghasilan sebesar Rp 2.000.000,- untuk wilayah yang didominasi dengan penduduk yang miskin bukan sesuatu yang mudah di dapatkannya. Kondisi lingkungan alam menjadi faktor pendorong untuk mendapatkan penghasilan yang tidak memadai. Kondisi ini menjadi daya dorong dalam melakukan migrasi. Sementara itu, wilayah sekitar dengan gemerlapnya berbagai fasilitas menjadi daya tarik bagi kaum marginal. Hal inilah yang menyebabkan kaum marginal melakukan tindakan migrasi. Migrasi tidak diikuti dengan keterampilan dan keahlian tertentu, sama dengan memindahkan kemiskinan. Kondisi ini menjadikan beban bagi wilayah tujuan yaitu Surabaya. Beban-beban atau resiko wilayah tujuan adalah kekumuhan, pengangguran, dan berikutnya kekacauan yang meliputi banyaknya muncul gangster dan kriminalitas.

Ketiga wilayah yang mengalami kemiskinan adalah wilayah di Madura. Secara geografis Pulau Madura sangat dekat dengan Surabaya. Pelabuhan Tanjung Perak dan Jembatan Suromadu merupakan sarana interaksi antara Surabaya dengan Madura. Sarana ini merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan interaksi Madura dengan kota-kota lain, dengan tujuan Madura memiliki aksebilitas yang tinggi. Namun faktanya tidak semudah itu. Hal-hal yang menjadi sulit berkembangnya Madura diantaranya adalah kondisi geologi-morfologi Madura. Pulau madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan menuju ke arah utara. Hampir  tidak terjadi perbedaan elevasi ketinggian yang mencolok. Dataran tinggi merupakan pegunungan kapur sehingga lahan kering, sulit dikembangkan pertanian. Komposisi tanah kapur dan curah hujan yang kurang karena berada di wilayah iklim musim, menyebabkan pada musim kemarau Madura mengalami kekurangan air. Faktor tersebut yang menyebabkan budi daya pertanian kurang bisa dikembangkan. Hal ini berarti kondisi kehidupan penduduk di Madura memang sulit.

Secara sosial, kehidupan sosial budaya ditunjukkan kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu. Secara kultural, ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak. Selain itu, kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada level hierarki selanjutnya. Ketaatan orang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya. Kepatuhan orang Madura kepada figur pemimpin pemerintahan menempati posisi hierarkis keempat. Lagi-lagi guru, dapat menjadi agen perubahan untuk mengubah wajah Madura. Oleh karena itu, para guru di Madura bertanggung jawab untuk membawa Madura menjadi sebuah pulau makmur.

Jembatan Suromadu ditujukan untuk membuka aksebilitas Madura menuju kota nomor satu Jawa Timur. Surabaya dikenal sebagai indikator perkembangan pendidikan, ekonomi, dan keamanan nasional, maka seharusnya dengan sarana ini menjadi faktor pendorong bagi perkembangan wilayah-wilayah di Madura. Teori agropolitan perlu diterapkan untuk membawa Madura menjadi sebuah pulau impian.

Teori Agropolitan adalah teori pengembangan wilayah. Dalam teori pengembangan wilayah perlu ditentukan wilayah yang dijadikan pusat pertumbuhan (growth pole). Ciri pengembangan wilayah dalam teori agropolitan adalah perdagangan dan jasa.  Pengembangan perdagangan dan jasa diintegrasikan dengan potensi wilayah. Potensi wilayah tidak harus sebagai wilayah pertanian. Pengembangan kegiatan non pertanian yang bertumpu pada sektor jasa dapat digunakan mengembangkan sebuah daerah jika daerah tersebut jika sebuah wilayah tidak berpotensi pada pertanian.

Bukan menjadi sebuah hal mustahil jika Madura diubah menjadi sebuah pulau yang makmur. Teori Agropolitan merupakan sebuah teori solusi yang solutif bagi Madura. Hal yang perlu dilakukan adalah memberikan investasi bagi salah satu wilayah di Madura untuk menjadi pusat pertumbuhan. Teori Agropolitan ini telah terimplementasi di salah satu kota yaitu Batu Malang, yang berkembang pesat dengan pembangunan pariwisatanya. Melalui investasi jasa pariwisata, Batu, Malang menjadi obyek wisata yang dirindukan wisatawan. Surabaya Barat yang dulunya dihindari orang oleh karena tanahnya yang berlempung, bergerak, dan banjir, sekarang menjadi pusat perkembangan kota Surabaya. Berkat Pak Ciputra yang memiliki kemampuan Geograf, mampu membangun Surabaya Barat menjadi wilayah high level dengan daya jual yang tinggi. Singapura menjadi negara yang makmur karena perdagangan dan jasa.

Berdasarkan gambaran tersebut, maka dibutuhkan kerjasama yang solid bagi penduduk Madura agar lebih terbuka terhadap perubahan, guru sebagai agen perubahan, tokoh agama untuk memberikan arah berpikir positif, pemerintah, dan investor untuk membangun Madura menjadi pulau yang Makmur. Akhirnya mengingat pesan Iwan Fals : Riak gelombang suatu rintangan, ingat itu pasti kan datang, karang tajam sepintas seram, usah gentar bersatu terjang. Kenapa bumi harus dipecah? Kenapa langit dibelah-belah? Harus ada yang menyatukan, harus ada kesadaran tuk Bersatu. Hidup ini sementara, kenapa mesti saling menyakiti dan disakiti. Mari Bersatu untuk kaum marginal.

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...