Penulis: Ninuk Dyah Ekowati, M.Pd. dan Drs. H. Priyono, M.Si.
Ninuk Dyah Ekowati, M.Pd dan Drs. H. Priyono, M.Si.
Oleh
1. Ninuk Dyah
Ekowati, M.Pd. (Guru di SMAK St. Hendrikus, Surabaya)
2. Drs. Priyono, M.Si.
(Dosen Senior pada Fakultas Geografi UMS)
Kelompok marginal adalah
warga di desa yang selama ini terpinggirkan. Kelompok marginal dikenal dengan
kehidupan yang sulit, terpinggirkan, dan terlebih mengalami kondisi hidup yang
pra sejahtera. Kaum marginal adalah
perkumpulan orang-orang yang kumuh, tidak tertib, dan bahkan tidak
berpendidikan. Kaum marginal dikenal juga sebagai “virus” kekacauan. Hal ini
disebabkan karena kesulitan ekonomi, tidak tercukupinya kebutuhan hidup,
tinggal di tempat kumuh, putus sekolah juga termasuk ke dalam kaum yang
digolongkan marginal atau pinggiran. Mereka yang merantau ke Kota besar umumnya
tinggal di bantaran sungai, di pinggir rel kereta api atau di daerah pinggiran
dn bekerja di sektor non formal yang kadang sangat riskan.Tekanan ekonomi di
perkotaan jadi penyebab utamanya. Mereka ingin keluar dari daerah asalnya dengan
migrasi ke kota untuk mdapatkan nilai lebih dan kotalah yang diharapkan karena
kota dipersepsikan daerah yang banyak penduduk, banyak kesempatan kerja dan
gampang mendapatkan uang dibanding di pedesaan yang mereka tinggalkan. Menurut
Ibu Mother Terresa, kaum miskin, kaum marginal, dan orang-orang yang tidak
diperhitungkan di masyarakat ada karena akibat dari keberadaan lingkungan
sekitar.
Akhir-akhir ini muncul
keresahan di Surabaya. Salah satu penyebab kekerasan tersebut adalah munculnya
gangster-gangster. Fenomena ini muncul karena ingin menunjukkan eksistensi diri
menurut sosiolog Universitas Airlangga Surabaya Prof Bagong Suyanto. Gangster
tersebut diduga muncul dari anak muda sub marginal perkotaan. Eksistensi
ditunjukkan karena ketidakpuasan terhadap kondisi lingkungannya yang tidak adil
baik di bidang pendidikan, ekonomi, dan kondisi-kondisi yang lain.
Pembahasan tentang
ketidakpuasan karena kemiskinan maka Jawa Timur memiliki tiga daerah yang
miskin. Tiga daerah yang miskin tersebut adalah Sampang meliputi 23.76%,
Kabupaten Bangkalan sebanyak 21.57%, dan Kabupaten Sumenep meliputi 20.51%.
Gambaran kondisi kemiskinan adalah rata-rata setiap keluarga terdapat empat
orang. Penghasilan keluarga rata-rata sebesar sekitar Rp 1.842.875,- per bulan
berdasarkan JatimNetwork.com.
Berdasarkan BPS, rata-rata satu rumah tangga di
Indonesia memiliki 4 hingga 5 anggota keluarga. Garis kemiskikanan rata-rata
secara nasional menjadi sebesar Rp 1.990.170 per rumah tangga per bulan.
Artinya, apabila ada satu rumah tangga yang memiliki pendapatan di bawah itu
masuk ke dalam kategori miskin. Sesuatu yang tidak mudah untuk mendapatkan
pendapatan setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,-.
Penghasilan
sebesar Rp 2.000.000,- untuk wilayah yang didominasi dengan penduduk yang
miskin bukan sesuatu yang mudah di dapatkannya. Kondisi lingkungan alam menjadi
faktor pendorong untuk mendapatkan penghasilan yang tidak memadai. Kondisi ini
menjadi daya dorong dalam melakukan migrasi. Sementara itu, wilayah sekitar
dengan gemerlapnya berbagai fasilitas menjadi daya tarik bagi kaum marginal.
Hal inilah yang menyebabkan kaum marginal melakukan tindakan migrasi. Migrasi
tidak diikuti dengan keterampilan dan keahlian tertentu, sama dengan
memindahkan kemiskinan. Kondisi ini menjadikan beban bagi wilayah tujuan yaitu
Surabaya. Beban-beban atau resiko wilayah tujuan adalah kekumuhan,
pengangguran, dan berikutnya kekacauan yang meliputi banyaknya muncul gangster
dan kriminalitas.
Ketiga
wilayah yang mengalami kemiskinan adalah wilayah di Madura. Secara geografis
Pulau Madura sangat dekat dengan Surabaya. Pelabuhan Tanjung Perak dan Jembatan
Suromadu merupakan sarana interaksi antara Surabaya dengan Madura. Sarana ini
merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan interaksi Madura dengan kota-kota
lain, dengan tujuan Madura memiliki aksebilitas yang tinggi. Namun faktanya
tidak semudah itu. Hal-hal yang menjadi sulit berkembangnya Madura diantaranya
adalah kondisi geologi-morfologi Madura. Pulau
madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan menuju ke arah
utara. Hampir tidak terjadi perbedaan
elevasi ketinggian yang mencolok. Dataran tinggi merupakan pegunungan kapur
sehingga lahan kering, sulit dikembangkan pertanian. Komposisi tanah kapur dan
curah hujan yang kurang karena berada di wilayah iklim musim, menyebabkan pada
musim kemarau Madura mengalami kekurangan air. Faktor tersebut yang menyebabkan
budi daya pertanian kurang bisa dikembangkan. Hal ini berarti kondisi kehidupan
penduduk di Madura memang sulit.
Secara
sosial, kehidupan sosial budaya ditunjukkan kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah
dan Ibu. Secara kultural, ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua
orangtuanya adalah mutlak. Selain itu, kepatuhan orang-orang Madura kepada
figur guru berposisi pada level hierarki selanjutnya. Ketaatan orang-orang
Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya. Kepatuhan orang Madura
kepada figur pemimpin pemerintahan menempati posisi hierarkis keempat. Lagi-lagi
guru, dapat menjadi agen perubahan untuk mengubah wajah Madura. Oleh karena
itu, para guru di Madura bertanggung jawab untuk membawa Madura menjadi sebuah
pulau makmur.
Jembatan
Suromadu ditujukan untuk membuka aksebilitas Madura menuju kota nomor satu Jawa
Timur. Surabaya dikenal sebagai indikator perkembangan pendidikan, ekonomi, dan
keamanan nasional, maka seharusnya dengan sarana ini menjadi faktor pendorong
bagi perkembangan wilayah-wilayah di Madura. Teori agropolitan perlu diterapkan
untuk membawa Madura menjadi sebuah pulau impian.
Teori Agropolitan adalah teori pengembangan wilayah. Dalam teori
pengembangan wilayah perlu ditentukan wilayah yang dijadikan pusat pertumbuhan
(growth pole). Ciri pengembangan wilayah dalam teori agropolitan adalah
perdagangan dan jasa. Pengembangan
perdagangan dan jasa diintegrasikan dengan potensi wilayah. Potensi wilayah
tidak harus sebagai wilayah pertanian. Pengembangan kegiatan non pertanian yang
bertumpu pada sektor jasa dapat digunakan mengembangkan sebuah daerah jika
daerah tersebut jika sebuah wilayah tidak berpotensi pada pertanian.
Bukan menjadi sebuah hal mustahil jika Madura diubah menjadi sebuah pulau
yang makmur. Teori Agropolitan merupakan sebuah teori solusi yang solutif bagi
Madura. Hal yang perlu dilakukan adalah memberikan investasi bagi salah satu
wilayah di Madura untuk menjadi pusat pertumbuhan. Teori Agropolitan ini telah
terimplementasi di salah satu kota yaitu Batu Malang, yang berkembang pesat
dengan pembangunan pariwisatanya. Melalui investasi jasa pariwisata, Batu,
Malang menjadi obyek wisata yang dirindukan wisatawan. Surabaya Barat yang
dulunya dihindari orang oleh karena tanahnya yang berlempung, bergerak, dan
banjir, sekarang menjadi pusat perkembangan kota Surabaya. Berkat Pak Ciputra
yang memiliki kemampuan Geograf, mampu membangun Surabaya Barat menjadi wilayah
high level dengan daya jual yang tinggi. Singapura menjadi negara yang makmur
karena perdagangan dan jasa.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka dibutuhkan kerjasama yang solid bagi
penduduk Madura agar lebih terbuka terhadap perubahan, guru sebagai agen
perubahan, tokoh agama untuk memberikan arah berpikir positif, pemerintah, dan
investor untuk membangun Madura menjadi pulau yang Makmur. Akhirnya mengingat
pesan Iwan Fals : Riak gelombang
suatu rintangan, ingat itu pasti kan datang, karang tajam sepintas seram, usah
gentar bersatu terjang. Kenapa bumi harus dipecah? Kenapa langit dibelah-belah?
Harus ada yang menyatukan, harus ada kesadaran tuk Bersatu. Hidup ini
sementara, kenapa mesti saling menyakiti dan disakiti. Mari Bersatu untuk kaum
marginal.