Penulis: Hasbullah Fudail
Hasbullah Fudail
Oleh Hasbullah Fudail
Entah terlambat atau
kurang tanggap pemerintahan sebelumnya, sehingga penyakit menahun permasalahan over kapasitas narapidana yang
terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan Negara (Rutan)
di seluruh Indonesia. Gebrakan yang dilakukan
presiden Prabowo tahun pertama pemerintahnnya yaitu wacana memberikan
amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana. Pemikiran ini disampaikan setelah
Presiden memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih
di Istana Kepresidenan, Jumat (13/12/25).
Dari sekian banyak
yang direncanakan mendapatkan amnesti tersebut akan memprioritaskan kepada pengguna narkoba yang ada dalam
lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara di seluruh Indonesia.
Amnesti ini juga akan diberikan kepada narapidana yang terjerat Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pertimbangan sakit menahun dan usia
lanjut, kasus penghinaan kepala negara, dan kasus aksi bersenjata di Papua juga
termasuk ke dalam kategori narapidana yang akan diberi amnesti.
Amnesti merupakan
salah satu istilah dalam sistem hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala
negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak
pidana tertentu. Amnesti berasal dari bahasa Yunani 'amnestia' yang berarti
melupakan. Sehingga pada konsepnya pemberian amnesti dilakukan sebagai upaya
untuk menghapuskan pidana yang telah dilakukan. Melansir laman Indonesia Baik,
amnesti yang diberikan untuk banyak orang dapat disebut sebagai amnesti umum
dan amnesti diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945.
Amnesti Narapida Narkoba
dan HAM
Banyaknya penghuni
kejahatan narkoba di Lapas dan Rutan saat ini menjadi fenomena gunung es yang sangat membahayakan masa depan bangsa
sekaligus sistem pemasyarakatan. Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah
penghuni Lapas dan Rutan saat ini kapasitas hunian lapas di Indonesia pada
tahun 2024 adalah 140.424 orang, sementara jumlah penghuninya mencapai 265.346
orang. Hal ini berarti, lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas atau
over capacity sebesar 89%, demikian Yasonna H. Laoli di depan anggota DPR Komisi
3 (12/06/2024).
Menurut Wakil
Menteri Hukum Eddy OS Hiariej Rabu (4/12/2024), masalah kelebihan penghuni di
Lapas dan Rutan sudah terjadi sejak lama. Datanya, sekitar 52 persen penghuni
Lapas/Rutan adalah pelaku kejahatan narkotika. Fakta yang cukup menyedihkan,
ternyata 80 persen penghuni penjara adalah pengguna narkoba. ”Yang lebih
menyedihkan, sebagian besar pengguna itu barang buktinya di bawah 1 gram.
Rata-rata barang bukti 0,4 gram-0,5 gram, tetapi karena undang-undang, mereka
harus mendekam di dalam penjara minimal empat tahun,” kata Eddy.
Sementara Menteri
Hak Asasi Manusia Natalius Pigai, sebelum para narapidana mendapatkan amnesti
maka harus diberikan pendidikan atau pelatihan terkait dengan nilai-nilai hak
asasi manusia, demokrasi, keadilan, perdamaian, supaya yang paling penting ‘kan
perubahan mindset. Mindset kriminal (diubah menjadi) mindset human,".
Pendidikan HAM bagi narapidana yang akan diberi amnesti itu termasuk salah satu
fokus Kementerian HAM untuk tahun 2025.
Menjadi pertanyaan
publik “Mengapa bagi pengguna narkoba yang dominan diberi amnesti? Jika dilakukan kajian mendalam atas kebijakan ini maka
beberapa pertimbangannya antara lain:
1. Solusi Rehabilitasi bukan hukuman
penjara. Diakui hari ini bahwa kategori kejahatan narkoba yang menghuni Lapas/Rutan
hari ini adalah mereka yang kebayakan adalah pengguna Narkoba. Mereka rata-rata menjadi korban karena
pergaulan tidak terkontrol atau coba-coba hal yang baru atau bahkan korban dari
jaringan bandar narkoba yang memanfaatkan berbagai cara dan jaringan untuk
memasarkan narkoba.
2. Mayoritas Penghuni Lapas/Rutan Pengguna
Narkoba. Seperti berbagai data yang disampaikan dari Kementerian Hukum dan HAM bahwa
sebagian besar penghuni Lapas dan Rutan hari ini lebih 80% penghuninya adalah
termasuk kejahatan narkoba (bandar, pengedar maupun pengguna).
Menjadi ironi hari
ini, jika dilakukan assesmen mendalam terhadap para penghuni kejahatan narkoba
di Lapas/Rutan kebanyakan didakwa pasal pelanggaran yang disangkakan
adalah sebagai pengedar narkoba Pasal
114 ayat (1) mengatur ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20
tahun bagi pengedar narkoba dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Sementara yang didakwa sebagai pengguna sangat sedikit,
sehingga menjadi agak kurang rasional sekaligus ancaman karena lebih banyak
pengedar daripada pengguna, lebih banyak penawaran (pengedar) daripada
permintaan (pengguna) dalam teori ekonomi yaitu supply and demand.
Keberadaan Lembaga
yang khusus mengurus narkoba Badan Nasional Narkotika (BNN) sepertinya belum
mampu untuk melakukan tindakan prepentif terhadap semakin meningkatnya
kejahatan narkoba termasuk melakukan rehabilitasi terhadap pengguna narkoba
agar tidak menjadi penghuni hotel prodeo. Sehingga jika tindakan preventif dan
rehabilitasi bisa dimaksimalkan maka potensi over capasitas narapida di Lapas/Rutan
bisa dikurangi.
3. Over Kapasitas dan pelanggaran HAM di
Lapas/Rutan
Tidak bisa dimungkiri
atas kritikan berbagai pejuang HAM, bahwa secara umum di Lapas dan Rutan lah
tempatnya banyak terjadi pelanggaran HAM. Berbagai hak-hak narapidana tidak
dibuka secara transparan, perlakuan petugas terhadap napi, pemenuhan makanan
sehat, beribadah, kesehatan dan lainnya amat banyak yang terabaikan.
Salah satu penyebab
diabaikannya hak-hak napi karena jumlah penghuni yang tidak sesuai dengan kapasitas
Lapas/Rutan. Sehingga untuk mendapatkan hak ruangan yang layak untuk beristirahat tidak bisa dipenuhi sehingga
terkadang harus dilakukan bertumpuk dalam satu ruangan yang sempit. Bahkan
untuk tidur merebahkan badan pun harus dilakukan pengaturan jam tidur agar tidak saling tindih.
Ketakutan berbagai
lapisan masyarakat ketika para pengguna Narkoba ini diberi amnesti dan kembali
ke masyarakat paska hukuman di Lapas dan Rutan, maka berbagai dampak yang
negatif perlu diantisipasi. Dengan kebijakan pemberian amnesti maka bisa
menyebabkan: Pertama. Pengguna Narkoba Meningkat dan Kriminalitas. Bebasnya jumlah
narapida yang banyak dalam waktu yang bersamaan dari Lapas/Rutan akan
dikhawatirkan menimbulkan ekses negatif berkembangnya/meningkatnya kembali kriminilitas
di masyarakat. Hal ini didasari pertimbangan bahwa para pelaku pengguna narkoba
secara umum mempunyai korelasi dengan perbuatan kriminal seperti mencuri,
memperkosa bahkan bisa membunuh.
Kedua, Penumpang
Gelap Bandar Narkoba bisa bermain. Mentalitas aparatur sipil negara (ASN) yang masih
rapuh serta sistem data base yang belum sempurna, menyebabkan peluang terjadinya
kesempatan bandar narkoba untuk juga mendapatkan amnesti tidak bisa dimungkiri.
Menjadi hal yang wajar jika masyarakat meminta pemberian amnesti harus
dilakukan assessment yang ketat untuk
tidak dimanfaatkan oleh para bandar
Narkoba.
Dengan demikian
pemberian amnesti kepada para pengguna narkoba karena kecelakaan menjadi bagian dari memanusiakan manusia untuk memenuhi
aspek kemanusiaan. Hari ini tidak ada jaminan bahwa mereka yang masuk ke Lapas
/Rutan karena narkoba kelasnya bisa meningkat.
Dari pengguna/pemakai menjadi pengedar lama kelamaan menjadi bandar.
Kita berdoa dan berharap amnesti yang diberikan kepada para pengguna narkoba maupun
penghuni lainnya menjadi solusi dalam
aspek Hak Asasai Manusia sekaligus rekonsiliasi berbagai potensi bangsa menuju
Indonesia lebih baik.