Penulis: Mikdam Mustopa
Mikdam Mustopa
Oleh Mikdam Mustopa
(Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)
Di sela-sela obrolan setelah supervisi kelas, para guru nampak
kebingungan ketika dikonfirmasi apakah mereka menilai aspek sikap pada kegiatan
pembelajaran yang sudah dilaksanakannya. Ada yang menjawab bahwa nilai sikap
itu hanya tanggung jawab guru mata pelajaran PPKn dan PABP. Ada juga yang
mengatakan bahwa semuanya sudah disiapkan di RPP. Di RPP memang dicantumkan
teknik menilai sikap yang akan digunakan mulai dari teknik observasi, penilaian
diri dan penilaian antarteman. Setelah diteliti ternyata RPP-nya juga hasil “copy paste”. Jika dilihat, memang alat
penilaiannya cukup lengkap dengan soal-soal penilaian diri dan penilaian
antarteman untuk mengukur sikap para siswa. Tapi ketika ditanya apakah mereka
menyusun soal-soal penilaian sikap tersebut membuat indikator terlebih dahulu.
Mereka malah semakin bingung dan tidak bisa menjawab. Jadi para guru tersebut
memang punya RPP tapi tidak tahu isinya. Pada saat itu, para guru tersebut
tidak bisa meyakinkan sang supervisor bahwa
mereka menilai sikap siswa dalam setiap mengajarnya.
Ilustrasi di atas memang hanya studi kasus, namun memang hal-hal
tersebut sering kita temukan dalam konteks pembelajaran di dunia pendidikan
kita. Bahkan dalam panduan penilaian pun disebutkan bahwa hasil monitoring dan
evaluasi pelaksanaan Kurikulum 2013 tingkat SMP pada tahun 2014 menunjukkan
bahwa salah satu kesulitan pendidik dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013
adalah penilaian (Kemdikbud, 2017 :1). Disebutkan juga bahwa kesulitan utama
yang dihadapi pendidik adalah merumuskan indikator, menyusun butir-butir
instrumen, dan melaksanakan penilaian sikap dengan menggunakan berbagai macam teknik.
Dalam panduan penilaian dari Kemdikbud tersebut sudah dijelaskan mulai
dari definisi penilaian sikap, teknik penilaian yang utama dan tambahan
termasuk contoh-contoh perilaku baik sikap spiritual maupun sikap sosial.
Penilaian sikap adalah kegiatan untuk mengetahui perilaku spiritual dan sosial
peserta didik yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam
maupun di luar kelas sebagai hasil pendidikan. Penilaian sikap ditujukan untuk
mengetahui capaian/perkembangan sikap peserta didik dan memfasilitasi tumbuhnya
perilaku peserta didik sesuai butir-butir nilai sikap dari KI-1, KI-2, dan
nilai-nilai lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan. Bahkan pada panduan
tersebut dilengkapi juga dengan contoh-contoh perilaku sikap spiritual yang
memang dikompetensi intinya belum dijelaskan
secara rinci. Tetapi
kalau sikap sosial
di kompetensi inti pun butir-butir perilakunya sudah ada, yakni jujur, disiplin,
tanggung jawab, santun, peduli dan percaya diri.
Para guru sebenarnya juga sudah tahu bahwa butir-butir sikap tersebut
yang terutama harus dinilai selama kegiatan pembelajaran bahkan datanya
diperlukan untuk mengisi e-raport pada
kurikulum 2013. Datanya bukan hanya dari guru mata pelajaran PPKn dan PABP
saja, melainkan juga dari semua guru mata pelajaran bahkan dari guru BK dan
wali kelas. Kompetensi inti yang diberikan Pemerintah sebagai pesanan kurikulum
bukan hanya milik mata pelajaran PPKn dan PABP saja, melainkan milik sekaligus
tugas guru-guru mata pelajaran lain juga. Para guru juga sudah tahu tentang itu
karena sudah sering memperoleh baik dari pelatihan, diklat, bimbingan maupun
dengan membaca sendiri panduan penilaiannya.
Teknik utama yang direkomendasikan panduan penilaian adalah teknik
observasi dalam bentuk jurnal. Perilaku peserta didik yang dicatat di dalam
jurnal pada dasarnya adalah perilaku yang sangat baik dan/atau kurang baik yang
berkaitan dengan butir sikap yang terdapat dalam aspek sikap spiritual dan
sikap sosial (Kemdikbud, 2017: 35). Pastikan ketika mengajar, seorang guru
memiliki dan membawa buku jurnal tersebut karena kepemilikan buku jurnal
tersebut jadi memegang peranan penting dalam menilai sikap siswa. Jika dikaitkan
dengan studi kasus di atas, maka seharusnya sebagai jawaban para guru yang
tepat bahwa mereka menilai sikap adalah dengan memiliki buku jurnal sikap
tersebut. Meskipun buku jurnal yang dibawa ketika mengajar tersebut ternyata
tidak diisi apapun itu bukan masalah. Jurnal itu fungsinya hanya untuk mencatat
perilaku siswa yang dianggap ekstrem baik yang positif maupun negatif yang memang perlu dicatat.
Berdasarkan panduan, jika seorang guru tidak memperoleh temuan apapun ketika
mengajar berarti tidak ada butir sikap siswa yang perlu dicatat dan itu berarti
pada hari itu sikap semua siswa hasil penilaiannya baik. Dengan kata lain,
tidak berarti pada hari itu guru tersebut tidak menilai sikap.
Teknik observasi dalam bentuk jurnal itu melaksanakannya sangat mudah
tetapi fungsinya sangat efektif. Sebagai alternatif, seorang guru bisa hanya
menyediakan buku tulis yang harganya relatif murah, lembaran-lembaran atasnya
dipotong, kemudian diberi kolom sesuai dengan panduan, yaitu: nomor, nama
siswa, hari/tanggal, catatan perilaku, butir sikap, keterangan, ttd, dan tindak
lanjut. Sangat mudah bukan? Hanya dengan kepemilikan buku jurnal tersebut sudah
cukup sebagai bukti bahwa seorang guru sudah melaksanakan penilaian sikap
ketika mengajar. Selain berfungsi sebagai catatan, buku jurnal juga berfungsi
sebagai bimbingan. Jika seorang guru menemukan seorang siswa berperilaku ekstrem baik dalam hal positif
maupun negatif, kemudian guru tersebut mencatatnya dalam buku jurnal kolom
catatan perilaku. Tentunya, pekerjaan guru tidak sampai di sana, jika perlu, guru tersebut bukan hanya mencatat tetapi
juga memberi nasihat jika perilakunya negatif dan jika perilaku positif
tentunya tindak lanjutnya bisa berupa reward/penghargaan.
Jika bentuk jurnal tersebut dilaksanakan oleh semua komponen sekolah yang
disebutkan dalam panduan, yakni guru mata pelajaran, wali kelas dan guru
bimbingan konseling, penilaian sikap siswa
akan terwujud secara otentik dan efektif bukan hanya fungsi penilaian tapi juga
fungsi bimbingan konseling bagi setiap siswa sekaligus sebagai sarana
pengembangan karakter di sekolah.
Tentunya akan lebih baik jika guru melengkapinya dengan teknik lain,
yakni dengan menggunakan penilaian diri dan penilaian antarteman. Tetapi
teknik-teknik tersebut selain relatif lebih rumit baik dalam penyusunan soalnya
maupun dalam pelaksanaanya, seringkali jika tidak dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang tepat malah validitasnya juga dipertanyakan. Selain itu, juga
berdasarkan panduan penilaian fungsinya hanya sebagai teknik penilaian
penunjang bukan teknik penilaian utama. Sebaliknya teknik observasi bentuk
jurnal selain posisinya sebagai teknik penilaian sikap yang utama, fungsinya
juga terbukti ganda. Bentuk penilaian sikap yang berupa jurnal tersebut banyak
kelebihannya, antara lain, penilaiannya otentik/tidak dibuat-buat. Selain itu
guru bisa memiliki catatan sikap siswa untuk ditindaklanjuti sesuai dengan
bentuk perilakunya. Dengan kata lain, seorang guru bukan hanya mencatat tapi
juga memberi nasihat. Fungsi lain yang tidak kalah pentingnya, catatan-catatan
di buku jurnal tersebut juga bisa digunakan sebagai data yang bisa dianalisis
dengan relatif mudah sebagai bahan utuk mengisi raport siswa dalam aspek siswa
baik sikap spiritual maupun sikap sosial sesuai dengan tuntutan e-raport.
“Jika ada yang mudah mengapa cari yang susah?” ***