Mengintip Pendidikan Karakter dalam Mitos Samagaha

Penulis: RIDHA HERDIANI

Dibaca: 1503 kali

RIDHA HERDIANI

OLEH RIDHA HERDIANI

(Guru Bahasa Sunda di SMAN Tanjungsari/Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)

 

Sudah menjadi kodrat dari manusia tentunya bergelut dan berkumpul di kampung halamannya, menyerahkan dirinya pada alam sekitarnya (Kosasih, 2005:86). Manusia merupakan bagian dari lingkungan, begitu pun lingkungan sekitarnya bagian dari manusia itu sendiri. Hubungaan yang erat antara manusia dan alam sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan pola-poka kebudayaan yang ada dalam diri manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat (Forde, dalam Kosasih, 2005:86). Hal tersebut sesuai dengan apa yang disebut dengan kebudayaan. Menurut ilmu antroplogi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:181).

Masyarakat Sunda (orang Sunda) tentunya tidak akan jauh dari kebudayaan dan mitos, dengan menyebutnya ‘titinggal karuhun’. Yang disebut dengan warisan leluhur ‘titinggal karuhun’ adalah apapun bentuk tradisi, jenis barang, berbagai macam bangunan, serta peralatan yang diwariskan dari orang tua jaman dahulu sampai pada kita manusia jaman sekarang. Warisan itu ada yang masih dijaga dan banyak juga yang sudah punah, misalnya kebiasaan yang dipakai secara turun temurun, seperti mitos samagaha

Samagaha dalam kamus umum bahasa Sunda berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya gelap atau remang-remang, pada waktu bulan menghalangi matahari atau sebaliknya, bulan berada pada bayang-bayang bumi . Gerhana bulan terjadi pada waktu malam hari ketika bulan purnama, sedangkan gerhana matahari terjadi ketika siang hari ketika bulan masuk bayang-bayang matahari, sehingga matahari terhalang oleh bulan. Orang Sunda menyebutnya bulan tanggal.

Samagaha menurut kepercayaan orang Sunda adalah Batara Kala sedang mencoba menelan matahari. Menurut kisahnya adalah, pada zaman dahulu kala, Batara Kala hidup di kahyangan, di luhur, di buana nyungcung. Batara kala mempunyai satu keinginann yaitu ingin hidup abadi. Dia berusaha mencari air kehidupan yaitu yang disebut dengan Tirta Amerta. Dengan kesaktiannya, dia berhasil mencuri Tirta Amerta. Namun sial bagi Batara Kala, baru saja dia meneguk air, dia sudah diketahui oleh Batara Guru. Batara Guru marah besar, dengan sigap melemparkan senjatanya yang maha sakti yaitu Cakra, melesat dan menebas leher Batara Kala.

Ternyata Tirta Amerta memang teruji khasiatnya. Kepala Batara  Kala tetap hidup dan terbang melayang-layang. Sementara badannya terhempas ke bumi dan berubah menjadi lisung. Batara Kala murka, dia sangat marah. Dan dengan kemarahannya dia berusaha menelan matahari agar bumi berada dalam kegelapan selamanya. Orang-orang di bumi menjadi kaget, karena tiba-tiba dunia menjadi gelap. Karena itu, untuk masyarakat pada waktu itu mempunyai kepercayaan suka memukuli lisung apabila terjadi gerhana matahari. Karena dipercaya bahwa lisung adalah badan dari Batara Kala dan mempunyai pengharapan dengan memukuli lisung Batara Kala akan merasa sakit, karena badannya dipukuli, sehingga memuntahkan kembali yang ditelannya yaitu matahari. Batara Kala kemudian bersembunyi dibalik mega. Apabila waktu sore surup layung, maka Batara Kala akan keluar untuk mencari mangsa yaitu anak-anak tunggal, anak panengah, atau bersembunyi di suatu tempat. Dari dongéng samagaha tersebut dapat diambil pendidikan karakter yang sangat penting yakni kita sebagai manusia jangan serakah, jangan ingin menang sendiri, hiduplah sederhana, dan lapang dada.

Dongeng samagaha merupakan karya sastra yang hidup di masyarakat Sunda. Karya sastra sebagai tanda perlu dikaji secara semiotik karena ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda bahasa melalui representasi mempunyai mental/ruh yang diwujudkan melalui lisan atau yang diwakilinya. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi. Konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi seseorang jika ini diperantarai oleh interpretasi.

Ada pun kepercayaan masyarakat Sunda terhadap samagaha (gerhana) apabila dikaitkan dengan semiotik adalah seperti di bawah ini penuh dengan pendidikan karakter.

1.       Lamun samagaha dina bulan Muharam alamat Allah ta’ala nurunkeun balai. Urang salaku umat manusa kudu loba sidekah jeung du’a

2.       Samagaha dina bulan Safar, alamat kurang hujan, rarang paré. Dina taun éta sing hadé neneda.

3.       Samagaha dina bulan Mulud (Rabiul Awal), alamat loba nu gering nangtung, mahal pangan. Ahirna ngurangan sabab loba nu maot.

4.       Samagaha dina bulan Silih Mulud (Rabiul Akhir), alamat loba anu sugih pindah.

5.       Samagaha dina bulan Jumadil Awal, alamat loba désa meunang kahadéan. Pararatu padasukur, mulang bubuahan.

6.       Samagaha dina bulan Jumadil Ahir, alamat aya hujan sanget. Sapi, munding loba nu mati.

7.       Samagaha dina bulan Rajab, alamat loba musuh, loba pandita mati. Paraponggawa teu mupakat.

8.       Samagaha   dina   bulan Rewah,         alamat         ratu    pipisahan          jeung rayatna padamupakat, paré murah.

9.       Samagaha dina bulan Puasa (Ramadhan), alamat loba panyéréwédan.

10.     Samagaha dina bulan Sawal (Syawal), alamat loba kararaan, rayat pada susah kurang pangan mahal paré.

11.     Samagaha dina bulan Hapit, (Zulqodah) alamat loba pitnah ti menak jeung aya    lini angin gedé.

12.     Samagaha dina bulan Rayagung (Zulhijah), alamat loba hujan rarang paré.

Ternyata setelah diteliti mengenai mitos samagaha, ada yang bisa kita ambil hikmahnya. Tidak semata-mata para leluhur orang Sunda membuat suatu palintangan, kalau tidak ada maksudnya. Pendidikan karakter yang muncul dalam mitos samagaha adanya Filosofi silih asah, silih asih, silih asuh ini dapat disejajarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Silih asah itu orientasi nilainya kepada peningkatan kualitas berpikir, mengasah kemampuan untuk mempertajam pikiran dengan tempaan ilmu dan pengalaman.

Silih asih, orientasi nilainya kepada makna tingkah laku atau sikap individu yang memiliki empati, rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati terhadap kehidupan sekelilingnya atau memiliki rasa sosial yang tinggi.

Silih asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam tindakan yang nyata, sikap pragmatik seseorang di masyarakat, eksistensi diri, menerapkan potensi diri di masyarakat. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat, kepada sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih muda harus mampu mengayomi dan memberi contoh yang baik.

Wallahu alam bisawab. Cag!

Sumber data:

Naskah Patakonan (Wansaredja)

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...