Penulis: RIDHA HERDIANI
RIDHA HERDIANI
OLEH RIDHA
HERDIANI
(Guru Bahasa Sunda di SMAN Tanjungsari/Komunitas Cinta Indonesia/KACI
#PASTI BISA#)
Sudah menjadi kodrat dari manusia tentunya bergelut dan berkumpul di
kampung halamannya, menyerahkan dirinya pada alam sekitarnya (Kosasih,
2005:86). Manusia merupakan bagian dari lingkungan, begitu pun lingkungan
sekitarnya bagian dari manusia itu sendiri. Hubungaan yang erat antara manusia
dan alam sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan pola-poka
kebudayaan yang ada dalam diri manusia sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat (Forde, dalam Kosasih, 2005:86). Hal tersebut sesuai dengan apa yang
disebut dengan kebudayaan. Menurut ilmu antroplogi, kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1990:181).
Masyarakat Sunda (orang Sunda) tentunya tidak akan jauh dari kebudayaan
dan mitos, dengan menyebutnya ‘titinggal karuhun’. Yang disebut dengan warisan
leluhur ‘titinggal karuhun’ adalah apapun bentuk tradisi, jenis barang,
berbagai macam bangunan, serta peralatan yang diwariskan dari orang tua jaman
dahulu sampai pada kita manusia jaman sekarang. Warisan itu ada yang masih
dijaga dan banyak juga yang sudah punah, misalnya kebiasaan yang dipakai secara
turun temurun, seperti mitos samagaha
Samagaha dalam kamus umum bahasa Sunda berasal dari bahasa Sansekerta
yang artinya gelap atau remang-remang, pada waktu bulan menghalangi matahari
atau sebaliknya, bulan berada pada bayang-bayang bumi . Gerhana bulan terjadi
pada waktu malam hari ketika bulan purnama, sedangkan gerhana matahari terjadi
ketika siang hari ketika bulan masuk bayang-bayang matahari, sehingga matahari
terhalang oleh bulan. Orang Sunda menyebutnya bulan tanggal.
Samagaha menurut kepercayaan orang Sunda adalah Batara Kala sedang
mencoba menelan matahari. Menurut kisahnya adalah, pada zaman dahulu kala,
Batara Kala hidup di kahyangan, di luhur, di buana nyungcung. Batara kala
mempunyai satu keinginann yaitu ingin hidup abadi. Dia berusaha mencari air
kehidupan yaitu yang disebut dengan Tirta Amerta. Dengan kesaktiannya, dia
berhasil mencuri Tirta Amerta. Namun sial bagi Batara Kala, baru saja dia meneguk
air, dia sudah diketahui oleh Batara Guru. Batara Guru marah besar, dengan
sigap melemparkan senjatanya yang maha sakti yaitu Cakra, melesat dan menebas
leher Batara Kala.
Ternyata Tirta Amerta memang teruji khasiatnya. Kepala Batara Kala tetap hidup dan terbang melayang-layang.
Sementara badannya terhempas ke bumi dan berubah menjadi lisung. Batara Kala
murka, dia sangat marah. Dan dengan kemarahannya dia berusaha menelan matahari
agar bumi berada dalam kegelapan selamanya. Orang-orang di bumi menjadi kaget,
karena tiba-tiba dunia menjadi gelap. Karena itu, untuk masyarakat pada waktu
itu mempunyai kepercayaan suka memukuli lisung apabila terjadi gerhana
matahari. Karena dipercaya bahwa lisung adalah badan dari Batara Kala dan
mempunyai pengharapan dengan memukuli lisung Batara Kala akan merasa sakit,
karena badannya dipukuli, sehingga memuntahkan kembali yang ditelannya yaitu
matahari. Batara Kala kemudian bersembunyi dibalik mega. Apabila waktu sore
surup layung, maka Batara Kala akan keluar untuk mencari mangsa yaitu anak-anak
tunggal, anak panengah, atau bersembunyi di suatu tempat. Dari dongéng samagaha
tersebut dapat diambil pendidikan karakter yang sangat penting yakni kita
sebagai manusia jangan serakah, jangan ingin menang sendiri, hiduplah sederhana,
dan lapang dada.
Dongeng samagaha merupakan karya sastra yang hidup di masyarakat Sunda.
Karya sastra sebagai tanda perlu dikaji secara semiotik karena ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda bahasa melalui representasi mempunyai mental/ruh yang diwujudkan
melalui lisan atau yang diwakilinya. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, dan konvensi. Konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk
menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat
berarti sesuatu bagi seseorang jika ini diperantarai oleh interpretasi.
Ada pun kepercayaan masyarakat Sunda terhadap samagaha (gerhana)
apabila dikaitkan dengan semiotik adalah seperti di bawah ini penuh dengan
pendidikan karakter.
1. Lamun
samagaha dina bulan Muharam alamat Allah ta’ala nurunkeun balai. Urang salaku
umat manusa kudu loba sidekah jeung du’a
2. Samagaha
dina bulan Safar, alamat kurang hujan, rarang paré. Dina taun éta sing hadé
neneda.
3. Samagaha
dina bulan Mulud (Rabiul Awal), alamat loba nu gering nangtung, mahal pangan.
Ahirna ngurangan sabab loba nu maot.
4. Samagaha
dina bulan Silih Mulud (Rabiul Akhir), alamat loba anu sugih pindah.
5. Samagaha
dina bulan Jumadil Awal, alamat loba désa meunang kahadéan. Pararatu padasukur,
mulang bubuahan.
6. Samagaha
dina bulan Jumadil Ahir, alamat aya hujan sanget. Sapi, munding loba nu mati.
7. Samagaha
dina bulan Rajab, alamat loba musuh, loba pandita mati. Paraponggawa teu
mupakat.
8. Samagaha dina bulan Rewah, alamat ratu pipisahan jeung rayatna
padamupakat, paré murah.
9. Samagaha
dina bulan Puasa (Ramadhan), alamat loba panyéréwédan.
10. Samagaha
dina bulan Sawal (Syawal), alamat loba kararaan, rayat pada susah kurang pangan
mahal paré.
11. Samagaha
dina bulan Hapit, (Zulqodah) alamat loba pitnah ti menak jeung aya lini angin gedé.
12. Samagaha
dina bulan Rayagung (Zulhijah), alamat loba hujan rarang paré.
Ternyata setelah diteliti mengenai mitos samagaha, ada yang bisa kita
ambil hikmahnya. Tidak semata-mata para leluhur orang Sunda membuat suatu
palintangan, kalau tidak ada maksudnya. Pendidikan karakter yang muncul dalam
mitos samagaha adanya Filosofi silih asah, silih asih, silih asuh ini dapat
disejajarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Silih asah itu orientasi nilainya kepada peningkatan kualitas berpikir,
mengasah kemampuan untuk mempertajam pikiran dengan tempaan ilmu dan
pengalaman.
Silih asih, orientasi nilainya kepada makna tingkah laku atau sikap
individu yang memiliki empati, rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati
terhadap kehidupan sekelilingnya atau memiliki rasa sosial yang tinggi.
Silih asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam tindakan yang
nyata, sikap pragmatik seseorang di masyarakat, eksistensi diri, menerapkan
potensi diri di masyarakat. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat, kepada
sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih muda harus mampu mengayomi dan
memberi contoh yang baik.
Wallahu alam bisawab. Cag!
Sumber data:
Naskah Patakonan (Wansaredja)